Sedangkan di kamar lainya, kini dua orang itu masih saja dengan posisi yang begitu dekat.Hingga akhirnya Asih pun tersadar dan dia pun melepas tangan Barra yang melingkar di pinggangnya."Maaf," kata Barra setelah menyadari apa yang barusan dia lakukan.Asih menarik napas sejenak, dia tampak tidak ingin membahas sama sekali.Bahkan anehnya lagi Asih merasa begitu nyaman saat berdekatan dengan Barra.Mungkin kedekatan mereka selama beberapa waktu kebelakang ini cukup membuat Asih terbiasa."Tolong keluar dari kamar ku, aku ingin berganti pakaian," pinta Asih.Barra pun mengangguk lemah, tetapi sebenarnya tidak ingin menuruti keinginan Asih untuk keluar dari kamar.Akan tetapi apa yang bisa dia lakukan, melihat wajah Asih yang tampak begitu murung membuatnya tidak memiliki keberanian untuk membantah sama sekali.Barra berpikir Asih sudah mengingat dengan pasti apa yang terjadi pada mereka malam tadi, sehingga kini Asih sangat kecewa pada dirinya.Sungguh Barra sangat merasa bersalah.S
Hari sudah semakin sore, kini waktunya Kiara untuk pulang ke rumah dan beristirahat.Hari ini begitu banyak kegiatan, sehingga merasa begitu kelelahan sekali."Barra," Kiara pun menghampiri Barra yang sedang berbicara dengan seorang satpam.Satpam itu yang sedang memberikan pakan beberapa ekor burung yang tampak sangat indah sekali.Namun, kini Barra pun menoleh pada Kiara yang memanggilnya.Dan kini Kiara sudah berdiri di hadapan Barra, dia memakai tas persis seperti anak-anak."Aku minta tolong dong," kata Kiara.Kedua tangannya memegang tali tasnya, sambil menatap wajah Barra dengan penuh harap, "tolong anterin aku pulang, soalnya udah sore banget. Ibu, aku juga sedang sakit. Jadi, aku harus pulang ke rumah. Dan, untuk kali ini tidak bisa menginap di sini," lanjut Kiara lagi."Kebetulan, saya juga mau ke kantor. Rumah mu di mana? Biar saya antar," kata Chandra yang menimpali pembicaraan antara Kiara dan juga Barra.Sehingga kini keduanya pun menoleh pada pria tersebut.Membuat Kiar
"Kenapa bisa aku begini?" Asih benar-benar putus asa, tidak tahu lagi harus bagaimana dengan keadaannya saat ini.Semuanya mendadak hancur berantakan, sedangkan keberadaan Sandi pun entah dimana.Baiklah jika memang harus merelakan, dan mungkin memang jalan hidupmu tidak bersama dengan Barra.Kenapa harus terluka, bukankah sebentar lagi tujuannya akan segera terwujud.Ya, itu benar.Asih pun mengambil ponselnya, kemudian menghubungi Sandi.Namun, seribu kali sayang. Sebab, pria itu belum juga bisa di hubungi.Padahal Asih sangat membutuhkan tanggung jawab dari pria itu.Pria yang dia anggap sebagai seorang yang telah merenggut kesuciannya dengan begitu saja.***Pagi harinya Asih pun bergegas menuju meja makan, seperti biasanya mereka akan sarapan bersama.Dia harus tampak baik-baik saja di hadapan semua orang, meskipun di tengah hati yang begitu gundah gulana memikirkan nasib dirinya.Karena keadaannya yang sebenarnya sangat menyakitkannya."Asih, kamu ke toko hari ini?" tanya Nia y
Asih pun membuka matanya perlahan, tersadar sudah berada di rumah sakit.Sejenak ingatannya kembali berputar saat kecelakaan terjadi.Perlahan dia pun mendudukkan tubuhnya yang terasa masih lemah itu, dia juga melihat seorang wanita paruh baya berdiri di hadapannya.Kedua tangan wanita itu melipat di dadanya, seakan dia akan meluapkan kemarahan.Tapi apa kesalahan Asih? Atau mungkin itu hanya sekedar pikiran Asih saja, sedangkan dia juga bingung mengapa ada Fera di ruangan ini bersama dengan dirinya.Tapi, tunggu dulu. Bukankah bagus jika ada Fera di sini?Artinya dia bisa menanyakan keberadaan Sandi yang sampai detik ini belum juga bisa di hubungi."Akhirnya kamu sadar juga! Ngapain kamu menabrakan diri ke mobil saya? Sengaja? Mau cari simpati? Cari simpati, atau cari duit?" tanya Fera dengan geram.Sejak dia tahu penyebab dari anaknya koma adalah Asih, Fera terus saja berusaha untuk mencari Asih.Kemudian siapa sangka ternyata mereka bertemu dengan tidak di sengaja, bahkan Fera san
Lama Barra duduk di kursi yang tersedia di depan kamar tempat Asih di rawat.Pikirannya benar-benar jauh melayang karena satu hal yang membuatnya bingung.Itu karena Asih masih saja mengharapkan Sandi, bahkan sampai detik ini pun tak ada keinginannya untuk menjauh dari pria itu.Entah hal apa yang terjadi sehingga perasa Asih masih sangat besar.Hingga membuat Barra hanya bisa diam dalam keadaan yang sangat menyakitkan ini.Apakah Asih sudah terlalu kecewa padanya setelah kejadian itu?Mungkin saja demikian, sehingga wanita itu ingin lebih cepat bercerai dengan dirinya.Drett!Ponsel Barra pun berdering, dia melihat nama adiknya di sana.Dengan segera Barra pun bergegas untuk menjawabnya."Halo," Barra pun meletakkan ponselnya pada daun telinganya dengan kepalanya yang menunduk.Pikirannya kini menjadi campur aduk karena keadaan ini."Kak, Tante Fera di rumah. Sama, Ayah juga," kata Ranti dari sebrang sana."Jaga, Bunda sampai nanti, Kakak sampai di rumah."Barra langsung memutuskan u
**Beberapa Minggu kemudian....."Kiara, saya bingung dengan Asih, kenapa ya, akhir-akhir ini dia nggak pulang. Dia lebih memilih tinggal di kosan, Nilam. Kira-kira kamu tahu kenapa dengan dia?" Sudah beberapa Minggu berlalu, Asih hanya pulang ke rumah untuk sebentar saja, setelah itu lagi-lagi dia pergi.Membuat Nia semakin kebingungan saja akan sikap Asih saat ini.Sedangkan di toko Asih pun hanya diam dalam lamunannya yang seakan begitu dalam.Bahkan sering kali Nia meminta bantuan tapi Asih tak pernah benar melakukanya.Benar-benar membuat Nia bertanya-tanya apakah ada beban yang tengah dirasakan oleh Asih.Berulang kali Nia pun mencoba untuk bertanya, namun sayang.Asih terus mengelak dan mengatakan dia hanya sedang merindukan Ibunya.Nia juga menyarankan agar Asih pulang ke kampung halaman untuk beberapa hari agar rindu terhadap ibunya bisa terobati.Anehnya Asih menolak dengan sejuta alasan lainya yang justru semakin membuat Nia menjadi sangat bingung dibuatnya."Saya nggak t
Asih pun segera menemui Sandi, semuanya harus menjadi jelas tanpa ada yang membuatnya menjadi hampir tidak bisa bernapas seperti ini.Masalah yang dia lalui sudah terlalu berlarut-larut karena kesalahan satu malam itu sungguh sangat luar biasa dampaknya bagi hidupnya sekarang, nanti dan kedepanya.Akhirnya setelah sampai di tempat tujuan Asih pun merasa lega, dia mulai mencari ruangan yang kini tengah di tempati oleh Sandi.Tak sia-sia, ternyata Barra begitu membantunya. Andai saja dari awal Barra mengatakan ini padanya, sudah pasti dia akan lebih cepat bertemu dengan Sandi.Tapi, sudahlah mungkin ini memang jalannya. Yang terpenting adalah dia sudah bertemu dengan seorang yang dia cari-cari.Asih pun perlahan mendorong pintu, dan ternyata Sandi sedang sendirian di sana.Pria itu baru saja bangun dari kama beberapa hari ini.Tapi, Sandi malah membuang tatapan matanya ke arah lain. Sepertinya dia tak ingin bertemu dengan Asih."Sandi, kamu baik-baik saja?" tanya Asih."Memangnya kamu t
Mulut itu biasanya berbicara kata-kata yang sangat manis kini malah terasa begitu tajam, hingga menusuk dada yang sudah sesak ini.Berhari-hari lamanya Asih berusaha untuk menemukan Sandi, tetapi saat sudah bertemu malah sia-sia.Bahkan Sandi mengatakan dengan jelas tak pernah melakukan itu padanya.Sedangkan saat tersadar dia sudah berada di kamar hotel, tubuhnya pun sudah sangat memprihatinkan."Barra."Asih mengingat satu nama yang di sebutkan oleh Sandi.Akan tetapi rasanya tidak mungkin Barra melakukan itu padanya.Sebab jika Barra mau ada banyak kesempatan untuk melakukannya jauh-jauh hari.Tapi tidak, Barra tidak melakukan itu sama sekali.Asih pun tidak ingin bertanya pada Barra, takut nantinya Barra tahu jika dirinya sudah tidur entah dengan siapa.Bahkan tengah mengandung dan entah siapa pula Ayah dari janinnya.Ini sangat tidak masuk akal.Asih mengapa hidupmu menjadi begitu kacau?Malang tak dapat di tolak, untuk tak dapat di raih.Itulah yang kini mungkin sedang dirasakan
Satu Pesan dari Ibu[Kau tidak pulang? Jika tidak, Adinda akan menggantikan posisimu sebagai Presiden Direktur!] Membaca itu, Dimas segera mencengkram ponsel di tangannya.Sesaat kemudian ponsel itupun melayang dan berakhir hancur di lantai.Jika sebelumnya Laras mengancam akan menyumbangkan semua kekayaanya pada panti asuhan, maka kini Laras malah lebih gila lagi! Ibunya itu sampai mengatakan Adinda yang akan menggantikan posisinya.Ini gila!Dimas tidak habis pikir kenapa bisa Laras melakukan ini padanya.Dan jika Adinda yang menggantikan posisinya, itu akan jauh lebih membuatnya terhina di hadapan wanita jalang itu.Jelas tidak bisa dibiarkan!"Pak Presdir, Ibu Laras ingin berbicara," kata Gilang sambil memberikan ponsel di tangannya pada Dimas.Tentunya karena ponsel Dimas tak lagi bisa terhubung sebab sudah hancur berantakan di lantai."Katakan padanya saya akan pulang!" Dimas tak menerima ponsel yang diarahkan padanya.Dia menyambar jasnya dan langsung pergi.Jika bukan karen
Setiap kisah dan waktu yang sudah terlewati tak akan bisa diulang kembali.Namun, semua kisah itu seakan lekat dalam ingatan tanpa bisa untuk terlupakan oleh ingatan.Aku Nia putri, menjalin kisah dengan takdir yang kujalani.Harapan ku hanya satu, bisa mendapatkan suatu harapan untuk bisa membuat ibu ku terus bersama ku setelah aku kehilangan ayah ku.Namun, siapa sangka bonus dari semua perjuangkan ku justru hal yang tak terduga.Justru kebahagiaan itu menghampiri ku.Dion seorang pria duda dengan satu anak dan usianya jauh lebih tua dari ku.Kami menjalin hubungan yang rumit karena sebuah alasan yang kuat namun penuh dengan air mata.Tujuan saling menguntungkan malah berakhir dengan saling mendapatkan kenyamanan.Tapi aku katakan aku bahagia.Awal kisah yang ku alami malah membawaku padanya.Meskipun banyak yang tidak aku inginkan dalam kisah ini.Tapi tetap saja aku tidak bisa bisa menolak takdir ku yang rumit itu.Terlepas dari itu semua aku adalah wanita penuh dengan kesalahan y
Di tempat lainnya ada juga yang sedang berbahagia.Raya kembali melahirkan seorang anak laki-laki Dan kini anak itu diberi nama 'Raza' perpaduan antara nama Raya dan Reza.Itu adalah saran nama dari Dion.Reza dan Raya pun setuju saja."Itu nama dari, Opa Dion," kata Reza sambil tersenyum pada bayinya."Benar, dan ini adalah, Oma," Raya pun menunjuk Nia.Nia pun tersenyum karena merasa lucu, tapi bagaimana pun juga itu memang benar dan tidak masalah juga menjadi Oma diusia yang masih muda ini."Aduh, cucu Oma," Nia pun menggendong bayi lucu itu.Dia melihat wajah anak itu yang sangat mirip dengan Reza.Bahkan sedikit mirip dengan Zaki."Nia, berikan pada, Opanya," Dion pun menunjuk ke arah Chandra.Chandra pun tersenyum karena kini sudah memiliki seorang cucu."Bagaimana kalau berikan pada, Oma Kiara," celetuk Nia.Kiara yang dari tadi hanya diam pun seketika terkejut mendengar ucapan Nia."Ibu Nia, saya masih ting-ting. Saya masih mahasiswa, saya masih kecil, saya dipanggil, Kak Kia
Beberapa bulan kemudian...Niko dan Ranti menyambut bahagia saat kelahiran putra mereka yang diberi nama 'Fatih Niko Adiguna'Sesuai dengan keinginan Niko, mereka hanya memiliki satu orang anak saja.Niko tidak ingin serakah, dia sudah merasa cukup dengan kehadiran seorang anak laki-laki untuk menjadi pewarisnya.Terlebih lagi tidak ingin melihat Ranti harus berada dalam sebuah keadaan yang menegangkan.Dia tak mau mengambil resiko.Meskipun keadaan rahim Ranti masih memungkinkan untuk mengandung lagi.Dia sangat mencintai istrinya dalam keadaan apapun.Menurutnya memiliki anak adalah sebuah hadiah.Tapi memiliki Ranti adalah anugerah.Jadi, dia sudah sangat bahagia dengan satu putra saja.Selebihnya dia menganggap anak Barra juga anaknya.Apa lagi Barra memiliki 3 orang anak, membuat Niko merasa anaknya sudah memiliki Kakak walaupun hanya sepupu saja."Wajahnya lebih mirip, Mama," kata Ranti.Dia pun melihat wajah Mama mertuanya dan lagi-lagi melihat wajah putranya.Putra kecil yang
"Dokter Niko, lihat ini," Adam menunjuk layar monitor.Saat itu Niko pun melihat ke arah yang ditunjuk oleh Dokter Adam.Tapi Niko yang sedang tidak baik-baik saja tidak mengerti."Ada apa?" tanya Niko.Bodoh?Ya, Niko akan sangat bodoh jika sudah menyangkut tentang Ranti.Begitu juga dengan saat ini.Bahkan dia sendiri tidak dapat berpikir jernih, padahal Dokter Adam sudah menunjukkan dengan jelas.Namun, Niko masih bertanya.Dia butuh jawaban, sekaligus penjelasan yang pasti.Jangan memintanya untuk menyimpulkan sendiri, dia tidak bisa.Otaknya sedang sulit untuk bisa berpikir jernih."Tidak ada masalah dengan rahim istri anda, janinnya juga sudah berada di dalam rahim," terang Dokter Adam.Niko pun terkejut mendengarnya dia pun segera mendekat dan melihat dengan jelas."Ini keajaiban, Dokter Niko. Lihat ini," Dokter Adam pun kembali memperlihatkan bagian lainya, rasanya pemeriksaan sebelumnya dan saat ini jauh lebih baik."Apakah ini mungkin?" tanya Niko yang belum percaya."Iya, i
"Aku pun akan mati, jika kamu mati," tambah Niko lagi.Ranti terdiam mendengar ucapan suaminya itu."Tapi aku akan tetap mempertahankan anak ku," kata Ranti dengan penuh keyakinan.Siapa pun ibu tak akan tega membunuh anaknya, begitu juga dengan Ranti."Vina, panggil, Dokter Winda!" pinta Niko.Untuk kaki ini dia tak bisa lagi untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut.Dia tidak memiliki keberanian untuk mengetahui keadaan Ranti saat ini.Dia butuh bantuan dokter lain untuk bisa membantunya, sedangkan Dokter Winda adalah dokter senior yang sudah banyak menangani pasien dan Niko sudah tak tahu dengan kehebatannya.Meskipun perasannya begitu was-was akan keadaan Ranti saat ini.Tapi jelas terlihat bahwa Ranti akan dengan kerasnya pendiriannya yang tak akan menggugurkan kandungannya."Selamat siang, anda memanggil saya, Dok?" Dokter Winda pun telah tiba seperti yang di sampaikan oleh Vina untuk segera menemui Niko.Niko pun mulai tersadar dari pikirannya yang kacau, sambil melihat wajah
"Hamil?" Niko terdiam saat menyaksikan sendiri ada janin di rahim istrinya.Dia pun mengingat kembali saat itu Ranti menggodanya dan hal itu pun terjadi sebelum dia berpikir untuk membuat sel telurnya tidak bekerja.Bahkan saat itu tidak hanya satu kaki, namun berkali-kali.Lantas bagaimana ini?"Kamu ngomong apa tadi?" tanya Ranti yang mendengar ucapan Niko.Niko pun kini melihat Ranti dengan pikirannya yang kacau."Niko, aku hamil?" tanya Ranti memastikan, "berarti testpack yang aku gunakan tadi tidak keliru," tambah Ranti.Ranti terus saja tersenyum bahagia membayangkan sebentar lagi anak menjadi seorang ibu.Dia langsung saja memeluk Niko dengan penuh kebahagiaan.Tak tahu harus bagaimana untuk meluapkannya tapi Ranti benar-benar tidak akan pernah bisa melupakan saat ini."Tuh, kan, nggak perlu adopsi anak. Buktinya sekarang aku hamil, artinya kita akan jadi orang tua," Ranti semakin mempererat pelukannya.Begitu larut dalam kebahagiaan yang tak bisa teralihkan sama sekali.Kemud
Beberapa hari kemudian.....Ranti menatap alat uji kehamilan di tangannya dengan malas.Entah sudah berapa kali dia menggunakannya demi mengetahui apakah ada janin yang tumbuh di rahimnya atau tidak.Mungkin saja ini sudah testpack yang ke 50.Dan hasilnya masih saja garis satu, sungguh membuatnya merasa sedih.Dia pun akhirnya segera menuju ranjang, hari ini dia sangat malas melakukan hal apapun.Sedangkan Niko sedang berada di rumah sakit.Dan seharusnya Ranti selalu mengantar makan siang untuk suaminya itu, sekaligus akan makan bersama-sama.Tapi dia pun malah tertidur pulas dan lupa untuk mengantarkan makanan siang untuk Niko.Hingga ponselnya pun berdering, tidurnya pun terusik dan dengan rasa malas menjawab panggilan itu."Halo," Ranti tak melihat terlebih dahulu nama siapa yang ada di layar ponselnya.Dia langsung saja menjawabnya."Sayang, kamu sudah di mana?" tanya Niko.Ranti pun baru tersadar jika yang menghubungi dirinya adalah Niko.Kemudian dia melihat jam dinding, dia p
Keesokan harinya."Kamu nggak ke kantor?" Ranti melihat Niko tampak santai di atas ranjang sambil memeluk dirinya.Ini tidak biasanya terjadi, karena kebiasaan Niko jika pagi begini pergi bekerja."Aku mau di rumah aja sama kamu," jawab Niko."Kenapa begitu?""Libur untuk satu hari rasanya tidak salah," kata Niko lagi.Ranti pun mengangguk mengerti.Mungkin Niko juga kelelahan dan butuh waktu untuk beristirahat.Mengingat selama ini Niko selalu saja disibukkan dengan pekerjaan yang tidak ada habisnya."Ranti, bagaikan kalau kita mengadopsi anak."Deg!Jantung Ranti rasanya keluar dari dadanya.Dia begitu shock mendengar pertanyaan Niko barusan.Tunggu dulu.Itu pertanyaan atau pernyataan?Ranti tak pernah berpikir jika Niko akan berkata demikian.Apakah Niko sudah sangat ingin memiliki anak sehingga dia mengatakan demikian."Tapi aku juga bisa hamil, kenapa harus mengadopsi anak?" tanya Ranti yang bingung.Niko pun menutup matanya dia pun segera bangkit dari atas ranjangnya berjalan