"Atau jangan-jangan --" Asih pun membuka mulutnya lebar-lebar, kemudian menutupnya dengan kedua tangannya.Dia melihat Barra dengan penuh intimidasi, pikirannya benar-benar tidak bisa terkondisikan.Sedangkan Barra hanya diam saja, membiarkan untuk sejenak saja Asih dengan pikirannya."Kamu tidak berpikir untuk tidur denganku, kan?" tanya Asih.Asih pun menyilangkan kedua tangannya di dada, dia berusaha untuk melindungi dirinya sendiri.Tapi pertanyaan Asih malah membuat Barra mengangkat sebelah alis matanya, rasanya itu adalah pemikiran yang sangat konyol."Ingat, kita memang menikah tapi kita tidak seperti pasangan pada umumnya, jadi jangan pernah berharap apapun dari pernikahan ini!" papar Asih.Menggelikan sekali menyebutkan kata --Menikah-- apa lagi dengan Barra."Apa kau sudah selesai berbicara?" tanya Barra yang akhirnya bersuara juga, dirinya sendiri sudah muak mendengar tuduhan yang di lontarkan kepadanya.Sedangkan Asih menatap Barra dari ujung rambut sampai ujung kaki denga
Huuuufff!Asih pun kini bernapas lega karena Nia sudah benar-benar pergi.Kemudian dia pun melihat Barra yang berada di sebelahnya."Barra, aku nggak mau ada ikatan pernikahan sama kamu. Berhubung kita cuman --"Asih pun berhenti berbicara saat ponsel Barra berdering."Ya, Bunda," jawab Barra tanpa perduli pada Asih yang sedang berada di sana..Membuat Asih pun menggerutu kesal sambil melihat wajah Barra."Bunda, ingin bicara," Barra pun memberikan ponselnya pada Asih.Asih terdiam sejenak sambil melihat ponsel yang di arahkan kepadanya."Ambil!"Dengan perlahan Asih pun menerima ponsel tersebut dan meletakkan pada daun telinganya."Halo," jawab Asih dengan suara yang sedikit pelan dan ragu."Apa kamu baik-baik saja?" tanya Tias dari seberang sana.Dia tampak begitu bersemangat saat berbicara dengan Asih.Bahkan belum juga Asih menjawab pertanyaan tersebut, kembali lagi mendapatkan pertanyaan dari Tias."Bunda, harap kalian tidak bertengkar. Dan, Bunda minta kamu untuk melengkapi berk
"Nasib, malang apa ini?"Asih pun segera mengunci pintu kamar, dia tidak mau jika saja Barra kembali masuk ke dalam kamar kemudian benar-benar melakukan apa yang dikatakannya barusan.Sedetik kemudian tubuh Asih pun terasa lebih berat, lututnya bergetar dan terasa lemas.Seketika itu langsung terduduk di lantai, rasanya untuk menopang tubuhnya pun sudah tidak mampu.Tidak mungkin ini terjadi.Tapi, memang begitu adanya.Lantas bagaimana lagi?Asih pun kembali menatap layar ponselnya, kemudian tanpa sengaja membuka akun sosial media.Tampak wajah Sandi di sana, ada banyak komentar yang memenuhi.Asih pun ikut menuliskan sebuah komentar dengan maksud melampiaskan kekesalannya.--Sok keren!--Dalam beberapa detik kemudian Asih pun mendapatkan pesan dari Sandi.Tampaknya pria itu memilih untuk membalas ucapan Asih secara pribadi, dari pada harus saling berbalas di halaman komentar media sosial milik Sandi sendiri.[Tidak masalah, asalkan tidak suka selingkuh!] Sandi."Dia bilang, aku seli
"Bu, di luar ada Nona Kiara, katanya dia mau ketemu sama Ibu," kata seorang Art yang memberitahu kehadiran seseorang."Kiara, guru les, Dila?""Iya, Bu.""Suruh saja langsung ke sini.""Baik, Bu.""Mami, kok belajarnya pagi-pagi. Lagian, sekarang masih libur sekolah!" protes Dila."Sayang, kamu harus belajar. Supaya besarnya jadi orang pinter," jawab Nia."Dila, nggak mau jadi orang pinter!" "Kenapa?" tanya Nia yang menatap Dila dengan serius."Kan, nanti banyak yang datang." jawab Dila sambil menerima suapan demi suapan dari Asih."Datang, gimana?" Nia malah makin bingung dibuat oleh anaknya tersebut.Entah apa yang dimaksud oleh anak itu, sehingga berbicara dengan demikian."Kan, orang pintar itu banyak kedatangan orang-orang jahat. Orang pintar, juga bisa nyantet, katanya temen, Dila di sekolah, Mami," jelas Dila dengan polosnya."Ya, ampun," Nia malah memijat kepalanya mendengar apa yang dikatakan oleh Dila.Rasanya anak itu memang sedikit aneh, tapi ada juga lucunya."Ahahahhaha
Asih kelihatan begitu bersemangat untuk bertemu dengan Sandi, dengan cepat dia memarkirkan sepeda motornya dan bergegas masuk ke dalam toko kue."Hay, Mbak Asih," sapa seorang karyawati bernama Nilam."Hay, Nilam. Sandi, udah dari sini, belum?" tanya Asih yang begitu bersemangat."Belum, Mbak. Lagian tokonya juga baru di buka," jawab Nilam."Baiklah, semangat bekerja, ya," Asih pun segera memeriksa apakah sudah banyak kue yang tersedia, berikut juga dengan bahan-bahan untuk membuat kue di bagian belakang.Bibirnya terus saja tersenyum, dia yang sangat bahagia karena sudah membayangkan akan bertemu dengan pria idamannya."Mbak Asih, ada, Mbak Nia di depan," kata Nilam yang menyusulnya ke dapur."Nia? Serius? Perasaan tadi dia di rumah," kata Asih yang bingung.Tapi dia pun segera keluar dan melihat Nia di sana."Aku kira kamu nggak ke toko, kalau iya kenapa nggak bilang tadi?" "Aku lupa bilang, kalau di kantor, Mas Dion ada acara. Jadi, kuenya harus diantar ke sana sekarang juga. Gima
"Mbak Asih, tadi Nilam nggak salah dengarkan?" tanya Nilam yang kini berada di belakang tubuh Asih.Tubuh Asih pun gemetaran seperti ada yang memberikan sebuah goncangan yang teramat sangat dahsyatnya.Perlahan Asih pun memutar tubuhnya, ternyata Nilam begitu menunggunya untuk menjawab."Kamu bilang apa barusan?" tanya Asih dengan begitu hati-hati."Dengar, kalau, Mas Barra bilang dia itu suami, Mbak --" belum selesai Nilam mengatakan sesuatu yang dia dengar namun mulutnya sudah di bekap dengan cepat.Itu adalah Asih yang melakukannya, karena bersamaan dengan itu Nia pun muncul.Kalau sampai Nilam mengatakan itu, sudah pasti Nia mendengar dengan jelas.Sedangkan dirinya masih berharap bisa bercerai dengan Barra secepat mungkin."Kalian kenapa?" tanya Nia yang bingung."Nggak, papa. Nilam, sedang tidak enak badan," jawab Asih.Nilam pun menggelengkan kepalanya sambil berusaha untuk melepaskan diri, tapi Asih terus menutup mulutnya."Asih, kamu kenapa menutup mulut, Nilam?" Nia malah ka
"Kok, bingung gitu?""Nggak papa, ini cincin mainan aja kok."Sandi pun terdiam sambil menatap cincin tersebut dengan serius.Hingga akhirnya dia pun kembali bertanya pada Asih."Tapi, cincin ini bagus sekali.""Ya, justru itu. Makanya aku pakai, aku suka. Tapi, ini palsu," jelas Asih lagi.Dia berusaha untuk tetap tenang, karena menjawab pertanyaan tersebut sungguh membuatnya merasa tidak nyaman.Di tambah lagi kemungkinan-kemungkinan yang akan di ketahui oleh Sandi.Tidak, Sandi tak boleh tahu jika dirinya sudah menikah dengan Barra.Sial sekali, hanya menyebut nama itu saja sudah membuat mood Asih menjadi rusak seketika."Asih?""Iya."Asih pun menatap pramusaji yang sudah membawa makanan, dan dia baru menyadarinya."Ayo makan, kamu itu, kenapa jadi seperti orang bingung.""Hehe," Asih pun tersenyum dengan terpaksa, demi membuat Sandi tak lagi banyak bertanya.Setelah selesai makan keduanya pun kembali masuk ke dalam mobil.Asih akan diantar pulang oleh Sandi, dan keduanya pun samp
Benar saja saat ini Barra sedang berada di dapur."Barra," dengan cepat Asih pun menghampirinya.Membuat Barra pun terdiam sambil melihat wanita yang memanggilnya.Sedangkan Kiara hanya berdiri di jarak yang cukup jauh, dia sepertinya tidak memiliki keberanian untuk berbicara langsung dengan Barra."Kiara, sini deh. Aku kenalin, sama dia," Asih pun menggerakkan tangannya, kemudian Kiara pun mulai berjalan dengan perlahan.Rasanya sangat tidak enak, karena jantungnya malah berdegup kencang."Barra, kenalan sama, Kiara," Asih pun meninju lengan bagian atas Barra.Karena kesal pada pria itu yang hanya diam saja tanpa melakukan apapun.Sedangkan Barra malah melihat lengannya, tanpa berbicara sama sekali."Barra!" seru Asih."Hay," sapa Kiara dengan ramahnya.Barra hanya diam saja tanpa menjawab sama sekali.Bukannya Kiara yang kesal, tetapi justru Asih yang geram dengan pria itu."Barra, senyumnya mana? Kamu itu bisa senyum nggak, sih!" gerutu Asih.Kemudian dia pun menatap Kiara dengan p
Satu Pesan dari Ibu[Kau tidak pulang? Jika tidak, Adinda akan menggantikan posisimu sebagai Presiden Direktur!] Membaca itu, Dimas segera mencengkram ponsel di tangannya.Sesaat kemudian ponsel itupun melayang dan berakhir hancur di lantai.Jika sebelumnya Laras mengancam akan menyumbangkan semua kekayaanya pada panti asuhan, maka kini Laras malah lebih gila lagi! Ibunya itu sampai mengatakan Adinda yang akan menggantikan posisinya.Ini gila!Dimas tidak habis pikir kenapa bisa Laras melakukan ini padanya.Dan jika Adinda yang menggantikan posisinya, itu akan jauh lebih membuatnya terhina di hadapan wanita jalang itu.Jelas tidak bisa dibiarkan!"Pak Presdir, Ibu Laras ingin berbicara," kata Gilang sambil memberikan ponsel di tangannya pada Dimas.Tentunya karena ponsel Dimas tak lagi bisa terhubung sebab sudah hancur berantakan di lantai."Katakan padanya saya akan pulang!" Dimas tak menerima ponsel yang diarahkan padanya.Dia menyambar jasnya dan langsung pergi.Jika bukan karen
Setiap kisah dan waktu yang sudah terlewati tak akan bisa diulang kembali.Namun, semua kisah itu seakan lekat dalam ingatan tanpa bisa untuk terlupakan oleh ingatan.Aku Nia putri, menjalin kisah dengan takdir yang kujalani.Harapan ku hanya satu, bisa mendapatkan suatu harapan untuk bisa membuat ibu ku terus bersama ku setelah aku kehilangan ayah ku.Namun, siapa sangka bonus dari semua perjuangkan ku justru hal yang tak terduga.Justru kebahagiaan itu menghampiri ku.Dion seorang pria duda dengan satu anak dan usianya jauh lebih tua dari ku.Kami menjalin hubungan yang rumit karena sebuah alasan yang kuat namun penuh dengan air mata.Tujuan saling menguntungkan malah berakhir dengan saling mendapatkan kenyamanan.Tapi aku katakan aku bahagia.Awal kisah yang ku alami malah membawaku padanya.Meskipun banyak yang tidak aku inginkan dalam kisah ini.Tapi tetap saja aku tidak bisa bisa menolak takdir ku yang rumit itu.Terlepas dari itu semua aku adalah wanita penuh dengan kesalahan y
Di tempat lainnya ada juga yang sedang berbahagia.Raya kembali melahirkan seorang anak laki-laki Dan kini anak itu diberi nama 'Raza' perpaduan antara nama Raya dan Reza.Itu adalah saran nama dari Dion.Reza dan Raya pun setuju saja."Itu nama dari, Opa Dion," kata Reza sambil tersenyum pada bayinya."Benar, dan ini adalah, Oma," Raya pun menunjuk Nia.Nia pun tersenyum karena merasa lucu, tapi bagaimana pun juga itu memang benar dan tidak masalah juga menjadi Oma diusia yang masih muda ini."Aduh, cucu Oma," Nia pun menggendong bayi lucu itu.Dia melihat wajah anak itu yang sangat mirip dengan Reza.Bahkan sedikit mirip dengan Zaki."Nia, berikan pada, Opanya," Dion pun menunjuk ke arah Chandra.Chandra pun tersenyum karena kini sudah memiliki seorang cucu."Bagaimana kalau berikan pada, Oma Kiara," celetuk Nia.Kiara yang dari tadi hanya diam pun seketika terkejut mendengar ucapan Nia."Ibu Nia, saya masih ting-ting. Saya masih mahasiswa, saya masih kecil, saya dipanggil, Kak Kia
Beberapa bulan kemudian...Niko dan Ranti menyambut bahagia saat kelahiran putra mereka yang diberi nama 'Fatih Niko Adiguna'Sesuai dengan keinginan Niko, mereka hanya memiliki satu orang anak saja.Niko tidak ingin serakah, dia sudah merasa cukup dengan kehadiran seorang anak laki-laki untuk menjadi pewarisnya.Terlebih lagi tidak ingin melihat Ranti harus berada dalam sebuah keadaan yang menegangkan.Dia tak mau mengambil resiko.Meskipun keadaan rahim Ranti masih memungkinkan untuk mengandung lagi.Dia sangat mencintai istrinya dalam keadaan apapun.Menurutnya memiliki anak adalah sebuah hadiah.Tapi memiliki Ranti adalah anugerah.Jadi, dia sudah sangat bahagia dengan satu putra saja.Selebihnya dia menganggap anak Barra juga anaknya.Apa lagi Barra memiliki 3 orang anak, membuat Niko merasa anaknya sudah memiliki Kakak walaupun hanya sepupu saja."Wajahnya lebih mirip, Mama," kata Ranti.Dia pun melihat wajah Mama mertuanya dan lagi-lagi melihat wajah putranya.Putra kecil yang
"Dokter Niko, lihat ini," Adam menunjuk layar monitor.Saat itu Niko pun melihat ke arah yang ditunjuk oleh Dokter Adam.Tapi Niko yang sedang tidak baik-baik saja tidak mengerti."Ada apa?" tanya Niko.Bodoh?Ya, Niko akan sangat bodoh jika sudah menyangkut tentang Ranti.Begitu juga dengan saat ini.Bahkan dia sendiri tidak dapat berpikir jernih, padahal Dokter Adam sudah menunjukkan dengan jelas.Namun, Niko masih bertanya.Dia butuh jawaban, sekaligus penjelasan yang pasti.Jangan memintanya untuk menyimpulkan sendiri, dia tidak bisa.Otaknya sedang sulit untuk bisa berpikir jernih."Tidak ada masalah dengan rahim istri anda, janinnya juga sudah berada di dalam rahim," terang Dokter Adam.Niko pun terkejut mendengarnya dia pun segera mendekat dan melihat dengan jelas."Ini keajaiban, Dokter Niko. Lihat ini," Dokter Adam pun kembali memperlihatkan bagian lainya, rasanya pemeriksaan sebelumnya dan saat ini jauh lebih baik."Apakah ini mungkin?" tanya Niko yang belum percaya."Iya, i
"Aku pun akan mati, jika kamu mati," tambah Niko lagi.Ranti terdiam mendengar ucapan suaminya itu."Tapi aku akan tetap mempertahankan anak ku," kata Ranti dengan penuh keyakinan.Siapa pun ibu tak akan tega membunuh anaknya, begitu juga dengan Ranti."Vina, panggil, Dokter Winda!" pinta Niko.Untuk kaki ini dia tak bisa lagi untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut.Dia tidak memiliki keberanian untuk mengetahui keadaan Ranti saat ini.Dia butuh bantuan dokter lain untuk bisa membantunya, sedangkan Dokter Winda adalah dokter senior yang sudah banyak menangani pasien dan Niko sudah tak tahu dengan kehebatannya.Meskipun perasannya begitu was-was akan keadaan Ranti saat ini.Tapi jelas terlihat bahwa Ranti akan dengan kerasnya pendiriannya yang tak akan menggugurkan kandungannya."Selamat siang, anda memanggil saya, Dok?" Dokter Winda pun telah tiba seperti yang di sampaikan oleh Vina untuk segera menemui Niko.Niko pun mulai tersadar dari pikirannya yang kacau, sambil melihat wajah
"Hamil?" Niko terdiam saat menyaksikan sendiri ada janin di rahim istrinya.Dia pun mengingat kembali saat itu Ranti menggodanya dan hal itu pun terjadi sebelum dia berpikir untuk membuat sel telurnya tidak bekerja.Bahkan saat itu tidak hanya satu kaki, namun berkali-kali.Lantas bagaimana ini?"Kamu ngomong apa tadi?" tanya Ranti yang mendengar ucapan Niko.Niko pun kini melihat Ranti dengan pikirannya yang kacau."Niko, aku hamil?" tanya Ranti memastikan, "berarti testpack yang aku gunakan tadi tidak keliru," tambah Ranti.Ranti terus saja tersenyum bahagia membayangkan sebentar lagi anak menjadi seorang ibu.Dia langsung saja memeluk Niko dengan penuh kebahagiaan.Tak tahu harus bagaimana untuk meluapkannya tapi Ranti benar-benar tidak akan pernah bisa melupakan saat ini."Tuh, kan, nggak perlu adopsi anak. Buktinya sekarang aku hamil, artinya kita akan jadi orang tua," Ranti semakin mempererat pelukannya.Begitu larut dalam kebahagiaan yang tak bisa teralihkan sama sekali.Kemud
Beberapa hari kemudian.....Ranti menatap alat uji kehamilan di tangannya dengan malas.Entah sudah berapa kali dia menggunakannya demi mengetahui apakah ada janin yang tumbuh di rahimnya atau tidak.Mungkin saja ini sudah testpack yang ke 50.Dan hasilnya masih saja garis satu, sungguh membuatnya merasa sedih.Dia pun akhirnya segera menuju ranjang, hari ini dia sangat malas melakukan hal apapun.Sedangkan Niko sedang berada di rumah sakit.Dan seharusnya Ranti selalu mengantar makan siang untuk suaminya itu, sekaligus akan makan bersama-sama.Tapi dia pun malah tertidur pulas dan lupa untuk mengantarkan makanan siang untuk Niko.Hingga ponselnya pun berdering, tidurnya pun terusik dan dengan rasa malas menjawab panggilan itu."Halo," Ranti tak melihat terlebih dahulu nama siapa yang ada di layar ponselnya.Dia langsung saja menjawabnya."Sayang, kamu sudah di mana?" tanya Niko.Ranti pun baru tersadar jika yang menghubungi dirinya adalah Niko.Kemudian dia melihat jam dinding, dia p
Keesokan harinya."Kamu nggak ke kantor?" Ranti melihat Niko tampak santai di atas ranjang sambil memeluk dirinya.Ini tidak biasanya terjadi, karena kebiasaan Niko jika pagi begini pergi bekerja."Aku mau di rumah aja sama kamu," jawab Niko."Kenapa begitu?""Libur untuk satu hari rasanya tidak salah," kata Niko lagi.Ranti pun mengangguk mengerti.Mungkin Niko juga kelelahan dan butuh waktu untuk beristirahat.Mengingat selama ini Niko selalu saja disibukkan dengan pekerjaan yang tidak ada habisnya."Ranti, bagaikan kalau kita mengadopsi anak."Deg!Jantung Ranti rasanya keluar dari dadanya.Dia begitu shock mendengar pertanyaan Niko barusan.Tunggu dulu.Itu pertanyaan atau pernyataan?Ranti tak pernah berpikir jika Niko akan berkata demikian.Apakah Niko sudah sangat ingin memiliki anak sehingga dia mengatakan demikian."Tapi aku juga bisa hamil, kenapa harus mengadopsi anak?" tanya Ranti yang bingung.Niko pun menutup matanya dia pun segera bangkit dari atas ranjangnya berjalan