"Daniel, apa Mama di Perancis?" Singgung Edbert saat keduanya menikmati teh sore.Daniel yang tengah sibuk dengan ponselnya, mengangkat kepala."Nggak, Pa." Daniel meneliti ekspresi wajah Edbert yang datar. "Mama masih di kampung halaman."Edbert mengangguk samar. Sejak pertengkaran terakhir, ia memilih menetap di Amerika agar bisa selalu dekat dengan Megan."Apa Papa ingin mengunjungi Mama?" tanya Daniel hati-hati."Ya. Besok Papa akan pulang untuk menjenguk Mamamu." Balas Edbert tetap dengan ekspresi datar."Pa, bisakah kalian rujuk? Mama sangat menyesali tindakannya di masa lalu."Edbert menatap lekat sosok putranya. "Apa kamu ingin kita kembali bersama?""Tentu saja." Sahut Daniel cepat. "Aku ingin keluarga kita kembali seperti dahulu, apalagi sekarang ada kak Megan dan si kembar. Keluarga kita menjadi lebih lengkap."Edbert mengangguk setuju. "Semoga saja Papa bisa segera memperbaiki semua ini, Nak.""Oh, bisakah kamu menjaga Megan dan putrinya selama Papa pergi?""Tentu saja." S
"Kak, kita langsung ke hotel acara atau kita menginap di apartemen ku?" tanya Daniel. Hari ini ia mengenakan pakaian kasual—kemeja putih yang dipadukan washed jeans dan tak lupa memasangkan kacamata hitam untuk menutupi wajah agar tidak menarik perhatian orang-orang yang lalu lalang di bandara."Langsung ke hotel aja. Aku udah booking kamar sebelum kita berangkat," sahut Megan tanpa mengalihkan pandangannya dari dua kereta dorong putri kecilnya."Apa mereka baik-baik saja? Kenapa mereka sama sekali tidak rewel saat di pesawat?" Gumam Megan cemas."Kamu Ibu yang aneh. Bukankah bagus kalau anak-anak mu tidak rewel?" Kekeh Queen yang tengah melihat foto di layar ponselnya."Aku hanya takut mereka merasa tidak nyaman," desah Megan.Queen menepuk pelan perut Anthea. "Kurasa mereka kekenyangan jadi bisa tidur dengan nyaman.""Ngomong-ngomong apa yang kamu lihat dari tadi?" tanya Megan penasaran.Sejak mereka turun dari bandara hingga duduk di lobi, Queen terus memperhatikan layar ponselnya
"MEGAN!"Suara keras mengelegar seketika menarik semua perhatian orang-orang yang ada di dalam aula. Mereka saling berbisik, antara mengangumi atau takut pada sosok tampan dengan tatapan tajam dan rahang tegas yang berjalan masuk dengan langkah cepat."Kamu tidak akan bisa lari lagi," desis pria itu dengan nada berat dan kasar. "Rey." Ucap Megan dengan suara bergetar.Riley mencengkram erat tangan Megan dan menariknya untuk mengikuti langkah cepatnya keluar dari ruangan.Daniel dan Zian yang berusaha mencegah langsung dihadang oleh dua pria berbadan kekar yang datang bersama Riley."Rey, sakit." Keluh Megan sambil berusaha melepaskan tangannya.Riley berbalik menatap lekat wajah yang dirindukannya."Apa menurutmu hati ku tidak sakit?" Desisnya.Megan terhenyak. Harusnya ia tahu, bahwa Riley telah menderita karena ulahnya."Rey, maafkan aku." Cicit Megan."Simpan saja kata maaf mu itu sampai kita di rumah." Sergah Riley kasar dan kembali menarik tangan Megan."Rey, aku tidak bisa ikut
"Rey, sakit." Teriak Megan saat Riley menariknya denga paksa untuk masuk ke kamar.Tubuh Megan dihempaskan dengan kasar ke atas ranjang."Sakit," ringis Megan. Dia memijat pergelangan tangannya yang merah akibat cengkraman tangan Riley yang terlalu kuat hingga meninggalkan cetakan ruas jarinya. Megan beringsut mundur saat Riley menarik kursi dan duduk dihadapannya."Kenapa? Kamu takut padaku?" Tukas Riley sengit.Megan tak berusaha untuk mengelak tudingan Riley. Ia hanya diam, menutup rapat-rapat mulutnya."Apa maksud semua ini?" Riley melemparkan lembaran kertas yang dibawanya ke atas ranjang."Cerai? Kamu minta cerai?" Suara Riley bergetar saat mengucapkan kata cerai. Ia tak menyangka, Megan akan sejauh ini menyiksanya.Megan melirik kertas yang dikirimkannya ke kantor Riley melalui kurir pagi ini."I—iya, Rey. Kamu hanya perlu menandatangani surat itu dan aku akan mengurus semuanya sampai sidang perceraian kita selesai," tutur Megan terbata.Riley mengacak rambutnya geram akan
Megan mengangkat Ayanna dan meletakkannya dalam pelukan Riley. Kemudian beralih pada Anthea yang kembali menangis."Sabar, Sayang. Gantian sama Kakak ya," hibur Megan."Ayanna dan Anthea," gumam Riley. "Nama yang bagus.""Artinya bunga. Mereka adalah bunga dihidup kita Rey."Riley terharu saat Ayanna menatapnya dengan mata kecil yang mengemaskan sambil tersenyum senang."Rey, gantian sama Anthea. Biar Ayanna menyusu dulu." Megan meletakkan Anthea kembali ke dalam box dan beralih pada Ayanna.Riley tersenyum senang melihat Anthea tersenyum padanya dan menyerahkan tangannya. Meminta untuk digendong."Apa aku boleh mengendongnya?"Megan mengangguk. "Anthea baru selesai menyusu, jadi tepuk punggungnya dengan lembut agar dia sendawa.""Baiklah." Riley merebahkan Anthea di dadanya dan menepuk lembut punggungnya."Apa mereka hanya menyusu?" "Terkadang aku memberi mereka susu formula tapi itu jarang terjadi hanya pada kondisi darurat," sahut Megan. Ia berkonsentrasi menyusu si sulung yang ta
"Pergilah," usir Riley."Rey, mari kita bicara dengan kepala dingin," ajak Zian. Ia maju beberapa langkah mendekati Riley."Lebih baik kalian pergi. Aku tidak ingin bertindak kasar," ucap Riley lalu berbalik kembali masuk ke dalam rumah."Rey!"Baron berusaha maju tapi para pengawal yang berjaga segera menghentikan langkahnya."Sialan," umpat Baron sambil menendang pot disampingnya hingga terguling menjauh."Jangan sakiti dirimu, Baron," tahan Allen yang menarik Baron ke sisinya."Apa yang harus kita lakukan sekarang? Riley tidak akan mau mendengar siapapun lagi," desah Zian. Ia mengacak rambutnya lalu meremas gemas."Bagaimana dengan Papanya? Kita bisa minta Jenderal itu untuk menemui Riley dan bicara padanya." Usul Nesa."Jangan gila!" Sergah Baron cepat. "Riley sudah lama memutuskan hubungannya dengan Papanya. Lagian, siapa yang masih mau berurusan dengan sumber masalah."Zian mengangguk setuju. "Baron benar. Untuk saat ini Riley tidak akan mau mendengarkan orang lain, terutama Papa
"Ku harap hasilnya baik." Gumam Edbert sambil terkekeh. Menertawakan kebodohan yang tengah dilakukannya.Edbert membuka amplop yang diterimanya dari dokter Brown, ia mengeluarkan dua lembar kertas dari dalam sana dan mulai membaca setiap baris kalimat yang tercetak di kertas."Tentu saja baik, Pak. Apakah itu DNA putri anda? Karena 99%, DNA nya cocok dengan milik anda," ujar sang dokter yang seketika membuat dunia Edbert terguncang."Cocok? Maksud mu?" Edbert mengabaikan kertas yang hendak ia buka dan lebih tertarik untuk memandang sang dokter. Mencari kebenaran akan apa yang baru saja ia dengar."Ya. Dari sampel darah yang anda berikan, kami memastikan bahwa DNA itu adalah putri kandung anda.""Anda yakin dokter Brown?" "Seratus persen yakin." Ucap sang dokter tegas.Edbert memegangi kepalanya yang tiba-tiba terasa panas dan berat. "Anakku? Putriku?" Gumamnya sedih."Apa ada masalah, Pak Edbert?"Edbert melambaikan tangannya. "Tidak, tidak ada yang salah. Justru ini kabar yang sanga
Baron dan Zian berjingkrak perlahan, mengendap-endap bagai maling jemuran yang tengah menyortir tali jemuran targetnya."Di mana mereka?" Bisik Zian.Baron menggeleng. Ia telah menyusuri hampir seluruh rumah tapi tak juga menemukan jejak Megan dan suaminya.Keduanya menghilang bagai di telan bumi setelah menyerahkan si kembar di bawah pengawasan para kakek dan nenek."Apa mereka ke hotel?" Celetuk Zian."Masa sih? Niat banget," balas Baron ragu."Mereka 'kan udah lama nggak make out. Pasti bakal semalaman bertempur."Baron menegakkan tubuhnya, lelah mengintai. Ia memutar pinggulnya ke kiri dan kanan untuk merenggangkan tubuh."Dah ah, nggak asyik." Keluhnya. "Masuk yuk, lapar."Zian mengikuti jejaknya. "Ya udah deh. Aku juga mau nemanin Nesa bobok."Baron mengerlingkan matanya. "Cie … udah punya temen bobok," godanya.Zian melayangkan tangannya untuk mengeplak kepala Baron, tapi pria imut itu dengan cepat berkelit."Kamu butuh seribu tahun lagi untuk menyentuh ku," ledek Baron."Awas a