Anti masih terisak di atas motor. Sebuah tepukan membuatnya terpaksa berhenti. Saat kepala ia dongakkan, berdiri di hadapannya sosok lelaki yang beberapa waktu terakhir sering ia temui.
"Jangan menangis di tempat umum! Malu," ujar Agung dengan tangan dilipat di dada.
"Apa urusanmu?" jawab Anti ketus.
"Ayo, ikut aku!" ajak Agung sembari memberi kode ajakan menggunakan telapak tangan.
"Enggak! Aku mau pulang," tolak Anti ketus.
Dengan satu gerakan cepat, Agung mengambil tas yang ada di depan Anti. Membawa pergi tanpa ijin dari Si Pemilik.
"Jangan sembarangan! Bawa ke mari!" bentak Anti tidak dihiraukan.
"Ikut, cepat! Naik motor sendiri-sendiri!" Agung memberi perintah tanpa mau tahu, hati Anti masih membencinya.
Dengan terpaksa Anti membuntuti motor Agung yang berjalan menuju sebuah tempat yang ia kenal.
Hutan kota, terletak masih di wilayah alun-alun dan gedung pusat pemerintahan kabupaten. Tempat itu ramai
Berhentilah mengikuti aku! Aku ingin kamu tidak lagi muncul dalam hidupku!" ucap Anti dengan nada penuh penekanan."Kenapa?""Karena aku tidak suka!""Bukankah kamu orang yang kuat imannya? Hidup kita sudah ada yang mengatur bukan? Pertemuan aku dengan kamu, itu semua sudah menjadi jalan hidup. Bagaimanapun awalnya, itu memang sudah menjadi jalan cerita. Jadi, jangan seenaknya melarang! Tuhan yang menggerakkan hati seseorang. Bukan berdasarkan permintaan kamu, paham?" Anti diam tidak bisa menjawab sepatah katapun. Dalam hati membenarkan apa yang Agung katakan."Aku ingin pulang," lirih Anti."Kenapa kamu menangis tadi? Siapa yang kamu jenguk?" tanya Agung dengan menatap lekat wajah yang menunduk di hadapannya."Itu bukan urusan kamu!""Ini sudah menjadi takdir, Anti. Aku bertanya seperti ini, sudah Tuhan atur. Jadi, kewajiban kami adalah menjawab!" Agung seakan punya kartu mati membuat Anti tidak protes terhadap apa yang ia lakukan.
Ada getar halus saat adzan Maghrib berkumandang di musholla dekat rumah Agung. Pria bujangan itu berdiri gamang di ambang pintu. Hatinya ragu, hendak pergi ke tempat suara itu berada. Rasa malu lebih mendominasi daripada keinginannya."Aku, mau sholat? Bahkan sajadah-pun aku tidak punya," gumamnya lirih.Menimbang segala hal, akhirnya Agung memutuskan untuk tidak ke sana."Besok lagi aja. Aku masih malu," ucapnya seorang diri. Dan urung melangkah pergi."Bila aku akan bertaubat, harus dari mana memulainya? Dan, apakah ini benar keinginan hatiku? Atau aku hanya terkesima pada dia yang telah lebih dulu meninggalkan kubangan dosa?" ujar Agung lirih, menatap langit-langit kamar berukuran tiga kali empat tempatnya melepas penat."Kubangan dosa? Bahkan mungkin, dosaku lebih banyak dari Anti. Tapi kenapa aku dengan jahatnya mengolok-olok dia, sampai-sampai Nadia jadi membenci seperti ini," racau Agung lagi.Pikirannya sangat dipenuhi rasa bersalah.
Agung beranjak, hendak menutupnya, sedangkan Sesil berniat pulang. Keduanya bersama dalam diam di ambang pintu. Saat bersamaan, hujan mulai turun seketika deras. Tubuh mereka bergesekan sehingga menimbulkan getaran yang sama seperti saat terakhir bertemu.Tanpa kata, keduanya hanyut dalam kubangan dosa yang telah berkali-kali dilakukan.Matahari masuk dari balik jendela. Memancarkan kehangatan melalui kelambu tipis yang terpasang di sana.Agung menggeliat, mendapati sebuah lengan putih melingkar di atas perut. Dengan kasar, ia lepaskan asal. Segera beranjak untuk mandi.Saat di kamar mandi, rasa sesal begitu menguasai dirinya. Mencoba mengingat bagaimana peristiwa semalam terjadi"Sial! Aku minum banyak ternyata dan setengah mabuk saat Sesil mau pulang," gumamnya kesal seorang diri.Selama ini, belum pernah sekalipun dirinya menyesal usai melakukan sebuah hubungan. Namun, tidak untuk kali ini. Rasanya begitu jijik pada tubuh sendiri. Ingin m
Beberapa minggu berlalu. Agung tidak pernah absen mengikuti kajian. Perubahan terlihat jelas dari perilaku sehari-harinya. Meskipun belum bisa membaca Al-Quran, tapi dirinya berusaha membaca arti ayat demi ayat kitab suci umat Islam itu.Setiap selesai kajian, pria itu selalu berbincang dengan ustadz terlebih dahulu.Ketertarikannya untuk mendalami ilmu agama semakin kuat dalam hati. Semakin dia berpikir kalau hidup yang selama ini ia jalani penuh dengan kemaksiatan."Bagaimana cara memulai belajar Al-Quran, Pak Ustadz?" tanya Agung suatu ketika."Beli iqra. Nanti saya ajari baca kalau sudah selesai kajian," jawab Ustadz ramah. "Kalau malu, cari aplikasi saja. Di sana banyak kok yang langsung diajari."Begitulah akhirnya hari-hari pria yang berprofesi sebagai seorang aparat negara itu. Pagi sholat subuh, setelahnya belajar membaca iqra. Lalu berangkat bekerja.Perubahan dirasakan oleh banyak sahabatnya. Di suatu sore di penghujung minggu, se
Hari Minggu, seperti biasa, Agung sudah bersiap untuk mengikuti kajian. Dengan memakai sarung dan baju koko berwarna putih serta peci hitam, lelaki itu sudah berdiri di pinggir jalan saat sebuah sepeda motor yang ia kenal berhenti tepat di depannya."Mas," sapa Sesil yang kelihatan pucat wajahnya. "Mau kemana? Kenapa pakai baju seperti itu?" tanyanya lagi."Aku mau--" Ucapan Agung menggantung."Apa ini sebabnya kamu menjauh dari aku?" tanya Sesil lagi. Agung hanya menunduk."Mas aku mau bilang kalau ...." Sesil berhenti berbicara."Aku permisi, sudah terlambat." Agung yang sudah membelokkan motor, menarik tuas gas dengan kencang. Meninggalkan Sesil seorang diri yang menangis sesenggukan.Selesai kajian, Agung tidak sengaja berpapasan dengan Anti di halaman masjid ketika sudah sepi. Ini adalah kali pertama mereka berjumpa setelah pria itu mantap berhijrah.Ada raut kaget yang terpancar dari wajah Anti. Melihat sosok di hadapannya telah
"Nadia, ya?" tanya Agung memastikan. Gadis remaja itu mengangguk ketakutan."Saya salah apa ya, Pak?" tanya Nadia cemas. Agung melempar senyum."Tidak ada yang salah. Oh iya, perkenalkan. Saya ini polisi yang menangani kasus kecelakaan kamu," ujar Agung memperkenalkan diri."Apakah kasusnya diperpanjang, Pak?" tanya Nadia masih terlihat takut."Oh, tidak. Bapak hanya ingin berbincang saja dengan kamu. Ada hal yang harus Bapak sampaikan sama Nadia," jawab Agung pelan.Bapak? Hati Agung merasakan banyak keanehan terjadi setelah mengenal Anti. Kapan dirinya mulai merasa tua? Padahal sebelumnya, tidak pernah sama sekali berpikir memposisikan diri menjadi lelaki dewasa di hadapan anak seusia Nadia.Bagi Agung, perempuan semua sama. Kecuali anak kecil. Karena nyatanya, sebelum menjalin hubungan dengan Sesil, dirinya memiliki seorang kekasih yang duduk di bangku SMA. Dan perangainya jauh dengan Nadia. Pacarnya dulu terlihat dewasa. Berdandan ala wa
"Terus, kamu tahu kondisi kamu kritis saat itu?" tanya Agung lagi.Lagi, Nadia mengangguk."Terus apa yang diceritakan lagi?""Mbah bilang, Ayah mencarikan orang buat jadi pendonor darah. Karena termasuk dalam golongan langka, Ayah sampai mencari ke temannya yang berada di kabupaten lain.""Ayah sama ibu tiri Nadia tidak mengatakan sesuatu?"Nadia menggeleng. Terlihat sekali kesehatannya belum terlalu pulih. Hal itu membuat Agung ragu untuk mengatakan yang sebenarnya terjadi. Namun, hal itu harus ia lakukan karena ingin menebus kesalahan terhadap Anti."Nadia, orang yang kamu tabrak menuntut kamu dengan tuntutan yang berat. Kamu hampir terlibat kasus hukum. Laporannya sudah dibuat dan saya yang menangani kasus itu. Yang bolak-balik ke kantor polisi dan sampai memohon pada keluarga orang itu adalah, ibu kamu." Nadia menatap tidak percaya pada Agung."Jangan berbohong! Anda pasti orang yang disuruh Ibu untuk mengarang ceri
Erina tidak menjawab pertanyaan dari anak tirinya. Membuat Nadia yakin bahwa apa yang diceritakan polisi barusan adalah benar."Tidak usah dijawab. Ayo kita pulang," ajak Nadia pada Erina. Perempuan yang mengendarai motor matic berwarna putih itu diam dan hanya bisa menurut.Sepanjang perjalanan, keduanya saling membisu. Hingga tak terasa, motor yang mereka tumpangi telah sampai di halaman rumah.Dengan langkah cepat, Nadia masuk dan segera menuju kamarnya. Menguncinya dari dalam dan tidak membukakan pintu untuk siapapun yang mengetuk.Bayangan sang ibu yang berjalan dengan pincang, berusaha membebaskannya dari tuntutan menari-nari di pelupuk mata."Kenapa harus aku ya, Allah," lirih Nadia di tengah isak tangis.Menjelang Maghrib, Nadia baru beranjak. Itupun karena ingin ke kamar mandi."Nadia," panggil Saroh saat gadis itu terlihat berjalan melewati dirinya yang sedang menghangatkan makanan di atas kompor.Nadia hanya melirik