Rahman dan Sri berkemas memasukan padi yang telah digiling dan buah-buahan ala kadarnya yang mampu mereka bawa untuk pergi ke kota. Ya, orang tua dari Sofia itu akan berangkat ke ibu kota guna menjenguk ayah Rahman yang kini tengah terbaring sakit.
"Pisangnya sudah di masukan, Bu?" Rahman bertanya seraya mengelap keringat yang memenuhi dahinya."Sudah, Pak," Sri menjawab seraya mengunci pintu rumahnya. Wanita yang memiliki satu anak itu kemudian menyimpan kunci rumah di dalam sepatu boot milik suaminya, jaga-jaga jika Sofia datang lagi ke rumah mereka.Mereka pun naik angkutan umum ke terminal. Sri menoleh ke arah suaminya yang sedari tadi hanya diam. Pikiran Rahman berkecamuk. Ia takut sang ayah mengusir kedatangannya seperti beberapa tahun silam."Ayo, Pak!" Suara Sri membuyarkan lamunan Rahman. Mereka langsung turun dari angkot dan memberikan ongkos kepada sang supir."Tangan Bapak dingin," Sri menggenggam tangan suaminya kala kenet sudah memasukan barang mereka ke bagasi bus. Kini mertua dari Eril itu duduk di deretan kursi bus paling belakang."Bapak takut, Bu," Rahman menatap lurus ke depan. Menatap penumpang lain yang baru masuk ke dalam bus dengan tergesa-gesa karena bus akan segera melaju meninggalkan terminal."Soal kita di terima atau tidak, itu urusan nanti. Memangnya Bapak tidak mau melihat orang tua yang sedang sakit parah?" Bu Sri bertanya yang tidak dibalas jawaban oleh Rahman."Ibu benar. Niat kita sudah baik," Rahman kemudian menjawab.Bus mulai meninggalkan hirup pikuk terminal yang sangat padat hari ini. Pikiran Rahman mengingat kilas balik pertemuan terakhir ketika bertemu dengan ayahnya beberapa tahun silam."Untuk apa kamu menemuiku, Rahman? Pergilah bersama wanita kampung ini! Ingat, sepeser pun hartaku tidak akan pernah aku wariskan padamu!!" Suara bariton ayahnya yang bernama Hartanto masih terngiang-ngiang di telinga Rahman.Rahman memilih memejamkan matanya. Ia sudah siap akan segala resiko yang ia rasakan setibanya di kota."Pak, bangun!" Sri menepuk pelan bahu Rahman saat mereka sudah sampai di terminal ibu kota."Sudah sampai, Bu?" Rahman mengucek matanya, memfokuskan pandangannya. Terlihat orang-orang sudah mulai beranjak dari kursinya."Ayo, Pak!" Sri menggenggam tangan Rahman. Keluar menuju pintu yang ada di belakang.Kernet menurunkan barang bawaan pasangan suami istri itu. Mereka kemudian menyewa angkutan umum untuk sampai di kediaman kakek dari Sofia itu.Rahman menatap jalanan ibu kota. Ia tersenyum kala mengingat dirinya dibesarkan di kota metropolitan itu. Teringat ketika dirinya sedang kuliah. Ia yang sedang menginap di kosan temannya bertemu dengan Sri yang saat itu bekerja di sebuah warung makan sederhana. Ya, perkenalan mereka berawal dari sana. Saat Sri tak sengaja menumpahkan es teh manis pada baju Rahman.Senyum di wajah pria itu menyurut kala ia memutuskan untuk menikahi Sri di tahun ketiga kuliahnya. Rahman tidak ingin terikat sebuah hubungan yang menurutnya bisa menjerumuskan dirinya menuju hal yang dimurkai oleh Allah. Dengan nekat, Rahman mengutarakan niatnya pada sang ayah yang langsung di sambut dengan tamparan keras di wajahnya."Kau gila, Rahman? Kau ini masih kuliah!! Tahu apa kamu hah tentang cinta?" Amarah menggelegar dari Hartanto kala Rahman mengutarakan niat baiknya untuk meminang Sri."Aku tidak akan mengabaikan kuliahku, Pa. Aku hanya ingin hubungan kami diridoi oleh Allah," Rahman memegang pipinya yang sangat panas."Tahu apa kamu hah tentang pernikahan? Kamu akan menikahi wanita miskin itu? Dia sama sekali tidak sederajat dengan kita. Kamu putra tunggalku, Rahman. Kamu yang akan meneruskan perusahaanku!!" Hartanto menatap berang pada putranya."Tekadku sudah bulat untuk menikahi Sri. Apapun yang terjadi," Rahman bersikukuh dengan keputusannya. Ia yang setahun belakangan belajar agama kepada teman kostnya sangat yakin jika menikahi Sri adalah jalan yang terbaik."Kamu tidak tahu apa-apa tentang kehidupan ini, Rahman! Kamu tidak akan mengerti kerasnya kehidupan ini. Niatmu ingin menikah karena menghindari zina, tapi kamu lupa untuk menghindar dari kemiskinan," Hartanto tersenyum meremehkan."Aku akan bekerja sambil kuliah, Pa," Rahman menatap ayahnya penuh harap. Pria yang ada di hadapannya kembali murka."Masuklah ke kamarmu sebelum aku hilang kesabaran!" Bentaknya.Rahman kemudian masuk ke dalam kamarnya. Merenungi segala keputusan yang ia buat. tiga bulan kemudian, Rahman mantap dengan keputusannya untuk menikahi Sri. Bahkan ia menikah tanpa ada satu orang pun yang mengantar. Hartanto mengusir Rahman dari rumahnya. Ia yang seorang pengusaha sukses sangat tidak menerima kehadiran Sri yang menurutnya adalah wanita miskin yang sudah menghancurkan hidup anaknya.Rahman kemudian bekerja serabutan untuk menafkahi Sri dan membiayai pendidikannya. Rahman pernah mencoba berdagang, bahkan menjadi kuli angkut di pasar. Semua itu ia lakukan sebagai tanggung jawab karena dirinya berstatus sebagai kepala rumah tangga. Sri pun masih bekerja di rumah makan yang belakangan di hancurkan oleh Hartanto, mertuanya. Jalan mereka begitu berliku dan terjal. Rahman yang kuliah di kampus elit begitu kepayahan membayar uang semesteran yang harus dibayarkan setiap enam bulan sekali. Pada akhirnya Rahman menyerah. Ia harus putus kuliah. Hartanto yang tahu anaknya putus kuliah terus menghancurkan setiap usaha Rahman. Ia ingin Rahman kembali dengan sendiri padanya dan meninggalkan Sri. Namun, kenyataan tak sesuai harapannya, Rahman dibawa oleh Sri untuk pulang ke kampung halamannya. Di sana mereka belajar menggarap sawah milik orang lain."Sudah sampai, Pak," Sri lagi-lagi membuyarkan lamunan Rahman.Suami istri itu langsung turun dari angkot yang mereka sewa. Rahman menurunkan beberapa barang bawaannya."Bapak mau ngelamar jadi tukang kebun di sini?Ini rumahnya Pak Hartanto pemilik stasiun TV nasional itu kan?" Cetus supir angkot seraya menurunkan karung beras dari mobilnya."Kami hanya bertamu," jawab Rahman pendek yang dibalas dengan raut wajah keheranan."Mending balik lagi aja deh, Pak! Orang-orang kaya kita gak bakal dikasih izin masuk ke istana segede gaban ini. Orang tajir mana mau ketemu sama orang kaya kita,," supir angkot itu memberikan saran yang hanya dibalas senyuman oleh Rahman."Ini ongkosnya, Pak," Rahman menyodorkan uang pada supir angkot itu."Makasih ya, Pak," supir angkot itu tersenyum senang kemudian berlalu meninggalkan Rahman dan Sri yang kini menatap pagar yang menjulang tinggi di hadapan mereka.Rahman mendekati pos satpam. Satpam yang bekerja puluhan tahun di rumah hartanto itu terlonjak kaget melihat anak tuannya datang dengan baju lusuh dengan menenteng bawaan yang lumayan banyak."Tuan Rahman?" Sebutnya yang melihat Rahman memanggul karung beras."Cepat buka! Ini berat!" Ringis Rahman yang langsung di iyakan oleh pria berbadan gempal di hadapannya. Beberapa satpam yang lain membantu Rahman dengan membawa beberapa barang miliknya."Kondisi tuan semakin memburuk," jawab satpam itu kala ia menjawab pertanyaan dari Rahman mengenai Hartanto.Kreek...Pintu kamar Hartanto terbuka. Putra yang ia benci sekaligus ia sayangi itu datang padanya setelah beberapa tahun silam dirinya mengusir Rahman ketika datang. Bahkan Hartanto saat itu mengerahkan beberapa penjaga keamanan untuk membuat keduanya pergi dari hadapannya."Mau apa kamu ke sini?" Mata Hartanto menajam."Pa!" Air mata Rahman menitik. Ia yang puluhan tahun hidup dalam penyesalan menatap wajah sang ayah yang kini tampak pias, kurus dan tua. Sri pun hanya menundukan wajahnya kala bertemu dengan mertua yang tidak pernah menerima keberadaannya."Mau apa kamu ke sini?" Hartanto menatap penampilan putranya. Hatinya bersedih melihat putra kebanggaannya berpenampilan menyedihkan seperti itu. Faktanya darah lebih kental dari pada air. Kebencian yang besar dalam hatinya tak mampu menandingi besarnya rasa kasih sayang Hartanto pada Rahman."Maafkan atas semua dosaku, Pa!!" Rahman berhambur memeluk Hartanto dan terisak."Hartanto menahan air matanya keluar kala teringat dirinya dan mendiang sang istri mengasuh Rahman dengan sepenuh hati."Maafkan anakmu yang durhaka ini!" Rahman menangis tergugu.Air mata Hartanto tak bisa dibendung lagi. Pria yang sudah beruban itu mengingat sang putra yang membawa Sofia yang kala itu masih kecil. Ia dengan garang mengusir Rahman dan Sri yang membawa Sofia sampai mereka terjatuh. Mulai dari sana, Sri dan Rahman tidak pernah membawa Sofia kembali. Mereka takut Hartanto melakukan hal yang tidak-tidak pada Sofia mengingat pria itu memiliki kuasa yang sangat besar."Pergilah! Aku masih tidak ingin melihatmu!" Usirnya dengan kepingan hati yang hancur kala bayang-bayang Rahman muda datang menghancurkan harapannya."Pa!!" Rahman enggan beranjak dari sana."Pergi!!" Teriaknya kembali.Setelah Rahman pergi, Hartanto yang selama ini selalu menguntit kehidupan putranya pun menghubungi kuasa hukum kepercayaannya. Hartanto sudah yakin untuk memberikan warisannya pada sang putra. Sebenci apapun Hartanto padanya, tapi pada kenyataannya hanya Rahman penerus segala bisnisnya. Ia tidak memiliki putra lagi. Hartanto pun yakin seyakin-yakinnya jika Rahman dapat melanjutkan bisnisnya, mengingat sang putra adalah orang yang pintar dan sudah merasakan asam manis kehidupan.Sepuluh hari sudah terlewati, Sofia masih menjalani hari dengan kesendirian. Setelah perdebatan dengan Eril dan keluarganya, Sofia memilih pergi dan enggan meminta maaf pada Lily. Sofia merasa dia tidak salah. Meskipun dia orang tak punya, namun Sofia masih memiliki harga diri. Sofia tidak ingin terus mengalah demi suaminya itu. Sofia sudah cukup lelah dengan sikap asli Eril. Ia pun tak mau mendatangi Eril ke rumahnya. Sofia cukup tahu malu. Sofia merasa bosan. Wanita yang tengah berbadan dua itu bergegas membersihkan ruangan, termasuk kolong tempat tidur yang telah lama tak ia bersihkan. Meskipun Sofia tahu tempat itu selalu bersih, namun Sofia memilih membersihkannya saja hari ini untuk menghilangkan jenuh. Sofia mengambil sapu. di sapunya kolong tempat tidur itu. Beberapa kertas keluar dari kolong ranjang. Sofia merapikan kertas yang sudah disobek itu, ia lalu menyambungkan potongan kertas itu dengan potongan kertas lain. Sekali lagi, hatinya merasa hancur saat melihat kertas yang
Dua minggu cuti pernikahan yang Dafa ambil telah habis. Pengantin baru itu membereskan koper yang akan ia bawa untuk dinas kembali. Suami dari Mega itu merapikan pakaian terbaiknya yang telah disiapkan oleh sang istri. "Mas, aku masih kangen kamu lho!" Mega memeluk Dafa dari belakang dengan erat. "Aku juga, Sayang. Tapi aku harus kerja lagi. Kan biar beliin kamu sebongkah berlian," candanya dengan tawa tergelak. Pria berbadan tegap itu membalikan tubuhnya dan memeluk istrinya yang berprofesi sebagai bidan itu. "Mas, katanya kita mau pindah rumah? Kamu udah janji kan!" Rajuk Mega dengan nada manja. "Sudah aku beli. Tinggal renovasi kanopi aja sesuai yang kamu minta, Sayang. Nanti bakal ada pihak developer perumahan yang ke sini," Dafa menjawil hidung minimalis Mega. "Bener, Mas? Kamu gak bohong kan?" Tatapan mata Mega berbinar. Ia lalu mencium pipi suaminya dengan agresif. Ingin sekali Dafa menjatuhkan Mega ke tempat tidur untuk mengulang percintaan mereka tadi malam,
Eril menatap ponselnya. Bu Laksmi menelfonnya berulang kali. Kali ini Eril ingin menghabiskan waktu dengan Sofia. Hubungannya dan sang istri memang hanya sekedarnya saja belakangan ini. Apalagi pertengkaran kemarin membuat Eril takut jika Sofia benar-benar akan pulang ke rumah kedua orang tuanya. Terpaksa kali ini Eril mengacuhkan panggilan masuk dan puluhan chat dari Bu Laksmi yang meminta Eril datang ke rumahnya. Eril kemudian memilih mode silent agar ponselnya tidak bersuara."Tumben engga kamu angkat telfon ibu, Mas?" Tanya Sofia yang sedang menyapu ruang tengah."Engga. Aku pengen ngabisin waktu sama istri aku," Eril tersenyum manis."Tumben sekali," batin Sofia. Biasanya suaminya itu tidak akan mengacuhkan panggilan dari ibunya.Eril yang sedang duduk di sofa berdiri dan kemudian memeluk Sofia dari belakang."Hari ini kita jalan-jalan yuk? Udah lama engga jalan-jalan," ucapnya dengan suara lembut."Jalan-jalan? Ke mana, Mas?" Tanya Sofia dengan wajah berbinar. Selama menikah, me
Sofia dan Eril keluar dari toko pakaian dengan menenteng beberapa tas belanjaan. Sofia membeli beberapa potong pakaian hamil. Eril pun membeli beberapa potong kemeja untuk ia gunakan ke kantor. "Makasih ya, Mas?" Ucap Sofia dengan penuh rasa syukur. "Sama-sama," Eril tersenyum cerah melihat Sofia yang terlihat gembira hari ini. Sepasang suami istri itu pun kemudian memutuskan untuk pulang ke rumah setelah berjalan-jalan hari ini. "Yang, kita ke ATM bentar ya?" Eril bersuara ketika mereka di atas motor. "Kamu mau ambil uang?" Sofia berbicara sedikit lebih kencang karena suara bising dari kendaraan lain. "Iya, sekalian mau ngasih uang jatah bulanan juga buat kamu," jawab Eril. "Ya sudah, kebetulan uang aku juga udah habis, Mas." Eril menghentikan motornya di sebuah ATM yang ada di dekat super market besar. Pria itu dengan cepat masuk ke dalam bilik ATM dan mengambil uang seperlunya. Sedangkan Sofia ia lebih memilih untuk menunggu di luar. Ia pun terlihat menenteng belanjaan yan
Eril berjalan cepat menuju lift. Eril memang seorang pegawai yang disiplin dan perfeksionis. Ia tidak ingin terlambat barang satu menit pun. Baginya ketepatan hadir di kantor adalah suatu kedisiplinan yang wajib dipatuhi setiap harinya. Di samping kedisiplinan, Eril pun adalah seorang karyawan yang kinerja dan loyalitasnya pada perusahaan tidak diragukan lagi. Cara bersosialisasinya pun sangat mumpuni hingga ia mempunyai banyak teman dan relasi. Hal itulah yang membuat Eril mendapatkan kenaikan pangkat dengan cepat."Er?" Sapa Lily saat ia masuk ke dalam lift yang sama dengan Eril."Lily," Sapa Eril seperlunya. Ia memencet angka lima kemudian menatap pintu lift yang tertutup. Kini hanya ada mereka berdua di dalam lift itu. Lily cukup heran dengan sikap Eril yang tiba-tiba dingin padanya."Ehm, gimana sama istri kamu?" Lily memecahkan keheningan di antara mereka."Sofia? Dia baik-baik saja," jawab Eril dengan pendek. Membuat Lily merasa jadi serba salah"Maksudku apa dia masih curiga d
Sofia menaruh semua hasil masakannya sore ini di atas meja makan. Wanita yang tengah hamil besar itu tak sabar menunggu kedatangan Eril yang pulang ke kontrakan. Ia duduk di kursi makan. Kakinya ia regangkan, sesekali Sofia meluruskan kakinya. Maklum kehamilannya sudah menginjak usia tujuh bulan. Ubtuk masak saja, Sofia sudah merasa sangat kelelahan. Walaupun Eril tak pernah membantunya menyelesaikan pekerjaan rumah, ia masih bersyukur setidaknya sikap Eril ada perubahan. Suaminya tak selalu membela ibunya dan kini memberikan tambahan uang belanja kepadanya. Sikapnya pun mulai perhatian pada Sofia. Sofia berharap Eril terus berubah menjadi lebih baik, memprioritaskan dirinya dan calon buah hati mereka. Tok. TokSuara pintu diketuk. Dengan sumringah Sofia berjalan menuju pintu. Ia tak sabar menanti kedatangan sang suami dan menyantap makan sore bersama. Namun senyuman Sofia seketika sirna takkala melihat bukan orang yang ia harapkan yang berdiri di hadapannya. "Ibu, Mega?" Lirihny
Sepulang Bu Laksmi dan Mega, Eril mendudukan dirinya di kursi. Ia memijat pelipisnya yang sedikit berdenyut. Eril menoleh ke arah pintu kamar yang tertutup. Ia tiba-tiba kepikiran istrinya. Eril baru merasa jika tadi ia keterlaluan. Eril tidak tahu mengapa dirinya bisa se emosional tadi. Bu Laksmi memang selalu berhasil membuat darah Eril mendidih dan kemudian memarahi Sofia. Eril menghembuskan nafasnya. Ia mengetuk pintu dengan pelan, berharap sang istri akan membuka pintu. Namun nihil. Jangankan dibuka, sebuah jawaban pun tidak ada dari dalam sana. "Sofia, buka!" Eril berbicara pelan. Ia baru memikirkan Sofia yang saat ini tengah mengandung darah dagingnya. Eril takut anaknya yang ada di perut Sofia dalam keadaan tidak baik. "Sayang, aku tahu kamu marah. Maafkan aku! Tadi aku lost control!" Lanjutnya. Sofia yang masih menangis menyeka air matanya. Baju depannya sudah basah karena sedari tadi digunakan untuk menghapus air mata yang tak kunjung mengering. Sofia lebih memilih s
Reynard melempar jas putihnya dengan asal ke atas sofa. Ia segera masuk ke dalam kamar mandi. Dokter yang masih berstatus lajang itu menatap dirinya di cermin. Reynard yang kerap disapa Rey benar-benar terlihat menyedihkan. Sesudah bertemu dengan Sofia, mood Reynard terjun begitu saja. Ia tak menyangka akan bertemu dengan mantan kekasihnya. Wanita yang sudah menghancukan perasaannya berkeping-keping. Reynard memejamkan matanya, ia mengingat kenangan pahit itu. Sofia adalah cinta pertamanya. Dulu Sofia dan Reynard adalah sepasang kekasih yang harmonis. Namun suatu hari Sofia meminta Reynard untuk melamarnya, dia ingin hubungan yang serius. Hubungan mereka sudah berjalan dalam hitungan tahun. Sofia lalu memberikan keringanan agar mereka bertunangan terlebih dahulu. Namun, Reynard tetap menolak. Bukan karena Reynard ingin main-main pada Sofia. Hanya saja Reynard baru saja mengenyam pendidikan spesialis dan ia merasa belum mempunyai apapun untuk membahagiakan Sofia. Hubungan mereka y