Jam besuk telah dibuka. Agung dengan memperlihatkan Id card pada petugas, sehingga dirinya dipersilakan masuk tanpa menunggu giliran.
Pasien pertama yang ia kunjungi adalah Nadia. Dilihatnya anak remaja yang terbaring dengan banyak alat medis yang menempel di tubuhnya. Kondisinya masih belum stabil.
Agung menyalami Tohir yang duduk dengan raut muka sedih menatap anak gadis semata wayangnya.
Bayangan Anti berlari mengejar Nadia kembali hadir dan membuat dada Agung sesak.
Dalam situasi genting seperti sekarang, ada yang mengganjal dalam hati pria yang berprofesi sebagai aparat kepolisian itu. Mengapa Tohir sama sekali tidak menanyakan kabar masalah yang menyandung anaknya. Seakan telah menyerahkan semuanya pada Anti. Wanita yang jalannya saja belum terlihat sempurna akibat kecelakaan yang menimpa.
"Ibunya Nadia sudah ke kantor polisi, Pak?" tanya Tohir setelah sekian lama diam dan mengetahui yang datang adalah seorang polisi.
"Sudah, tapi semu
Anti berdiri, bersiap pulang. Melihat sosok yang ia benci berada di hadapannya."Kamu tidak akan pernah bisa melepaskan anakmu dari tuntutan mereka tanpa bantuan dari aku!" decak Agung penuh percaya diri.Anti bergeming. Batal pergi. Menatap pria di hadapannya dengan tatapan tajam."Kasus ini akan ditutup dan dianggap selesai hanya bila keluarga korban yang ditabrak Nadia tidak menuntut lagi. Meskipun dalam hal ini ada kelalaian pihak lain yang menumpahkan oli di jalan, tapi mereka berhak sepenuhnya karena nyatanya, korban yang ditabrak Nadia terluka parah. Dan hanya aku yang bisa menghentikan mereka untuk mencabut tuntutan," ternag Agung sambil memainkan bungkus rokok yang ia bawa.Hembusan napas kasar keluar dari mulut Anti."Apa yang kamu inginkan dari aku? Apa salahku sama kamu? Apa aku pernah pmerugikan kamu?" tanya Anti dengan sorot mata tajam."Apa maksudmu?" Agung balik bertanya."Apakah ini rencanamu? Mengambil kesemp
Sebuah pesan masuk ke ponselnya dari Erina saat dirinya tengah bekerja di depan layar komputer. Meskipun hati gundah gulana, Anti masih bisa bersikap profesional terhadap pekerjaannya. [Mbak, ada polisi datang bersama keluarga yang ditabrak Nadia. Mereka bilang tidak akan menuntut Nadia lagi. Dan polisi itu juga bilang, ini berkat Mbak Anti. Terimakasih ya, Mbak, sudah berusaha untuk Nadia. Maaf sudah merepotkan dan maaf, aku tidak membantu Mbak Anti kemarin. Mbak Anti paham kan posisiku? Sekali lagi, terimakasih ya, Mbak?] "Alhamdulillah ...," ucap Anti lega setelah membaca rentetan pesan dari ibu tiri Nadia. Wanita itu menangis dengan menutup wajah menggunakan kedua telapak tangannya. [Alhamdulillah, terimakasih kabarnya, Er ....] balas Anti kemudian. Perempuan yang jalannya masih kelihatan agak pincang itu duduk sendiri di mushola. Memilih menyendiri di saat jam istirahat. Ada rasa bahagia dalam hati dengan kabar yang
Kondisi Nadia semakin membaik. Tohir dan Erina sangat bahagia dengan perkembangan yang terjadi pada putri mereka.Namun, ada yang berdua suami istri itu lupakan. Tohir dan Erina seakan tidak perduli dengan korban yang ditabrak Nadia. Tidak ada pikiran untuk menjenguk untuk sekadar melihat kondisi orang yang telah berjasa mencabut tuntutan agar putri sulung Anti tidak berurusan dengan hukum.Dalam keadaan yang berbeda. Mereka menjalani perawatan di rumah sakit.Ruangan yang hanya ditempati satu pasien, berpendingin AC juga terdapat kulkas di dalamnya, tentu jauh berbeda dengan seorang lelaki yang harus terbaring lemah di kamar bangsal yang hanya memiliki sekat kelambu dengan pasien lain. Di mejanya pun, tidak ada makanan bergizi seperti buah-buahan yang ada di kamar Nadia.Napas lelaki itu seringkali terdengar tersengal. Terkadang, dirinya harus terbaring seorang diri tanpa ada yang menemani karena anak semata wayangnya harus pulang untuk mengurus cucu-cuc
Mereka berbincang tentang perkembangan kesehatan lelaki tua yang diketahui Anti bernama Darko. Dari Imah Anti tahu kalau keluarga Tohir belum ada satupun yang berkunjung. Anti meminta maaf atas hal tersebut mewakili keluarga Nadia. "Yang penting 'kan, Ibu sudah ke sini mewakili mereka. Suami Ibu tidak datang tidak apa-apa. Eh, tapi kok, Ibu gak tahu kalau suami Ibu tidak ke sini?" tanya Imah bingung. Dirinya baru sadar akan ha mengganjal itu. "Aku sudah bercerai dari ayah Nadia, Mbak. Dan aku tidak bertemu mereka sejak aku ke rumah Mbak Imah waktu itu," terang Anti. "Oooh, maaf, Bu, saya tidak tahu. Apakah Ibu tidak mengunjungi Nadia?" tanya Imah lagi. Anti menggeleng. "Aku tidak boleh menemui dia oleh mantan mertua, Mbak. Ini karena sesuatu yang terjadi di masa lalu," jawab Anti lirih. Imah yang cukup paham tidak bertanya masalah mereka. Setelah lama berbincang, Anti pamit. Tidak lupa ia mendoakan Darko supaya sembuh. Dan memberikan amplop ya
"Anti!" sapa Tohir dari arah parkir mobil yang berderet di depan parkir motor. Anti menoleh pada sumber suara yang ia dengar. Matanya lekat menatap pria yang pernah ia khianati dulu.Dalam hati Anti tidak menyalahkan bila keluarga Tohir begitu membencinya. Namun, bagaimanapun jeleknya dirinya di masa lalu, tetap saja, harga diri yang terlalu diinjak-injak dengan kata-kata yang tidak pantas, harus ia bela sendiri. Anti beranggapan bahwa, seburuk-buruknya seseorang di masa lalu, harus diberi kesempatan berubah menjadi lebih baik.Wanita bergamis hitam besar itu bergeming. Dalam hati waspada bila mungkin akan terjadi hal-hal yang memancing emosi lagi."Kamu dari mana?" tanya Tohir terdengar lembut. Berjalan mendekat ke tempat mantan istrinya berdiri."Aku habis menjenguk Pak Darko," jawab Anti dingin."Siapa Pak Darko?" tanya Tohir penasaran."Oh, kamu tidak tahu, Mas, siapa Pak Darko?" Tohir menggeleng. "Pria yang ditabrak Nadia. Aku datang un
Anti memilih tempat yang agak sepi dari pengunjung. Duduk di atas hamparan pasir dengan kaki berselonjor. Berkali-kali memejamkan mata dan menarik napas dalam. Seolah ingin melepaskan segala gundah bersama suara deburan ombak yang saling menyahut."Kenapa selalu sendiri?" sebuah suara membuatnya kaget. Saat wajah menoleh, seorang pria yang akhir-akhir ini sering bertemu dengannya telah duduk di sana. Pandangannya menatap ke arah laut luas di ujung utara Pulau Jawa."Kenapa kamu ke sini?" Memilih abai pada pertanyaan Agung, Anti balik bertanya dengan wajah sengit."Ini tempat umum, siapapun bebas datang. Kenapa? Kamu mau melarang aku datang ke sini?" Anti melengos. Memandang kembali pada gulungan ombak yang datang."Bisakah Anda pergi dari sini?" tanya Anti mirip sebuah permintaan."Aku sudah nyaman duduk di sini," jawab Agung asal."Kalau begitu, aku yang pergi!" ujar Anti dan bersiap berdiri."Duduklah! Ada yang ingin aku bicarakan d
Pagi buta, Anti terkejut dengan kedatangan Erina. Bila boleh jujur, rasanya sudah tidak ingin berhubungan dengan keluarga Tohir lagi. Namun, hendak mengusir tentu bukan hal yang etis dilakukan."Ada apa lagi, Rin?" tanya Anti terdengar lelah. Mereka berdua tengah duduk di ruang tamu."Mbak, maaf kalau Mbak Anti terganggu dengan kedatanganku," jawab Erina tidak enak."Kamu tahu alasannya kenapa aku bersikap seperti ini," sahut Anti dingin."Iya, Mbak. Aku paham. Aku ke sini karena disuruh Mas Tohir buat menjemput Mbak Anti. Hari ini, Ibu Saroh pergi ziarah sama jamaah tahlil. Jadi, Mbak Anti bisa menemui Nadia," ujar Erina bersemangat.Miris. Itu yang Anti rasakan. Setelah segala upaya yang ia lakukan untuk anak kandungnya itu, dirinya harus tetap menelan pil pahit. Ingin bertemu dengan anak yang pernah ia besarkan dengan kasih sayang saja harus bersembunyi dari Saroh."Betulkah, Rin?" tanya Anti tidak percaya. Bagaimanapun rasa sakit hati ya
Sepeninggal Tohir dan Erina, keheningan dan kekakuan tercipta diantara kedua ibu dan anak itu."Nad, Ibu bawa apel merah kesukaan kamu. Ibu kupasin, ya?" tawar Anti dengan nada lembut.Nadia menggeleng. "Aku sudah makan apel dikupasin Mama tadi," sahutnya dingin."Oh, iya. Kamu mau apa? Ibu ingin mengambilkan apa yang kamu inginkan untuk kamu."Nadia hanya menjawab dengan gelengan."Kamu belum cuci muka, 'kan?" tanya Anti melihat wajah anaknya yang kusut. Lagi, Nadia hanya menggeleng lemah.Anti beranjak, mengambil air dalam gayung yang dicampur dengan sedikit air panas yang tersedia dalam termos. Merogoh sapu tangan yang ia taruh di dalam tas."Ayo, dilap dulu biar segar," ujar Anti mendekat pada tubuh Nadia."Gak usah, biar Mama aja nanti," tolak Nadia lirih. Terdengar sekali dirinya enggan berbicara dengan ibu kandungnya.Terasa sakit mendengar penolakan itu. Namun, Anti masih bisa menahan untuk tidak me
Part 11 POV Dania (Ending) Lelah hati tatkala harus menghadapi banyak hal. Akhirnya aku menyerah pada keadaan. Aku tidak akan memaksakan takdir apapun sekarang. Selalu bertemu dengan orang-orang yang membuat hati ini sakit hati, membuatku semakin sadar kalau hanya keluarga Laura saja yang baik padaku. Melihat penghianatan Nindi dan juga sikap Cika yang masih dingin dan membenciku, membuat hati ini sudah memutuskan. Aku akan menghilang dari hidup orang-orang yang mengenalku. Untuk apa mempedulikan Cika yang sangat membenciku? Baginya, Ines adalah ibunya. Setelah Nindi keluar dari rumah, Laura menelpon malam-malam dan menangis. Ia mengatakan kalau pacarnya ternyata selingkuh dan dia seorang diri. Laura menanyakan perkembangan hubunganku dengan Cika, dan aku menjawab apa adanya. “Cika tidak akan pernah bisa menerimaku. Itu kenyataannya,” jawabku sudah pasrah dengan keadaan. “Dania, aku minta maaf, bisakah kamu kembali kesini? Hidup bersamaku dan aku menarik semua ucapanku kemarin,” p
Part 10Tiga hari tinggal bersama, dia tetap masih diam. Makananku tetap disiapkan, tetapi menunggu aku keluar untuk makan sendiri. Dia sama sekali tidak seperti dulu yang memanggilku, menyiapkan baju ganti dan segala keperluanku. Akhirnya, pagi ini kuberanikan diri untuk mengajaknya berbicara.“Apa aku akan diusir seperti Nindi?” tanyaku pelan. Dia yang lagi-lagi berkutat dengan laptop--mengangkat wajah.“Pilihlah mana dari milikku yang akan kamu ambil, Cika! Sisanya, bila kamu tidak mau, maka akan kujual. Kamu bisa gunakan untuk keperluan hidupmu. Itu jika kamu mau,” jawabnya tanpa ekspresi ramah.Aku memainkan jari jemariku. Bingung hendak menjawab apa. Ponselnya berdering dan dia langsung mengangkatnya. Aku masih berdiri mendengarkan dia berbicara dengan orang yang kukira ada di luar negeri.Meski sudah lama tidak pernah belajar bahasa asing lagi, tetapi aku tahu apa arti dari ucapan yang disampaikan seseorang dari seberang telepon sana. Speaker ponsel yang dihidupkan membuatku bi
Part 9“Mbak Dania, aku minta maaf, Mbak, aku akui memang salah dan aku akan meminta dia untuk keluar dari rumah Mbak Dania asalkan Mbak Dania masih mengizinkan aku untuk tetap di sini. Aku akan menjaga Cika, Mbak, aku janji,” kata Nindi sambil bersimpuh dan memegang kaki dia.“Aku sudah tidak butuh siapapun lagi, Nindi. Aku akan membiarkan orang-orang yang hanya memanfaatkanku dan juga orang-orang yang tidak menyukaiku untuk pergi dari hidupku. Aku tidak akan memaksakan takdir bahagia bersamaku, jadi, kamu tidak perlu bersimpuh meminta, karena aku sudah akan menghapusmu dari daftar orang-orang yang kukenal,” jawab dia santai.Seketika aku memandang wajah cantik itu. Ada sebuah perasaan terluka di sana. Jika dia benar-benar tidak mau lagi mengurusku, maka, siapa yang akan mengurusku lagi? Tiba-tiba saja ketakutan besar menguasai hati.Wajah itu, dia tidak mau melihat padaku. Padahal, aku berharap itu.Nindi masih bersimpuh sambil menangis.“Dimana mobilku, Nindi?” tanya dia datar.“Ee
Part 8POV CikaAku memilih masuk dan duduk di atas hamparan pasir meski terik matahari terasa sangat menyengat di kulit. Benar-benar bingung hendak minta tolong dan mengadu pada siapa, maka kuputuskan untuk menangis seorang diri.“Ya Allah, kirimkan bantuan untukku. Ya Allah, ampuni aku jika aku selama ini nakal dan banyak dosa. Ya Allah, aku janji, jika aku mendapatkan pertolongan untuk masalahku ini, aku akan kembali sholat seperti saat di pondok dulu. Jika ada orang yang menolongku, maka aku akan menjadikannya sahabat,” ucapku sambil menangis.Lama aku berada dalam posisi ini, hingga leher terasa pegal, lalu aku mengangkat kepala. Saat menoleh, ternyata ada seseorang yang duduk di sebelahku dan dia melakukan hal yang sama.Menatapku.Deg.Jantungku berpacu lebih cepat tatkala mendengar orang itu memanggil namaku. Dia sosok yang kurindu, tetapi juga kubenci.“Kenapa kamu berpanas-panasan sendirian di sini?” ucapnya sambil berteriak.Aku diam, enggan menjawab. Teringat olehku Nindi
Part 7POV DaniaAku menatap tubuh Nyonya dan Tuan yang terbujur kaku di rumah sakit dengan darah bersimbah di sekujur tubuh mereka–dengan hati yang sangat hancur.Baru sebentar kembali bekerja bersama mereka yang sudah kuanggap seperti keluarga sendiri, tetapi harus merasakan sakitnya kehilangan. Nyonya dan Tuan tewas dalam kecelakaan tunggal. Mobil yang mereka tumpangi menabrak sebuah pohon dan nyawa mereka langsung hilang di tempat itu juga.Tak tahu lagi harus berusaha tegar seperti apa. Karena mereka berdua adalah keluarga yang kumiliki saat ini dan kenapa takdir selalu tidak berpihak padaku?Mayat Nyonya dan Tuan dimakamkan dua hari kemudian setelah berbagai prosesi keagamaan mereka berdua berlangsung. Kini, saat semua pelayat pergi, aku hanya berdua saja dengan anak semata wayang Nyonya yang berusia dua puluh tahun.“Aku akan melanjutkan kuliah di negara sebelah. Kamu jika masih mau di sini, maka harus mencari pekerjaan lain. Karena aku sudah tidak bisa membayarmu. Rumahku aka
Part 6POV CIKAAku menatap rumah besar itu, mungkin untuk yang terakhir kalinya. Meski keberadaanku tidak diakui di sini, tetapi nyatanya, belasan tahun diriku hidup di sana.Walaupun tanpa kenangan indah, tetapi aku bisa melakukan apapun di rumah itu. Kini, aku harus melangkah pergi untuk yang terakhir kalinya. Hati benar-benar sadar, jika memang diri ini tiada lagi diharapkan oleh mereka. Kehadiranku di rumah itu hanya untuk mengukir kisah sedih.Hari ini aku pergi dengan naik taksi. Pulangnya, memilih berjalan menyusuri jalanan komplek perumahan elit yang semuanya memiliki pagar yang tinggi. Sengaja memilih berjalan kaki, hanya sekadar ingin menikmati rasa yang sangat menyesakkan dalam dada ini. Rencananya, nanti akan pulang dengan naik bus. Di dekat gerbang perumahan ini ada sebuah halte.Langkah kaki ini berjalan lambat. Aku sadar kini aku sudah benar-benar sendiri, dan sebentar lagi, bisa saja harus tiba-tiba hidup dengan sosok yangtidak kukenal sama sekali. Aku Cika, harus ber
Part 5Sebuah ketukan di luar pintu kamar membuat Cika beranjak dari tempat tidurnya. Ia yang sudah setengah mengantuk terpaksa bangun untuk menemui orang yang sudah pasti itu Nindi. Dengan memicingkan mata, Cika menatap perempuan yang masih lajang itu yang sudah siap dengan koper besar.“Mbak Nindi mau pergi?” Seketika mata Cika yang semula setengah mengantuk terbuka sempurna.“Iya,” jawab Nindi singkat dan ragu.Napas Cika mulai narik turun. Antara takut dan kaget.“Mbak Nindi, aku sama siapa di sini?” tanya Cika mulai menampakkan ketakutannya.“Sudah saatnya kamu belajar hidup mandiri , Cika. Tidak mungkin aku akan terus bersama dengan kamu. Ibu kamu saja sudah pergi. Dan keluarga kamu saja sudah tidak memperdulikan keberadaanmu lagi. Masa aku yang bukan siapa-siapa kamu harus bertahan di sini? Aku punya impian untuk menikah, aku punya keluarga yang harus aku rawat. Jadi, aku akan pergi sekarang dan mulai saat ini, kamu hidup di sini sendiri,” jelas Cika.“Mbak Nindi, tidak bisakah
Part 4 Cika merasa sangat kesepian dengan hidup yang dijalani saat ini. Bingung karena setiap hari yang dilakukan hanyalah makan dan tidur saja. Hendak keluar untuk sekadar mencari kesenangan bersama teman-temannya pun susah dilakukan karena rumah yang ditempatinya saat ini cukup jauh dengan rumah kawan semasa ia sekolah. Bermain ponsel juga membuat kepalanya pusing. Nindi juga lebih banyak menghabiskan waktu di kantor. Jika malam minggu tiba, gadis yang sudah dewasa itu akan keluar bersama dengan sang kekasih dan pulang jika sudah dini hari saat Cika sudah terlelap dalam mimpi. Dua bulan sudah dilalui Cika hidup seorang diri di rumah besar peninggalan Dania. Di suatu pagi, Cika yang baru saja bangun menemui Nindi yang tengah sarapan pagi. Dengan langkah berat dan kepala tertunduk berjalan pelan menghampiri Nindi yang sedang sarapan. “Kenapa?” tanya Nindi saat Cika sudah sampai di hadapannya. “Pembantu yang katanya mau datang itu, apa tidak ada kabarnya?” tanya Cika ragu. Sikap ke
Part 3Langit mulai gelap. Tidak ada bintang satupun di sana. Aku mulai menoleh ke kanan dan kiri mencari sebuah tumpangan yang bisa membawaku pulang. Entah pulang kemana. Dalam keadaan bimbang, aku membuka ponsel. Ternyata Rindi menelpon banyak ke nomorku. Ia juga berkirim pesan. Aku membukanya, tetapi hanya di bagian akhir yang kubaca.[Kamu kemana saja?][Kenapa belum pulang?][Cika, balas pesanku!][Cika, kamu kemana? Cepat pulang]Aku takut, tetapi tidak mungkin aku mengatakan kalau saat ini sedang di bandara. Akhirnya, aku memilih mencari taksi dengan berjalan keluar bandara. Tidak ada tempat lagi untuk pulang selain rumah Dania dan aku berharap Rindi sedang menungguku di sana. Aku sangat takut.Seketika bernapas lega saat kulihat Rindi tengah menungguku dengan cemas. “Dari mana saja kamu?” tanyanya cemas dengan wajah marah.Kali ini aku tidak akan melawannya. Dia satu-satunya orang yang masih peduli berada di sisiku. Aku diam sambil memainkan ujung kuku.“Cika, kamu dari mana?”