Aliya tak memutuskan pandangannya pada layar ponselnya. Dadanya berdegup tak beraturan menanti jawaban dari teman si pemilik akun.
[Ridwan. Apakah mobilnya adalah CRV hitam?] Tak sabar, hingga Aliya mengirimkan pertanyaan lagi.
Sekitar lima belas detik kemudian.
[Ya, benar. CRV berwarna hitam]
“Ya Tuhan… .” Jantung Aliya serasa berhenti berdetak beberapa saat.
[Benar-benar CRV hitam? Di jalan raya Cibinong dekat ruko dan dealer?] Aliya melemparkan lagi pertanyaan yang dijawab cepat oleh lawan chat-nya.
[Benar. Jalan raya Cibinong dekat ruko laksa Cibinong dan dealer Toyota]
‘Ya Tuhan. Dia benar! Lokasi kejadian memang dekat ruko yang menjual laksa dan dealer mobil T*yota!’ sahut Aliya dalam hati.
Aliya terduduk lemas di pinggir ranjangnya. Pikirannya melayang. Kejadian kecelakaan itu kembali membayang dalam benaknya.
[Namamu Ridwan, kan? Apakah ini benar kamu orang yang berbeda dengan pemil
Aliya tengah duduk di satu meja di food court sebuah plaza. Plaza yang tidak terlalu besar di miliki kota kecamatan di Cibinong ini. Tahun 2013 memang telah mulai banyak berdiri pusat perbelanjaan di Cibinong, meskipun masih tidak seramai atau semegah yang ada di Bandung. Di antara beberapa pusat perbelanjaan yang ada, Aliya memilih yang berlokasi dekat dengan terminal Cibinong. Seperti kata Diani, jika terjadi suatu hal yang tidak diinginkan, ia akan mudah mencari pertolongan. Ingatan Aliya lalu melayang ke percakapan semalam melalui medsos berwarna biru yang akhir-akhir ini sering ia gunakan. Seperti yang sudah Aliya duga sebelumnya, Ridwan-lah yang masih membalas chat yang Aliya kirim melalui kolom komentar. [Jadi, bagaimana menurutmu? Atau kau ada usul lain untuk membuktikan bahwa akun ini asli dan kalian adalah orang-orang asli?] [Kalau teh Aliya mau ketemu saya, sekarang pun saya bisa. Tapi untuk Einhard, saya harus liat situasinya lagi] [Saya ga minta mesti ketemu pemilik
Aliya menelan ludah. Seorang pria jangkung kini berdiri di sisi kanannya. Dengan kemeja lengan panjang polos berwarna biru muda tanpa kerah dan celana jeans berwarna navy. “Kau Aliya, kan?” tanya pria itu lagi. Aliya mengangguk bingung. Ia berusaha menenangkan degup jantungnya yang sedikit berpacu. “Euh… Rid..wan?” Pria itu menggeleng. “Bukan. Saya Einhard.” Aliya terkesima. ‘Oh… My… God…!’ ‘Mbak Tri sialan! Apanya yang ga tinggi-tinggi amat! Apanya yang tembem, bulat dan sawo matang?!’ rutuk Aliya dalam hati. Bukan apa-apa. Ia tahu, ini bukan salah mbak Tri. Tapi Aliya hanya sangat kaget, ketika dalam bayangannya mengikuti deskripsi dari mbak Tri, namun di hadapannya kemudian muncul sosok yang jauh berbeda dari gambaran itu. Kedua mata Aliya mengerjap. Begitu jelas dalam pandangan matanya, tubuh jangkung atletis dengan kulit putih bersih yang berdiri di dekatnya itu. Rahang tegas dan tinggi serta hidung mancung dan bibir yang melekuk indah. Seperti perpaduan lokal dan timur te
Rahang Aliya jatuh seketika. Ia segera menutup mulutnya dan merapatkan bibirnya. Entah kenapa, rasanya ia ingin tertawa.“Maaf, saya bukan artis. Karena itu tanda tangan saya pun mungkin tidak akan laku, mbak,” tolak pria itu halus.Pramusaji wanita itu mengusap pipi kanannya lalu berkata lagi. “Kalau begitu, boleh foto bareng? Mas nya cakep banget kaya artis. Cakep yang langka di Bogor ini. Saya baru ketemu yang cakep banget kayak mas-nya,” ungkap pramusaji itu tanpa malu-malu lagi.Aliya memalingkan wajahnya dengan bibir terkatup rapat menahan tawa.“Maaf.”Terdengar suara berat pria itu menolak lagi.“Satu kaliii aja mas. Pleasee… Siapa tau nanti kalau saya ketemu jodoh, bisa mirip-mirip mas nya…” Pramusaji itu tak mau menyerah.Aliya kini menoleh ke arah pria itu dan bisa melihat sang pramusaji yang malah berdiri makin mendekat pada pria itu.“Ayo lah mas.
“Apa tadi kau bilang?” Aliya bertanya tak percaya.“Kau adalah wanita yang telah saya cari selama bertahun-tahun ini,” ulang Elang dengan mata menatap lurus pada Aliya.“Aku…” Aliya memundurkan punggungnya ke sandaran kursi.“Apa kau akan percaya jika saya bilang seperti itu?” tanya Elang.“Maksudmu?”Elang tersenyum. “Saya hanya bercanda.”“Ah….” Aliya menghembuskan napas lega. Namun sejurus kemudian, ia melihat kelopak mata Elang yang meredup.“Kau tidak benar-benar mencariku selama sebelas tahun kan?” kedua mata Aliya terpicing.“Tidak,” sahut Elang lalu mengangkat gelasnya, dan meminum jus alpukat itu lagi. Ia mengalihkan pandangannya ke samping.Aliya memperhatikan Elang.‘Anggun sekali. Bahkan caranya minum pun terlihat begitu elegan. Artistik…’ batin Aliya tan
Pagar besi tinggi berwarna hitam itu bergeser otomatis, tatkala sebuah mobil pajero putih mendekat. Pagar itu lalu menutup kembali ketika mobil telah melewati dan masuk ke dalamnya. Melalui deretan pohon palm tinggi di sisi kanan, seratus meter kemudian mobil itu berhenti di teras depan rumah dengan empat pilar besar yang menambah kemegahan bangunan tiga lantai dengan dominan cat berwarna putih itu. Seorang lelaki paruh baya dengan seragam berwarna hitam putih bergegas mendekat ke arah pintu kemudi. Tangannya hendak terulur untuk membuka pintu, namun pintu itu telah lebih dulu dibuka dari dalam mobil. Kaki panjang yang terbalut celana jeans berwarna navy tampak menjejak paving block di bawahnya. “Maaf saya terlambat, Den,” lelaki paruh baya itu membungkuk menyapa sekaligus meminta maaf pada pria yang keluar dari dalam mobil. “Tidak apa Pak Soleh,” sahut pria itu dengan tersenyum. Ia lalu melangkah menapaki tiga anak tangga menuju dua pintu bes
“Jadii… How was it?” Diani langsung bertanya begitu Aliya duduk di kursi dan meletakkan ranselnya. “Aman?” tanya Diani lagi. “Aman, Miss…” Aliya tersenyum lalu mengeluarkan map dari dalam tasnya. “Ternyata tidak semenakutkan itu.” “Syukur deh kalau gitu. Miss dah tenang berarti sekarang ya? Gratitude has been said, terus sudah kenal juga sama orangnya…” “Ya. Meskipun rasanya masih kurang plong…” sahut Aliya. “Kenapa?” “Dia telah banyak menolongku, Miss. Aku hanya mengucapkan terima kasih ala kadarnya. Rasanya tidak sebanding dengan apa yang dia lakukan terhadapku.” “Well ya mungkin tidak juga,” komentar Diani. “Kalau dia orang baik, dia pasti tulus saat membantumu Miss dan gak akan mengharap imbalan apa-apa. Tapi kalau ada udang di balik bakwan, sikat aja!” Aliya tertawa kecil. “Enak tuh, bakwan…” “So, dia orang sini?” Aliya menggeleng. “Nope. Dia orang Bandung katanya. Tapi lahir di Jerman.” “Wu
“Miss,” Diani menegur pelan. “Don’t be impulsive…”“Tenang Miss,” sahut Aliya dengan mata tetap terarah pada Milah.“Oh, taruhan?” Milah tersenyum miring. “Siapa takut? Saya tanya sekali lagi nih, kalau Miss ga bisa hadir dengan suami, Miss akan lakukan apapun kata saya?”Aliya mengangguk tenang. “Ya.”“Apapun? Termasuk…” Milah menjeda perkataannya. “Keluar kerja dari sini?” tanyanya dengan sudut bibir kiri tertarik ke atas.“Miss, jangan keterlaluan lah,” tegur Diani. Kali ini ia tujukan pada Milah.“Siapa yang keterlaluan? She asks for it,” kilah Milah santai.“Gimana, Miss? Berani?”Aliya terdiam sekian detik sebelum akhirnya ia mengangguk. “Oke. Kenapa mesti tidak berani?”“Hahaha. Oke!” kata Milah dengan tawanya yang membuat sakit telinga Aliy
Tut.Panggilan terputus.Aliya tertegun. Tangan yang memegang ponsel pun terkulai lemas.Meskipun kalimat seperti yang diucapkan Bisma mungkin sudah tidak mengagetkan dirinya lagi, namun ia tetap terpukul.Ia tak pernah menyangka akhirnya beginilah nasib rumah tangga yang telah sekuat dan sepenuh hati ia perjuangkan. Dengan menentang orangtuanya, dengan memendam segalanya sendiri.Meski ia merasa dirinya kuat, tak urung ia menekuk kedua lutut, memeluknya, lalu menundukkan kepala dan membenamkannya di antara tekukan lutut itu.Dengan bahu bergetar pelan, tangis tanpa suara pun pecah pada malam hari itu.* * *Pagi hari ini Aliya telah menelepon mbak Tri. Ia meminta izin tidak masuk untuk mengajar hari ini. Untungnya ia hanya punya jadwal satu kelas saja. Dan itu akan di take overoleh Nilam.Ia berencana hanya berdiam di rumah. Tidak akan melakukan apapun. Rebahan, minum, mungkin sedikit makan, lalu rebahan