Kondisi Nadia semakin membaik. Tohir dan Erina sangat bahagia dengan perkembangan yang terjadi pada putri mereka.
Namun, ada yang berdua suami istri itu lupakan. Tohir dan Erina seakan tidak perduli dengan korban yang ditabrak Nadia. Tidak ada pikiran untuk menjenguk untuk sekadar melihat kondisi orang yang telah berjasa mencabut tuntutan agar putri sulung Anti tidak berurusan dengan hukum.
Dalam keadaan yang berbeda. Mereka menjalani perawatan di rumah sakit.
Ruangan yang hanya ditempati satu pasien, berpendingin AC juga terdapat kulkas di dalamnya, tentu jauh berbeda dengan seorang lelaki yang harus terbaring lemah di kamar bangsal yang hanya memiliki sekat kelambu dengan pasien lain. Di mejanya pun, tidak ada makanan bergizi seperti buah-buahan yang ada di kamar Nadia.
Napas lelaki itu seringkali terdengar tersengal. Terkadang, dirinya harus terbaring seorang diri tanpa ada yang menemani karena anak semata wayangnya harus pulang untuk mengurus cucu-cuc
Mereka berbincang tentang perkembangan kesehatan lelaki tua yang diketahui Anti bernama Darko. Dari Imah Anti tahu kalau keluarga Tohir belum ada satupun yang berkunjung. Anti meminta maaf atas hal tersebut mewakili keluarga Nadia. "Yang penting 'kan, Ibu sudah ke sini mewakili mereka. Suami Ibu tidak datang tidak apa-apa. Eh, tapi kok, Ibu gak tahu kalau suami Ibu tidak ke sini?" tanya Imah bingung. Dirinya baru sadar akan ha mengganjal itu. "Aku sudah bercerai dari ayah Nadia, Mbak. Dan aku tidak bertemu mereka sejak aku ke rumah Mbak Imah waktu itu," terang Anti. "Oooh, maaf, Bu, saya tidak tahu. Apakah Ibu tidak mengunjungi Nadia?" tanya Imah lagi. Anti menggeleng. "Aku tidak boleh menemui dia oleh mantan mertua, Mbak. Ini karena sesuatu yang terjadi di masa lalu," jawab Anti lirih. Imah yang cukup paham tidak bertanya masalah mereka. Setelah lama berbincang, Anti pamit. Tidak lupa ia mendoakan Darko supaya sembuh. Dan memberikan amplop ya
"Anti!" sapa Tohir dari arah parkir mobil yang berderet di depan parkir motor. Anti menoleh pada sumber suara yang ia dengar. Matanya lekat menatap pria yang pernah ia khianati dulu.Dalam hati Anti tidak menyalahkan bila keluarga Tohir begitu membencinya. Namun, bagaimanapun jeleknya dirinya di masa lalu, tetap saja, harga diri yang terlalu diinjak-injak dengan kata-kata yang tidak pantas, harus ia bela sendiri. Anti beranggapan bahwa, seburuk-buruknya seseorang di masa lalu, harus diberi kesempatan berubah menjadi lebih baik.Wanita bergamis hitam besar itu bergeming. Dalam hati waspada bila mungkin akan terjadi hal-hal yang memancing emosi lagi."Kamu dari mana?" tanya Tohir terdengar lembut. Berjalan mendekat ke tempat mantan istrinya berdiri."Aku habis menjenguk Pak Darko," jawab Anti dingin."Siapa Pak Darko?" tanya Tohir penasaran."Oh, kamu tidak tahu, Mas, siapa Pak Darko?" Tohir menggeleng. "Pria yang ditabrak Nadia. Aku datang un
Anti memilih tempat yang agak sepi dari pengunjung. Duduk di atas hamparan pasir dengan kaki berselonjor. Berkali-kali memejamkan mata dan menarik napas dalam. Seolah ingin melepaskan segala gundah bersama suara deburan ombak yang saling menyahut."Kenapa selalu sendiri?" sebuah suara membuatnya kaget. Saat wajah menoleh, seorang pria yang akhir-akhir ini sering bertemu dengannya telah duduk di sana. Pandangannya menatap ke arah laut luas di ujung utara Pulau Jawa."Kenapa kamu ke sini?" Memilih abai pada pertanyaan Agung, Anti balik bertanya dengan wajah sengit."Ini tempat umum, siapapun bebas datang. Kenapa? Kamu mau melarang aku datang ke sini?" Anti melengos. Memandang kembali pada gulungan ombak yang datang."Bisakah Anda pergi dari sini?" tanya Anti mirip sebuah permintaan."Aku sudah nyaman duduk di sini," jawab Agung asal."Kalau begitu, aku yang pergi!" ujar Anti dan bersiap berdiri."Duduklah! Ada yang ingin aku bicarakan d
Pagi buta, Anti terkejut dengan kedatangan Erina. Bila boleh jujur, rasanya sudah tidak ingin berhubungan dengan keluarga Tohir lagi. Namun, hendak mengusir tentu bukan hal yang etis dilakukan."Ada apa lagi, Rin?" tanya Anti terdengar lelah. Mereka berdua tengah duduk di ruang tamu."Mbak, maaf kalau Mbak Anti terganggu dengan kedatanganku," jawab Erina tidak enak."Kamu tahu alasannya kenapa aku bersikap seperti ini," sahut Anti dingin."Iya, Mbak. Aku paham. Aku ke sini karena disuruh Mas Tohir buat menjemput Mbak Anti. Hari ini, Ibu Saroh pergi ziarah sama jamaah tahlil. Jadi, Mbak Anti bisa menemui Nadia," ujar Erina bersemangat.Miris. Itu yang Anti rasakan. Setelah segala upaya yang ia lakukan untuk anak kandungnya itu, dirinya harus tetap menelan pil pahit. Ingin bertemu dengan anak yang pernah ia besarkan dengan kasih sayang saja harus bersembunyi dari Saroh."Betulkah, Rin?" tanya Anti tidak percaya. Bagaimanapun rasa sakit hati ya
Sepeninggal Tohir dan Erina, keheningan dan kekakuan tercipta diantara kedua ibu dan anak itu."Nad, Ibu bawa apel merah kesukaan kamu. Ibu kupasin, ya?" tawar Anti dengan nada lembut.Nadia menggeleng. "Aku sudah makan apel dikupasin Mama tadi," sahutnya dingin."Oh, iya. Kamu mau apa? Ibu ingin mengambilkan apa yang kamu inginkan untuk kamu."Nadia hanya menjawab dengan gelengan."Kamu belum cuci muka, 'kan?" tanya Anti melihat wajah anaknya yang kusut. Lagi, Nadia hanya menggeleng lemah.Anti beranjak, mengambil air dalam gayung yang dicampur dengan sedikit air panas yang tersedia dalam termos. Merogoh sapu tangan yang ia taruh di dalam tas."Ayo, dilap dulu biar segar," ujar Anti mendekat pada tubuh Nadia."Gak usah, biar Mama aja nanti," tolak Nadia lirih. Terdengar sekali dirinya enggan berbicara dengan ibu kandungnya.Terasa sakit mendengar penolakan itu. Namun, Anti masih bisa menahan untuk tidak me
Anti masih terisak di atas motor. Sebuah tepukan membuatnya terpaksa berhenti. Saat kepala ia dongakkan, berdiri di hadapannya sosok lelaki yang beberapa waktu terakhir sering ia temui."Jangan menangis di tempat umum! Malu," ujar Agung dengan tangan dilipat di dada."Apa urusanmu?" jawab Anti ketus."Ayo, ikut aku!" ajak Agung sembari memberi kode ajakan menggunakan telapak tangan."Enggak! Aku mau pulang," tolak Anti ketus.Dengan satu gerakan cepat, Agung mengambil tas yang ada di depan Anti. Membawa pergi tanpa ijin dari Si Pemilik."Jangan sembarangan! Bawa ke mari!" bentak Anti tidak dihiraukan."Ikut, cepat! Naik motor sendiri-sendiri!" Agung memberi perintah tanpa mau tahu, hati Anti masih membencinya.Dengan terpaksa Anti membuntuti motor Agung yang berjalan menuju sebuah tempat yang ia kenal.Hutan kota, terletak masih di wilayah alun-alun dan gedung pusat pemerintahan kabupaten. Tempat itu ramai
Berhentilah mengikuti aku! Aku ingin kamu tidak lagi muncul dalam hidupku!" ucap Anti dengan nada penuh penekanan."Kenapa?""Karena aku tidak suka!""Bukankah kamu orang yang kuat imannya? Hidup kita sudah ada yang mengatur bukan? Pertemuan aku dengan kamu, itu semua sudah menjadi jalan hidup. Bagaimanapun awalnya, itu memang sudah menjadi jalan cerita. Jadi, jangan seenaknya melarang! Tuhan yang menggerakkan hati seseorang. Bukan berdasarkan permintaan kamu, paham?" Anti diam tidak bisa menjawab sepatah katapun. Dalam hati membenarkan apa yang Agung katakan."Aku ingin pulang," lirih Anti."Kenapa kamu menangis tadi? Siapa yang kamu jenguk?" tanya Agung dengan menatap lekat wajah yang menunduk di hadapannya."Itu bukan urusan kamu!""Ini sudah menjadi takdir, Anti. Aku bertanya seperti ini, sudah Tuhan atur. Jadi, kewajiban kami adalah menjawab!" Agung seakan punya kartu mati membuat Anti tidak protes terhadap apa yang ia lakukan.
Ada getar halus saat adzan Maghrib berkumandang di musholla dekat rumah Agung. Pria bujangan itu berdiri gamang di ambang pintu. Hatinya ragu, hendak pergi ke tempat suara itu berada. Rasa malu lebih mendominasi daripada keinginannya."Aku, mau sholat? Bahkan sajadah-pun aku tidak punya," gumamnya lirih.Menimbang segala hal, akhirnya Agung memutuskan untuk tidak ke sana."Besok lagi aja. Aku masih malu," ucapnya seorang diri. Dan urung melangkah pergi."Bila aku akan bertaubat, harus dari mana memulainya? Dan, apakah ini benar keinginan hatiku? Atau aku hanya terkesima pada dia yang telah lebih dulu meninggalkan kubangan dosa?" ujar Agung lirih, menatap langit-langit kamar berukuran tiga kali empat tempatnya melepas penat."Kubangan dosa? Bahkan mungkin, dosaku lebih banyak dari Anti. Tapi kenapa aku dengan jahatnya mengolok-olok dia, sampai-sampai Nadia jadi membenci seperti ini," racau Agung lagi.Pikirannya sangat dipenuhi rasa bersalah.