"Megan, apa yang sebenarnya terjadi?" Baron duduk di tepi ranjang, menatap prihatin akan kondisi Megan yang mengenaskan. Wajahnya pucat dengan kelopak mata yang membengkak."Aku tahu sepanjang hari ini kamu terus menangis. Katakan, apa yang membuat mu begitu sedih setelah bertemu Papa Riley?"Megan hendak menggeleng namun Baron segera menghentikan gerakannya."Kalau kamu terus mengelak, aku akan bertanya langsung pada Riley," ancam Baron dan membuat gerakan seolah dia akan mengambil ponsel dari dalam saku."Jangan." Tahan Megan cepat. "Jangan katakan apapun pada Riley.""Kalau begitu katakan yang sejujurnya. Apa yang terjadi di dalam restoran? Kamu pernah janji pada ku, Meg. Tak akan pernah ada rahasia di antara kita."Megan memalingkan wajahnya, menatap lepas keluar balkon kamarnya."Di mana teman-teman yang lain?" tanyanya tanpa mengalihkan pandangan."Mereka di bawah. Makan malam bersama karyawan cafe."Megan terdiam beberapa saat sebelum kembali menghela napas untuk ke sekian kal
"Megan di kamarnya," ucap Baron begitu melihat Riley dan Allen muncul dari balik pintu masuk cafe.Riley mengangguk paham dan segera menaiki tangga menuju lantai dua bangunan ini.Sedangkan Allen menatap Baron, bingung. Wajah itu tampak lesu dengan mata sembab."Kenapa? Apa ada masalah?"Baron mendekat, memeluk Allen secara tiba-tiba. Mengabaikan puluhan pasang mata yang menatap mereka takjub."Ada apa, Sayang?'"Allen, apa yang harus kulakukan?" Desah Baron.Allen menghela napas lalu menggiring Baron ikut bersamanya. Keduanya menyusuri pinggiran pantai buatan di sekitar cafe."Katakan, apa yang membuatmu seperti ini?"Baron menggeleng. Ia memilih posisi dan merebahkan dirinya di atas pasir. Sedangkan Allen melepas jas untuk menutupi bagian depan tubuh Baron dari terpaan udara dingin yang menggigit lalu duduk disampingnya."Terkadang, tak ada seorangpun yang bisa menerka alur hidup ini. Di saat semuanya baik-baik saja, selalu ada badai yang datang untuk memporak-porandakan semuanya hi
"Gimana, kamu suka? Baru-baru ini aku mempelajari resep baru."Riley menatap istrinya penuh harap. Menunggu respon Megan atas citarasa dari inovasi baru, menu yang dibuatnya."Hmm, tidak buruk," balas Megan datar."Hanya itu?" Ucap Riley sedikit kecewa.Megan melebarkan senyum di bibirnya. "Rey, ini tidak buruk ini luar biasa," serunya sambil terkikis geli. "Kamu sengaja ya?" Desis Riley curiga. "Dari mana istriku ini belajar jahil, hmm?"Riley mencubit gemas hidung Megan lalu mengelus pipinya."Ini bakat alami, Rey. Tidak perlu dipelajari," kekeh Megan. Ia kembali menyendok porsi besar lasagna dari mangkuk ke piringnya."Kamu belajar dari Baron, 'kan?" Tebak Megan.Riley melebarkan matanya. "Kamu tahu?"Ia menepuk keningnya. "Ah, aku lupa. Tidak ada rahasia diantara kalian.""Tidak juga. Baron tidak mengatakan apapun. Untuk beberapa hal yang menurutnya tidak perlu dibeberkan, Baron tidak akan menceritakannya pada ku.""Jadi, dari mana kamu tahu?" Selidik Riley penasaran.Megan meng
"Tuhan …" racau Riley. "Sejauh mana kamu mau membuatku gila, Megan."Ia meraup rahang Megan, menundukkan tubuhnya untuk bisa meraih bibir yang terus saja membakar gairahnya. Riley menuntut bibir itu untuk bertanggung jawab. "Rey," desah Megan begitu tekanan demi tekanan membuat bibirnya terkatup rapat.Hanya butuh sedikit celah, saat hisapan kuat hingga badai menyapu langit-langit dan mengajak lidahnya menari. Suara decakan berpadu dengan desahan tertahan. Udara panas semakin menguat hingga salah satu dari mereka berhenti dan mengurai jarak.Riley menarik diri. Tatapannya semakin mengelap kala pandangan berhenti pada wajah yang merah dengan napas tersengal-sengal."Bukankah aku sudah memperingatkan mu, Sayang?"Megan tersenyum sambil mengalungkan tangannya ke leher suaminya. "Dan bukankah aku memintamu untuk melepaskannya?"Tak mau lagi membuang waktu, Riley melepaskan tangan Megan. Ia menarik keluar kemeja lengan panjangnya dan melepaskan seluruh pakaian yang melekat di tubuhnya.R
Megan menatap lekat wajah tampan yang terlelap lelah setelah malam panjang yang mereka lalui. Mata Megan enggan untuk terpejam, ia ingin mengabadikan seluruh momentum terakhir dalam bentuk memori indah yang akan dijaganya sebaik mungkin.Megan mengulurkan tangannya untuk membingkai wajah suaminya di udara. Menyusuri setiap jengkal tajam dan tegas itu, mengukir sisa asa dihatinya."Aku mencintaimu, Riley," ucap Megan tanpa suara. Matanya berkaca-kaca saat harus mengucapkan perpisahan. Megan mengecup kening Riley untuk terakhir kalinya dengan menahan airmata. Hatinya teriris pilu membayangkan hidupnya tanpa sosok Riley.Perlahan dengan sekuat hatinya bertahan, Megan menyeret tubuhnya untuk turun dari rranjang. Meraih jaket yang telah dipersiapkan sebelumnya dan kembali membalikkan tubuhnya, menatap wajah Riley untuk terakhir kalinya.'Semoga di masa depan, kita tak lagi bertemu dengan membawa takdir buruk ini,' batinnya.***"Sayang."Setengah sadar, Riley menepuk sisi ranjang yang ko
"Aku tidak bisa menemukan Megan dimanapun," seru Zian begitu memasuki ruang tengah kediaman keluarga Riley Charles.Nesa mengikuti langkahnya dengan raut cemas. "Dia juga tidak datang ke kantor asosiasi penulis," ucapnya.Di sudut ruangan, Riley duduk dengan ekspresi gelap. Penampakannya kacau, dia bahkan tidak menganti piyama dan bercukur. Rambutnya yang biasanya tersisir rapi dengan balutan wax kini dibiarkan begitu saja, jatuh turun hingga menutupi sebagian matanya.Meski tidak mengurangi kadar ketampanannya, namun sosok Riley saat ini bisa membuat orang lain tercengang dan menganggapnya asing.Riley telah menghubungi semua orang yang berpotensi mengetahui keberadaan Megan. Bahkan ia menghubungi Daniel dan ibunya, berharap Megan datang dan menemui mereka."Apa dia ke makam Ibu panti lagi?" tebak Nesa."Tidak. Aku dan Allen sudah kesana," sahut Baron sambil menggigit ujung kuku jempolnya.Allen mengikuti arah pandangan Riley yang terus memperhatikan setiap detil gerakan Baron dan di
"Kenapa kamu bertanya? Bukankah kamu yang membuatnya pergi?" Suara Baron dingin dan datar saat mengurai kalimat bernada ketus. Tatapannya tajam, seakan bisa membunuh lawannya."A—apa maksud mu?" tanya Yasmen terbata. Ia tak menyangka Baron akan mengarahkan pertanyaan menusuk untuk menyambut kedatangannya."Apa yang kamu katakan pada Megan hingga membuatnya menghilang seperti ini?" Tuding Baron."Sayang, tenanglah." Allen yang tengah sibuk melilit perban ke tangan Baron seketika harus merubah posisinya untuk mendekap pundak pria itu, mencegahnya untuk bangun dan menghampiri wanita paruh baya yang menatapnya dengan tatapan bingung."Mama ku tidak mungkin menyakiti Kak Megan," bela Daniel."Dia sudah pernah melakukannya sekali, bukan tidak mungkin dia melakukannya lagi," ujar Baron sinis.Daniel menghela napas panjang. "Baron, Mama ku tak seburuk itu.""Cukup, duduklah dulu." sela Zian."Silahkan, Tante." Ia sengaja menyela aksi saling tuding di antara dua kubu demi menjaga kondusifita
Tujuh bulan kemudian …[Oeek … Oeek ...]Suara tangis saling bersahutan, memenuhi ruangan serba putih yang dikelilingi berbagai alat medis. Di tengah ruangan—di atas ranjang, seorang wanita setengah sadar mengulas senyum bahagia menyambut kelahiran kedua putrinya. Tiga wanita yang mengelilinginya, mengenakan pakaian tertutup serba hijau. Mata mereka tampak bersinar cerah seolah tengah tersenyum lega di balik masker berwarna senada. Mereka menatap dua bayi merah berjenis kelamin perempuan yang terus menangis keras, sambut menyambung bagai paduan suara. "Syukurlah, dok. Bayi kedua selamat," ucap para wanita yang bertugas sebagai suster dengan senyum penuh syukur."Ya, aku hampir menyerah." Desah sang dokter. Dokter membawa bayi kedua, memotong tali pusar dan membalut bayi itu dengan handuk putih yang lembut lalu membawanya ke tabung transparan, meletakkan sang bayi disamping bayi lainnya—saudara kembarnya. Tangis keduanya seketika terhenti, seakan sadar bahwa keduanya tak akan lagi