Malam itu, Agung berkali-kali me-reject panggilan beberapa teman wanitanya. Malam Minggu yang biasanya ia gunakan untuk bersenang-senang, entah kali ini. Merasa tidak berselera meski hanya sekadar ingin keluar dari kontrakan.
Menghindari banyaknya pesan dan telepon masuk, pria itu memilih mematikan ponselnya. Mencoba tidur lebih awal tapi tidak bisa. Kebiasaannya bergadang membuatnya sulit memejamkan mata saat sebelum lewat jam dua belas.
Dalam kegalauan yang sepi, Agung mencoba mengurai segala sikap dan perkataan buruk yang ia lontarkan pada Anti, wanita yang pernah tergila-gila pada Feri.
Namanya pernah menjadi perbincangan hangat di kalangan rekan kerjanya karena kebiasaan Anti yang selalu mengunjungi Feri setiap hari.
Dua tahun tanpa kabar, sore itu, salah satu rekannya yang kebetulan suami dari teman Anti memberitahu bahwa, wanita yang tengah membeli martabak adalah Anti. Sontak mulutnya yang terbiasa mengejek orang, gatal untuk melecehkan wanita yan
Jam besuk telah dibuka. Agung dengan memperlihatkan Id card pada petugas, sehingga dirinya dipersilakan masuk tanpa menunggu giliran.Pasien pertama yang ia kunjungi adalah Nadia. Dilihatnya anak remaja yang terbaring dengan banyak alat medis yang menempel di tubuhnya. Kondisinya masih belum stabil.Agung menyalami Tohir yang duduk dengan raut muka sedih menatap anak gadis semata wayangnya.Bayangan Anti berlari mengejar Nadia kembali hadir dan membuat dada Agung sesak.Dalam situasi genting seperti sekarang, ada yang mengganjal dalam hati pria yang berprofesi sebagai aparat kepolisian itu. Mengapa Tohir sama sekali tidak menanyakan kabar masalah yang menyandung anaknya. Seakan telah menyerahkan semuanya pada Anti. Wanita yang jalannya saja belum terlihat sempurna akibat kecelakaan yang menimpa."Ibunya Nadia sudah ke kantor polisi, Pak?" tanya Tohir setelah sekian lama diam dan mengetahui yang datang adalah seorang polisi."Sudah, tapi semu
Anti berdiri, bersiap pulang. Melihat sosok yang ia benci berada di hadapannya."Kamu tidak akan pernah bisa melepaskan anakmu dari tuntutan mereka tanpa bantuan dari aku!" decak Agung penuh percaya diri.Anti bergeming. Batal pergi. Menatap pria di hadapannya dengan tatapan tajam."Kasus ini akan ditutup dan dianggap selesai hanya bila keluarga korban yang ditabrak Nadia tidak menuntut lagi. Meskipun dalam hal ini ada kelalaian pihak lain yang menumpahkan oli di jalan, tapi mereka berhak sepenuhnya karena nyatanya, korban yang ditabrak Nadia terluka parah. Dan hanya aku yang bisa menghentikan mereka untuk mencabut tuntutan," ternag Agung sambil memainkan bungkus rokok yang ia bawa.Hembusan napas kasar keluar dari mulut Anti."Apa yang kamu inginkan dari aku? Apa salahku sama kamu? Apa aku pernah pmerugikan kamu?" tanya Anti dengan sorot mata tajam."Apa maksudmu?" Agung balik bertanya."Apakah ini rencanamu? Mengambil kesemp
Sebuah pesan masuk ke ponselnya dari Erina saat dirinya tengah bekerja di depan layar komputer. Meskipun hati gundah gulana, Anti masih bisa bersikap profesional terhadap pekerjaannya. [Mbak, ada polisi datang bersama keluarga yang ditabrak Nadia. Mereka bilang tidak akan menuntut Nadia lagi. Dan polisi itu juga bilang, ini berkat Mbak Anti. Terimakasih ya, Mbak, sudah berusaha untuk Nadia. Maaf sudah merepotkan dan maaf, aku tidak membantu Mbak Anti kemarin. Mbak Anti paham kan posisiku? Sekali lagi, terimakasih ya, Mbak?] "Alhamdulillah ...," ucap Anti lega setelah membaca rentetan pesan dari ibu tiri Nadia. Wanita itu menangis dengan menutup wajah menggunakan kedua telapak tangannya. [Alhamdulillah, terimakasih kabarnya, Er ....] balas Anti kemudian. Perempuan yang jalannya masih kelihatan agak pincang itu duduk sendiri di mushola. Memilih menyendiri di saat jam istirahat. Ada rasa bahagia dalam hati dengan kabar yang
Kondisi Nadia semakin membaik. Tohir dan Erina sangat bahagia dengan perkembangan yang terjadi pada putri mereka.Namun, ada yang berdua suami istri itu lupakan. Tohir dan Erina seakan tidak perduli dengan korban yang ditabrak Nadia. Tidak ada pikiran untuk menjenguk untuk sekadar melihat kondisi orang yang telah berjasa mencabut tuntutan agar putri sulung Anti tidak berurusan dengan hukum.Dalam keadaan yang berbeda. Mereka menjalani perawatan di rumah sakit.Ruangan yang hanya ditempati satu pasien, berpendingin AC juga terdapat kulkas di dalamnya, tentu jauh berbeda dengan seorang lelaki yang harus terbaring lemah di kamar bangsal yang hanya memiliki sekat kelambu dengan pasien lain. Di mejanya pun, tidak ada makanan bergizi seperti buah-buahan yang ada di kamar Nadia.Napas lelaki itu seringkali terdengar tersengal. Terkadang, dirinya harus terbaring seorang diri tanpa ada yang menemani karena anak semata wayangnya harus pulang untuk mengurus cucu-cuc
Mereka berbincang tentang perkembangan kesehatan lelaki tua yang diketahui Anti bernama Darko. Dari Imah Anti tahu kalau keluarga Tohir belum ada satupun yang berkunjung. Anti meminta maaf atas hal tersebut mewakili keluarga Nadia. "Yang penting 'kan, Ibu sudah ke sini mewakili mereka. Suami Ibu tidak datang tidak apa-apa. Eh, tapi kok, Ibu gak tahu kalau suami Ibu tidak ke sini?" tanya Imah bingung. Dirinya baru sadar akan ha mengganjal itu. "Aku sudah bercerai dari ayah Nadia, Mbak. Dan aku tidak bertemu mereka sejak aku ke rumah Mbak Imah waktu itu," terang Anti. "Oooh, maaf, Bu, saya tidak tahu. Apakah Ibu tidak mengunjungi Nadia?" tanya Imah lagi. Anti menggeleng. "Aku tidak boleh menemui dia oleh mantan mertua, Mbak. Ini karena sesuatu yang terjadi di masa lalu," jawab Anti lirih. Imah yang cukup paham tidak bertanya masalah mereka. Setelah lama berbincang, Anti pamit. Tidak lupa ia mendoakan Darko supaya sembuh. Dan memberikan amplop ya
"Anti!" sapa Tohir dari arah parkir mobil yang berderet di depan parkir motor. Anti menoleh pada sumber suara yang ia dengar. Matanya lekat menatap pria yang pernah ia khianati dulu.Dalam hati Anti tidak menyalahkan bila keluarga Tohir begitu membencinya. Namun, bagaimanapun jeleknya dirinya di masa lalu, tetap saja, harga diri yang terlalu diinjak-injak dengan kata-kata yang tidak pantas, harus ia bela sendiri. Anti beranggapan bahwa, seburuk-buruknya seseorang di masa lalu, harus diberi kesempatan berubah menjadi lebih baik.Wanita bergamis hitam besar itu bergeming. Dalam hati waspada bila mungkin akan terjadi hal-hal yang memancing emosi lagi."Kamu dari mana?" tanya Tohir terdengar lembut. Berjalan mendekat ke tempat mantan istrinya berdiri."Aku habis menjenguk Pak Darko," jawab Anti dingin."Siapa Pak Darko?" tanya Tohir penasaran."Oh, kamu tidak tahu, Mas, siapa Pak Darko?" Tohir menggeleng. "Pria yang ditabrak Nadia. Aku datang un
Anti memilih tempat yang agak sepi dari pengunjung. Duduk di atas hamparan pasir dengan kaki berselonjor. Berkali-kali memejamkan mata dan menarik napas dalam. Seolah ingin melepaskan segala gundah bersama suara deburan ombak yang saling menyahut."Kenapa selalu sendiri?" sebuah suara membuatnya kaget. Saat wajah menoleh, seorang pria yang akhir-akhir ini sering bertemu dengannya telah duduk di sana. Pandangannya menatap ke arah laut luas di ujung utara Pulau Jawa."Kenapa kamu ke sini?" Memilih abai pada pertanyaan Agung, Anti balik bertanya dengan wajah sengit."Ini tempat umum, siapapun bebas datang. Kenapa? Kamu mau melarang aku datang ke sini?" Anti melengos. Memandang kembali pada gulungan ombak yang datang."Bisakah Anda pergi dari sini?" tanya Anti mirip sebuah permintaan."Aku sudah nyaman duduk di sini," jawab Agung asal."Kalau begitu, aku yang pergi!" ujar Anti dan bersiap berdiri."Duduklah! Ada yang ingin aku bicarakan d
Pagi buta, Anti terkejut dengan kedatangan Erina. Bila boleh jujur, rasanya sudah tidak ingin berhubungan dengan keluarga Tohir lagi. Namun, hendak mengusir tentu bukan hal yang etis dilakukan."Ada apa lagi, Rin?" tanya Anti terdengar lelah. Mereka berdua tengah duduk di ruang tamu."Mbak, maaf kalau Mbak Anti terganggu dengan kedatanganku," jawab Erina tidak enak."Kamu tahu alasannya kenapa aku bersikap seperti ini," sahut Anti dingin."Iya, Mbak. Aku paham. Aku ke sini karena disuruh Mas Tohir buat menjemput Mbak Anti. Hari ini, Ibu Saroh pergi ziarah sama jamaah tahlil. Jadi, Mbak Anti bisa menemui Nadia," ujar Erina bersemangat.Miris. Itu yang Anti rasakan. Setelah segala upaya yang ia lakukan untuk anak kandungnya itu, dirinya harus tetap menelan pil pahit. Ingin bertemu dengan anak yang pernah ia besarkan dengan kasih sayang saja harus bersembunyi dari Saroh."Betulkah, Rin?" tanya Anti tidak percaya. Bagaimanapun rasa sakit hati ya