Tajam sekali mulut Liana. Meskipun begitu Katherine tersenyum tipis karena telah membuat wanita ini menunjukkan taringnya. Katherine hendak membalas. Namun, Frederick terlebih dahulu berkata,"Apa urusanmu Nona Liana? Mengapa kau ikut campur dengan permasalahan percintaanku?" Atmosfer di sekitar mendadak dingin. Frederick mengeluarkan aura mematikan. Mampu membuat Liana membeku di tempat. Sementara Katherine sangat terkejut. Mendengar penuturan Frederick barusan. Dia gerakkan kepalanya sedikit ke samping. Melihat Frederick memandang lurus ke arah Liana sejak tadi. Ada rasa senang merambat relung hatinya sekarang. Merasa dibela oleh sang suami. Walaupun dia tahu semua ini hanyalah sandiwara saja. Liana mati kutu. Genggaman tangannya perlahan mengendur. Matanya bergerak ke sana kemari, tak mampu membalas tatapan Frederick yang terasa mengintimidasi dan sangat menakutkan. Kesunyian menerpa ketiga manusia tersebut. Sampai pada akhirnya Frederick mengeluarkan suara. "Inilah yang me
"Katherine mau ke mana?" Namun, belum juga beranjak. Katherine sedikit terkejut saat tangannya ditahan Frederick. Lelaki itu baru saja membuka mata, bergeming di posisi semula sambil memandangi wajah Katherine lekat-lekat. Katherine tak langsung membalas, malah mengalihkan pandangan ke depan. Di mana Karl dan anak buahnya tidak terlihat lagi. Frederick mengerutkan dahi saat tak ada tanggapan. Dia ikuti arah mata Katherine. Tak ada siapa pun yang terlihat. "Apa yang kau lihat?" tanya Frederick masih bergeming, berbaring di gazebo. Dengan mimik muka gelisah Katherine menoleh cepat. "Tadi aku melihat Karl bersama anak buahnya berdiri di ujung sana, sepertinya mereka mau keluar istana."Frederick bergegas duduk tegak lalu menoleh ke depan. Memindai keadaan sekitar. Tak ada batang hidung Karl yang terlihat. "Karl dan buahnya yang kau lihat tempo lalu?""Iya, ayo kita ikuti mereka, aku yakin mereka belum terlalu jauh." Belum juga mendengar tanggapan, Katherine bangkit berdiri. Akan teta
Di luar rumah, para asisten dan para tetangga sibuk mencari akal agar api bisa dipadamkan. Ada yang mengambil air dari rumah mereka masing-masing, ada pula yang menggunakan selang untuk menyiram mansion William. Namun, semuanya sia-sia karena api terlalu besar dan semakin berkobar-kobar sekarang. Berbeda dengan Zara tersenyum penuh kemenangan. Melihat api menyambar mansion Brown. 'Kau pikir aku bodoh, Katherine.' Zara tak peduli barang-barang berharganya. Di dalam pikirannya sekarang, yang terpenting salah satu hama telah berhasil dia lenyapkan. Dialah otak dari tragedi kebakaran. Setelah kejadian aneh yang terjadi di kamarnya minggu lalu. Zara berspekulasi bila ada orang yang mematai-matainya. Sejak saat itu ia pun diam-diam menyelidiki siapa yang menjadi kaki tangan Katherine. Dan benar tebakannya, Grace. Malam ini, sesuai dugaannya Grace ternyata masuk lagi ke dalam kamarnya. Zara pergi ke pesta tapi hanya untuk menampakkan muka. Dia kembali lagi ke rumah, sementara Lea masi
"Apa?!"Matanya baru saja terbuka. Bisikan pelan di telinga kanan tadi membuat Katherine mendadak terbangun dalam tidurnya. Masih berbaring di peraduan, Katherine memandangi Frederick dengan tatapan terkejut. "Kau pasti berbohong 'kan? Tidak mungkin rumah Papaku terbakar." Embusan pelan keluar dari hidung mancung Frederick. "Aku tidak berbohong, ayo kita ke sana sekarang," ujar Frederick.Bibir Katherine terkunci. Dia mendadak ling-lung, berharap perkataan Frederick tadi hanyalah candaan saja. Kini pikirannya langsung tertuju pada seseorang yaitu Grace. Wanita yang tidak bisa hadir di pesta topeng. "Ayo, pakailah baju Katherine." Perlahan, Frederick menyentuh kedua pundak Katherine guna menenangkan sang istri. Lalu menuntunnya turun dari ranjang. Tak ada respons, Katherine masih tenggelam pada pikirannya. Tetapi, ia patuh juga pada sang suami. Dalam keadaan tubuh polos dan hanya ditutupi selimut. Ia beranjak dari kasur. Jejak percintaan terlihat amat kentara. Belum sampai sejam m
"Di mana dia sekarang? Aku akan menemuinya dulu." Frederick pun langsung bertanya. Ada kepuasan yang terpancar dari bola matanya."Dia ada di ruang interogasi Pangeran."Frederick mengangguk kemudian menoleh ke samping. Di mana Katherine terdiam membisu, mendengarkan obrolannya dengan pengawal tadi."Fred, aku ikut ya?" kata Katherine, penuh harap menatap Frederick. Namun, Frederick malah menggeleng cepat. "Tidak, kau harus beristirahat, aku tidak mau kau kecapean."Jawaban yang diberikan Frederick membuat Katherine kecewa berat. Dia ingin menemui Karl juga. Ingin melihat lelaki itu tidak berdaya dan tidak dapat berkutik. "Tapi Fred ...."Perkataannya menggantung di udara tatkala mendapatkan tatapan dingin dari Frederick sekarang. "Jangan membantah Katherine, ingat Mama menginginkan cucu, kau tidak boleh keletihan harus cukup tidur dan tidak boleh stress." Masuk akal, balasan Frederick. Katherine tidak menyahut apalagi menganggukkan kepala. Dia masih kecewa. Kini tatapannya berubah
Perkataan Frederick, menciptakan tiga garis lekukan di kening Karl. Lelaki itu memandang Frederick dengan tatapan bingung. "Apa maksudmu?" tanya Karl. Masih menggerakkan tangan ke segala arah, berharap ikatan di belakang dapat terlepas. Sayangnya ikatan tersebut terlalu kuat hingga membuat pergelangan tangannya mulai memerah sekarang. Frederick menyeringai. "Kau tidak perlu tahu," katanya, lalu melayangkan pukulan pada rahang Karl dengan sangat kuat."Argh, sial!" Karl memekik kesakitan. Rahangnya terasa sakit seperti dihantam balok yang sangat besar dan membuat darah mengalir lembut dari sudut bibirnya. Dia mendongak kembali, memandang tajam pria di hadapannya. "Sebenarnya apa maumu hah?!" Frederick berdecak sejenak. "Kau masih bertanya?" Tak ada tanggapan, Karl membuang ludah bercampur darah miliknya tepat di muka Frederick. Frederick kembali menyeringai sambil mengusap pelan air ludah di hidung mancungnya itu. "Aku akan membunuhmu sialan!" jerit Karl lagi. Lagi dan lagi, F
Lea bertanya seraya melempar senyum simpul. Sejak tadi sudah memperhatikan Frederick dari kejauhan ketika pasangan suami istri itu dihadang pengawal. Tentu saja dia tak mau melewatkan kesempatan untuk menggoda Frederick. Lea mengerutkan dahi saat Frederick tak merespons sama sekali. Lelaki itu pandangi dia sangat datar, tanpa menunjukkan ekspresi sama sekali. Lea merasa tertantang lalu berkata lagi,"Pangeran?"Frederick menaikan satu alis mata. Lalu memindai penampilan wanita di depannya dari atas hingga ke bawah. Hal itu membuat Lea tampak salah tingkah. Namun, belum sampai lima menit, Frederick seketika melengoskan muka lalu melangkah cepat, melewati Lea. Melihat reaksi Frederick, Lea tercengang, dengan pupil mata melebar sedikit. Cepat-cepat ia memutar badan lalu bergegas mengekori Frederick.Lea berhasil menyentuh lengan atas Frederick sehingga membuat langkah kaki pria itu terhenti. "Pangeran mau ke mana?" Frederick mendengus, menoleh ke belakang. Dengan raut wajah dingin di
Pagi-pagi sekali Katherine sudah bangun. Padahal waktu masih menunjukkan pukul lima pagi. Katherine menguap sejenak, menatap lurus ke depan. Wajahnya terlihat muram dan matanya tampak sembap karena terlalu lama menangis semalam. Dia melirik ke samping melihat Frederick tengah mengerutkan dahi saat mendengar bunyi grasak-grusuk akibat ulahnya barusan.Secara perlahan Frederick membuka mata, pandangan keduanya langsung bertemu."Katherine kenapa sudah bangun, matahari belum terlihat, ayo tidur lagi." Pelan dan agak serak suaranya, ciri khas seseorang yang baru saja bangun tidur. Katherine menggeleng cepat. "Aku ingin menemui Karl."Frederick menghela napas pendek kemudian duduk tegak. Menyentuh pelan punggung tangan kanan Katherine. "Katherine tidurlah dulu, kau kurang tidur. Ini masih pagi, nanti saja kita bertemu Karl.""Tapi Fred aku ingin sekali bertemu lelaki itu!" protes Katherine. Jika semalam dia mengalah. Tapi, hari ini dia tak mau menghilang kesempatan untuk bertemu Karl. F