"Aku tidak bisa menemukan Megan dimanapun," seru Zian begitu memasuki ruang tengah kediaman keluarga Riley Charles.Nesa mengikuti langkahnya dengan raut cemas. "Dia juga tidak datang ke kantor asosiasi penulis," ucapnya.Di sudut ruangan, Riley duduk dengan ekspresi gelap. Penampakannya kacau, dia bahkan tidak menganti piyama dan bercukur. Rambutnya yang biasanya tersisir rapi dengan balutan wax kini dibiarkan begitu saja, jatuh turun hingga menutupi sebagian matanya.Meski tidak mengurangi kadar ketampanannya, namun sosok Riley saat ini bisa membuat orang lain tercengang dan menganggapnya asing.Riley telah menghubungi semua orang yang berpotensi mengetahui keberadaan Megan. Bahkan ia menghubungi Daniel dan ibunya, berharap Megan datang dan menemui mereka."Apa dia ke makam Ibu panti lagi?" tebak Nesa."Tidak. Aku dan Allen sudah kesana," sahut Baron sambil menggigit ujung kuku jempolnya.Allen mengikuti arah pandangan Riley yang terus memperhatikan setiap detil gerakan Baron dan di
"Kenapa kamu bertanya? Bukankah kamu yang membuatnya pergi?" Suara Baron dingin dan datar saat mengurai kalimat bernada ketus. Tatapannya tajam, seakan bisa membunuh lawannya."A—apa maksud mu?" tanya Yasmen terbata. Ia tak menyangka Baron akan mengarahkan pertanyaan menusuk untuk menyambut kedatangannya."Apa yang kamu katakan pada Megan hingga membuatnya menghilang seperti ini?" Tuding Baron."Sayang, tenanglah." Allen yang tengah sibuk melilit perban ke tangan Baron seketika harus merubah posisinya untuk mendekap pundak pria itu, mencegahnya untuk bangun dan menghampiri wanita paruh baya yang menatapnya dengan tatapan bingung."Mama ku tidak mungkin menyakiti Kak Megan," bela Daniel."Dia sudah pernah melakukannya sekali, bukan tidak mungkin dia melakukannya lagi," ujar Baron sinis.Daniel menghela napas panjang. "Baron, Mama ku tak seburuk itu.""Cukup, duduklah dulu." sela Zian."Silahkan, Tante." Ia sengaja menyela aksi saling tuding di antara dua kubu demi menjaga kondusifita
Tujuh bulan kemudian …[Oeek … Oeek ...]Suara tangis saling bersahutan, memenuhi ruangan serba putih yang dikelilingi berbagai alat medis. Di tengah ruangan—di atas ranjang, seorang wanita setengah sadar mengulas senyum bahagia menyambut kelahiran kedua putrinya. Tiga wanita yang mengelilinginya, mengenakan pakaian tertutup serba hijau. Mata mereka tampak bersinar cerah seolah tengah tersenyum lega di balik masker berwarna senada. Mereka menatap dua bayi merah berjenis kelamin perempuan yang terus menangis keras, sambut menyambung bagai paduan suara. "Syukurlah, dok. Bayi kedua selamat," ucap para wanita yang bertugas sebagai suster dengan senyum penuh syukur."Ya, aku hampir menyerah." Desah sang dokter. Dokter membawa bayi kedua, memotong tali pusar dan membalut bayi itu dengan handuk putih yang lembut lalu membawanya ke tabung transparan, meletakkan sang bayi disamping bayi lainnya—saudara kembarnya. Tangis keduanya seketika terhenti, seakan sadar bahwa keduanya tak akan lagi
"Siapa?""Daniel." Edbert memanggil putranya yang menunggu di luar pintu untuk masuk.Daniel melangkah masuk dengan wajah tertunduk. Ia takut Megan akan kembali menolak kehadirannya."Kak Megan, selamat atas persalinannya." Cicit Daniel takut.Megan menatapnya lalu tersenyum lembut. "Terima kasih," balasnya."Eh?" Daniel membelalakkan matanya karena mendapat respon yang baik. Jauh dari apa yang ia dan Edbert bayangkan."Kenapa?" tanya Queen bingung."Ah, aku hanya kaget karena tidak biasanya Kak Megan tidak mengamuk," jelas Daniel polos."Kapan aku pernah mengamuk," kilah Megan."Selalu," balas dua suara bersamaan, Daniel dan Kevin yang baru saja masuk bersama para suster yang mendorong dua tabung bayi.Ekspresi Megan berubah kecut. "Lihat, si kembar datang." Sambut Queen yang mengambil alih salah satu tabung bayi dari para suster dan mendorongnya ke arah Megan."Halo, Sayang. Ayo, kita sapa Mama."Queen mengangkat bayi mengenakan gelang merah dan membawanya ke hadapan Megan. "Ini K
"Kenapa? Kamu flu?" Tanya Megan yang tengah sibuk menatap layar laptopnya.Kevin mengosok hidungnya yang tiba-tiba gatal. "Entahlah. Apa ada orang yang sedang mengumpat ku?" gumamnya sambil berpikir."Ada ratusan wanita di luar sana yang sakit hati dan berpotensi untuk mengumpat bahkan mengutuk mu," ledek Megan. Ia tetap fokus pada pekerjaannya meski mulutnya tampak bersemangat untuk menggoda Kevin.Kevin berdecak sebal. "Kamu datang hanya untuk meledek ku 'kan?""Menurut mu begitu?" Megan melirik pria dihadapannya. "Aku meninggalkan kedua putri ku di rumah hanya untuk datang dan membereskan semua pekerjaan ini.""Apa saja yang kamu lakukan selama aku di rumah sakit? Kenapa tak ada satupun pekerjaan yang beres?" Cercanya kesal.Kevin mengerucutkan bibirnya. "Aku bolak-balik rumah sakit, Meg." Keluhnya beralasan."Non sense. Kamu hanya mencari alasan untuk mangkir dari kerjaan. Liat nih, pekerjaan mu jauh dari kata rampung. Aku tak menyangka, kamu lebih parah dari Zian." Omel Megan."
"Selamat siang, Pak Edbert." Sapa pria dengan tubuh jangkung dan janggut tipis yang menghias wajah tirus dan kulit pucat."Oh, dokter Brown. Silahkan duduk," sambut Edbert yang tengah memangku Ayanna yang tertidur lelap."Apakah ini putra dan cucu anda?" tanya dokter yang datang dengan setelan jas resmi."Ya. Ini putraku, Daniel. Dan ini kedua cucu, anak dari putri pertamaku," jelas Edbert dengan nada bangga.Daniel yang tengah mengendong Anthea yang sedikit rewel, terus memperhatikan ekspresi Papanya. Untuk pertama kalinya ia bisa melihat wajah Edbert yang begitu bersemangat saat membahas hal yang tidak berkaitan dengan politik."Betapa lengkap kebahagiaan di keluarga anda."Edbert mengangguk senang. "Kamu benar. Belakangan ini aku benar-benar sangat senang dengan peran baru ini," ucapnya dengan senyum lebar."Sepertinya anda akan seger pensiun dari dunia politik?" Goda Brown."Kamu benar. Aku ingin segera pensiun dan duduk di rumah untuk mengurus dua putri ini," kekeh Edbert menimpa
"Daniel, apa Mama di Perancis?" Singgung Edbert saat keduanya menikmati teh sore.Daniel yang tengah sibuk dengan ponselnya, mengangkat kepala."Nggak, Pa." Daniel meneliti ekspresi wajah Edbert yang datar. "Mama masih di kampung halaman."Edbert mengangguk samar. Sejak pertengkaran terakhir, ia memilih menetap di Amerika agar bisa selalu dekat dengan Megan."Apa Papa ingin mengunjungi Mama?" tanya Daniel hati-hati."Ya. Besok Papa akan pulang untuk menjenguk Mamamu." Balas Edbert tetap dengan ekspresi datar."Pa, bisakah kalian rujuk? Mama sangat menyesali tindakannya di masa lalu."Edbert menatap lekat sosok putranya. "Apa kamu ingin kita kembali bersama?""Tentu saja." Sahut Daniel cepat. "Aku ingin keluarga kita kembali seperti dahulu, apalagi sekarang ada kak Megan dan si kembar. Keluarga kita menjadi lebih lengkap."Edbert mengangguk setuju. "Semoga saja Papa bisa segera memperbaiki semua ini, Nak.""Oh, bisakah kamu menjaga Megan dan putrinya selama Papa pergi?""Tentu saja." S
"Kak, kita langsung ke hotel acara atau kita menginap di apartemen ku?" tanya Daniel. Hari ini ia mengenakan pakaian kasual—kemeja putih yang dipadukan washed jeans dan tak lupa memasangkan kacamata hitam untuk menutupi wajah agar tidak menarik perhatian orang-orang yang lalu lalang di bandara."Langsung ke hotel aja. Aku udah booking kamar sebelum kita berangkat," sahut Megan tanpa mengalihkan pandangannya dari dua kereta dorong putri kecilnya."Apa mereka baik-baik saja? Kenapa mereka sama sekali tidak rewel saat di pesawat?" Gumam Megan cemas."Kamu Ibu yang aneh. Bukankah bagus kalau anak-anak mu tidak rewel?" Kekeh Queen yang tengah melihat foto di layar ponselnya."Aku hanya takut mereka merasa tidak nyaman," desah Megan.Queen menepuk pelan perut Anthea. "Kurasa mereka kekenyangan jadi bisa tidur dengan nyaman.""Ngomong-ngomong apa yang kamu lihat dari tadi?" tanya Megan penasaran.Sejak mereka turun dari bandara hingga duduk di lobi, Queen terus memperhatikan layar ponselnya