Seorang wanita dengan cekatan menata masakan buatannya di meja makan. Wanita itu bernama Sofia. Sofia membuat nasi goreng dengan telur ceplok. Wanita berusia 26 tahun itu harus berhemat agar uang bulanan yang diberikan suaminya cukup sampai gajian nanti.
Suaminya yang bernama Chaeril Prayoga atau yang kerap di sapa Eril keluar dengan setelan santai. Pria itu terlihat tampan. Ditambah postur tubuhnya yang tinggi membuat penampilannya kian mempesona. Sofia mengernyit heran menatap pakaian yang tak biasa dari suaminya. Biasanya sang suami akan mengenakan setelan formal karena ini masih hari kerja. Sofia menahan pertanyaannya saat Eril mendudukan dirinya di kursi makan yang ada di hadapannya. "Telur lagi?" Eril berdecak kesal saat membuka tudung saji. "Iya, Mas. Hanya nasi goreng dan telur saja. Uang belanjaku sisa seratus ribu lagi, Mas," jawab Sofia dengan jujur. "Uang segitu banyak kok. Uang bulanan engga besar, tapi di tangan istri yang tepat bisa jadi makanan enak. Bisa bisulan aku kalau makan telur tiap hari," Eril menutup kembali tudung saji itu dengan kasar. Moodnya hancur berantakan gara-gara Sofia hanya bisa memasak telur dan telur. "Ya sudah nanti aku belikan sayur, Mas. Jangan mencela makanan, Mas! Ayo dimakan!" Sofia mencoba bersabar, walau hatinya merasa sakit dengan ucapan sang suami. Uang yang diberikan Eril hanya satu juta saja perbulan. Itupun sudah termasuk token listrik, bayar kontrakan, dan air. Makanya Sofia harus memutar otak agar uang itu cukup untuk satu bulan. "Aku tidak berselera. Aku makan di rumah ibu saja. Cepat kamu siap-siap!" Eril berdiri dari duduknya. "Ke rumah ibu? Kamu tidak kerja, Mas?" Sofia tampak keberatan. "Aku ambil cuti. Besok adalah pernikahan Mega, adikku. Kamu tidak lupa kan?" Tanya Eril dengan wajah masam. "Aku ingat kok, Mas. Kenapa tidak besok saja kita ke rumah ibunya, Mas? Aku kan sudah memberikan kado pada Mega seminggu yang lalu," tanya Sofia hati-hati. Sofia mengingat sikap ketus adik iparnya ketika dirinya datang ke klinik milik Mega. Adik iparnya itu memang bekerja sebagai seorang bidan dan kini sudah berstatus sebagai PNS. Sofia selalu mengalami kejadian tidak mengenakan bila mana ia berkunjung ke kediaman keluarga Eril. Ditambah sang suami seakan tidak berpihak padanya. Eril memang selalu membela keluarganya. Bagi Eril, keluarga adalah yang utama karena menurut Eril, dirinya bisa seperti saat ini karena asuhan dan jasa dari ibunya. Eril tampak menghela nafasnya sebelum ia berbicara. "Yang, ibu akan menilai kamu menantu yang buruk jika kamu datang saat hari H pernikahan Mega. Apalagi aku yang akan jadi wali saat Mega menikah," jelas Eril melunak. Ia tahu Sofia sangat tidak suka bila mana dirinya memaksa. "Aku sudah kasih kado buat Mega Mas seminggu yang lalu," ulang Sofia sebagai bentuk penolakan. "Bukan masalah kado. Tapi ini masalah kehadiran kita sebagai kakaknya Mega," jawab Eril dengan tegas. Sofia terlihat menimbang-nimbang. Saat batinnya bergejolak, tiba-tiba ingatan mengenai mas kawinnya terlintas di benaknya. Sofia memang berniat untuk menjual mas kawin pemberian dari suaminya untuk biaya USG dan sebagai uanh tabungan untuk lahiran nanti. Maklum Sofia saat ini sedang hamil dan kehamilannya sudah memasuki usia 7 bulan. Sofia harus memiliki tabungan alternatif karena suaminya sampai saat ini belum jua memberikan uang untuk biaya lahiran. Ya, Sofia sudah tahu pasti karena Eril memberikan uang sumbangan yang tak sedikit untuk pernikahan Mega. "Baiklah, aku bersiap-siap terlebih dahulu, Mas," Sofia beranjak dan masuk ke dalam kamar untuk berganti pakaian. Setelah berdandan dengan rapi, Sofia dan Eril segera berangkat menuju rumah ibu mertuanya yang bernama Bu Laksmi. Rumah itu juga tempat diselenggarakannya hajatan pernikahan Mega, adik bungsu dari Eril. Saat turun dari sepeda motor, semua ibu-ibu yang melihat Sofia menatap sinis. Sofia hanya tersenyum kecil. Entah apa yang diceritakan mertua pada tetangganya, hingga setiap Sofia berkunjung ke rumah ini, Sofia akan melihat pemandangan tetangga mertuanya yang selalu menatapnya dengan sinis. "Akhirnya Sofia datang juga. Ke mana aja sih kamu, Sof? Mega adik kamu lho. Kita udah sibuk dari kemarin-kemarin siapin semuanya lho," Bu Laksmi langsung saja menyemprot Sofia dengan nada sindiran ketika menantunya itu baru saja menginjakan kakinya di teras rumahnya. "Maaf, Bu. Kemarin aku mual dan tidak enak badan," Sofia menyalami Bu Laksmi dengan takjim. Walaupun hatinya merasa dongkol, namun ia berusaha untuk bersikap sopan. "Bukan karena males ketemu sama kita kan, Kak?" Masa iya istri Kak Eril hadir pas acara resepsi doang," Mega keluar dari kamarnya, ia menatap Sofia dengan tatapan benci. "Sudah. Sudah. Sofia kan sudah datang. Ayo kita langsung aja ke dapur, Sayang! Ibu-ibu lagi pada masak tuh," Eril menengahi perdebatan yang semakin panas. Eril memang sangat tahu jika keluarganya sangat tidak menyukai Sofia. Keluarga Eril cenderung lebih menyukai wanita yang bekerja atau wanita karier. Mereka juga tidak menyukai keluarga Sofia yang rata-rata keluarganya hanya lulusan SMP. Mereka lebih suka mempunyai besan yang sarjana atau berpendidikan tinggi. Sofia mencoba menguatkan hati, ia berjalan menuju ibu-ibu yang sedang asyik memotong sayuran. Seketika semua hening saat Sofia mendatangi tempat mereka. "Apa ada yang bisa saya bantu ibu-ibu?" Tanya Sofia ramah, ia duduk lesehan seperti ibu-ibu lainnya. "Potongin kentang aja, Neng Sofia!" Jawab Bu Tuti, selalu Bu RT dilingkungan itu. "Baik," Sofia mengambil kantong plastik kentang dan mulai mengupasnya. Setelah keheningan yang terjeda, ibu-ibu disana asyik mengobrol kembali. Semua tampak seru dengan obrolan masing-masing tanpa melibatkan Sofia. Wanita hamil itu merasa asing, hanya ia yang tak diajak bicara oleh orang-orang yang ada di iruangan itu. Sofia menguatkan hati, toh untuk sehari ini saja. Besok setelah resepsi, ia akan pulang ke kontrakannya. Saat sore hari, semua ibu-ibu telah selesai dengan pekerjaan mereka. Begitu juga dengan sofia. Ia masuk ke dalam kamar saat Eril lajang dan merebahkan tubuhnya di kasur. Sofia merasa lelah sekali. Apalagi pekerjaan di dapur cukup menguras tenaganya. "Cape ya, Sayang?" Eril memasuki kamar tanpa mengetuk pintu. Ia duduk di samping ranjang yang ditiduri Sofia. "Lumayan, Mas," jawab Sofia pendek. Eril melihat pergerakan perut Sofia. Dielusnya perut yang sudah semakin membuncit itu. "Kok Dedenya ga diem, Yang?" Tanya Eril penasaran. "Kayanya lapar, Mas. Dari pagi tidak ada yang memberiku makan," Sofia berkata jujur. Eril mengusap wajahnya. Hatinya merasa kesal kepada keluarganya. Harusnya mereka memikirkan Sofia yang tengah mengandung. "Kalau begitu aku ambilkan makanan. Kamu tunggu di sini!" Eril mengusap rambut Sofia dan pergi menuju dapur. "Iya," jawab Sofia pasrah, ia tak menolak karena memang perutnya sangat lapar. Tubuhnya pun terasa lemas. Beberapa menit kemudian Eril kembali dengan membawa makanan yang ada di piring nya. Hanya ada mie goreng dan nasi. Bukankah tadi semua lauk sudah matang? Ah, lagi lagi Sofia merasa kecewa dengan sikap keluarga Eril. Sofia ingin berpikir positif, namun tetap saja tak bisa. Mengingat semua perlakuan keluarga Eril yang terlibat dengan jelas sangat tidak menyukainya. Padahal Sofia sebelum menikah mencoba mendekati mereka. Namun mereka begitu tertutup padanya. Semua keluarga Eril seperti menutup pintu untuk Sofia. Kala itu Sofia pikir sikap mereka dinhin karena dia belum menjadi bagian keluarga Eril. Namun setelah menikah pun mereka masih tetap sama. Dingin dan terkesan memusuhinya. ***** Pagi harinya, terdengar adzan shubuh yang sangat merdu. Sofia segera bangun, ia menatap ke arah samping. Suaminya sudah tidak ada di sana, mungkin Eril sudah pergi bantu-bantu lagi. Akhirnya sofia turun dari ranjang berukuran king size itu. Ia mengambil air wudhu dan menjalankan kewajibannya sebagai seorang muslimah. Setelah shalat dan merapikan mukena dan sajadah, Sofia berjalan menuju tempat rias pengantin. Semua tampak bersuka cita dengan pernikahan Mega. Sofia melihat Mega sedang didandani dengan sangat apik. Semua anggota keluarga pun sudah memakai kebaya dan batik yang senada. "Kebaya untuk Sofia mana, Bu?" Eril tiba-tiba datang, pria yang Sofia cintai itu sudah rapi dengan batik seragam berwarna biru langitnya. "Untuk Sofia kayanya gak kebagian, Ril. Penjahitnya keburu sakit. Jadi, untuk Sofia kebayanya belum beres di jahit," jawab Laksmi tanpa menatap Eril dan Sofia, karena ia sedang sibuk di dandani oleh MUA "Tapi, Bu, kasian Sofia! Masa dia beda sendiri sih, Bu?" Eril mulai tersulut emosinya, karena keluarganya tak menghargai Sofia dengan terang terangan seperti ini. "Pake aja yang lain sih, Ril. Engga usah baperan gitu! Kalau belum selesai dijahit kan itu bukan kendali ibu," ketus Delia, kakak ipar dari Eril. "Iya Kak gak usah baper deh! Ini pernikahan aku. Jangan bikin huru-hara deh!' Mega yang sudah memakai siger itu menatap penuh kebencian pada Sofia. "Sudah sudah, aku pakai gamis saja, Mas. Lagi pula aku ini sedang hamil, tidak nyaman kalau pake kebaya!" Sofia tersenyum simpul, dadanya menghangat karena Eril membelanya. "Nah gitu dong. Sofianya aja gak rewel, Ril. Kok kamu yang rewel?" Bu Laksmi memutar bola matanya malas. "Ya sudah, Yang. Cepat mandi dan bersiap-siap ya!" Eril tersenyum pada wanita yang menemaninya selama dua tahun itu. Sofia mengangguk, ia berjalan menuju kamar Eril. Hatinya merasa pedih, mengapa Eril tak mengikutinya dan mengganti bajunya dengan warna yang senada dengan sofia? Padahal Eril tahu Sofia membawa batik couple mereka. Lagi-lagi hatinya terluka atas sikap Eril dan keluarganya.Akad nikah sebentar lagi akan dilaksanakan. Semua keluarga berkumpul di halaman depan rumah Bu Laksmi yang telah di dekor dengan sangat mewah. Sebetulnya Mega ingin menikah di gedung besar, tapi karena alasan Bu Laksmi ingin semua tetangga menyaksikan pernikahan Mega, akhirnya Mega berbesar hati untuk mengadakan resepsi pernikahan di halaman rumah ibunya yang sangat luas. Calon suami Mega pun tidak mempermasalahkan karena nantinya mereka akan melaksanakan resepsi kedua di kediaman calon suami Mega di Yogyakarta. "Kamu kenapa engga pake seragam?" Tante dari Eril mendekat pada Sofia yang tampak berbeda dari outfit keluarga lainnya."Dia lagi hamil. Jadi, baju yang kita jaitin engga muat!" Jawab Bu Laksmi cepat yang mendengar pertanyaan dari adiknya."Oh," Tante dari Eril itu hanya membulatkan bibirnya, lalu bergegas pergi untuk mengambil kendi yang telah diisi uang untuk acara saweran nanti.Sofia menundukan wajahnya. Ia memilin jarinya sendiri. Berada di tengah keramaian, tapi dirinya
Sofia menghembuskan nafasnya gusar. Ia sudah tahu pasti Bu Laksmi akan menolak memberikan surat mas kawin itu padanya. Sofia berusaha menutup telinga ketika Bu Laksmi mengomelinya dengan hardikan dan sumpah serapah yang memekikan telinga. Sakit hati? Tentu saja. Namun Sofia sudah biasa dengan makian mertuanya itu. Hingga ia hanya bisa memendam amarah dan sakit hatinya di dalam hati saja."Dokter bilang janin Sofia kini posisinya sungsang dan plasentanya ada di bawah. Jadi, kata dokter Sofia harus rajin USG. Sekarang Sofia gak punya uang lagi buat USG. Tolong ibu kasih suratnya ya, Bu! Toh Sofia meminta hak Sofia kan, Bu?" Sofia menyahut, ia tak tahan lagi jika harus diam saja. "Gini nih kalau punya istri engga berpenghasilan. Apa-apa minta ke suami," Laksmi mencak-mencak, amarahnya berkobar karena Sofia berani menjawab omelannya. "Sudahlah, Bu. Berikan saja suratnya! Memang itu sudah hak Sofia kan, Bu?" Bela Eril terhadap istrinya, ia sangat pusing dengan ibu dan Istrinya yang tidak
Sofia menatap hamparan sawah yang menguning. Rasanya sangat damai setiap kali ia berkunjung ke desa orang tuanya. Sofia saat ini memilih untuk pergi ke rumah kedua orang tuanya untuk mencari penghiburan dari hatinya yang tengah gundah. Wanita itu berjalan menuju kumpulan para petani yang sedang sibuk di pagi hari ini. Matanya menyipit mencari keberadaan orang tuanya di antara para petani yang sedang membersihkan tanggul. Senyuman merekah dari bibir Sofia tatkala ia menemukan orang tuanya yang sedang bahu membahu membersihkan tanggul dan jerami yang terinfeksi oleh hama."Ibu, Bapak?" Seru Sofia sembari berjalan dengan langkah-langkah kecil."Sofia?" Seru kedua orang tuanya sembari membetulkan caping atau topi petani yang berbentuk kerucut di kepala mereka."Kamu datang sama siapa, Fia?" Tanya ayahnya yang bernama Rahman sembari naik ke atas pematang sawah dengan diikuti oleh istrinya."Fia sendirian, Pak," jawab Sofia masih dengan senyuman yang terulas di wajahnya. Kedua orang tuanya
Sofia berteriak memanggil suaminya. Akan tetapi, Eril seperti tidak mendengar teriakannya. Bahkan Sofia berlari kecil dengan harapan Eril melihatnya dan menurunkan Lily dari atas motor maticnya. Lily pun menoleh ke arah Sofia. Wanita itu tersenyum sinis kemudian menempelkan wajahnya kembali pada bahu Eril. "Astagfirullah!" Sofia menghentikan langkahnya dan mengusap dadanya yang seperti terbakar karena adegan yang tiba-tiba itu."Ke mana mereka?" Sofia menerka-nerka. Sofia pun memilih untuk masuk ke dalam angkot guna pulang ke rumah kontrakan mereka. Sofia langsung mengambil ponselnya yang ada di tas selempang kecilnya."Aku melihat kamu membonceng Lily, Mas," Sofia mengirimkan pesan demikian pada nomor ponsel Eril.Setelah mengirimkan pesan, wanita itu segera memasukan ponselnya kembali ke dalam tas. Ia berusaha menghilangkan segala pikiran buruk mengenai Eril dan Lily. Sofia yakin Eril tidak akan mengkhianati pernikahan mereka.Sofia tidak menyadari jika angkot yang membawanya kini
Rahman dan Sri berkemas memasukan padi yang telah digiling dan buah-buahan ala kadarnya yang mampu mereka bawa untuk pergi ke kota. Ya, orang tua dari Sofia itu akan berangkat ke ibu kota guna menjenguk ayah Rahman yang kini tengah terbaring sakit. "Pisangnya sudah di masukan, Bu?" Rahman bertanya seraya mengelap keringat yang memenuhi dahinya."Sudah, Pak," Sri menjawab seraya mengunci pintu rumahnya. Wanita yang memiliki satu anak itu kemudian menyimpan kunci rumah di dalam sepatu boot milik suaminya, jaga-jaga jika Sofia datang lagi ke rumah mereka. Mereka pun naik angkutan umum ke terminal. Sri menoleh ke arah suaminya yang sedari tadi hanya diam. Pikiran Rahman berkecamuk. Ia takut sang ayah mengusir kedatangannya seperti beberapa tahun silam."Ayo, Pak!" Suara Sri membuyarkan lamunan Rahman. Mereka langsung turun dari angkot dan memberikan ongkos kepada sang supir."Tangan Bapak dingin," Sri menggenggam tangan suaminya kala kenet sudah memasukan barang mereka ke bagasi bus. Ki
Sepuluh hari sudah terlewati, Sofia masih menjalani hari dengan kesendirian. Setelah perdebatan dengan Eril dan keluarganya, Sofia memilih pergi dan enggan meminta maaf pada Lily. Sofia merasa dia tidak salah. Meskipun dia orang tak punya, namun Sofia masih memiliki harga diri. Sofia tidak ingin terus mengalah demi suaminya itu. Sofia sudah cukup lelah dengan sikap asli Eril. Ia pun tak mau mendatangi Eril ke rumahnya. Sofia cukup tahu malu. Sofia merasa bosan. Wanita yang tengah berbadan dua itu bergegas membersihkan ruangan, termasuk kolong tempat tidur yang telah lama tak ia bersihkan. Meskipun Sofia tahu tempat itu selalu bersih, namun Sofia memilih membersihkannya saja hari ini untuk menghilangkan jenuh. Sofia mengambil sapu. di sapunya kolong tempat tidur itu. Beberapa kertas keluar dari kolong ranjang. Sofia merapikan kertas yang sudah disobek itu, ia lalu menyambungkan potongan kertas itu dengan potongan kertas lain. Sekali lagi, hatinya merasa hancur saat melihat kertas yang
Dua minggu cuti pernikahan yang Dafa ambil telah habis. Pengantin baru itu membereskan koper yang akan ia bawa untuk dinas kembali. Suami dari Mega itu merapikan pakaian terbaiknya yang telah disiapkan oleh sang istri. "Mas, aku masih kangen kamu lho!" Mega memeluk Dafa dari belakang dengan erat. "Aku juga, Sayang. Tapi aku harus kerja lagi. Kan biar beliin kamu sebongkah berlian," candanya dengan tawa tergelak. Pria berbadan tegap itu membalikan tubuhnya dan memeluk istrinya yang berprofesi sebagai bidan itu. "Mas, katanya kita mau pindah rumah? Kamu udah janji kan!" Rajuk Mega dengan nada manja. "Sudah aku beli. Tinggal renovasi kanopi aja sesuai yang kamu minta, Sayang. Nanti bakal ada pihak developer perumahan yang ke sini," Dafa menjawil hidung minimalis Mega. "Bener, Mas? Kamu gak bohong kan?" Tatapan mata Mega berbinar. Ia lalu mencium pipi suaminya dengan agresif. Ingin sekali Dafa menjatuhkan Mega ke tempat tidur untuk mengulang percintaan mereka tadi malam,
Eril menatap ponselnya. Bu Laksmi menelfonnya berulang kali. Kali ini Eril ingin menghabiskan waktu dengan Sofia. Hubungannya dan sang istri memang hanya sekedarnya saja belakangan ini. Apalagi pertengkaran kemarin membuat Eril takut jika Sofia benar-benar akan pulang ke rumah kedua orang tuanya. Terpaksa kali ini Eril mengacuhkan panggilan masuk dan puluhan chat dari Bu Laksmi yang meminta Eril datang ke rumahnya. Eril kemudian memilih mode silent agar ponselnya tidak bersuara."Tumben engga kamu angkat telfon ibu, Mas?" Tanya Sofia yang sedang menyapu ruang tengah."Engga. Aku pengen ngabisin waktu sama istri aku," Eril tersenyum manis."Tumben sekali," batin Sofia. Biasanya suaminya itu tidak akan mengacuhkan panggilan dari ibunya.Eril yang sedang duduk di sofa berdiri dan kemudian memeluk Sofia dari belakang."Hari ini kita jalan-jalan yuk? Udah lama engga jalan-jalan," ucapnya dengan suara lembut."Jalan-jalan? Ke mana, Mas?" Tanya Sofia dengan wajah berbinar. Selama menikah, me