"Siapa?""Daniel." Edbert memanggil putranya yang menunggu di luar pintu untuk masuk.Daniel melangkah masuk dengan wajah tertunduk. Ia takut Megan akan kembali menolak kehadirannya."Kak Megan, selamat atas persalinannya." Cicit Daniel takut.Megan menatapnya lalu tersenyum lembut. "Terima kasih," balasnya."Eh?" Daniel membelalakkan matanya karena mendapat respon yang baik. Jauh dari apa yang ia dan Edbert bayangkan."Kenapa?" tanya Queen bingung."Ah, aku hanya kaget karena tidak biasanya Kak Megan tidak mengamuk," jelas Daniel polos."Kapan aku pernah mengamuk," kilah Megan."Selalu," balas dua suara bersamaan, Daniel dan Kevin yang baru saja masuk bersama para suster yang mendorong dua tabung bayi.Ekspresi Megan berubah kecut. "Lihat, si kembar datang." Sambut Queen yang mengambil alih salah satu tabung bayi dari para suster dan mendorongnya ke arah Megan."Halo, Sayang. Ayo, kita sapa Mama."Queen mengangkat bayi mengenakan gelang merah dan membawanya ke hadapan Megan. "Ini K
"Kenapa? Kamu flu?" Tanya Megan yang tengah sibuk menatap layar laptopnya.Kevin mengosok hidungnya yang tiba-tiba gatal. "Entahlah. Apa ada orang yang sedang mengumpat ku?" gumamnya sambil berpikir."Ada ratusan wanita di luar sana yang sakit hati dan berpotensi untuk mengumpat bahkan mengutuk mu," ledek Megan. Ia tetap fokus pada pekerjaannya meski mulutnya tampak bersemangat untuk menggoda Kevin.Kevin berdecak sebal. "Kamu datang hanya untuk meledek ku 'kan?""Menurut mu begitu?" Megan melirik pria dihadapannya. "Aku meninggalkan kedua putri ku di rumah hanya untuk datang dan membereskan semua pekerjaan ini.""Apa saja yang kamu lakukan selama aku di rumah sakit? Kenapa tak ada satupun pekerjaan yang beres?" Cercanya kesal.Kevin mengerucutkan bibirnya. "Aku bolak-balik rumah sakit, Meg." Keluhnya beralasan."Non sense. Kamu hanya mencari alasan untuk mangkir dari kerjaan. Liat nih, pekerjaan mu jauh dari kata rampung. Aku tak menyangka, kamu lebih parah dari Zian." Omel Megan."
"Selamat siang, Pak Edbert." Sapa pria dengan tubuh jangkung dan janggut tipis yang menghias wajah tirus dan kulit pucat."Oh, dokter Brown. Silahkan duduk," sambut Edbert yang tengah memangku Ayanna yang tertidur lelap."Apakah ini putra dan cucu anda?" tanya dokter yang datang dengan setelan jas resmi."Ya. Ini putraku, Daniel. Dan ini kedua cucu, anak dari putri pertamaku," jelas Edbert dengan nada bangga.Daniel yang tengah mengendong Anthea yang sedikit rewel, terus memperhatikan ekspresi Papanya. Untuk pertama kalinya ia bisa melihat wajah Edbert yang begitu bersemangat saat membahas hal yang tidak berkaitan dengan politik."Betapa lengkap kebahagiaan di keluarga anda."Edbert mengangguk senang. "Kamu benar. Belakangan ini aku benar-benar sangat senang dengan peran baru ini," ucapnya dengan senyum lebar."Sepertinya anda akan seger pensiun dari dunia politik?" Goda Brown."Kamu benar. Aku ingin segera pensiun dan duduk di rumah untuk mengurus dua putri ini," kekeh Edbert menimpa
"Daniel, apa Mama di Perancis?" Singgung Edbert saat keduanya menikmati teh sore.Daniel yang tengah sibuk dengan ponselnya, mengangkat kepala."Nggak, Pa." Daniel meneliti ekspresi wajah Edbert yang datar. "Mama masih di kampung halaman."Edbert mengangguk samar. Sejak pertengkaran terakhir, ia memilih menetap di Amerika agar bisa selalu dekat dengan Megan."Apa Papa ingin mengunjungi Mama?" tanya Daniel hati-hati."Ya. Besok Papa akan pulang untuk menjenguk Mamamu." Balas Edbert tetap dengan ekspresi datar."Pa, bisakah kalian rujuk? Mama sangat menyesali tindakannya di masa lalu."Edbert menatap lekat sosok putranya. "Apa kamu ingin kita kembali bersama?""Tentu saja." Sahut Daniel cepat. "Aku ingin keluarga kita kembali seperti dahulu, apalagi sekarang ada kak Megan dan si kembar. Keluarga kita menjadi lebih lengkap."Edbert mengangguk setuju. "Semoga saja Papa bisa segera memperbaiki semua ini, Nak.""Oh, bisakah kamu menjaga Megan dan putrinya selama Papa pergi?""Tentu saja." S
"Kak, kita langsung ke hotel acara atau kita menginap di apartemen ku?" tanya Daniel. Hari ini ia mengenakan pakaian kasual—kemeja putih yang dipadukan washed jeans dan tak lupa memasangkan kacamata hitam untuk menutupi wajah agar tidak menarik perhatian orang-orang yang lalu lalang di bandara."Langsung ke hotel aja. Aku udah booking kamar sebelum kita berangkat," sahut Megan tanpa mengalihkan pandangannya dari dua kereta dorong putri kecilnya."Apa mereka baik-baik saja? Kenapa mereka sama sekali tidak rewel saat di pesawat?" Gumam Megan cemas."Kamu Ibu yang aneh. Bukankah bagus kalau anak-anak mu tidak rewel?" Kekeh Queen yang tengah melihat foto di layar ponselnya."Aku hanya takut mereka merasa tidak nyaman," desah Megan.Queen menepuk pelan perut Anthea. "Kurasa mereka kekenyangan jadi bisa tidur dengan nyaman.""Ngomong-ngomong apa yang kamu lihat dari tadi?" tanya Megan penasaran.Sejak mereka turun dari bandara hingga duduk di lobi, Queen terus memperhatikan layar ponselnya
"MEGAN!"Suara keras mengelegar seketika menarik semua perhatian orang-orang yang ada di dalam aula. Mereka saling berbisik, antara mengangumi atau takut pada sosok tampan dengan tatapan tajam dan rahang tegas yang berjalan masuk dengan langkah cepat."Kamu tidak akan bisa lari lagi," desis pria itu dengan nada berat dan kasar. "Rey." Ucap Megan dengan suara bergetar.Riley mencengkram erat tangan Megan dan menariknya untuk mengikuti langkah cepatnya keluar dari ruangan.Daniel dan Zian yang berusaha mencegah langsung dihadang oleh dua pria berbadan kekar yang datang bersama Riley."Rey, sakit." Keluh Megan sambil berusaha melepaskan tangannya.Riley berbalik menatap lekat wajah yang dirindukannya."Apa menurutmu hati ku tidak sakit?" Desisnya.Megan terhenyak. Harusnya ia tahu, bahwa Riley telah menderita karena ulahnya."Rey, maafkan aku." Cicit Megan."Simpan saja kata maaf mu itu sampai kita di rumah." Sergah Riley kasar dan kembali menarik tangan Megan."Rey, aku tidak bisa ikut
"Rey, sakit." Teriak Megan saat Riley menariknya denga paksa untuk masuk ke kamar.Tubuh Megan dihempaskan dengan kasar ke atas ranjang."Sakit," ringis Megan. Dia memijat pergelangan tangannya yang merah akibat cengkraman tangan Riley yang terlalu kuat hingga meninggalkan cetakan ruas jarinya. Megan beringsut mundur saat Riley menarik kursi dan duduk dihadapannya."Kenapa? Kamu takut padaku?" Tukas Riley sengit.Megan tak berusaha untuk mengelak tudingan Riley. Ia hanya diam, menutup rapat-rapat mulutnya."Apa maksud semua ini?" Riley melemparkan lembaran kertas yang dibawanya ke atas ranjang."Cerai? Kamu minta cerai?" Suara Riley bergetar saat mengucapkan kata cerai. Ia tak menyangka, Megan akan sejauh ini menyiksanya.Megan melirik kertas yang dikirimkannya ke kantor Riley melalui kurir pagi ini."I—iya, Rey. Kamu hanya perlu menandatangani surat itu dan aku akan mengurus semuanya sampai sidang perceraian kita selesai," tutur Megan terbata.Riley mengacak rambutnya geram akan
Megan mengangkat Ayanna dan meletakkannya dalam pelukan Riley. Kemudian beralih pada Anthea yang kembali menangis."Sabar, Sayang. Gantian sama Kakak ya," hibur Megan."Ayanna dan Anthea," gumam Riley. "Nama yang bagus.""Artinya bunga. Mereka adalah bunga dihidup kita Rey."Riley terharu saat Ayanna menatapnya dengan mata kecil yang mengemaskan sambil tersenyum senang."Rey, gantian sama Anthea. Biar Ayanna menyusu dulu." Megan meletakkan Anthea kembali ke dalam box dan beralih pada Ayanna.Riley tersenyum senang melihat Anthea tersenyum padanya dan menyerahkan tangannya. Meminta untuk digendong."Apa aku boleh mengendongnya?"Megan mengangguk. "Anthea baru selesai menyusu, jadi tepuk punggungnya dengan lembut agar dia sendawa.""Baiklah." Riley merebahkan Anthea di dadanya dan menepuk lembut punggungnya."Apa mereka hanya menyusu?" "Terkadang aku memberi mereka susu formula tapi itu jarang terjadi hanya pada kondisi darurat," sahut Megan. Ia berkonsentrasi menyusu si sulung yang ta
"Megan!"Zian berteriak nyaring. Dia tengah susah payah memegangi background agar tak terhempas angin kencang yang mengarah dari blower besar yang diletakkan di depan model."Kamu kejam," desisnya nelangsa.Megan terkekeh-kekeh sambil mengibaskan tangannya."Jangan cengeng," balasnya tanpa mengindahkan protes Zian.Baron yang tengah melakukan pose di tengah set up pantry dengan background puluhan jenis tanaman—sambil memegang moca pot, harus mengencangkan otot pipinya agar tidak tertawa keras ataupun melayangkan protes yang sama nyaringnya kepada Megan."Ok, cut." Suara teriakan yang menandakan pengambilan satu scene telah selesai, sukses membuat Baron dan Zian kompak mendesah lega."Baron, kita istirahat dulu ya," ujar wanita yang memegang kamera.Baron mengangguk cepat dan buru-buru merenggangkan tubuhnya dan berjalan keluar dari set. Dibelakangnya, Zian melakukan hal yang sama dan segera mengejar langkah kru lainnya."Megan, kita kesini mau liburan loh. Ini malah tiba-tiba jadi suka
"Rey, apa kamu marah karena aku menolak permintaan Papa untuk mengadakan ulang pesta pernikahan kita?"Megan memainkan jemarinya di atas gelembung sabun yang menutupi permukaan air."Ah." Pekik Megan kaget karena tiba-tiba tubuhnya di tarik ke belakang hingga punggungnya menempel di dada bidang suaminya."Katakan alasannya, kenapa aku harus marah?" bisik Riley tepat telinga istrinya.Tubuh Megan mengelijang, ia bergelung di dada suaminya. "Aku takut, kamu berpikir bahwa aku terlalu egois karena memutuskan untuk menolak permintaan Papa tanpa berdiskusi denganmu," sesalnya.Riley menciumi pundak Megan. "Boleh aku tahu, apa alasan sebenarnya kamu menolak?""Aku hanya tidak ingin media terlalu menyorot pernikahan kita, terlebih anak-anak. Tidak ada orang lain yang boleh menyentuh milikku." Tutur Megan sambil mengosok buku-buku jari suaminya."Menjadi posesif, hmm?' goda Riley."Tidak boleh?"Riley tak berkata apapun, ia hanya mencium kening Megan lamat-lamat."Hmm. Rey, itu … ahhh." Megan
"Hufff … sedikit lagi, Sayang."Zian menopangkan kedua tungkai Nesa ke pundak lalu mendorong gerakan pinggulnya lebih dalam dan keras."Cepat! A—acara udah mau di mulai," teriak Nesa panik."Sedikit lagi. Aku hampir nyampe," racau Zian. Ia menyibak gaun yang dikenakan Nesa untuk memberi akses lebih dalam baginya. Zian mempercepat gerakannya, mendorong lebih untuk menembus kedalaman menuju dasar."Akh, Zian! Terlalu cepat." Protes Nesa saat Zian bergerak maju mundur dengan tempo cepat tanpa memberinya kesempatan untuk bernapas."Sayang, di luar atau da—dalam?" Napas Zian tersengal hingga membuat kalimatnya terputus-putus."Dalam aja," lenguh Nesa. "Jangan mengotori gaunnya." Pesannya sebelum mengepalkan tangannya, mencengkram pinggiran sofa dengan erat."Ah … Zian, a—aku …" Nesa menjerit nyaring kala menjemput puncak pelepasannya."Akh … ah." Zian mengikuti jejak istrinya. Melepaskan sentakan beserta tembakan kuat ke dalam rahim dan perlahan menarik keluar miliknya.Zian bangkit untuk
Megan keluar dari kamarnya dengan wajah cerah. Ia menyibakkan rambut sebahunya yang mengayun lembut setelah keramas untuk yang kedua kalinya. Langkahnya masih sedikit terseok-seok akibat pertempuran semalam. Riley benar-benar mengamuk, bagai kuda liar melampiaskan seluruh hasratnya yang telah lama tertunda. Megan meraih kenop pintu, kamar si kembar. Bibirnya mengurai senyum geli melihat kumpulan orang yang tidur, saling berhimpitan di ranjang sempit.Semalam, para sahabat menginap di ruangan si kembar sedangkan para bayi tidur terpisah di kamar tamu bersama kakeknya."Baron." Panggilnya sambil mencolek pipi pria imut yang memeluk erat lengan kekasihnya."Hmm." Erang Baron pelan."Udah pagi."Baron mengeliat pelan. "Hmm." Balasnya dan kembali menyandarkan kepalanya di dada Allen. "Lima menit lagi."Megan tersenyum kecil lalu beralih pada Nesa yang merebahkan kepalanya di paha suaminya."Bangunlah. Bukankah kalian harus ke lokasi syuting hari ini?" Megan mengelus pipi Nesa yang pucat
Baron dan Zian berjingkrak perlahan, mengendap-endap bagai maling jemuran yang tengah menyortir tali jemuran targetnya."Di mana mereka?" Bisik Zian.Baron menggeleng. Ia telah menyusuri hampir seluruh rumah tapi tak juga menemukan jejak Megan dan suaminya.Keduanya menghilang bagai di telan bumi setelah menyerahkan si kembar di bawah pengawasan para kakek dan nenek."Apa mereka ke hotel?" Celetuk Zian."Masa sih? Niat banget," balas Baron ragu."Mereka 'kan udah lama nggak make out. Pasti bakal semalaman bertempur."Baron menegakkan tubuhnya, lelah mengintai. Ia memutar pinggulnya ke kiri dan kanan untuk merenggangkan tubuh."Dah ah, nggak asyik." Keluhnya. "Masuk yuk, lapar."Zian mengikuti jejaknya. "Ya udah deh. Aku juga mau nemanin Nesa bobok."Baron mengerlingkan matanya. "Cie … udah punya temen bobok," godanya.Zian melayangkan tangannya untuk mengeplak kepala Baron, tapi pria imut itu dengan cepat berkelit."Kamu butuh seribu tahun lagi untuk menyentuh ku," ledek Baron."Awas a
"Ku harap hasilnya baik." Gumam Edbert sambil terkekeh. Menertawakan kebodohan yang tengah dilakukannya.Edbert membuka amplop yang diterimanya dari dokter Brown, ia mengeluarkan dua lembar kertas dari dalam sana dan mulai membaca setiap baris kalimat yang tercetak di kertas."Tentu saja baik, Pak. Apakah itu DNA putri anda? Karena 99%, DNA nya cocok dengan milik anda," ujar sang dokter yang seketika membuat dunia Edbert terguncang."Cocok? Maksud mu?" Edbert mengabaikan kertas yang hendak ia buka dan lebih tertarik untuk memandang sang dokter. Mencari kebenaran akan apa yang baru saja ia dengar."Ya. Dari sampel darah yang anda berikan, kami memastikan bahwa DNA itu adalah putri kandung anda.""Anda yakin dokter Brown?" "Seratus persen yakin." Ucap sang dokter tegas.Edbert memegangi kepalanya yang tiba-tiba terasa panas dan berat. "Anakku? Putriku?" Gumamnya sedih."Apa ada masalah, Pak Edbert?"Edbert melambaikan tangannya. "Tidak, tidak ada yang salah. Justru ini kabar yang sanga
"Pergilah," usir Riley."Rey, mari kita bicara dengan kepala dingin," ajak Zian. Ia maju beberapa langkah mendekati Riley."Lebih baik kalian pergi. Aku tidak ingin bertindak kasar," ucap Riley lalu berbalik kembali masuk ke dalam rumah."Rey!"Baron berusaha maju tapi para pengawal yang berjaga segera menghentikan langkahnya."Sialan," umpat Baron sambil menendang pot disampingnya hingga terguling menjauh."Jangan sakiti dirimu, Baron," tahan Allen yang menarik Baron ke sisinya."Apa yang harus kita lakukan sekarang? Riley tidak akan mau mendengar siapapun lagi," desah Zian. Ia mengacak rambutnya lalu meremas gemas."Bagaimana dengan Papanya? Kita bisa minta Jenderal itu untuk menemui Riley dan bicara padanya." Usul Nesa."Jangan gila!" Sergah Baron cepat. "Riley sudah lama memutuskan hubungannya dengan Papanya. Lagian, siapa yang masih mau berurusan dengan sumber masalah."Zian mengangguk setuju. "Baron benar. Untuk saat ini Riley tidak akan mau mendengarkan orang lain, terutama Papa
Megan mengangkat Ayanna dan meletakkannya dalam pelukan Riley. Kemudian beralih pada Anthea yang kembali menangis."Sabar, Sayang. Gantian sama Kakak ya," hibur Megan."Ayanna dan Anthea," gumam Riley. "Nama yang bagus.""Artinya bunga. Mereka adalah bunga dihidup kita Rey."Riley terharu saat Ayanna menatapnya dengan mata kecil yang mengemaskan sambil tersenyum senang."Rey, gantian sama Anthea. Biar Ayanna menyusu dulu." Megan meletakkan Anthea kembali ke dalam box dan beralih pada Ayanna.Riley tersenyum senang melihat Anthea tersenyum padanya dan menyerahkan tangannya. Meminta untuk digendong."Apa aku boleh mengendongnya?"Megan mengangguk. "Anthea baru selesai menyusu, jadi tepuk punggungnya dengan lembut agar dia sendawa.""Baiklah." Riley merebahkan Anthea di dadanya dan menepuk lembut punggungnya."Apa mereka hanya menyusu?" "Terkadang aku memberi mereka susu formula tapi itu jarang terjadi hanya pada kondisi darurat," sahut Megan. Ia berkonsentrasi menyusu si sulung yang ta
"Rey, sakit." Teriak Megan saat Riley menariknya denga paksa untuk masuk ke kamar.Tubuh Megan dihempaskan dengan kasar ke atas ranjang."Sakit," ringis Megan. Dia memijat pergelangan tangannya yang merah akibat cengkraman tangan Riley yang terlalu kuat hingga meninggalkan cetakan ruas jarinya. Megan beringsut mundur saat Riley menarik kursi dan duduk dihadapannya."Kenapa? Kamu takut padaku?" Tukas Riley sengit.Megan tak berusaha untuk mengelak tudingan Riley. Ia hanya diam, menutup rapat-rapat mulutnya."Apa maksud semua ini?" Riley melemparkan lembaran kertas yang dibawanya ke atas ranjang."Cerai? Kamu minta cerai?" Suara Riley bergetar saat mengucapkan kata cerai. Ia tak menyangka, Megan akan sejauh ini menyiksanya.Megan melirik kertas yang dikirimkannya ke kantor Riley melalui kurir pagi ini."I—iya, Rey. Kamu hanya perlu menandatangani surat itu dan aku akan mengurus semuanya sampai sidang perceraian kita selesai," tutur Megan terbata.Riley mengacak rambutnya geram akan