Anti memilih tempat yang agak sepi dari pengunjung. Duduk di atas hamparan pasir dengan kaki berselonjor. Berkali-kali memejamkan mata dan menarik napas dalam. Seolah ingin melepaskan segala gundah bersama suara deburan ombak yang saling menyahut.
"Kenapa selalu sendiri?" sebuah suara membuatnya kaget. Saat wajah menoleh, seorang pria yang akhir-akhir ini sering bertemu dengannya telah duduk di sana. Pandangannya menatap ke arah laut luas di ujung utara Pulau Jawa.
"Kenapa kamu ke sini?" Memilih abai pada pertanyaan Agung, Anti balik bertanya dengan wajah sengit.
"Ini tempat umum, siapapun bebas datang. Kenapa? Kamu mau melarang aku datang ke sini?" Anti melengos. Memandang kembali pada gulungan ombak yang datang.
"Bisakah Anda pergi dari sini?" tanya Anti mirip sebuah permintaan.
"Aku sudah nyaman duduk di sini," jawab Agung asal.
"Kalau begitu, aku yang pergi!" ujar Anti dan bersiap berdiri.
"Duduklah! Ada yang ingin aku bicarakan d
Pagi buta, Anti terkejut dengan kedatangan Erina. Bila boleh jujur, rasanya sudah tidak ingin berhubungan dengan keluarga Tohir lagi. Namun, hendak mengusir tentu bukan hal yang etis dilakukan."Ada apa lagi, Rin?" tanya Anti terdengar lelah. Mereka berdua tengah duduk di ruang tamu."Mbak, maaf kalau Mbak Anti terganggu dengan kedatanganku," jawab Erina tidak enak."Kamu tahu alasannya kenapa aku bersikap seperti ini," sahut Anti dingin."Iya, Mbak. Aku paham. Aku ke sini karena disuruh Mas Tohir buat menjemput Mbak Anti. Hari ini, Ibu Saroh pergi ziarah sama jamaah tahlil. Jadi, Mbak Anti bisa menemui Nadia," ujar Erina bersemangat.Miris. Itu yang Anti rasakan. Setelah segala upaya yang ia lakukan untuk anak kandungnya itu, dirinya harus tetap menelan pil pahit. Ingin bertemu dengan anak yang pernah ia besarkan dengan kasih sayang saja harus bersembunyi dari Saroh."Betulkah, Rin?" tanya Anti tidak percaya. Bagaimanapun rasa sakit hati ya
Sepeninggal Tohir dan Erina, keheningan dan kekakuan tercipta diantara kedua ibu dan anak itu."Nad, Ibu bawa apel merah kesukaan kamu. Ibu kupasin, ya?" tawar Anti dengan nada lembut.Nadia menggeleng. "Aku sudah makan apel dikupasin Mama tadi," sahutnya dingin."Oh, iya. Kamu mau apa? Ibu ingin mengambilkan apa yang kamu inginkan untuk kamu."Nadia hanya menjawab dengan gelengan."Kamu belum cuci muka, 'kan?" tanya Anti melihat wajah anaknya yang kusut. Lagi, Nadia hanya menggeleng lemah.Anti beranjak, mengambil air dalam gayung yang dicampur dengan sedikit air panas yang tersedia dalam termos. Merogoh sapu tangan yang ia taruh di dalam tas."Ayo, dilap dulu biar segar," ujar Anti mendekat pada tubuh Nadia."Gak usah, biar Mama aja nanti," tolak Nadia lirih. Terdengar sekali dirinya enggan berbicara dengan ibu kandungnya.Terasa sakit mendengar penolakan itu. Namun, Anti masih bisa menahan untuk tidak me
Anti masih terisak di atas motor. Sebuah tepukan membuatnya terpaksa berhenti. Saat kepala ia dongakkan, berdiri di hadapannya sosok lelaki yang beberapa waktu terakhir sering ia temui."Jangan menangis di tempat umum! Malu," ujar Agung dengan tangan dilipat di dada."Apa urusanmu?" jawab Anti ketus."Ayo, ikut aku!" ajak Agung sembari memberi kode ajakan menggunakan telapak tangan."Enggak! Aku mau pulang," tolak Anti ketus.Dengan satu gerakan cepat, Agung mengambil tas yang ada di depan Anti. Membawa pergi tanpa ijin dari Si Pemilik."Jangan sembarangan! Bawa ke mari!" bentak Anti tidak dihiraukan."Ikut, cepat! Naik motor sendiri-sendiri!" Agung memberi perintah tanpa mau tahu, hati Anti masih membencinya.Dengan terpaksa Anti membuntuti motor Agung yang berjalan menuju sebuah tempat yang ia kenal.Hutan kota, terletak masih di wilayah alun-alun dan gedung pusat pemerintahan kabupaten. Tempat itu ramai
Berhentilah mengikuti aku! Aku ingin kamu tidak lagi muncul dalam hidupku!" ucap Anti dengan nada penuh penekanan."Kenapa?""Karena aku tidak suka!""Bukankah kamu orang yang kuat imannya? Hidup kita sudah ada yang mengatur bukan? Pertemuan aku dengan kamu, itu semua sudah menjadi jalan hidup. Bagaimanapun awalnya, itu memang sudah menjadi jalan cerita. Jadi, jangan seenaknya melarang! Tuhan yang menggerakkan hati seseorang. Bukan berdasarkan permintaan kamu, paham?" Anti diam tidak bisa menjawab sepatah katapun. Dalam hati membenarkan apa yang Agung katakan."Aku ingin pulang," lirih Anti."Kenapa kamu menangis tadi? Siapa yang kamu jenguk?" tanya Agung dengan menatap lekat wajah yang menunduk di hadapannya."Itu bukan urusan kamu!""Ini sudah menjadi takdir, Anti. Aku bertanya seperti ini, sudah Tuhan atur. Jadi, kewajiban kami adalah menjawab!" Agung seakan punya kartu mati membuat Anti tidak protes terhadap apa yang ia lakukan.
Ada getar halus saat adzan Maghrib berkumandang di musholla dekat rumah Agung. Pria bujangan itu berdiri gamang di ambang pintu. Hatinya ragu, hendak pergi ke tempat suara itu berada. Rasa malu lebih mendominasi daripada keinginannya."Aku, mau sholat? Bahkan sajadah-pun aku tidak punya," gumamnya lirih.Menimbang segala hal, akhirnya Agung memutuskan untuk tidak ke sana."Besok lagi aja. Aku masih malu," ucapnya seorang diri. Dan urung melangkah pergi."Bila aku akan bertaubat, harus dari mana memulainya? Dan, apakah ini benar keinginan hatiku? Atau aku hanya terkesima pada dia yang telah lebih dulu meninggalkan kubangan dosa?" ujar Agung lirih, menatap langit-langit kamar berukuran tiga kali empat tempatnya melepas penat."Kubangan dosa? Bahkan mungkin, dosaku lebih banyak dari Anti. Tapi kenapa aku dengan jahatnya mengolok-olok dia, sampai-sampai Nadia jadi membenci seperti ini," racau Agung lagi.Pikirannya sangat dipenuhi rasa bersalah.
Agung beranjak, hendak menutupnya, sedangkan Sesil berniat pulang. Keduanya bersama dalam diam di ambang pintu. Saat bersamaan, hujan mulai turun seketika deras. Tubuh mereka bergesekan sehingga menimbulkan getaran yang sama seperti saat terakhir bertemu.Tanpa kata, keduanya hanyut dalam kubangan dosa yang telah berkali-kali dilakukan.Matahari masuk dari balik jendela. Memancarkan kehangatan melalui kelambu tipis yang terpasang di sana.Agung menggeliat, mendapati sebuah lengan putih melingkar di atas perut. Dengan kasar, ia lepaskan asal. Segera beranjak untuk mandi.Saat di kamar mandi, rasa sesal begitu menguasai dirinya. Mencoba mengingat bagaimana peristiwa semalam terjadi"Sial! Aku minum banyak ternyata dan setengah mabuk saat Sesil mau pulang," gumamnya kesal seorang diri.Selama ini, belum pernah sekalipun dirinya menyesal usai melakukan sebuah hubungan. Namun, tidak untuk kali ini. Rasanya begitu jijik pada tubuh sendiri. Ingin m
Beberapa minggu berlalu. Agung tidak pernah absen mengikuti kajian. Perubahan terlihat jelas dari perilaku sehari-harinya. Meskipun belum bisa membaca Al-Quran, tapi dirinya berusaha membaca arti ayat demi ayat kitab suci umat Islam itu.Setiap selesai kajian, pria itu selalu berbincang dengan ustadz terlebih dahulu.Ketertarikannya untuk mendalami ilmu agama semakin kuat dalam hati. Semakin dia berpikir kalau hidup yang selama ini ia jalani penuh dengan kemaksiatan."Bagaimana cara memulai belajar Al-Quran, Pak Ustadz?" tanya Agung suatu ketika."Beli iqra. Nanti saya ajari baca kalau sudah selesai kajian," jawab Ustadz ramah. "Kalau malu, cari aplikasi saja. Di sana banyak kok yang langsung diajari."Begitulah akhirnya hari-hari pria yang berprofesi sebagai seorang aparat negara itu. Pagi sholat subuh, setelahnya belajar membaca iqra. Lalu berangkat bekerja.Perubahan dirasakan oleh banyak sahabatnya. Di suatu sore di penghujung minggu, se
Hari Minggu, seperti biasa, Agung sudah bersiap untuk mengikuti kajian. Dengan memakai sarung dan baju koko berwarna putih serta peci hitam, lelaki itu sudah berdiri di pinggir jalan saat sebuah sepeda motor yang ia kenal berhenti tepat di depannya."Mas," sapa Sesil yang kelihatan pucat wajahnya. "Mau kemana? Kenapa pakai baju seperti itu?" tanyanya lagi."Aku mau--" Ucapan Agung menggantung."Apa ini sebabnya kamu menjauh dari aku?" tanya Sesil lagi. Agung hanya menunduk."Mas aku mau bilang kalau ...." Sesil berhenti berbicara."Aku permisi, sudah terlambat." Agung yang sudah membelokkan motor, menarik tuas gas dengan kencang. Meninggalkan Sesil seorang diri yang menangis sesenggukan.Selesai kajian, Agung tidak sengaja berpapasan dengan Anti di halaman masjid ketika sudah sepi. Ini adalah kali pertama mereka berjumpa setelah pria itu mantap berhijrah.Ada raut kaget yang terpancar dari wajah Anti. Melihat sosok di hadapannya telah