Sampai rumah, rutinitas pertama yang kulakukan adalah menyiram bunga. Wajah manis Pak Irsya menari-nari di pelupuk mata ini. Hingga sebuah bunyi klakson menyadarkan diriku yang sedang dimabuk asmara.
Sesosok pria berdiri di atas motor, memandangku dengan senyum sinis. Ah, untung aku sedang bahagia, jadi kehadirannya tidak terlalu membuatku jengkel.
“Hai, Umar! Apa kabar?” sapaku dengan riang.
“Nia, kamu aneh,” jawabnya dengan mengangkat sebelah bibir. Manusia sombong!
“Mari duduk di teras. Pasti ada perlu, ya?” ajakku.
“Jangan merayuku, Nia! Gak akan mempan meski muka kamu dimanis-manisin gitu.”
Percaya dirinya tinggi sekali!
“Apa wajahku terlihat seperti tukang rayu?” tanyaku sambil mengedipkan mata. Menghadapi orang semacam dia, hanya perlu dibuat becanda saja. Biar tidak buat darah tinggi.
“Aku ada penting sama kamu. Gak usah banyak basa-basi gitu.”
“Aku telepon, gak diangkat. Di-WA juga gak bales. Ke mana aja, sih?” protesnya dengan muka kesal.“Maaf, lagi ada tamu gak diundang,” balasku.“Maling? Kamu kemalingan?”Aku tertawa, Pak Irsya menyebut Umar maling. Kulirik, laki-laki itu. Dia menatapku penuh jengkel.“Mau maling hati aku, tapi yang punya sudah datang.” Senyum bahagia terukur di bibir ini.“Gombal.” Pria manis di depanku berkata sambil mencubit hidungku.Kemudian, kami berjalan beriringan menuju teras, di mana Umar berada.“Ini, calon suami kamu, Nia?” tanya Umar tidak percaya. Pandangannya terus menyelidik pria yang memakai kemeja navy.Pak Irsya kebingungan dan mengerling padaku, tanda meminta penjelasan. Aku memberi kode untuk dirinya meng-iyakan.“Iya, saya suami Nia,” jawabnya, penuh kemantapan.“Aku pulang, Nia. Kamu memang selalu membuat hariku me
Danis merengek minta pulang ke rumah sendiri. Akhirnya, kami berdua memutuskan, untuk berbicara delapan mata di rumahku saja. Dengan berjalan kaki, aku, Pak Irsya serta anak-anak pulang ke rumah kembali.“Om, kapan mau ajak Danis main sepeda di alun-alun? Kan, Ibu sama Om udah baikan.”Aku tersenyum mendengar permintaan Danis. Sepertinya fase menjaga jarak antara aku dan Pak Irsya dianggap sebagai perselisihan oleh anak itu.“Danis maunya kapan?”“Nanti sore!” ujarnya, setengah berteriak.“Gak bisa kalau sore ini, Sayang. Besok aja, ya?”Tanpa membantah, anak bungsuku langsung menyetujui usulan Pak Irsya. Kemudian, Danis sibuk bermain mobil remot yang dibeli waktu di rumah sakit. Sedangkan Pak Irsya tiduran di kasur depan TV.“Nia, aku lapar. Dari pagi gak sempat sarapan.”“Astagfirullah, yang benar? Ya udah, aku buatin mie goreng sama telur, ya?” jawabku,
Kujawab dengan anggukan. “Ayo, kita pergi,” aku mengajak, agar kami tidak lama-lama berduaan.“Kamu sudah memikirkan panggilan untukku?” Pak Irsya bertanya sambil meletakkan dagu di pundak ini.ulai lagi membuat suasana horornya.“Maunya dipanggil apa? Aku nurut saja.”“Papa, sama seperti anak-anak memanggilku.”“Ya, tapi itu butuh waktu. Aku merasa canggung dan malu, beda dengan anak-anak.”“Baiklah, mas aja, gak apa-apa.”“Iya, Mas,” ucapku, lembut.“Nia,” panggilnya,masih menempelkan dagu. “Nikahnya nanti sore, ya? Sepulang kita dari KUA.” Dirinya melingkarkan satu tangan ke pinggangku. “Aku takut khilaf.”“Iya,” jawabku sambil memberanikan diri mencubit hidung bangirnya.Betul juga yang dikatakannya. Kami harus cepat menikah meski secara siri. Menunggu dua belas hari, bila s
Entah berapa kali aku mendengar pertanyaan itu. Aku bosan mendengarnya. Aku lebih memilih melanjutkan langkah. Kami berjalan masuk toko, dengan tangan Pak Irsya menggenggam tanganku. Budak cintanya sudah muncul, padahal belum menikah.“Selamat siang, Pak,” sapa salah satu karyawan sambil membungkuk.Kulirik Pak Irsya. Dia seperti mengedipkan mata. Apakah pria itu kelilipan?“Silakan masuk, Bapak, Ibu.”Karyawan tadi mempersilakan dengan sangat ramah. Seperti sudah lama mengenal Pak Irsya. Mungkin dia sudah langganan di sini.Aku berdiri kebingungan. Jujur saja, tempat ini merupakan salah satu surganya wanita. Namun, tiba-tiba rasa sungkan menyeruak dalam dada.“Ayo, kamu pilih yang paling kamu suka,” bisik Pak Irsya.“Pak, barang yang dipesan kemarin ....” Karyawan yang masih setia bersama kami tiba-tiba berbicara. “Maksud saya, ada barang terbaru yang limited edition, Pak. Barangk
Listin, nama gadis yang akhirnya menjadi pendamping hidup keduaku. Pernikahan kami tanpa cinta. Karena sejujurnya aku hanya mencari sosok yang bisa menerimaku apa adanya.Ada hal yang menyakitkan di awal pernikahan kami. Ternyata, perempuan itu—usianya kala itu terpaut sepuluh tahun denganku—sudah tidak perawan. Di malam pertama, dirinya menangis, memohon agar aku tidak menceraikannya.“Mas, kita sama-sama memiliki kekurangan, tidak ada manusia yang sempurna. Bimbinglah aku agar menjadi wanita salehah.”Ucapan tulusnya, mampu membius hati ini. Seketika, rasa marah itu luluh.Tiga tahun menjalani biduk rumah tangga, dia selalu bersikap lemah lembut terhadapku. Hingga suatu hari, saat mengambil yang tak sengaja tertinggal di rumah, kudapati Listin tengah bercumbu dengan seorang pemuda yang seusia dengannya. Pada saat bersamaan, aku juga mengetahui kalau dirinya hamil.“Aku diperk*sa, Mas.” Ia berusaha membela diri.
Kuparkirkan mobil dan segera menuju posisi di mana Agam dan anak buahku berada. Berjalan cepat melewati lorong rumah sakit yang sepi pengunjung. Rumah sakit ini milik swasta, sehingga malam hari pun poliklinik buka praktik.Dari kejauhan, kulihat mereka sedang mengobrol. Aku mempercepat langkah sembari berusaha mengendalikan emosi. Aku sangat berharap bisa bertemu dengan Dinta.Melihat kedatanganku, Agam segera mengulurkan tangan untuk mengajak bersalaman. Demi mencari tahu keberadaan Dinta, kusambut uluran tangan dari mantan suami Nia itu. Padahal, bila menuruti kata hati, ingin sekali menarik kerah bajunya dan mendaratkan pukulan di wajah Agam.Kulirik papan pada pintu ruangan poli rumah sakit. Di sana ada tulisan nefrologi, poliklinik tempat pemeriksaan pasien dengan masalah ginjal.“Apa kabar, Pak Agam? Lama tidak bertemu,” tanyaku berusaha ramah.“Alhamdulillah, baik, Pak Irsya. Pak Irsya sedang ada acara apa di sini?”
“Nia! Kamu keterlaluan! Dinta ini anaknya Agam. Kami hanya meminta ginjalnya, kamu malah mempersulit seperti ini. Kamu mau saya laporkan sama polisi, hah?” Kakak Agam berteriak memaki Nia, tepat di hadapanku.Dari ucapannya, aku bisa mengetahui kalau perempuan ini memiliki pendidikan yang minim. Makanya, dia berbicara asal. Karena faktor intelegensi yang sangat rendah, membuatnya berbicara tanpa memikirkan akal dan kebenaran. Orang dengan tipe seperti di tidak bisa dihadapi dengan adu mulut. Jelas, hanya akan membuat hati semakin panas.“Inilah sebabnya, kamu tidak bisa diterima baik oleh keluarga kami dari dulu. Kamu jelas jauh berbeda dari Rani. Dasar perempuan egois!” lanjutnya lagi sambil menatap sinis Nia.“Mau sampai kapan kamu bertindak seenaknya, Nia? Udah Agam pergi tanpa membawa harta sedikit pun, sekarang kamu melarang yang Dinta untuk jadi pendonor Aira. Di mana hati nurani kamu, Nia?” Ibu Agam ikut menyalahkan Nia
Aku meminta Doni untuk membawa pulang Dinta lebih dulu. Sekarang, aku hanya bersama Nia di dalam mobil. Aku masih terdiam, memberikan ruang untuknya meluapkan segala emosi dalam dada. Hanya isak serta sedu sedan yang kudengar sepanjang kami bersama. Kini, mobil sudah di jalan raya, keluar dari kawasan rumah sakit.Di jalan yang agak lengang, kutepikan kendaraan.“Menangislah yang kencang, Nia. Jangan ditahan. Ungkapkan semua rasa kesal dan emosi kamu. Jadikan malam ini sebagai malam terakhir kamu menangis karena mereka. Karena setelah ini, aku janji, tidak akan ada satu pun orang yang bisa menyakitimu.”Hanya kalimat ini yang bisa kuungkapkan untuk mengurangi kesedihan serta beban wanita di sampingku. Tenggorokan ini tercekat. Meski pernah disakiti dua kali dalam pernikahan, tetapi yang dialami Nia ini jauh lebih berat dari yang pernah menimpaku.Sekitar seperempat jam, kami bersama dalam bisu. Nia masih menangis. Kali ini, dengan suara yang a