“Ada tamu, Bapak memanggil, ingin bicara dengan kamu,” ucap ibu. Terpancar iba dari netra ibu.
Ada apa lagi? Gegas, kuikuti wanita yang melahirkanku menuju ruang tamu.
Seketika, aku terpaku saat melihat yang duduk di deretan kursi yang terbuat dari kayu jati. Melihat mereka, aku sudah tahu apa yang ingin bapak bicarakan. Dengan malas, kududukkan tubuh ini di samping bapak, menghadap sosok yang beberapa kali aku temui di majelis ta’lim.
“Bu Nia, maaf datang tanpa memberitahu. Tanpa ada rencana, Ustaz Zaki minta diantar kemari.” Wanita paruh baya yang berkedudukan sebagai kepala sekolah itu, berujar tidak enak.
“Nia, kamu sudah kenal sama Ustaz Zaki, kam?” tanya bapak, semringah.
Aku mengangguk saja.
“Kalau begitu, bapak tidak perlu memperkenalkannya.” Bapak menatapku sambil tersenyum. “Ustaz Zaki ingin mengkhitbah kamu. Bapak rasa, kalian tidak membutuhkan waktu lama untuk saling ber
Sepekan telah berlalu sejak kedatangan Ustaz Zaki. Meskipun hari ini jadwal mengikuti kajian, tapi aku malas. Di sekolah pun, aku berusaha menjauhi Bu Diah. Dan sepertinya wanita itu paham kalau aku tidak suka dengan apa yang dilakukannya.Pagi ini, aku memilih bersih-bersih rumah dan meminta Mbak Wati tidak usah datang. Danis dan Dinta diajak bapak pergi ke pasar. Untunglah, mereka tidak menagih ke kolam renang lagi. Habis zuhur, kedua anakku baru pulang.“Nia, bagaimana keputusan kamu?” Saat di dapur, bapak bertanya padaku, tentang Ustaz Zaki.“Keputusanku tetap tidak, Pak. Aku merasa ada janggal dengan pria itu. Jangan karena dirinya seorang ustaz, Bapak menerima khitbahnya begitu saja. Kita belum tahu seluk beluk kehidupannya, Pak.”“Bapak yakin, dia bisa menjadi sosok ayah yang baik untuk Dinta dan Danis.”“Bukankah dengan Umar, Bapak juga begitu yakin? Akhirnya, apa yang terjadi?” Sengaja kuinga
“Nia,” panggilnya. “Kamu kenapa, Nia? Kenapa malam-malam ada di sini?” Pria di depanku memegang kedua bahu ini.Aku menangis sejadi-jadinya. Merasa saat ini ada orang yang bisa menjadi tempat untuk berkeluh kesah, menyampaikan duka yang tengah merundung diri ini. Jika dirinya perempuan, pastilah aku sudah menghambur dalam pelukannya. Untung, pikiranku masih waras. Jadi bisa menahan untuk tidak melakukan hal memalukan itu.“Ayo, duduk dulu,” ajaknya sembari membimbing tubuh ini untuk duduk di trotoar kembali.Aku menceritakan semua yang terjadi malam ini. Termasuk kekhawatiranku bila meninggalkan Dinta dan Danis di rumah.“Mas Agam pernah meminta Dinta menjadi pendonor ginjal Aira, keluarganya sampai memaksaku. Aku takut mereka akan menculik Dinta saat aku tidak ada.”Lengan yang tertumpu pada lututnya terlihat mengepal. Lalu, mengusap pelan punggungku, walau sentuhan itu dilakukannya dengan rasa
“Nak Irsya,” panggil Ibu lirih.“Iya, Bu?”“Terima kasih sudah menolong kami. Maafkan atas sikap suami saya selama ini. Dinta dan Danis sedang dalam keadaan bahaya juga. Mereka harus selalu dijaga Nia.”“Jangan pikirkan apa pun, Bu. Yang penting, bapak bisa melewati masa kritisnya. Selama bapak di rumah sakit, saya dan Doni yang akan bolak-balik ke sini.”Ibu mengangguk pasrah.Kami berjalan beriringan menuju tempat parkir. Jarak tubuh yang sangat dekat, membuat beberapa kali lengan dan telapak tangan kami harus saling bergesekan. Akan tetapi, tidak ada yang berusaha merenggangkan jarak.Entah mengapa, aku menikmati kebersamaan ini, meskipun terjadi di saat suasana yang menegangkan. Kulirik lelaki tinggi di sampingku, meski harus mendongakkan kepala. Dia menoleh, menatapku lama, dan tersenyum.Ya Allah, ingin kuhentikan waktu, agar aku bisa berlama-lama dengannya.Sampai di
“Ya, Allah,” lirihku.Sebenarnya, aku tidak nyaman tetap di rumah dalam situasi seperti ini. Aku sangat ingin mendampingi bapak melewati masa kritisnya. Namun, apa daya? Ada anak-anak yang harus aku jaga juga.Begitu panggilan selesai, aku segera ke rumah ibu untuk mengambil barang-barang yang dibutuhkan selama di rumah sakit. Dinta kuminta menjaga Danis.“Pintu depan udah dicunci. Ibu lewat belakang. Pintunya langsung dikunci dari dalam, Kak. Bila ada yang datang, jangan buka!” Pesanku berhati-hati.Selesai mengemas barang, aku keluar rumah. Pick-up Kang Jono sudah parkir di halaman. Yang mau ikut juga sudah berdatangan.“Ada berapa orang?” tanya Kang Jono.“Tujuh belas, Kang. Sisanya nanti sore,” jawab salah satu dari mereka.Dari arah jalan, datang wanita berbaju gamis dengan lipstik merah merona. Maklum, hanya acara begini dan pengajian saja, mereka bepergian. Jadi, mereka berusaha m
Bu Diah semakin salah tingkah dengan seranganku. Mungkin, beliau tidak menyangka kalau aku berani membantah perkataannya sejauh ini. Karena selama kami bekerja bersama, aku terlalu menurut pada atasanku itu. Salahnya sendiri yang terlalu lancang mengatur perjodohanku dengan Ustaz Zaki.“Kan, ada baiknya bila berjaga-jaga.”Kulirik Mbak Santi yang berada di tengah-tengah bersama kami. Dia hanya menengok padaku saat berbicara, beralih pada Bu Diah saat berbicara. Seperti itu terus. Mulutnya juga tidak berhenti mengunyah.“Betul sekali, memang kita harus berjaga-jaga. Itu sebabnya, saya tidak serta merta menerima Ustaz Zaki. Saya belum tahu latar belakang dan kehidupan beliau. Saya berhati-hati saja, seperti ada yang mengganjal.”Aku sengaja mengulur jawaban, membuat wanita di hadapanku semakin tidak nyaman berbicara denganku. Biarlah, saat ini kutunjukkan sifatku yang sesungguhnya.“Ustaz Zaki itu, kan, ustaz. Pasti beda
Sosok ibu terlihat di sana, akan tetapi, beliau tidak sendiri. Ada laki-laki dan perempuan yang berdiri membelakangiku pintu masuk. Dari pakaiannya, mereka seperti tokoh agama. Pria memakai peci putih dan yang wanita bergamis syar’i.“Nia,” panggil ibu.Aku sudah sampai di ranjang bapak. Beliau terbaring dengan berbagai peralatan menempel pada badannya. Aku hampir menangis, saat perempuan bergamis syar’i berbalik dan mendekatiku.“Ukhti, yang sabar, ya?”Tubuhku langsung dipeluk erat. Di tengah kebingungan, aku segera membalas pelukannya meski ragu. Saat itulah, pria yang di sampingnya juga ikut menoleh. Ternyata, dia adalah ….Pria itu menatapku sambil tersenyum. Entah terlalu jujur dengan perasaan sendiri atau karena diriku terlalu jahat, bibir ini enggan membala. Aku juga refleks mendorong pelan tubuh wanita yang memelukku. Aku tidak butuh simpati siapa pun. Kedatanganku hanya ingin melihat kondisi bapa
“Maaf jika saya lancang. Tapi, saya penasaran akan sesuatu hal. Anda istri Ustaz Zaki apa bukan?” Aku bertanya dengan nada sedikit jengkel.“Nia, begini. Terkadang, ada sesuatu yang terjadi di luar keinginan kita. Apa yang baik menurut Allah, belum tentu baik menurut kita.”“Tolong Ibu jawab ke intinya saja. Ibu istrinya Ustaz Zaki, apa bukan?” Fani menggertak dengan nada tinggi. “Tidak usah banyak ceramah, Bu. Yang ingin kami tahu, Ibu istrinya apa bukan?”“Dek, jangan emosi dulu. Biar saya jelaskan.” Ustaz Zaki terlihat mengatur posisi duduknya.“Nia, bantulah kami untuk mendapatkan keturunan,” ucapan jujur meluncur begitu saja dari bibir istri Ustaz Zaki. “Aku pastikan, kita akan hisup dengan rukun,” lanjutnya lagi.“Apa Ibu pikir, mbak saya in tempat ternak anak?” Pertanyaan marah keluar dari bibir Fani.Jujur, aku juga merasa tersinggun
“Setelah ini, kamu boleh memilih lelaki mana pun, sesuai keinginan kamu sendiri. Asalkan, dia sayang sama Dinta dan Danis.”Aku mengangguk lagi. Sepertinya, ini waktu yang tidak tepat untuk membahas hal tersebut. Namun, aku bahagia mendengar ucapan Bapak barusan.“Kita pulang ya, Pak?” ajakku setelah semua barang sudah siap untuk dibawa.“Ajak Pak Irsya ke rumah. Bapak mau bilang sesuatu hal.”Derit pintu terdengar, kami semua menoleh. Entah kebetulan macam apa, Pak Irsya sudah berdiri di sana.“Sudah siap? Saya udah mengambil obat dan surat kontrol. Kalau sudah, kita turun. Maaf terlambat, tadi ada rapat,” ucapnya, terdengar agak canggung.“Nak Irsya, kemarilah,” panggil bapak dengan suara lemah.Pak Irsya berjalan pelan, dan ikut duduk di lantai bersamaku.“Titip Nia dan anak-anaknya, ya.” Kata-kata bapak terhenti, embun itu telah berubah menjadi te