Sofia menatap hamparan sawah yang menguning. Rasanya sangat damai setiap kali ia berkunjung ke desa orang tuanya. Sofia saat ini memilih untuk pergi ke rumah kedua orang tuanya untuk mencari penghiburan dari hatinya yang tengah gundah. Wanita itu berjalan menuju kumpulan para petani yang sedang sibuk di pagi hari ini. Matanya menyipit mencari keberadaan orang tuanya di antara para petani yang sedang membersihkan tanggul. Senyuman merekah dari bibir Sofia tatkala ia menemukan orang tuanya yang sedang bahu membahu membersihkan tanggul dan jerami yang terinfeksi oleh hama.
"Ibu, Bapak?" Seru Sofia sembari berjalan dengan langkah-langkah kecil."Sofia?" Seru kedua orang tuanya sembari membetulkan caping atau topi petani yang berbentuk kerucut di kepala mereka."Kamu datang sama siapa, Fia?" Tanya ayahnya yang bernama Rahman sembari naik ke atas pematang sawah dengan diikuti oleh istrinya."Fia sendirian, Pak," jawab Sofia masih dengan senyuman yang terulas di wajahnya. Kedua orang tuanya tidak boleh tahu jika dirinya sedang ada masalah dengan Eril dan keluarganya."Ayo kita ke rumah!" Ajak ibunya yang bernama Sri.Mereka berjalan beriringan menuju rumah sederhana yang tepat berada tepat di depan sawah. Sesekali tawa mereka terdengar kala sang ayah bernostalgia mengenai masa kecil Sofia."Bapak jadi ingat kamu main sepeda terus jatuh ke sawah, Nak," cetus Rahman dengan berbinar. Mengingat hari di mana Sofia masih kecil."Iya, waktu itu tangan Sofia keseleo," timpal Sofia dengan senyum tipis.Kilas balik membawa Sofia pada kenangan indah kala hidup bersama kedua orang tuanya. Walau mereka hidup dalam keterbatasan, tapi Sofia belum pernah merasa tertekan dan menderita seperti saat ini. Selama pernikahan, Sofia lebih banyak menangis dari pada tertawa.Mata Sri yang berjalan di belakang Sofia terlihat berembun kala melihat baju yang Sofia kenakan. Baju itu adalah gamis saat Sofia masih gadis dulu. Terlihat baju itu sudah usang dan ada bolongan kecil di tengahnya. Sri menatap sedih keadaan putrinya. Matanya kemudian menilik sandal yang Sofia kenakan. Sandal jepit yang sudah usang dan terdapat paku kecil sebagai tanda jika Sofia menyambungkan sandal yang telah putus itu. Mengapa penampilan putrinya selalu terlihat menyedihkan? Padahal Sri tahu pasti jika Eril adalah seorang pegawai kantoran."Apa yang kamu alami, Nak?" Batin Sri sedih kala ia juga melihat dengan mata kepalanya sendiri saat Sofia diabaikan di acara pernikahan Mega. Sri dan Rahman memang datang ke pernikahan Mega demi memenuhi undangan dari Bu Laksmi."Fia, Eril engga pernah beliin kamu baju?" Tanya Bu Sri saat mereka kini mendudukan dirinya di teras rumah yang terbuat dari bambu. Rumah Sofia memang masih tradisional"Se-sering kok, Bu. Sofia engga pake karena udah kekecilan bajunya. Maklum, Sofia naik 10 kilo saat hamil. Kebetulan baju Sofia saat gadis ini masih muat," Sofia berusaha menyembunyikan masalah rumah tangganya.Memang Eril terlihat tidak peduli terhadap kebutuhan Sofia. Dia hanya akan memberikan jatah uang bulanan yang pas-pasan. Jangankan untuk baju, kadang untuk kehidupan sehari-hari pun Sofia harus utang ke warung. Mengeluh sudah pernah pastinya. Akan tetapi, lagi-lagi Eril memberi tahu jika gajinya dipakai untuk biaya kuliah Mega. Saat Mega berhasil lulus dari program S1 nya, Sofia merasa senang karena penghasilan Eril pasti akan di alokasikan untuk hidup mereka berdua. Tapi kenyataan pahit harus Sofia terima kala Eril tidak pernah memberikan gajinya secara full padanya. Bahkan Sofia tidak tahu pasti berapa jumlah nominal gaji suaminya. Sofia pernah menggeledah tasnya untuk mencari slip gaji Eril, tapi nihil. Secarcik kertas yang dicari Sofia tidak pernah ia temukan."Syukurlah, Nak," jawab Bu Sri walau hatinya terasa gamang pada jawaban putri semata wayangnya. Wanita paruh baya itu kemudian masuk ke dalam rumah dan keluar kembali dengan membawa singkong rebus dan tiga gelas teh hangat yang masih mengepul.Rahman melepas topi capling dan mengibas-ngibaskan pada wajahnya. Matanya menerawang jauh. Entah apa yang dipikirkannya. Sesekali matanya menyorot pada wajah polos Sofia yang tidak pernah memakai make up. Bahkan olesan bedak tidak pernah terlihat di sana."Eril engga anterin kamu ke sini?" Tanya Rahman seraya menerima segelas teh dari Bu Sri dan meminumnya dengan pelan."Engga, Pak. Mas Eril kerja," Sofia mengambil singkong rebus yang ibunya bawa. Kemudian wanita itu melahapnya dengan senang."Kamu engga ada masalah kan sama Eril, Nak?" Rahman memastikan. Ia sangat hapal gelagat putrinya."Engga, Pak. Sofia ke sini karena bosan di rumah terus. Pengen ada temen," Sofia tersenyum menyembunyikan duka yang selalu ia telan sendiri."Ibu bukan ngelarang kamu ke sini. Tapi kandungan kamu makin besar, Nak. Kalau mau ke sini, minta anterin sama suami mu ya? Atau kamu bisa telfon. Nanti Bapak yang jemput," Bu Sri memegang tangan Sofia yang hangat. Putrinya hanya mengangguk mendengar ucapan Sri."Besok kita mau ke ibu kota, Nak. Mau jengukin kakek kamu. Katanya sakit," Sri memberitahu."Emang ibu engga apa-apa ke sana? Mereka bakal terima ibu?" Sofia mengernyitkan dahi.Pasalnya Sofia tahu jika kakek dan neneknya dari pihak Rahman begitu tidak menyukai Sri. Mereka menikah tanpa restu dari orang tua Rahman karena Sri berasal dari keluarga miskin. Keluarga Rahman adalah keluarga konglomerat di kota. Akan tetapi, mereka merahasiakan hal itu dari Sofia. Mereka hanya mengatakan jika orang tua Rahman tidak menyetujui pernikahan Sri dan Rahman karena akibat menikahi Sri, Rahman harus meninggalkan bangku kuliahnya.*****"Ini jam berapa, Bu?" Sofia mengucek-ngucek matanya. Rupanya ia ketiduran setelah melaksanakan shalat ashar tadi."Jam setengah lima sore, Nak. Kamu mau menginap?" Tawar Pak Rahman."Engga. Sofia mau pulang. Mas Eril pasti nyari," kilah Sofia. Padahal ia tidak tahu apakah suaminya akan pulang atau tidak.Sofia segera merapikan bajunya dan mengambil tas selempang kecil yang ia bawa."Sofia pamit ya, Bu, Pak?" Sofia mencium tangan kedua orang tuanya bergantian saat kini dirinya berpamitan di ambang pintu."Iya, hati-hati, Nak. Ini ada sedikit uang untuk beli susu hamil, Nak," Bu Sri memberikan beberapa lembar uang pada putri semata wayangnya itu."Ibu, Sofia masih ada uang," Sofia menolak dengan cepat."Ambil, Nak! Rejeki tidak boleh ditolak. Ibu dan bapak baru saja dapat rejeki. Tolong terima ya, Nak!" Harap Sri sembari memegang tangan Sofia."Bu, Pak!" Air mata meleleh di pipi wanita berparas ayu itu. Baru saja dirinya kebingungan mengenai bagaimana caranya dirinya pulang. Pasalnya Sofia tidak memegang uang lagi."Tolong jaga kesehatan ya, Nak! Kalau perlu apa-apa hubungi kami!" Rahman menatap Sofia dengan berkaca-kaca."Iya, Maaf Sofia merepotkan!' Sofia menangis sesenggukan. Kemudian setelah tangisnya mereda, wanita itu segera pergi karena hari sudah semakin senja.Sofia berjalan kecil menuju angkot yang sedang mengetem. Saat ia berjalan, Sofia melihat suaminya sedang membonceng seorang wanita yang amat Sofia kenali."Mas Eril bonceng Lily?" Sofia membulatkan matanya dengan sempurna saat mengetahui jika sang suami tengah membonceng mantan kekasihnya.Bahkan Lily terlihat memeluk Eril dengan erat. Dagu wanita itu pun terlihat menempel pada bahu pria yang Sofia cintai. Dadanya terasa sesak. Sejak kapan suaminya kembali dekat dengan Lily? Dan mengapa mereka bisa berboncengan seperti itu?Sofia berteriak memanggil suaminya. Akan tetapi, Eril seperti tidak mendengar teriakannya. Bahkan Sofia berlari kecil dengan harapan Eril melihatnya dan menurunkan Lily dari atas motor maticnya. Lily pun menoleh ke arah Sofia. Wanita itu tersenyum sinis kemudian menempelkan wajahnya kembali pada bahu Eril. "Astagfirullah!" Sofia menghentikan langkahnya dan mengusap dadanya yang seperti terbakar karena adegan yang tiba-tiba itu."Ke mana mereka?" Sofia menerka-nerka. Sofia pun memilih untuk masuk ke dalam angkot guna pulang ke rumah kontrakan mereka. Sofia langsung mengambil ponselnya yang ada di tas selempang kecilnya."Aku melihat kamu membonceng Lily, Mas," Sofia mengirimkan pesan demikian pada nomor ponsel Eril.Setelah mengirimkan pesan, wanita itu segera memasukan ponselnya kembali ke dalam tas. Ia berusaha menghilangkan segala pikiran buruk mengenai Eril dan Lily. Sofia yakin Eril tidak akan mengkhianati pernikahan mereka.Sofia tidak menyadari jika angkot yang membawanya kini
Rahman dan Sri berkemas memasukan padi yang telah digiling dan buah-buahan ala kadarnya yang mampu mereka bawa untuk pergi ke kota. Ya, orang tua dari Sofia itu akan berangkat ke ibu kota guna menjenguk ayah Rahman yang kini tengah terbaring sakit. "Pisangnya sudah di masukan, Bu?" Rahman bertanya seraya mengelap keringat yang memenuhi dahinya."Sudah, Pak," Sri menjawab seraya mengunci pintu rumahnya. Wanita yang memiliki satu anak itu kemudian menyimpan kunci rumah di dalam sepatu boot milik suaminya, jaga-jaga jika Sofia datang lagi ke rumah mereka. Mereka pun naik angkutan umum ke terminal. Sri menoleh ke arah suaminya yang sedari tadi hanya diam. Pikiran Rahman berkecamuk. Ia takut sang ayah mengusir kedatangannya seperti beberapa tahun silam."Ayo, Pak!" Suara Sri membuyarkan lamunan Rahman. Mereka langsung turun dari angkot dan memberikan ongkos kepada sang supir."Tangan Bapak dingin," Sri menggenggam tangan suaminya kala kenet sudah memasukan barang mereka ke bagasi bus. Ki
Sepuluh hari sudah terlewati, Sofia masih menjalani hari dengan kesendirian. Setelah perdebatan dengan Eril dan keluarganya, Sofia memilih pergi dan enggan meminta maaf pada Lily. Sofia merasa dia tidak salah. Meskipun dia orang tak punya, namun Sofia masih memiliki harga diri. Sofia tidak ingin terus mengalah demi suaminya itu. Sofia sudah cukup lelah dengan sikap asli Eril. Ia pun tak mau mendatangi Eril ke rumahnya. Sofia cukup tahu malu. Sofia merasa bosan. Wanita yang tengah berbadan dua itu bergegas membersihkan ruangan, termasuk kolong tempat tidur yang telah lama tak ia bersihkan. Meskipun Sofia tahu tempat itu selalu bersih, namun Sofia memilih membersihkannya saja hari ini untuk menghilangkan jenuh. Sofia mengambil sapu. di sapunya kolong tempat tidur itu. Beberapa kertas keluar dari kolong ranjang. Sofia merapikan kertas yang sudah disobek itu, ia lalu menyambungkan potongan kertas itu dengan potongan kertas lain. Sekali lagi, hatinya merasa hancur saat melihat kertas yang
Dua minggu cuti pernikahan yang Dafa ambil telah habis. Pengantin baru itu membereskan koper yang akan ia bawa untuk dinas kembali. Suami dari Mega itu merapikan pakaian terbaiknya yang telah disiapkan oleh sang istri. "Mas, aku masih kangen kamu lho!" Mega memeluk Dafa dari belakang dengan erat. "Aku juga, Sayang. Tapi aku harus kerja lagi. Kan biar beliin kamu sebongkah berlian," candanya dengan tawa tergelak. Pria berbadan tegap itu membalikan tubuhnya dan memeluk istrinya yang berprofesi sebagai bidan itu. "Mas, katanya kita mau pindah rumah? Kamu udah janji kan!" Rajuk Mega dengan nada manja. "Sudah aku beli. Tinggal renovasi kanopi aja sesuai yang kamu minta, Sayang. Nanti bakal ada pihak developer perumahan yang ke sini," Dafa menjawil hidung minimalis Mega. "Bener, Mas? Kamu gak bohong kan?" Tatapan mata Mega berbinar. Ia lalu mencium pipi suaminya dengan agresif. Ingin sekali Dafa menjatuhkan Mega ke tempat tidur untuk mengulang percintaan mereka tadi malam,
Eril menatap ponselnya. Bu Laksmi menelfonnya berulang kali. Kali ini Eril ingin menghabiskan waktu dengan Sofia. Hubungannya dan sang istri memang hanya sekedarnya saja belakangan ini. Apalagi pertengkaran kemarin membuat Eril takut jika Sofia benar-benar akan pulang ke rumah kedua orang tuanya. Terpaksa kali ini Eril mengacuhkan panggilan masuk dan puluhan chat dari Bu Laksmi yang meminta Eril datang ke rumahnya. Eril kemudian memilih mode silent agar ponselnya tidak bersuara."Tumben engga kamu angkat telfon ibu, Mas?" Tanya Sofia yang sedang menyapu ruang tengah."Engga. Aku pengen ngabisin waktu sama istri aku," Eril tersenyum manis."Tumben sekali," batin Sofia. Biasanya suaminya itu tidak akan mengacuhkan panggilan dari ibunya.Eril yang sedang duduk di sofa berdiri dan kemudian memeluk Sofia dari belakang."Hari ini kita jalan-jalan yuk? Udah lama engga jalan-jalan," ucapnya dengan suara lembut."Jalan-jalan? Ke mana, Mas?" Tanya Sofia dengan wajah berbinar. Selama menikah, me
Sofia dan Eril keluar dari toko pakaian dengan menenteng beberapa tas belanjaan. Sofia membeli beberapa potong pakaian hamil. Eril pun membeli beberapa potong kemeja untuk ia gunakan ke kantor. "Makasih ya, Mas?" Ucap Sofia dengan penuh rasa syukur. "Sama-sama," Eril tersenyum cerah melihat Sofia yang terlihat gembira hari ini. Sepasang suami istri itu pun kemudian memutuskan untuk pulang ke rumah setelah berjalan-jalan hari ini. "Yang, kita ke ATM bentar ya?" Eril bersuara ketika mereka di atas motor. "Kamu mau ambil uang?" Sofia berbicara sedikit lebih kencang karena suara bising dari kendaraan lain. "Iya, sekalian mau ngasih uang jatah bulanan juga buat kamu," jawab Eril. "Ya sudah, kebetulan uang aku juga udah habis, Mas." Eril menghentikan motornya di sebuah ATM yang ada di dekat super market besar. Pria itu dengan cepat masuk ke dalam bilik ATM dan mengambil uang seperlunya. Sedangkan Sofia ia lebih memilih untuk menunggu di luar. Ia pun terlihat menenteng belanjaan yan
Eril berjalan cepat menuju lift. Eril memang seorang pegawai yang disiplin dan perfeksionis. Ia tidak ingin terlambat barang satu menit pun. Baginya ketepatan hadir di kantor adalah suatu kedisiplinan yang wajib dipatuhi setiap harinya. Di samping kedisiplinan, Eril pun adalah seorang karyawan yang kinerja dan loyalitasnya pada perusahaan tidak diragukan lagi. Cara bersosialisasinya pun sangat mumpuni hingga ia mempunyai banyak teman dan relasi. Hal itulah yang membuat Eril mendapatkan kenaikan pangkat dengan cepat."Er?" Sapa Lily saat ia masuk ke dalam lift yang sama dengan Eril."Lily," Sapa Eril seperlunya. Ia memencet angka lima kemudian menatap pintu lift yang tertutup. Kini hanya ada mereka berdua di dalam lift itu. Lily cukup heran dengan sikap Eril yang tiba-tiba dingin padanya."Ehm, gimana sama istri kamu?" Lily memecahkan keheningan di antara mereka."Sofia? Dia baik-baik saja," jawab Eril dengan pendek. Membuat Lily merasa jadi serba salah"Maksudku apa dia masih curiga d
Sofia menaruh semua hasil masakannya sore ini di atas meja makan. Wanita yang tengah hamil besar itu tak sabar menunggu kedatangan Eril yang pulang ke kontrakan. Ia duduk di kursi makan. Kakinya ia regangkan, sesekali Sofia meluruskan kakinya. Maklum kehamilannya sudah menginjak usia tujuh bulan. Ubtuk masak saja, Sofia sudah merasa sangat kelelahan. Walaupun Eril tak pernah membantunya menyelesaikan pekerjaan rumah, ia masih bersyukur setidaknya sikap Eril ada perubahan. Suaminya tak selalu membela ibunya dan kini memberikan tambahan uang belanja kepadanya. Sikapnya pun mulai perhatian pada Sofia. Sofia berharap Eril terus berubah menjadi lebih baik, memprioritaskan dirinya dan calon buah hati mereka. Tok. TokSuara pintu diketuk. Dengan sumringah Sofia berjalan menuju pintu. Ia tak sabar menanti kedatangan sang suami dan menyantap makan sore bersama. Namun senyuman Sofia seketika sirna takkala melihat bukan orang yang ia harapkan yang berdiri di hadapannya. "Ibu, Mega?" Lirihny
Mega menatap jendela di ruang tamu, hatinya begitu gelisah saat sang suami belum juga pulang. Malam telah larut, namun tak menyurutkan Mega untuk menunggu kepulangan Daffa. Mega tersenyum getir saat melihat foto pernikahannya terpajang di tembok ruang tamu. Nyatanya kehidupan rumah tangganya sangat berbeda dengan pose dirinya dan Daffa yang begitu mesra saat di foto itu. Kehidupan Mega seakan tak menemui titik terang, semakin hari ia semakin jauh dari Daffa. Apalagi kini Daffa memilih untuk resign dari maskapai yang telah memperkerjakannya selama lima tahun. Mega melarang keras Daffa untuk resign dari sana. Namun, Daffa tak mendengarkan saran dan penolakan dari istrinya. Pria itu mantap untuk resign dan memasukan lamaran ke maskapai yang lebih terkenal dan menjanjikan. Setelah resign Daffa sering menghabiskan waktunya di luar. Tak ada waktu untuk Mega kini. Pria yang sebentar lagi akan menjadi ayah itu seakan sibuk dengan dunia barunya. Tanpa Mega ketahui, Daffa kini sedang dimabuk
Eril mengacak rambutnya frustasi. Semenjak kepulangannya dari klinik bidan, Lily tak kunjung mau menyusui anak mereka yang diberi nama Renata Annida itu."ini bayi kamu lapar!!" Sentak Eril sekali lagi."Aku engga bisa nyusuin bayi itu, Er. Setiap kali aku netein dia, aku kaya mau ngelempar dia!!" Ucap Lily dengan wajahnya yang tanpa dosa."Gila ya kamu, Ly! Anak kamu kelaparan ini!! Kalau kamu engga mau ngurus dia, mending kamu pergi dari sini!! Dasar wanita engga guna!" Eril mengusir Lily.Eril sendiri kini sedang berusaha menenangkan bayinya yang sedang menangis kejer itu. Lily memang tidak mau menyusui bayinya dengan alasan dia terkena baby blues. "Cup cup, Nak!!" Eril memberikan susu di dalam dot yang sudah ia seduh tadi. Pria itu menyusui sang putri dengan cekatan. Eril juga sudah menghabiskan masa cutinya untuk mengurus bayinya itu. Padahal Lily hanya berkilah. Ia tidak mengalami baby blues sama sekali. Lily hanya tidak ingin p*yudaranya kendor karena menyusui Renata. Tujuan
Sofia berjalan menuruni tangga, ia melihat semua keluarga Reynard sedang duduk memutari meja makan yang berbentuk bulat. Ya, sudah dua hari ini Sofia menginap di rumah Dokter Ali. Ia ikut berpartisipasi merayakan pernikahan Rangga dan Paula. Setelah pernikahannya di sebuah hotel mewah, Rangga dan Paula diharuskan menginap di rumah Dokter Ali sebelum mereka pindah. Dokter Bagus dan Dokter Ali memberikan dana kepada pasangan suami istri itu untuk membeli rumah di sebuah perumahan elite sebagai hadiah pernikahan mereka. Tentunya Rangga dan Paula menerimanya dengan senang hati, mereka merasa bebas jika hidup berdua saja. Tak akan ada orang yang curiga jika mereka tidak saling mencintai satu sama lain. Paula dan Rangga baru saja keluar dari dalam kamar mereka. Rambut mereka terlihat basah, membuat Ghina dan Dokter Ali melontarkan godaan kepada pasangan suami istri itu. Paula dan Rangga segera duduk di kursi makan untuk memulai sarapan mereka. "Sayang, kamu cantik sekali!" Puji Reynard s
Sebelum berbulan madu, Sofia menyematkan diri untuk datang ke kediaman Dicky dan Intan. Ia memang belum menjenguk Arsya dan Arsyi karena kesibukannya selama ini. Sofia berangkat sendiri karena sang suami harus bekerja sebelum mereka pergi berbulan madu. Sofia membawa buah tangan yang tak sedikit. Wanita itu masih mengingat apa saja yang menjadi kesukaan kedua keponakannya. Sofia kemudian memarkirkan mobil mewahnya di kediaman Intan dan Dicky. Kedatangannya sudah disambut oleh Intan dan Dicky. Mereka memang mendengar ada deru mobil yang masuk ke pekarangan rumah. Akan tetapi, mereka begitu terkejut jika yang datang adalah Sofia. "Kak?" Sofia turun dari mobilnya dengan tersenyum. Intan dan Dicky menatap mantan adik iparnya itu dengan tak terbaca. Dalam hati, Intan sangat takjub karena kini Sofia amatlah cantik dan amat berbeda dengan Sofia dulu. Dahulu Sofia hanya bisa memakai pakaian lusuh dan tanpa make up. Sekarang penampilan cucu konglomerat itu begitu membuat siapa pun pangling.
Bidan menyerahkan bayi berjenis perempuan itu pada Lily. Mata Lily berkaca-kaca. Ia menatap putrinya dengan sedih. Sedih karena ia akan meninggalkan bayi malang itu bersama Eril saja. Lily akan pergi sejauh mungkin karena ia tak sanggup lagi hidup bersama sang suami. Lily akan menjemput kebahagiaannya sendiri.Lily mengusap air matanya yang jatuh. Impiannya bukan melahirkan seperti ini. Impiannya dulu adalah melahirkan di rumah sakit dengan kelas VIP dan ditemani Eril dengan penuh cinta. Eril hanya memandang Lily dengan dingin seolah tak ada rasa khawatir dengan keadaan Lily. Ia hanya memperhatikan putrinya. Bidan pun mengambil kembali sang bayi agar Eril bisa mengazaninya. Eril mengazaninya dengan takzim. Hatinya begitu tersayat kala mengingat anak pertamanya dengan Sofia yang tiada. Andai saja anak itu masih ada pasti sekarang Eril sedang berbahagia dengan Sofia. Andai saja.Selesai mengazani, bayi yang belum diberi nama itu dibedong oleh bidan dan di simpan di box bayi. Eril pun b
Eril yang baru pulang dari kantor merasa aneh melihat plastik buah yang berserakan di atas kasur. Gegas ia melihat bungkus buah itu. Matanya terbelalak karena melihat harga-harga yang menempel di plastik buah dengan harga yang fantastis. Rahangnya menegang karena menyangka Lily membelanjakan uang makan mereka hanya demi membeli buah-buahan yang menurut Eril tak terlalu penting. "Ly! Lily!" Panggil Eril, ia celingukan mencari keberadaan sang istri. Dilihatnya Lily tang tengah duduk di kursi makan usang. Ia memegang ponselnya seraya tersenyum sendiri. Eril menatap tajam sang istri yang tengah asyik dengan ponselnya, ingin rasanya ia melempar ponsel milik Lily. Bagaimana tidak emosi, pulang bekerja bukannya disambut, tapi Lily asyik dengan dunianya. Eril jadi merasa tak dianggap. Apalagi kemarahannya menjadi berlipat ketika Eril mengingat plastik buah yang tercecer dan nominal yang sangat besar di plastik itu. "Bagus ya, suami pulang kerja bukannya disambut. Malah HP terusss!!" Ceroco
Pernikahan Paula dan Rangga digelar di Ballroom hotel berbintang lima. Semua kerabat Paula dari dalam negeri maupun di luar negeri turut menghadiri undangan, begitu pun dengan Dokter Ali. Semua kenalannya di undang demi memeriahkan pesta sang anak kedua agar tak kalah meriah dari resepsi Reynard dan Sofia. Sofia turut hadir bersama sang suami. Ia pun memboyong kedua orang tuanya dan kakeknya Hartanto. Mereka dijamu dengan begitu mewah dan hangat. Bahkan Dokter Ali memberikan meja VIP untuk keluarga Sofia, karena Dokter Ali ingin sekali menjamu keluarga besannya dengan sangat baik. Pernikahan Paula dan Rangga mengusung tema modern. Berbeda sekali dengan Sofia dan Reynard yang mengusung adat Sunda yang sangat kental. Paula memang bersekolah dan tumbuh di luar negeri. Maka tak heran, konsep pernikahannya pun mengusung modern ala-ala western, tapi masih dengan kostum yang sopan namun elegan. Paula memakai dress yang memperlihatkan lekukan tubuhnya, namun tidak terlalu ketat. ia tak su
Sofia baru saja selesai berdandan. Hari ini ia akan menemui Reynard, suaminya. Sofia akan membawakan bekal makan siang yang sudah ia masak dengan menu spesial. Wanita cantik itu telah cantik dengan dress dan polesan make-up yang natural. Selesai berdandan, Sofia segera berjalan menuju carport dan melajukan mobilnya menuju rumah sakit swasta terbesar di kota itu. Sofia mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang. Sesekali wanita cantik itu bernyanyi mengikuti alunan lagu yang berdendang di tape mobilnya. Hidup Sofia kini jauh lebih bahagia, ia pun selalu mensyukuri apa yang ia punya sekarang. Keluarga dan Reynard lah yang membuat hidupnya terasa lengkap. Rahman, Sri, dan Hartanto selalu memanjakannya. Meskipun mereka sudah berbeda rumah, namun setiap satu bulan satu kali mereka akan menyempatkan diri menghabiskan waktu bersama Sofia. Begitu pun dengan sang suami, di tengah kesibukannya sebagai dokter dan calon pemimpin rumah sakit, Reynard selalu memperhatikan dan memanjakan Sofia.
Rizal memulai pekerjaannya sebagai dokter gigi di puskesmas yang ada di Kabupaten Sumbawa , Nusa Tenggara Barat. Pria itu tersenyum menatap suasana kerjanya yang baru. Pikirannya kini terasa damai. Rizal memang bertekad akan memulai hidup baru yang lebih baik tanpa bayang-bayang masa lalunya yang amat pahit. Matanya sedikit mengembun kala mengingat sang ibu. Sebenarnya berat hati meninggalkan Bu Laksmi yang kini hidup sendirian dan dijauhi semua anaknya. Akan tetapi, hatinya yang lain masih merasakan kecewa yang amat dalam saat sang ibu terang-terangan lebih memilih Mega dan Daffa dari pada dirinya. Luka di hati Rizal itu belum juga mengering. Entah kapan akan sembuh secara sempurna, yang pasti Rizal ingin menyembuhkan luka itu sepenuhnya dengan hidup di tempat yang baru. Untaian doa selalu ia curahkan untuk sang ibu. Rizal memulai hari pertamanya bekerja dengan antusias. Ia menyambut ramah pasien pertamanya yang ingin menambal giginya yang berlubang. Rizal melayani dengan sepenuh ha