Sosok ibu terlihat di sana, akan tetapi, beliau tidak sendiri. Ada laki-laki dan perempuan yang berdiri membelakangiku pintu masuk. Dari pakaiannya, mereka seperti tokoh agama. Pria memakai peci putih dan yang wanita bergamis syar’i.
“Nia,” panggil ibu.
Aku sudah sampai di ranjang bapak. Beliau terbaring dengan berbagai peralatan menempel pada badannya. Aku hampir menangis, saat perempuan bergamis syar’i berbalik dan mendekatiku.
“Ukhti, yang sabar, ya?”
Tubuhku langsung dipeluk erat. Di tengah kebingungan, aku segera membalas pelukannya meski ragu. Saat itulah, pria yang di sampingnya juga ikut menoleh. Ternyata, dia adalah ….
Pria itu menatapku sambil tersenyum. Entah terlalu jujur dengan perasaan sendiri atau karena diriku terlalu jahat, bibir ini enggan membala. Aku juga refleks mendorong pelan tubuh wanita yang memelukku. Aku tidak butuh simpati siapa pun. Kedatanganku hanya ingin melihat kondisi bapa
“Maaf jika saya lancang. Tapi, saya penasaran akan sesuatu hal. Anda istri Ustaz Zaki apa bukan?” Aku bertanya dengan nada sedikit jengkel.“Nia, begini. Terkadang, ada sesuatu yang terjadi di luar keinginan kita. Apa yang baik menurut Allah, belum tentu baik menurut kita.”“Tolong Ibu jawab ke intinya saja. Ibu istrinya Ustaz Zaki, apa bukan?” Fani menggertak dengan nada tinggi. “Tidak usah banyak ceramah, Bu. Yang ingin kami tahu, Ibu istrinya apa bukan?”“Dek, jangan emosi dulu. Biar saya jelaskan.” Ustaz Zaki terlihat mengatur posisi duduknya.“Nia, bantulah kami untuk mendapatkan keturunan,” ucapan jujur meluncur begitu saja dari bibir istri Ustaz Zaki. “Aku pastikan, kita akan hisup dengan rukun,” lanjutnya lagi.“Apa Ibu pikir, mbak saya in tempat ternak anak?” Pertanyaan marah keluar dari bibir Fani.Jujur, aku juga merasa tersinggun
“Setelah ini, kamu boleh memilih lelaki mana pun, sesuai keinginan kamu sendiri. Asalkan, dia sayang sama Dinta dan Danis.”Aku mengangguk lagi. Sepertinya, ini waktu yang tidak tepat untuk membahas hal tersebut. Namun, aku bahagia mendengar ucapan Bapak barusan.“Kita pulang ya, Pak?” ajakku setelah semua barang sudah siap untuk dibawa.“Ajak Pak Irsya ke rumah. Bapak mau bilang sesuatu hal.”Derit pintu terdengar, kami semua menoleh. Entah kebetulan macam apa, Pak Irsya sudah berdiri di sana.“Sudah siap? Saya udah mengambil obat dan surat kontrol. Kalau sudah, kita turun. Maaf terlambat, tadi ada rapat,” ucapnya, terdengar agak canggung.“Nak Irsya, kemarilah,” panggil bapak dengan suara lemah.Pak Irsya berjalan pelan, dan ikut duduk di lantai bersamaku.“Titip Nia dan anak-anaknya, ya.” Kata-kata bapak terhenti, embun itu telah berubah menjadi te
“Terima kasih, ya?” Aku menatapnya dan tersenyum.Pria di sampingku menepikan mobilnya, aku kembali menatap dengan penuh tanya.“Ulangi lagi!” ujarnya, sambil memandang wajahku.“Yang mana? Kenapa musti diulang?” tanyaku, bingung.Pak Irsya tersenyum. “Ucapan terima kasih dari kamu tadi. Kamu mengatakan itu sambil menatapku penuh cinta, Nia. Aku bahagia melihatnya.”“Apaan sih? Udah, ah. Ayo lanjut. Atau, aku yang nyetir?” Kilahku sambil memalingkan wajah, memandang pada jalan di depan.“Beneran, kamu mau nyupir? Aku, sih, mau-mau saja. Untung malahan, bisa terus menatap wajah kamu sepanjang kebersamaan kita. Tapi, yakin kamu gak bakalan grogi?”Kenapa wajahnya manis sekali hari ini? Ditambah lagi, sorot matanya itu. Ah, kenapa aku sejenak melupakan, bahwa diriku pernah mengandung dua kali?“Kita mau tatap-tapapan atau lanjut jalan, Bapak Kepala Sekol
Jam tiga sore, tamu sudah berdatangan, Pak Irsya bangun, salat dan menemui mereka.“Calon suami Mbak Nia, ya?” Salah satu dari mereka memberanikan diri untuk bertanya.“Doakan lancar, ya, Pak.” Hanya itu jawaban yang diberikan Pak Irsya.Setelahnya, acara dimulai. Seperti permintaan bapak, pria itu memberi sambutan atas nama keluarga. Dia sudah biasa berpidato di depan umum, tentu hal ini tidak menyulitkannya. Selesai acara, satu per satu tamu pulang. Tersisa kami berdua yang duduk kelelahan di ruang tamu.“Nia, aku malas pulang. Kita nikah sekarang aja, ya?” Pertanyaan konyol keluar begitu saja dari mulutnya.“Jangan aneh-aneh! Nikah itu perlu daftar ke KUA,” jawabku sewot.“Tapi, aku gak mau jauh dari kamu, Nia.”“Gombal!”“Kamu janji, ya, jangan berubah pikiran.”Aku terkekeh. Saat bersamaan, terdengar deru mobil berhenti di halaman. L
Apa urusannya Bu Diah menanyakan hal ini sama aku, coba?“Sudah, Bu. Sangat mengenal.”“Pekerjaannya, agamanya, latar belakangnya?”Alangkah tidak sopannya wanita ini, bertanya hal yang sensitif di depan orang yang bersangkutan“Pekerjaannya kepala sekolah. Agamanya Islam, dan kami akan belajar bersama, jika memang ilmunya tidak sedalam seorang ustaz. Beliau sangat menyayangi anak-anak. Latar belakangnya, bukan pria beristri. Itu sudah lebih dari cukup. Ada lagi yang ingin ditanyakan Bu Diah?”“Oh, maaf, Bu Nia. Sebagai seorang teman, saya hanya khawatir Bu Nia tidak mendapatkan pasangan yang tepat. Makanya saya kemarin berniat menjodohkan Bu Nia dengan Ustaz Zaki.”“Termasuk seorang pria beristri, Bu Diah? Selama ini, saya sangat menghormati dan menghargai Anda. Terhadap masalah apa pun, saya tidak pernah berkeluh kesah. Tapi Anda malah melakukan sesuatu yang sangat menyinggung perasaan
“Lecet lutut sedikit. Ayo, diobati dulu,” kata Pak Irsya. “Fan, ada betadine, gak?” tanyanya kemudian.“Ih! Kok, Mas Irsya suka banget nyuruh aku, sih?” Fani, yang sudah berkalung handuk, berdecak sebal.“Anak gadis harus sering gerak, Fan. Biar enteng jodohnya,” kilah Pak Irsya.Fani mengulurkan sekotak perlengkapan P3K yang sengaja aku siapkan untuk berjaga-jaga.”Kamu duduk di kursi, Nia. Biar aku yang mengobati.”Aku menurut saja, duduk di kursi sambil memangku Danis. Pak Irsya jongkok di depan kami dan mulai membersihkan luka anak sulungku.“Tadi kamu lihatin apa, Dek, sampai kesandung batu?” Pak Irsya bertanya di sela-sela kegiatan membersihkan luka Danis.“Lagi cari bintang jatuh,” jawabnya polosKami pun tertawa bersama. Pak Irsya melanjutkan kegiatannya sambil geleng kepala. Dan dari jarak sedekat ini, aku bisa lihat pesona wajahn
Sampai rumah, rutinitas pertama yang kulakukan adalah menyiram bunga. Wajah manis Pak Irsya menari-nari di pelupuk mata ini. Hingga sebuah bunyi klakson menyadarkan diriku yang sedang dimabuk asmara.Sesosok pria berdiri di atas motor, memandangku dengan senyum sinis. Ah, untung aku sedang bahagia, jadi kehadirannya tidak terlalu membuatku jengkel.“Hai, Umar! Apa kabar?” sapaku dengan riang.“Nia, kamu aneh,” jawabnya dengan mengangkat sebelah bibir. Manusia sombong!“Mari duduk di teras. Pasti ada perlu, ya?” ajakku.“Jangan merayuku, Nia! Gak akan mempan meski muka kamu dimanis-manisin gitu.”Percaya dirinya tinggi sekali!“Apa wajahku terlihat seperti tukang rayu?” tanyaku sambil mengedipkan mata. Menghadapi orang semacam dia, hanya perlu dibuat becanda saja. Biar tidak buat darah tinggi.“Aku ada penting sama kamu. Gak usah banyak basa-basi gitu.”
“Aku telepon, gak diangkat. Di-WA juga gak bales. Ke mana aja, sih?” protesnya dengan muka kesal.“Maaf, lagi ada tamu gak diundang,” balasku.“Maling? Kamu kemalingan?”Aku tertawa, Pak Irsya menyebut Umar maling. Kulirik, laki-laki itu. Dia menatapku penuh jengkel.“Mau maling hati aku, tapi yang punya sudah datang.” Senyum bahagia terukur di bibir ini.“Gombal.” Pria manis di depanku berkata sambil mencubit hidungku.Kemudian, kami berjalan beriringan menuju teras, di mana Umar berada.“Ini, calon suami kamu, Nia?” tanya Umar tidak percaya. Pandangannya terus menyelidik pria yang memakai kemeja navy.Pak Irsya kebingungan dan mengerling padaku, tanda meminta penjelasan. Aku memberi kode untuk dirinya meng-iyakan.“Iya, saya suami Nia,” jawabnya, penuh kemantapan.“Aku pulang, Nia. Kamu memang selalu membuat hariku me