Akhirnya, anak kecil itu bermai bersama Anti di lantai. Sementara Agung mengamati dari kursi. Namun, tak lama kemudian, dirinya ikut bergabung. “Tante, kapan doa aku dikabulkan?” tanya Felish di sela-sela aktivitas mainnya. “Doa yang mana?’” Anti bertanya. “Doa, aku minta sama Allah agar aku punya ibu seperti Tante Anti,” jawab Felish. Dia menghentikan kegiatan mainnya sejenak. Anti dan Agung berpandangan. “Sebentar lagi, Tante Anti akan menjadi ibu Felish,” jelas Agung. “Benarkah?” Felish bertanya dengan mata penuh binar bahagia. “Iya,” jawab Agung memasrikan. “Makanya, mulai sekarang, Felish coba latiha memanggil Ibu,” lanjutnya lagi. “Baik, Ayah. Tante, bolehkan aku memanggil Ibu?” tanya Felish dengan menatap Anti lekat. Anti hanya menjawab dengan anggukan. Felish bertepuk tangan girang. Tak lama Nadia pulang. Dan menfajak Felish membeli jajan ke luar. Saat itulah digunakan Agung untuk menyampaikan hal-hal yang berkaitan dengan pernikahan mereka. Tentu saja, hal itu melibat
Beberapa hari sebelum pernikahan, seperti rencana awal, Agung mengajak Anti beserta Nadia berkunjung ke rumah Agam. Tak lupa, Felish ia ajak serta.Di rumah mungil mantan suami Anti, untuk pertama kalinya Agung berkenalan dengan ayah Bilal. Mereka langsung terlihat akrab. Pun dengan Felish dan Bilal. Kedua bocah balita dengan jarak usia dua tahun lebih itu bermain dan tertawa bersama.Pada kesempatan itu, Agung menyampaikan secara langsung pada Agam bahwa ia akan meminang Anti, ibu kandung dari Bilal.“Saya bersyukur sekali, Mas Agung, akhirnya Anti menemukan jodoh yang baik dan sholeh,” ucap Agam terlihat lega.“Saya manusia yang banyak dosa dan harus banyak belajar lagi. Hanya saja, saya merasa, Anti adalah wanita sholehah yang saya yakin bisa saya ajak hidup bersama mencari ridho Allah,” sahut Agung merendah.Mendengar dirinya dipuji, Anti yang duduk di kasur depan televisi bersama Laila--hanya menunduk dan terlihat malu.Pada kesempatan itu, Agung juga meminta secara khusus, agar
Agam berkali-kali mengucap rasa syukurnya dalam hati. Anti adalah sosok yang memiliki sebuah tempat special dalam hatinya. Meskipun saat ini, rasa itu bukanlah sebuah cinta. Namun, sebuah kenangan yang telah terjadi diantara keduanya adalah lukisan dalam hati yang tidak akan pernah hilang. Dari wanita itu, ia merasakan apa itu arti cinta pertama. Bahkan, untuk pertama kalinya merasakan banyak hal dengannya. Sebuah pengalaman, mengunjungi tempat-tempat yang baru, itu sering ia lakukan. Kini, hatinya telah lega, perempuan yang mengandung Bilal telah menemukan teman hidup, yang akan menemaninya dalam suka dan duka. Dan teman hidup Anti adalah lelaki sholeh yang bertanggung jawab. Ia berharap, setelah ini, hidup mereka akan baik-baik saja. Dan akan terus bisa menjalin tali silaturahmi. Sementara Tohir merasa, ada setitik sedih dalam hati. Tidak dipungkiri, rasa cintanya masih ada untuk wanita yang menjadi istri pertamanya itu. Dengan status baru Anti, tentu saja, Tohir harus mengubur dala
Selesai acara foto bersama dengan keluarga kecil Agam menjadi tanda berakhirnya acara yang sangat sederhana itu.Saatnya mantan suami Anti beserta anaknya berpamitan pulang."Terima kasih, Mas Agam, sudah bersedia untuk datang di acara akad nikah kami," ujar Agung setelah Agam mengucapkan kalimat sebagai ucapan pamit."Sama-sama, Mas Agung. Titip Anti, ya? Semoga kalian bahagia selamanya sampai jannahnya Allah," sahut Agam.Agung mengangguk paham. Mereka saling berjabat tangan. Ketika Bilal hendak pulang, Anti memeluk anak itu lama sekali. Sedih tentu saja selalu ia rasa saat ingin berpisah dengan balutan yang pernah tinggal di rahimnya selama sembilan bukan itu. Namun, kali ini wanita yang memakai baju syar'i itu mencoba menguatkan diri. Bahwa hidupnya kini, telah memasuki fase yang baru. Yang tidak boleh ia larut dalam kesedihan yang sama.Bilal akan selalu ada dalam hatinya. Itu yang ua tekankan pada diri."An, pulang, ya?" pamit Agam. Anti hanya menangkupkan tangan."Mbak, pulang,
Wanita yang masih memakai kerudung besar dengan bunga melati masih menghias di kepalanya memalingkan muka dan tertawa malu."Jangan bersedih terus. Karena kamu akan melewatkan banyak kesempatan untuk tertawa bahagia," ujar Agunng lagi. Kini, telapak tangannya telah berpindah ke ujung kepala yang tertutup khimar.Anti merasakan sebuah belaian lembut yang terasa menentramkan."Ayo, jawab! Mau sedih lagi apa tidak?" tanya Agung dengan wajah yang ia dekatkan pada muka Anti.Hati lelaki bertubuh tegap itu merasa berdebar-debar sebenarnya. Namun, demi menghibur Anti, ia berusaha membuang jauh rasa gugup yang menguasai dada.Anti hanya menjawab dengan gelengan kepala. Lalu, ia tersenyum."Ayo, kita keluar. Gak enak sama keluarga kamu. Maaf tadi aku terbawa suasana," ajak Anti dan bersiap beranjak.Namun, lengannya dicekal Agung. "Mau sampai kapan panggil kamu?" tanya Agung lirih. Nadanya ia buat manja. "Coba tanya samaPak Ustadz, boleh tidak, sama suami panggil kamu," tambahnya lagi."Em, be
Matahari semakin berjalan ke arah barat. Sinarnya kekuningan, menentramkan hati siapapun yang melihat. Angin sore berhembus pelan, menambah suasana yang cerah semakin terasa damai.“Sudah siap?” Agung bertanya pada istrinya yang tengah mematut diri di depan cermin.“Sudah,” jawab Anti seraya menoleh, menyunggingkan senyum termanisnya.Hari pertama menjadi suami istri, mereka sudah berencana untuk menginap di rumah Agung. Permintaan yang Agung inginkan sebenarnya. Sekaligus ingin mengenalkan sang istri pada tempat tinggalnya selama ini. Hal yang sejatinya konyol, karena pada umumnya, seorang wanita sudah tahu tempat tinggal sang suami sejak sebelum pernikahan terjadi. Akan tetapi, Anti yang memang sangat membatasi diri terhadap Agung, hal tersebut tidak menjadi sebuah hal yang penting untuk tahu bagaiamana kondisi rumah calon pendamping hidupnya.“Kenapa?” Anti bertanya heran, saat melihat pria yang memakai kaus berkerah serta lengan pendek berwarna navi masih berdiri di ruangan kamar
Sepanjang perjalanan mereka terdiam. Motor melaju dengan kecepatan sedang. Angin sore berhembus menerpa wajah keduanya. Akan tetapi, Agung sama sekali tidak merasakan indahnya suasana pengantin baru di sore itu. Hatinya kesal oleh sebab sikap dingin dan kaku sang istri.Tiba-tiba motor berhenti., membuat Anti terhenyak.“Kenapa?” Spontan turun dari motor, ibu sambung Felish bertanya.“Kamu mau jatuh? Berpegangan bisa, ‘kan?” tanya Agung dengan sorot mata kesal.“Motornya ‘kan, berjalan pelan. Jadi, aku tidak mungkin jatuh,” kilah Anti.“Ok, naiklah!” sahut Agung ketus. Membuat Anti bertanya heran, mengapa suaminya berubah.Lagi, sepanjang jalan, mereka hanya saling diam. Hingga sampai di depan rumah mungil di komplek perumahan.Agung masuk lebih dulu tanpa mengajak Anti. Wanita yang memakai khimar besar itu hanya mengikuti dari belakang masih dengan perasaan heran.Pintu terbuka. Sang pemilik rumah sudah lebih dulu melenggang masuk ke dalam kamar. Anti masih mengikuti dari belakang, m
"Kenapa masih di sini?" tanya Agung kaget saat membalikkan badan."Kamu marah?" tanya Anti balik."Marah untuk apa? Untuk yang mana?" Agung balik bertanya kembali."Karena sikapku tadi siang," jawab Anti lirih. Jari jemarinya memainkan ujung khimar yang ia kenakan.Agung tak langsung menjawab. Meletangkan tubuh menghadap langit langit rumah. "Menurutmu?" sahut Agung lirih."Iya, menurut aku kamu marah," sambung Anti.Agung kembali menggerakkan badan. Kali ini, pria itu duduk menyandarkan tubuh pada tembok. "Salahkah aku bila menuntut hal yang seperti tadi sore? Apakah aku masih berdosa bila melakukan hal itu?" ucapnya.Giliran Anti yang diam. "Tidak salah. Hanya saja, aku merasa belum terbiasa. Dan juga, aku merasa sudah tua. Tidak pantas untuk seperti itu," jawab Anti lirih."Lalu, untuk apa kita menikah? Apakah menurut kamu, menikah itu hanya mengucapkan ijab qabul saja? Terus, dulu waktu kamu menikah, kamu ngapain aja?" tanya Agung beruntung dengan nada kesal.“Dulu itu beda dengan