Share

Istri Lusuhku Ternyata Sang Pewaris
Istri Lusuhku Ternyata Sang Pewaris
Penulis: Zinnia Azalea

Prolog

Seorang wanita dengan cekatan menata masakan buatannya di meja makan. Wanita itu bernama Sofia. Sofia membuat nasi goreng dengan telur ceplok. Wanita berusia 26 tahun itu harus berhemat agar uang bulanan yang diberikan suaminya cukup sampai gajian nanti.

Suaminya yang bernama Chaeril Prayoga atau yang kerap di sapa Eril keluar dengan setelan santai. Pria itu terlihat tampan. Ditambah postur tubuhnya yang tinggi membuat penampilannya kian mempesona. Sofia mengernyit heran menatap pakaian yang tak biasa dari suaminya. Biasanya sang suami akan mengenakan setelan formal karena ini masih hari kerja. Sofia menahan pertanyaannya saat Eril mendudukan dirinya di kursi makan yang ada di hadapannya.

"Telur lagi?" Eril berdecak kesal saat membuka tudung saji.

"Iya, Mas. Hanya nasi goreng dan telur saja. Uang belanjaku sisa seratus ribu lagi, Mas," jawab Sofia dengan jujur.

"Uang segitu banyak kok. Uang bulanan engga besar, tapi di tangan istri yang tepat bisa jadi makanan enak. Bisa bisulan aku kalau makan telur tiap hari," Eril menutup kembali tudung saji itu dengan kasar. Moodnya hancur berantakan gara-gara Sofia hanya bisa memasak telur dan telur.

"Ya sudah nanti aku belikan sayur, Mas. Jangan mencela makanan, Mas! Ayo dimakan!" Sofia mencoba bersabar, walau hatinya merasa sakit dengan ucapan sang suami. Uang yang diberikan Eril hanya satu juta saja perbulan. Itupun sudah termasuk token listrik, bayar kontrakan, dan air. Makanya Sofia harus memutar otak agar uang itu cukup untuk satu bulan.

"Aku tidak berselera. Aku makan di rumah ibu saja. Cepat kamu siap-siap!" Eril berdiri dari duduknya.

"Ke rumah ibu? Kamu tidak kerja, Mas?" Sofia tampak keberatan.

"Aku ambil cuti. Besok adalah pernikahan Mega, adikku. Kamu tidak lupa kan?" Tanya Eril dengan wajah masam.

"Aku ingat kok, Mas. Kenapa tidak besok saja kita ke rumah ibunya, Mas? Aku kan sudah memberikan kado pada Mega seminggu yang lalu," tanya Sofia hati-hati.

Sofia mengingat sikap ketus adik iparnya ketika dirinya datang ke klinik milik Mega. Adik iparnya itu memang bekerja sebagai seorang bidan dan kini sudah berstatus sebagai PNS. Sofia selalu mengalami kejadian tidak mengenakan bila mana ia berkunjung ke kediaman keluarga Eril. Ditambah sang suami seakan tidak berpihak padanya. Eril memang selalu membela keluarganya. Bagi Eril, keluarga adalah yang utama karena menurut Eril, dirinya bisa seperti saat ini karena asuhan dan jasa dari ibunya.

Eril tampak menghela nafasnya sebelum ia berbicara.

"Yang, ibu akan menilai kamu menantu yang buruk jika kamu datang saat hari H pernikahan Mega. Apalagi aku yang akan jadi wali saat Mega menikah," jelas Eril melunak. Ia tahu Sofia sangat tidak suka bila mana dirinya memaksa.

"Aku sudah kasih kado buat Mega Mas seminggu yang lalu," ulang Sofia sebagai bentuk penolakan.

"Bukan masalah kado. Tapi ini masalah kehadiran kita sebagai kakaknya Mega," jawab Eril dengan tegas.

Sofia terlihat menimbang-nimbang. Saat batinnya bergejolak, tiba-tiba ingatan mengenai mas kawinnya terlintas di benaknya. Sofia memang berniat untuk menjual mas kawin pemberian dari suaminya untuk biaya USG dan sebagai uanh tabungan untuk lahiran nanti. Maklum Sofia saat ini sedang hamil dan kehamilannya sudah memasuki usia 7 bulan. Sofia harus memiliki tabungan alternatif karena suaminya sampai saat ini belum jua memberikan uang untuk biaya lahiran. Ya, Sofia sudah tahu pasti karena Eril memberikan uang sumbangan yang tak sedikit untuk pernikahan Mega.

"Baiklah, aku bersiap-siap terlebih dahulu, Mas," Sofia beranjak dan masuk ke dalam kamar untuk berganti pakaian.

Setelah berdandan dengan rapi, Sofia dan Eril segera berangkat menuju rumah ibu mertuanya yang bernama Bu Laksmi. Rumah itu juga tempat diselenggarakannya hajatan pernikahan Mega, adik bungsu dari Eril.

Saat turun dari sepeda motor, semua ibu-ibu yang melihat Sofia menatap sinis. Sofia hanya tersenyum kecil. Entah apa yang diceritakan mertua pada tetangganya, hingga setiap Sofia berkunjung ke rumah ini, Sofia akan melihat pemandangan tetangga mertuanya yang selalu menatapnya dengan sinis.

"Akhirnya Sofia datang juga. Ke mana aja sih kamu, Sof? Mega adik kamu lho. Kita udah sibuk dari kemarin-kemarin siapin semuanya lho," Bu Laksmi langsung saja menyemprot Sofia dengan nada sindiran ketika menantunya itu baru saja menginjakan kakinya di teras rumahnya.

"Maaf, Bu. Kemarin aku mual dan tidak enak badan," Sofia menyalami Bu Laksmi dengan takjim. Walaupun hatinya merasa dongkol, namun ia berusaha untuk bersikap sopan.

"Bukan karena males ketemu sama kita kan, Kak?" Masa iya istri Kak Eril hadir pas acara resepsi doang," Mega keluar dari kamarnya, ia menatap Sofia dengan tatapan benci.

"Sudah. Sudah. Sofia kan sudah datang. Ayo kita langsung aja ke dapur, Sayang! Ibu-ibu lagi pada masak tuh," Eril menengahi perdebatan yang semakin panas.

Eril memang sangat tahu jika keluarganya sangat tidak menyukai Sofia. Keluarga Eril cenderung lebih menyukai wanita yang bekerja atau wanita karier. Mereka juga tidak menyukai keluarga Sofia yang rata-rata keluarganya hanya lulusan SMP. Mereka lebih suka mempunyai besan yang sarjana atau berpendidikan tinggi.

Sofia mencoba menguatkan hati, ia berjalan menuju ibu-ibu yang sedang asyik memotong sayuran. Seketika semua hening saat Sofia mendatangi tempat mereka.

"Apa ada yang bisa saya bantu ibu-ibu?" Tanya Sofia ramah, ia duduk lesehan seperti ibu-ibu lainnya.

"Potongin kentang aja, Neng Sofia!" Jawab Bu Tuti, selalu Bu RT dilingkungan itu.

"Baik," Sofia mengambil kantong plastik kentang dan mulai mengupasnya.

Setelah keheningan yang terjeda, ibu-ibu disana asyik mengobrol kembali. Semua tampak seru dengan obrolan masing-masing tanpa melibatkan Sofia. Wanita hamil itu merasa asing, hanya ia yang tak diajak bicara oleh orang-orang yang ada di iruangan itu. Sofia menguatkan hati, toh untuk sehari ini saja. Besok setelah resepsi, ia akan pulang ke kontrakannya.

Saat sore hari, semua ibu-ibu telah selesai dengan pekerjaan mereka. Begitu juga dengan sofia. Ia masuk ke dalam kamar saat Eril lajang dan merebahkan tubuhnya di kasur. Sofia merasa lelah sekali. Apalagi pekerjaan di dapur cukup menguras tenaganya.

"Cape ya, Sayang?" Eril memasuki kamar tanpa mengetuk pintu. Ia duduk di samping ranjang yang ditiduri Sofia.

"Lumayan, Mas," jawab Sofia pendek.

Eril melihat pergerakan perut Sofia. Dielusnya perut yang sudah semakin membuncit itu. "Kok Dedenya ga diem, Yang?" Tanya Eril penasaran.

"Kayanya lapar, Mas. Dari pagi tidak ada yang memberiku makan," Sofia berkata jujur.

Eril mengusap wajahnya. Hatinya merasa kesal kepada keluarganya. Harusnya mereka memikirkan Sofia yang tengah mengandung.

"Kalau begitu aku ambilkan makanan. Kamu tunggu di sini!" Eril mengusap rambut Sofia dan pergi menuju dapur.

"Iya," jawab Sofia pasrah, ia tak menolak karena memang perutnya sangat lapar. Tubuhnya pun terasa lemas.

Beberapa menit kemudian Eril kembali dengan membawa makanan yang ada di piring nya. Hanya ada mie goreng dan nasi. Bukankah tadi semua lauk sudah matang? Ah, lagi lagi Sofia merasa kecewa dengan sikap keluarga Eril. Sofia ingin berpikir positif, namun tetap saja tak bisa. Mengingat semua perlakuan keluarga Eril yang terlibat dengan jelas sangat tidak menyukainya. Padahal Sofia sebelum menikah mencoba mendekati mereka. Namun mereka begitu tertutup padanya. Semua keluarga Eril seperti menutup pintu untuk Sofia. Kala itu Sofia pikir sikap mereka dinhin karena dia belum menjadi bagian keluarga Eril. Namun setelah menikah pun mereka masih tetap sama. Dingin dan terkesan memusuhinya.

*****

Pagi harinya, terdengar adzan shubuh yang sangat merdu. Sofia segera bangun, ia menatap ke arah samping. Suaminya sudah tidak ada di sana, mungkin Eril sudah pergi bantu-bantu lagi. Akhirnya sofia turun dari ranjang berukuran king size itu. Ia mengambil air wudhu dan menjalankan kewajibannya sebagai seorang muslimah.

Setelah shalat dan merapikan mukena dan sajadah, Sofia berjalan menuju tempat rias pengantin. Semua tampak bersuka cita dengan pernikahan Mega. Sofia melihat Mega sedang didandani dengan sangat apik. Semua anggota keluarga pun sudah memakai kebaya dan batik yang senada.

"Kebaya untuk Sofia mana, Bu?" Eril tiba-tiba datang, pria yang Sofia cintai itu sudah rapi dengan batik seragam berwarna biru langitnya.

"Untuk Sofia kayanya gak kebagian, Ril. Penjahitnya keburu sakit. Jadi, untuk Sofia kebayanya belum beres di jahit," jawab Laksmi tanpa menatap Eril dan Sofia, karena ia sedang sibuk di dandani oleh MUA

"Tapi, Bu, kasian Sofia! Masa dia beda sendiri sih, Bu?" Eril mulai tersulut emosinya, karena keluarganya tak menghargai Sofia dengan terang terangan seperti ini.

"Pake aja yang lain sih, Ril. Engga usah baperan gitu! Kalau belum selesai dijahit kan itu bukan kendali ibu," ketus Delia, kakak ipar dari Eril.

"Iya Kak gak usah baper deh! Ini pernikahan aku. Jangan bikin huru-hara deh!' Mega yang sudah memakai siger itu menatap penuh kebencian pada Sofia.

"Sudah sudah, aku pakai gamis saja, Mas. Lagi pula aku ini sedang hamil, tidak nyaman kalau pake kebaya!" Sofia tersenyum simpul, dadanya menghangat karena Eril membelanya.

"Nah gitu dong. Sofianya aja gak rewel, Ril. Kok kamu yang rewel?" Bu Laksmi memutar bola matanya malas.

"Ya sudah, Yang. Cepat mandi dan bersiap-siap ya!" Eril tersenyum pada wanita yang menemaninya selama dua tahun itu.

Sofia mengangguk, ia berjalan menuju kamar Eril. Hatinya merasa pedih, mengapa Eril tak mengikutinya dan mengganti bajunya dengan warna yang senada dengan sofia? Padahal Eril tahu Sofia membawa batik couple mereka. Lagi-lagi hatinya terluka atas sikap Eril dan keluarganya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status