Sofia menghembuskan nafasnya gusar. Ia sudah tahu pasti Bu Laksmi akan menolak memberikan surat mas kawin itu padanya. Sofia berusaha menutup telinga ketika Bu Laksmi mengomelinya dengan hardikan dan sumpah serapah yang memekikan telinga. Sakit hati? Tentu saja. Namun Sofia sudah biasa dengan makian mertuanya itu. Hingga ia hanya bisa memendam amarah dan sakit hatinya di dalam hati saja.
"Dokter bilang janin Sofia kini posisinya sungsang dan plasentanya ada di bawah. Jadi, kata dokter Sofia harus rajin USG. Sekarang Sofia gak punya uang lagi buat USG. Tolong ibu kasih suratnya ya, Bu! Toh Sofia meminta hak Sofia kan, Bu?" Sofia menyahut, ia tak tahan lagi jika harus diam saja."Gini nih kalau punya istri engga berpenghasilan. Apa-apa minta ke suami," Laksmi mencak-mencak, amarahnya berkobar karena Sofia berani menjawab omelannya."Sudahlah, Bu. Berikan saja suratnya! Memang itu sudah hak Sofia kan, Bu?" Bela Eril terhadap istrinya, ia sangat pusing dengan ibu dan Istrinya yang tidak berhenti berdebat perihal mahar milik sang istri. Terlebih, Eril takut Sofia meminta tambahan uang padanya. Eril selama ini memang membagi tiga gajinya. Gajinya ia berikan untuk sang ibu setengahnya, Sofia 20% dan untuk simpanannya sendiri 30%."Kamu itu, Ril! Bukan bela Ibu, malah bela istrimu yang gak guna ini. Dengerin ya, Ril! Mahar itu gak boleh dijual. Kalau dijual pamali, pasti akan terjadi sesuatu sama pernikahan kalian. Ini sudah budaya dan selalu benar bukan hanya mitos. Makanya ibu simpen surat mas nya biar gak dijual istrimu. Bener kan prediksi ibu. Belum lima tahun pernikahan udah mau jual surat-surat berharga. Selama ini kemana in sih gaji dari kamu, Ril? Sampe USG aja engga cukup. Lagian tuh bayi pasti muter lagi. Ibu ngelahirin banyak anak engga pake USG USG, semua lahir sehat," panjang lebar Bu Laksmi berbicara menyudutkan Sofia."Bu, yang namanya mahar sudah hak istri Bu mau diapakan juga. Dari pada berhutang, mending jual yang ada dulu. Lagi pula Sofia jual mas Sofia sendiri bukan punya ibu," Sofia berusaha memelankan suaranya, padahal hatinya sudah sangat dongkol dengan ucapan-ucapan Bu Laksmi yang memuakkan."Ril, coba kamu denger ucapan istri kamu ini! Dia ngomong pedes ke Mama. Mama sakit hati!!" Bu Laksmi mengeluarkan jurus andalannya dengan menangis. Membuat Eril begitu tidak tega melihat tangisannya. Ya, air mata adalah senjata ampuh bagi Bu Laksmi untuk membuat Eril selalu berpihak padanya."Sudahlah, Yang. Ibu menang benar. Memang sebaiknya kita tidak jual mas kawin itu. Mas gak mau ada sesuatu yang buruk menimpa rumah tangga kita," Eril kini menyahuti, yang membuat Sofia membelalakkan matanya karena tak habis pikir suaminya akan termakan dengan ucapan Bu Laksmi."Kalau begitu, aku boleh minta tambahan uang jatah bulanan, Mas?" Sofia terdengar takut saat mengatakannya. Mengingat jika mengatakan masalah ini, mereka selalu bertengkar."Yang, gaji aku cuma UMR lho," sergah Eril dengan wajah yang kesal. Sofia menatap wajah Eril, entah mengapa Sofia merasa Eril tidak jujur mengenai jumlah pasti gajinya. Apalagi pria itu bekerja di sebuah perusahaan farmasi berskala nasional."Ketahuan kan, Ril. Ujungnya minta tambahan jatah," Bu Laksmi tertawa sumbang."Dasar kamu aja engga bisa ngelola keuangan," imbuhnya seraya melipat tangannya di dada."Bu, Mas Eril kasih uang bulanan ke Sofia hanya satu juta sebulan, Bu. Apalagi bahan pokok semakin merangkak naik," Sofia merasa harus meluruskan perihal uang bulanannya. Ia cukup gerah di tuduh oleh sang mertua tidak bisa mengelola keuangan."Halah alasan kamu! Segitu juga Eril tanggung jawab dan nafkahin kamu. Segitu udah enak, engga usah ngeyel minta tambahan uang," lontar Bu Laksmi tak ingin dibantah."Sofia, sudahlah! Untuk masalah jatah bulanan, kita bahas di rumah. Sekali lagi Mas setuju dengan ibu. Jangan kamu jual mas kawin dari Mas," Eril menentukan sikap."Mas!" Sofia seakan kehilangan kata-katanya. Matanya terasa memanas. Entah ke berapa ratus kali, Eril tak pernah memihaknya saat ia disudutkan oleh mertua dan keluarga suaminya."Tuh denger apa kata suami kamu! Jangan terus membantah. Lagian maksain banget gak punya uang mau USG!" Cebik Bu Laksmi. Tangannya mengeringkan air mata yang masih basah di pipinya."Tapi kan kondisinya beda, Bu. Kehamilan Sofia ada yang engga normal," Sofia menjawab dengan suara serak."Sudahlah, Sofia! Jangan terus membantah ibu! Kamu janji akan menganggap ibuku seperti ibumu sendiri, tapi aku perhatikan kamu selalu saja membantah ibuku!" Suara Eril meninggi, emosinya tersulut saat Sofia terus saja menjawab ucapan ibu mertuanya."Mas, kalian sama saja!" Ucap Sofia terdengar bergetar, ia meninggalkan Eril dan ibu mertuanya dan masuk ke kamar.Eril bangkit dari duduknya, ia akan mengejar Sofia. Namun Bu Laksmi memegang bahu anaknya. ""Sudahlah jangan dikejar, Ril! Keenakan. Biar saja. Nanti juga baik sendiri dia. Mau hidup dari mana kalau engga kamu nafkahin," serunya, tatapannya mengintimidasi putra ketiganya itu."Bukan begitu, Ma. Dia sedang hamil," jawab Eril jujur. Ia memang mengkhawatirkan kehamilan Sofia."Dia aja yang terlalu lebay. Kehamilan engga seseram itu. Ibu juga pernah hamil. Ibu tidak manja, sudahlah biarkan. Lebih baik kita makan, ibu sudah lapar nih!" Bu Laksmi menarik tangan Eril menuju ruang makan. Bak kerbau yang dicucuk hidungnya, Eril hanya manut saja mengikuti langkah ibunya.Sedangkan setelah perdebatan yang sengit tadi, Sofia berdiam diri di kamar. Ia terus menghapus bulir air mata yang lolos tanpa permisi. Hatinya selalu saja merasa sakit bila mana mengingat perlakuan mertua dan suaminya."Sabar ya, Nak!" Sofia mengelus perutnya yang bergerak. Sofia tahu jika sang bayi merasakan kesedihan yang ia rasakan.Malam sudah semakin larut, Sofia belum juga menutup matanya. Ia melirik jam dinding yang menunjukan pukul satu mla. Sofia tidak kunjung jua mendapati Eril masuk ke dalam kamar. Walau marah pada Eril dan Bu Laksmi, Sofia memberanikan diri keluar kamar. Hatinya semakin tercabik kala melihat Eril sedang tertidur nyenyak di atas sofa empuk yang ada di ruang keluarga."Astagfirullah!" Sofia menabahkan dirinya sendiri. Harusnya Eril yang menghibur dan menenangkannya. Tapi suaminya itu seakan ikut memusuhi Sofia.Gegas Sofia kembali ke kamar. Hidup di tengah-tengah keluarga suami seperti ini membuat Sofia merasa tak berdaya. Sofia memaksakan memejamkan matanya. Ia tidak ingin sang jabang bayi yang dikandung merasakan efek negatif jika dirinya begadang.*****Pagi hari Sofia segera berkemas. Ia akan pulang dan mengajak juga sang suami untuk pulang. Dibawanya tas ransel yang berisi beberapa potong pakaian. Langkah Sofia terasa gontai saat ia keluar dari kamar. Terdengar canda tawa dari mertua dan ipar-iparnya yang Sofia dengar dari ruang keluarga.Sofia memberanikan diri datang ke sana. Ia datang ke rumah mertuanya dengan cara baik-baik, Sofia pun harus pulang dengan cara yang baik dan elok. Sofia memandang semua orang yang ada di sana. Dilihatnya wajah penuh keceriaan dari semua anggota keluarga suaminya. Di sana juga tampak Eril yang sudah rapi dengan baju kasualnya. Berbanding terbalik dengan dirinya yang dirundung kenestapaan semalaman."Ehem," Bu Laksmi berdehem kala melihat Sofia datang."Bu?" Sofia menyapa dengan hangat dan duduk di hadapan mereka. Semua tampak diam dan melihat Sofia dengan ketus. Sofia tidak tahu dosa apa yang ia perbuat hingga membuat semua anggota keluarga Eril tampak begitu membencinya."Masih bisa senyum-senyum Kak setelah buat mama nangis?" Sindir Mega yang kini tampak berambut basah.Sofia berusaha untuk mengacuhkan ocehan pedas dari Mega. Tujuannya adalah untuk berpamitan, bukan untuk menabuh genderang perang."Bu, Sofia izin pulang. Maaf jika Sofia di sini merepotkan dan membuat hati ibu bersedih," Sofia memilih untuk mengalah. Untuk urusan mas kawin, ia akan berusaha membujuk suaminya untuk mengambil surat itu dari ibunya."Hemm," Bu Laksmi mengarahkan pandangannya ke arah lain. Seakan tak sudi melihat pada menantu yang ia anggap miskin dan tidak berguna itu."Mas juga ikut pulang kan?" Sofia menatap Eril dengan sorot mata penuh permohonan."Mas masih ingin di sini bantu-bantu sesudah resepsi Mega. Kamu naik ojek online aja bisa kan? Biar Mas pesankan," Eril membuka aplikasi transportasi online dari ponselnya. Membuat semua keluarganya tersenyum penuh kemenangan."Baiklah," Sofia menjawab dengan pedih. Ia berdiri dari duduknya, tak ingin berlama-lama lagi di sana."Drivernya udah di depan," ucap Eril yang membuat hati Sofia bertambah pilu."Kalau begitu Sofia pamit ya Bu, Mas?" Sofia menciumi tangan Bu Laksmi dan tangan Eril bergantian."Hati-hati di jalan!" Jawab Eril datar. Semalaman Eril memang mendengarkan segala petuah dari Bu Laksmi yang tentunya berusaha menghasut agar hubungan mereka semakin renggang."Iya, Mas kapan pulang?" Sofia meminta kepastian."Besok," jawabnya pendek.Sofia pun berjalan ke arah pintu dan mengucapkan salam sebelum ia benar-benar keluar dari rumah mertuanya. Sofia segera naik ke ojek online yang Eril pesankan. Air matanya bercucuran dengan deras. Sofia membuka kaca helmnya, berharap angin akan mengeringkan air matanya yang kunjung belum mengering.Sofia menatap hamparan sawah yang menguning. Rasanya sangat damai setiap kali ia berkunjung ke desa orang tuanya. Sofia saat ini memilih untuk pergi ke rumah kedua orang tuanya untuk mencari penghiburan dari hatinya yang tengah gundah. Wanita itu berjalan menuju kumpulan para petani yang sedang sibuk di pagi hari ini. Matanya menyipit mencari keberadaan orang tuanya di antara para petani yang sedang membersihkan tanggul. Senyuman merekah dari bibir Sofia tatkala ia menemukan orang tuanya yang sedang bahu membahu membersihkan tanggul dan jerami yang terinfeksi oleh hama."Ibu, Bapak?" Seru Sofia sembari berjalan dengan langkah-langkah kecil."Sofia?" Seru kedua orang tuanya sembari membetulkan caping atau topi petani yang berbentuk kerucut di kepala mereka."Kamu datang sama siapa, Fia?" Tanya ayahnya yang bernama Rahman sembari naik ke atas pematang sawah dengan diikuti oleh istrinya."Fia sendirian, Pak," jawab Sofia masih dengan senyuman yang terulas di wajahnya. Kedua orang tuanya
Sofia berteriak memanggil suaminya. Akan tetapi, Eril seperti tidak mendengar teriakannya. Bahkan Sofia berlari kecil dengan harapan Eril melihatnya dan menurunkan Lily dari atas motor maticnya. Lily pun menoleh ke arah Sofia. Wanita itu tersenyum sinis kemudian menempelkan wajahnya kembali pada bahu Eril. "Astagfirullah!" Sofia menghentikan langkahnya dan mengusap dadanya yang seperti terbakar karena adegan yang tiba-tiba itu."Ke mana mereka?" Sofia menerka-nerka. Sofia pun memilih untuk masuk ke dalam angkot guna pulang ke rumah kontrakan mereka. Sofia langsung mengambil ponselnya yang ada di tas selempang kecilnya."Aku melihat kamu membonceng Lily, Mas," Sofia mengirimkan pesan demikian pada nomor ponsel Eril.Setelah mengirimkan pesan, wanita itu segera memasukan ponselnya kembali ke dalam tas. Ia berusaha menghilangkan segala pikiran buruk mengenai Eril dan Lily. Sofia yakin Eril tidak akan mengkhianati pernikahan mereka.Sofia tidak menyadari jika angkot yang membawanya kini
Rahman dan Sri berkemas memasukan padi yang telah digiling dan buah-buahan ala kadarnya yang mampu mereka bawa untuk pergi ke kota. Ya, orang tua dari Sofia itu akan berangkat ke ibu kota guna menjenguk ayah Rahman yang kini tengah terbaring sakit. "Pisangnya sudah di masukan, Bu?" Rahman bertanya seraya mengelap keringat yang memenuhi dahinya."Sudah, Pak," Sri menjawab seraya mengunci pintu rumahnya. Wanita yang memiliki satu anak itu kemudian menyimpan kunci rumah di dalam sepatu boot milik suaminya, jaga-jaga jika Sofia datang lagi ke rumah mereka. Mereka pun naik angkutan umum ke terminal. Sri menoleh ke arah suaminya yang sedari tadi hanya diam. Pikiran Rahman berkecamuk. Ia takut sang ayah mengusir kedatangannya seperti beberapa tahun silam."Ayo, Pak!" Suara Sri membuyarkan lamunan Rahman. Mereka langsung turun dari angkot dan memberikan ongkos kepada sang supir."Tangan Bapak dingin," Sri menggenggam tangan suaminya kala kenet sudah memasukan barang mereka ke bagasi bus. Ki
Sepuluh hari sudah terlewati, Sofia masih menjalani hari dengan kesendirian. Setelah perdebatan dengan Eril dan keluarganya, Sofia memilih pergi dan enggan meminta maaf pada Lily. Sofia merasa dia tidak salah. Meskipun dia orang tak punya, namun Sofia masih memiliki harga diri. Sofia tidak ingin terus mengalah demi suaminya itu. Sofia sudah cukup lelah dengan sikap asli Eril. Ia pun tak mau mendatangi Eril ke rumahnya. Sofia cukup tahu malu. Sofia merasa bosan. Wanita yang tengah berbadan dua itu bergegas membersihkan ruangan, termasuk kolong tempat tidur yang telah lama tak ia bersihkan. Meskipun Sofia tahu tempat itu selalu bersih, namun Sofia memilih membersihkannya saja hari ini untuk menghilangkan jenuh. Sofia mengambil sapu. di sapunya kolong tempat tidur itu. Beberapa kertas keluar dari kolong ranjang. Sofia merapikan kertas yang sudah disobek itu, ia lalu menyambungkan potongan kertas itu dengan potongan kertas lain. Sekali lagi, hatinya merasa hancur saat melihat kertas yang
Dua minggu cuti pernikahan yang Dafa ambil telah habis. Pengantin baru itu membereskan koper yang akan ia bawa untuk dinas kembali. Suami dari Mega itu merapikan pakaian terbaiknya yang telah disiapkan oleh sang istri. "Mas, aku masih kangen kamu lho!" Mega memeluk Dafa dari belakang dengan erat. "Aku juga, Sayang. Tapi aku harus kerja lagi. Kan biar beliin kamu sebongkah berlian," candanya dengan tawa tergelak. Pria berbadan tegap itu membalikan tubuhnya dan memeluk istrinya yang berprofesi sebagai bidan itu. "Mas, katanya kita mau pindah rumah? Kamu udah janji kan!" Rajuk Mega dengan nada manja. "Sudah aku beli. Tinggal renovasi kanopi aja sesuai yang kamu minta, Sayang. Nanti bakal ada pihak developer perumahan yang ke sini," Dafa menjawil hidung minimalis Mega. "Bener, Mas? Kamu gak bohong kan?" Tatapan mata Mega berbinar. Ia lalu mencium pipi suaminya dengan agresif. Ingin sekali Dafa menjatuhkan Mega ke tempat tidur untuk mengulang percintaan mereka tadi malam,
Eril menatap ponselnya. Bu Laksmi menelfonnya berulang kali. Kali ini Eril ingin menghabiskan waktu dengan Sofia. Hubungannya dan sang istri memang hanya sekedarnya saja belakangan ini. Apalagi pertengkaran kemarin membuat Eril takut jika Sofia benar-benar akan pulang ke rumah kedua orang tuanya. Terpaksa kali ini Eril mengacuhkan panggilan masuk dan puluhan chat dari Bu Laksmi yang meminta Eril datang ke rumahnya. Eril kemudian memilih mode silent agar ponselnya tidak bersuara."Tumben engga kamu angkat telfon ibu, Mas?" Tanya Sofia yang sedang menyapu ruang tengah."Engga. Aku pengen ngabisin waktu sama istri aku," Eril tersenyum manis."Tumben sekali," batin Sofia. Biasanya suaminya itu tidak akan mengacuhkan panggilan dari ibunya.Eril yang sedang duduk di sofa berdiri dan kemudian memeluk Sofia dari belakang."Hari ini kita jalan-jalan yuk? Udah lama engga jalan-jalan," ucapnya dengan suara lembut."Jalan-jalan? Ke mana, Mas?" Tanya Sofia dengan wajah berbinar. Selama menikah, me
Sofia dan Eril keluar dari toko pakaian dengan menenteng beberapa tas belanjaan. Sofia membeli beberapa potong pakaian hamil. Eril pun membeli beberapa potong kemeja untuk ia gunakan ke kantor. "Makasih ya, Mas?" Ucap Sofia dengan penuh rasa syukur. "Sama-sama," Eril tersenyum cerah melihat Sofia yang terlihat gembira hari ini. Sepasang suami istri itu pun kemudian memutuskan untuk pulang ke rumah setelah berjalan-jalan hari ini. "Yang, kita ke ATM bentar ya?" Eril bersuara ketika mereka di atas motor. "Kamu mau ambil uang?" Sofia berbicara sedikit lebih kencang karena suara bising dari kendaraan lain. "Iya, sekalian mau ngasih uang jatah bulanan juga buat kamu," jawab Eril. "Ya sudah, kebetulan uang aku juga udah habis, Mas." Eril menghentikan motornya di sebuah ATM yang ada di dekat super market besar. Pria itu dengan cepat masuk ke dalam bilik ATM dan mengambil uang seperlunya. Sedangkan Sofia ia lebih memilih untuk menunggu di luar. Ia pun terlihat menenteng belanjaan yan
Eril berjalan cepat menuju lift. Eril memang seorang pegawai yang disiplin dan perfeksionis. Ia tidak ingin terlambat barang satu menit pun. Baginya ketepatan hadir di kantor adalah suatu kedisiplinan yang wajib dipatuhi setiap harinya. Di samping kedisiplinan, Eril pun adalah seorang karyawan yang kinerja dan loyalitasnya pada perusahaan tidak diragukan lagi. Cara bersosialisasinya pun sangat mumpuni hingga ia mempunyai banyak teman dan relasi. Hal itulah yang membuat Eril mendapatkan kenaikan pangkat dengan cepat."Er?" Sapa Lily saat ia masuk ke dalam lift yang sama dengan Eril."Lily," Sapa Eril seperlunya. Ia memencet angka lima kemudian menatap pintu lift yang tertutup. Kini hanya ada mereka berdua di dalam lift itu. Lily cukup heran dengan sikap Eril yang tiba-tiba dingin padanya."Ehm, gimana sama istri kamu?" Lily memecahkan keheningan di antara mereka."Sofia? Dia baik-baik saja," jawab Eril dengan pendek. Membuat Lily merasa jadi serba salah"Maksudku apa dia masih curiga d