"Tidak terasa, seminggu lagi masa pernikahan kontrak ini akan berakhir." Seorang gadis bergumam, seraya menghela napasnya dan menatap piring yang sudah mulai bersih dia cuci.
Dia merapikannya ke dalam rak, lalu mengambil sebuah kain lap dan mulai melangkah ke arah meja-meja. Di meja makan seorang pria sedang duduk, terlihat begitu datar dan angkuh."Kenapa? Kau sedih hanya karena akan bercerai dariku?" tanyanya dingin dan angkuh.Stella Danasya Gracia, itu adalah nama dari gadis yang sedang mencuci piring itu. Dia menatap ke arah Bian Dominic, suaminya, alias suami kontraknya yang sedang sarapan di atas kursi makan."Tidak, aku hanya mau mengingatkan.""Tidak perlu kau ingatkan juga, aku tidak akan lupa." Bian berkata datar lalu menatapnya seraya bangkit. "Kau bersiap saja untuk semua rencananya. Jangan membuat ulah di hari perceraian kita."Setelah itu, semua pembicaraan selesai begitu saja karena Bian sudah akan pergi berangkat bekerja ke perusahaan. Tetapi belum sempat dia melangkah, ponselnya berdering dan tatapannya langsung melihat layar panggilan.Dokter Pribadi Mama, itu nama dilayar ponselnya yang membuat Bian mulai merasa khawatir."Halo? Ada apa menghubungiku?""Tuan Muda, Nyonya sakit tiba-tiba. Setelah pusing, tubuhnya lemas sekali. Bisakah Tuan datang dengan Nona Stella kesini?"Wajah Bian berubah panik, Stella bisa melihatnya bicara lagi dengan wajah tergesa sebelum mematikan panggilan."Cepat bersiap, kita ke rumah!""Bian? Ada apa?" Stella bergegas mendekatinya, wajah Bian yang panik membuatnya juga ikutan."Dokter Pribadi Mama menghubungi, meminta kita datang ke rumah karena tiba-tiba saja Mama pusing," ucap Bian, wajahnya khawatir walau terlihat dingin.Stella mengernyit. "Mama sakit lagi?""Iya, cepatlah! Aku tunggu di depan.""Baiklah ..." gugup sebentar karena agak panik, Stella melepaskan celemek di tubuhnya. "Aku ambil tasku dulu. Sebentar!"Bian tak menjawab, dia sudah berjalan lebih dulu ke arah depan dan meninggalkan Stella. Wajahnya yang tampan dan dingin itu terlihat sangat cemas, setiap hal yang menyangkut ibunya maka dia tidak akan pernah tenang sampai melihatnya.***Dimobil, Stella hanya diam saja karena tak ada pembahasan yang harus dia dan Bian lakukan. Biasanya juga pria ini takkan mendengarkan ucapannya, karena Bian takkan pernah tertarik pada gadis sepertinya. Stella sudah terbiasa akan hal itu. Dia memandang jalanan kota, dengan wajah yang tampak agak cemas.Ada yang Stella pikirkan saat ini, tentang Ibu mertuanya yang sudah sangat baik padanya itu. Kabarnya yang kembali jatuh sakit adalah hal yang tak pernah ingin Stella dengar. Walaupun penyakit jantung ibu dari suaminya ini adalah hal yang tidak akan pernah sembuh lagi karena sudah bawaan dari lahir."Bian ... aku agak khawatir dengan perceraian yang akan kita lakukan. Lihatlah Mama sakit, apakah hal itu tidak akan membuatnya menjadi lebih sakit nanti?" tanya Stella, terpaksa membuka pembicaraan walaupun Bian tak pernah suka."Bersama denganmu, memangnya Mamaku akan sembuh?" tanyanya datar, membuat Stella terdiam. "Kau hanya gadis yang membuatku tidak bisa bebas. Ibumu adalah orang yang sok bijak dengan menjodohkan kita dulu. Padahal kau jauh berada di bawahku, sangat tidak sesuai untukku."Stella menghela napas pelan, terdiam mendengar ucapannya yang kasar dan sarkas. Hatinya? Sakit, tapi mau bagaimana lagi? Bian tak mencintainya, bahkan memandangnya saja tidak pernah. Entah apa yang menjadi jiwa suaminya ini, hingga menjadi pribadi yang tak tersentuh."Emm, kau benar. Tetapi, jangan sebut Mamaku lagi, Mamaku sudah tidak ada. Kau uruslah mulai sekarang perceraian kita, agar kalau tiba saatnya sudah mudah dan aku tinggal menandatanganinya.""Sudah kukatakan jangan mengajari atau mengingatkanku, aku sudah melakukan semuanya."Stella mengangguk pelan tak berdaya."Jangan pernah mencari perhatian dari Mama nanti. Seminggu lagi kita akan bercerai dan aku tidak mau berhubungan denganmu lagi."Stella mengangguk kembali pelan. "Aku sudah punya cara untuk membuat Mama membenciku. Aku sudah punya pacar dan dia akan menikahiku setelah ini. Jadi, aku dan dia sudah setuju untuk membantumu. Kau bisa membuatku ketahuan berselingkuh untuk membuat Mama membenciku."Bian tak menjawab, tanda dia setuju. Mereka akhirnya tiba di rumah keluarga Biantara Dominic. Stella keluar dari mobil begitu kendaraan roda empat itu berhenti, lalu berjalan bersama Bian yang melangkah cepat tanpa mempedulikannya.Calista Dominic, ibu Bian, nyatanya sudah melihat kedatangan anak dan menantunya itu dari balik tirai kamar, lalu tersenyum kecut melihat anaknya yang meninggalkan Stella dibelakangnya. Dia kembali ke tempat tidur, lalu berbaring dengan seorang dokter keluarga yang sudah tahu apa tugasnya."Mereka hampir sampai."Dokter itu mengangguk, lalu memasangkan infus kepunggung tangan majikannya dan menatap wajah Calista."Nyonya ... keadaan Anda memang tidak baik. Apakah Anda benar-benar akan melakukannya?" tanya dokter wanita itu dengan cemas."Aku tidak akan pernah sembuh, kau tahu sendiri," ujar Calista seraya menarik napasnya yang sesak. "Saat aku mati aku akan bertemu dengan Nesya di alam sana. Dia akan bertanya tentang keadaan anak dan menantunya. Aku akan malu kalau mengatakan hal buruk padanya tentang mereka, sedangkan dia sudah memberikan kesempatan padaku untuk merasakan bagaimana rasanya melihat. Anakku Bian yang tidak tahu diri makanya memperlakukan Stella begitu," ujarnya seraya menyeka air mata.Dokter wanita itu menunduk, tahu bagaimana perjuangan ibu dari Stella dulu. Hanya saja Calista merahasiakannya dari semua orang, hanya dia dan adik perempuan Calista yang tahu."Mama ..."Bian menerobos masuk, melihat ibunya yang terbaring di atas ranjang. Wajah ibunya itu tampak memucat, juga kehilangan semangat hidup sejak penyakitnya semakin parah."Bian ..." Calista menatap wajah putranya yang sudah duduk di pinggiran ranjang dan menatapnya cemas."Mama ... Mama pasti banyak pikiran, 'kan? Makanya sakit Mama kambuh lagi? Kenapa tidak pernah ikuti kata dokter? Kenapa Mama malah melakukan apa yang dilarang dokter?"Calista tersenyum pahit, lalu melihat Stella yang berdiri tak jauh darinya. "Mama tidak melakukan apa-apa pun memang sudah setiap hari sakit, 'kan? Mama memang sudah tidak bisa disembuhkan. Kamu tahu itu," ucap Calista pelan yang membuat Bian menghela napas.Bian menggenggam tangan ibunya dengan erat dan menatapnya khawatir. "Mama ... kenapa tidak ada pendonor jantung yang sama seperti jantung Mama? Bagaimana ini? Apakah Mama akan meninggalkanku? Apakah Mama akan pergi? Aku bahkan belum membuat Mama bahagia ..." ujar Bian dengan wajah sedih, tapi Calista malah tertawa kecil melihatnya."Anak bodoh! Mama sudah bahagia sejak kau dan Stella menikah. Apalagi yang kurang?" Calista terbatuk pelan, tak melihat wajah Stella yang agak muram mendengarnya sedangkan Bian tampak menyembunyikan kekesalannya. "Yang Mama sedihkan adalah, hubungan kalian yang tak juga membaik, kau yang tidak juga menerimanya. Hanya tinggal satu lagi permintaan Mama, terimalah Stella menjadi istrimu yang seutuhnya, Bian."Bian tak langsung bicara, dia memalingkan wajah dan tak menatap ibunya selama beberapa saat."Bian ..."Bian menatapnya lalu menggeleng dan menarik napas. "Ma ... Stella tak mencintaiku, aku juga tidak pernah bisa mencintainya. Kami tidak akan bisa bersama.""Itu omong kosong!" Calista menggeleng tak percaya. "Kau tahu, cinta tidak akan muncul tanpa kau inginkan. Cobalah untuk mencintainya, dia juga akan mencintaimu.""Mama ... aku tidak bisa," ucap Bian menolak dengan cepat. "Dia bukan tipeku! Aku tidak mau jatuh cinta padanya."Tak hanya Stella yang merasakan dadanya sesak, tapi juga Calista yang tampak memejamkan mata dengan wajahnya yang mulai memucat.Melihat itu, Bian tampak panik dan menggenggam tangan ibunya dengan erat. "Mama ... Ma ... Mama ... jangan begini. Mama ingin apa, akan kuturuti! Asalkan bukan jatuh cinta pada Stella."Calista menggeleng pelan. "Kalau begitu, baiklah ... Berikan saja Mama cucu yang berasal dari kalian, mungkin itu akan menjadi sebuah tanda kalau kau dan Stella akan tetap bersama walau Mama sudah tidak ada," ujar Calista patah-patah."Ma ..." Stella bersuara, seraya mendekat dan menatap wajah ibu mertuanya. "Mama tahu kalau kami tidak akan pernah saling mencintai, Bian tidak akan pernah membuka hati untukku. Keberadaan anak adalah hal yang mungkin akan membuatku semakin tidak bisa leluasa. Mama ... jangan minta itu," ujarnya dengan mata berkaca-kaca. "Aku tidak siap, Ma ..."Calista menarik napasnya satu-satu, penyakitnya bukan main-main, dia sungguhan sakit jantung koroner akut yang sudah tak dapat disembuhkan."Kalian memang menginginkan kematian Mama," ujar Calista bertambah pelan. "Baiklah ... kalian pergilah dari sini! Jangan temui Mama sampai kalian mendengar kabar kalau Mama sudah mati.""Mama ..." Bian yang ditepis tangannya oleh Calista dengan kalap langsung kembali memegang tangan ibunya. "Mama ... minta apapun yang lain, aku akan memberikannya. Namun, soal ini aku benar-benar tidak bisa-""Pergi ... pergi! Pergilah kau!" Dada Calista naik turun akibat sesak napas. "Pergi kalian semua! Jangan pernah datang-""Mama ..." Bian dan Stella sama-sama menyela."Mama tolong, jangan begini ..." Stella terisak sendiri. "Bukan aku yang tidak mau, tapi Bian tak mencintaiku. Untuk apa aku yang-""Mama hanya ingin cucu untuk memperkuat hubungan kalian. Kalau kalian tidak mau merawatnya, Mama yang akan merawatnya. Agar kalau Mama mati, Mama tidak malu bertemu dengan ibumu di alam sana. Kamu paham?"Stella menyeka air matanya, hatinya sakit. Andai saja Bian mau membuka hati sejak awal untuknya, semua ini takkan terjadi. Dia melihat Bian yang tampak diam, berharap Bian mau mengatakan sesuatu yang bisa dijadikan cara keluar dari masalah ini, hingga tak lama kemudian pria itu buka suara."Baiklah ... demi Mama, aku akan lakukan."Stella mengejar langkah Bian yang sengaja memintanya untuk bicara berdua kala ibunya mulai tenang dan tertidur.Bagaimanapun ini harus diluruskan, bagaimana bisa Bian seenaknya begitu? Dia kira hamil dan melahirkan itu mudah? Setelah melahirkan, dengan sangat santai mereka akan berpisah? Benar-benar tidak punya hati! Seenaknya membuat keputusan dan seenaknya pula mengakhiri semuanya."Bian!"Pria yang sedang duduk di kursi belakang itu tampak acuh saat Stella memanggilnya. Hal yang membuatnya bergerak dan berdiri dihadapan Bian."Bian ... kau harus memikirkan semua ucapan dan janjimu itu. Bagaimana bisa kau malah menyetujui permintaan Mama? Siapa yang akan mengandung anakmu? Aku?" tanyanya dengan wajah yang memerah, tampak hampir marah karena pria ini bertindak sesuka hatinya.Memutuskan sesuka hatinya, memaki sesuka hatinya. Dia kira dia siapa? Stella sudah tidak mau berurusan dengannya lagi dan bagaimana mungkin Bian malah mengatakan hal itu."Aku juga tidak memintamu mengandung ana
"Maaf atas kekeliruan yang sudah kulakukan, masih ada waktu. Aku dan Stella akan memperbaikinya dan melakukan dengan sungguhan apa yang diminta oleh Mama." Bian melangkah ke arahnya, membuat Stella mengerutkan dahi. "Kami akan memperbaikinya, iya, 'kan, Stella?"Stella mengerutkan dahinya makin dalam, dia tak mau. Ini diluar dari kesepakatan! Apa-apaan ini?"Stella ..." panggil Bian pelan tapi juga tajam dipendengarannya. Stella menatap dalam-dalam wajah pria tampan yang dingin dan sesuka hatinya ini. Benar-benar brengsek! Kemana rasa berani dari Bian yang selama ini dia tunjukkan? Kenapa tidak muncul di hadapan bibinya? Tangan Bian terasa melingkar dipinggangnya, menariknya hingga tubuh mereka berdempetan. Stella mengerutkan dahinya dengan mata yang mulai menajam, tapi Bian malah tersenyum seakan-seakan menahan rasa takut dan tak bisa melawan."Sebenarnya kami ada masalah dalam rumah tangga, makanya kami bertengkar tadi," ujarnya dengan lembut membuat Stella melotot. "Kami akan mem
Bian tercengang mendengar kata-kata dokter. Stella memeriksakan dirinya? Dibantu oleh Tantenya itu? Ya ampun, penderitaan apa ini lagi? Apa lagi masalah yang akan datang setelah ini?Mengapa Stella tidak menolak untuk agar tidak diperiksa? Mengapa dia bahkan berpikir begitu? Namun, Bian akhirnya menghela napas lemah saat mengetahui dan menyadari siapa yang bisa berdebat dengan Lauren. Yang ada hanya masalah jika dia berani melakukannya. Lauren terkenal dengan semua jenis prinsip dan pasal hukum. Dia bisa dengan cepat membuat orang tidak bisa bicara dan bergerak.Stella keluar dari kamar dan melihat Bian yang sudah menghela napas."Ikut aku."Stella tidak menjawab, berjalan begitu saja dengan wajah yang semakin bungkuk saat Bian mengajaknya. Mereka menuruni tangga, lalu masuk ke mobil yang diparkir di halaman.Tak satu pun dari mereka mengucapkan sepatah kata sampai mobil memasuki jalan raya. "Apa yang harus kita lakukan sekarang setelah semua itu terjadi?" Bian memulai pembicaraan, m
Mendengar ucapannya, Stella hanya bisa menghela napas dengan tatapan tak percaya. Dia sudah bersedia membantu Bian, tapi pria ini tetap saja angkuh dan tidak tahu bagaimana cara mengolah kata yang lebih baik.Namun, ya, dia adalah Bian yang selama ini memang angkuh dan suka menyakiti Stella dengan ucapan-ucapannya. Apa yang Stella harapkan? Bian berubah dan menjadi lebih menghargainya? Itu hanyalah hal yang konyol dan takkan pernah terjadi. Karena Bian merasa, dia hebat dan bisa berdiri dengan kakinya sendiri. "Apalagi yang akan kita lakukan?" tanya Stella setelah diam beberapa lama. "Apakah akan langsung dilakukan? Atau kau mau berlama-lama lagi."Bian tersenyum miring, menatap jalanan yang mulai sunyi. Hanya ada beberapa kendaraan yang melintas, meninggalkan jejak debu tipis yang tampak berterbangan di udara."Kau mau aku membayarmu berapa untuk mengandung anakku?" tanyanya datar, membuat Stella terdiam beberapa lama. "Katakan saja, kau mau seratus juta dollar atau di atasnya?"Ste
Stella hanya duduk diam di depan meja kerja Bian yang tengah mengotak-atik komputer miliknya. Tatapannya santai, seolah tak ada yang mengganggu hatinya dengan jemari lentiknya yang sudah sedang dia perhatikan.Gayanya dalam duduk itu terlihat anggun. Well, dia adalah wanita pekerja keras yang tidak suka menangisi sesuatu yang tidak pantas di tangisi. Masalah mengandung anak dan perjanjian dengan pria di hadapannya ini, itu bukanlah hal yang harus dipikirkan, apalagi dinegara ini wanita tidak perawan bukanlah suatu hal yang menjadi masalah.Lagipula dia tercatat sudah pernah menikah. Jadi kalau dia masih perawan itu malah akan menjadi gunjingan orang. Ya, meskipun dia tak ada niatan untuk melepaskan keperawanannya pada pria dihadapannya ini. Karena dia sama sekali tak mencintai Bian, mungkin takkan pernah mencintainya."Sudah selesai, kau bisa baca." Stella menatapnya, lalu mengulurkan tangan dan menerima dua lembar yang baru keluar dari mesin printer. Dibaliknya halaman itu, lalu mem
Disebuah rumah makan yang bisa dikatakan seperti cafe, sepasang manusia tengah duduk berhadapan sambil menunggu kedatangan makan malam. Mereka adalah Stella dan Asley, dua sahabat dekat yang sering dikait-kaitkan dengan hubungan asmara mereka. Padahal bisa dikatakan kalau mereka hanya dekat, tidak ada hubungan apa-apa. Selain karena Stella sudah punya suami dan sudah menikah, Asley hanya diam-diam dan menunggu kapan wanita ini akan di ceraikan oleh suaminya. "Jadi kau akan benar-benar bercerai tiga bulan lagi?" tanya Asley membuat Stella mendongak menatap wajah sahabatnya."Entahlah." Dia menghela napas. "Ada satu masalah yang harus kami selesaikan dulu, Asley. Tidak tahu aku bisa atau tidak melakukannya bersama dia," ujar Stella membuat Asley mengerutkan dahinya. "Soal apa? Tidakkah kau mau mengatakannya padaku? Sahabatmu?""Kau janji tidak akan marah?" tanyanya membuat Asley tambah mengerutkan dahinya. Namun wajah pria itu tetap enak di pandang, Asley pandai mempertahankan raut
Masuk ke dalam kamar di cafenya, Stella menatap ruangan yang kecil tapi nyaman baginya itu. Cafe yang dia tempati setelah menikah dengan Bian. Mereka memang tak pernah satu rumah, karena hubungan mereka tak ada baiknya sejak dulu sampai saat ini. Ya, bahkan sampai saat ini.Sampai saat ini hubungan mereka tidak baik-baik saja. Hanya agak dekat karena butuh dan tidak ada yang lebih daripada itu. Mengandung anak, melahirkan dan pergi. Suatu yang bagi Stella mudah, tapi sebenarnya dia tahu kalau dia bertaruh nyawa demi melakukan itu. Dia akan tinggal serumah bersama Bian, menghadapi sikap pria itu tiap hari. Apakah dia sanggup?Stella membuang napasnya pelan, seraya mengaduk tehnya di kursi pantry mini yang ada di dekat kamar mandinya. "Aku yakin pasti bisa." Stella berkata dengan suaranya yang nyaris tertelan malam dan kesunyian. "Ada Ashley yang akan menerimaku, bahkan dalam keadaan terburukku. Jikalau pun tidak, aku bisa pergi saat semuanya sudah berakhir dan mencari kehidupan sendir
Kening Stella berkerut mendengar pertanyaannya. "Siapa?" tanyanya tak paham yang di balas dengusan singkat oleh Bian."Pergilah, masak makananmu. Kamarmu ada di sebelah kamarku dan kuharap kau bisa membersihkannya setiap hari. Aku tidak suka ada yang kotor dirumah ini," ujarnya seraya meraih remote televisi. Stella tersenyum di salah satu sudut bibirnya. "Kau kira aku suka ada yang kotor?" tanyanya seraya mengambil gagang koper yang sudah diambil alih oleh pelayan dengan segera. "Aku juga akan kesal melihat hal yang kotor-kotor, termasuk isi hati orang lain."Bian menoleh kesal pada wanita yang tak lain adalah istrinya itu. Banyak bicara sekali! Apa yang dia maksudkan sebenarnya?Namun, Stella nampak tidak peduli dan malah melangkah pergi meninggalkannya sendirian di ruangan televisi. Benar-benar wanita menyebalkan!Ditatapnya televisi yang sudah menyala, lalu menghela napas datar kala melihat adik ibunya alias Lauren yang kembali diberitakan memegang sebuah kasus besar."Tante ...
Stella sebenarnya mengatakan semua itu dengan sangat santai pada Bian tapi entah mengapa karena menyebut kata 'ibuku', Bian adi perasaan sendiri teringat dengan kesalahannya. Namun, meski begitu dia tetap meminta pelayan untuk membuatkan makanan yang diinginkan oleh Stella, pelayan itu datang dari rumah utama alias tempat ibunya tinggal dan membawa makanan yang diinginkan Stella. Sebenarnya semua ini dirasa terlalu berlebihan, padahal Stella sudah bilang kalau dia bisa membuatnya sendiri. Namun, Bian menyebalkan dengan kata posesif yang ada di dalam dirinya. Membuat Stella juga tak bisa membantah dan memutuskan untuk langsung makan saja karena dia sudah lapar. "Apakah ini yang namanya mengidam? Kudengar, seorang ibu hamil biasanya akan menyukai makanan-makanan random. Kau mendadak menginginkan makanan asia seperti ini, kau sedang mengidam?" tanya Bian sambil menyuapkan satu potong daging ke mulutnya. "Mungkin saja, aku juga tidak begitu tahu karena Ini pertama kalinya aku hami
Stella memejamkan matanya, merasa lelah dengan segala permintaan Bian yang selalu dia dapatkan. Setiap hari, pria ini pasti akan selalu mengungkit tentang itu dan memintanya untuk tidak pergi. Dengan sikapnya yang berubah-ubah, Stella justru takut dengan kenaikan yang diberikan Bian padanya. "Aku tidak meminta banyak, aku hanya meminta supaya kau tidak pergi meninggalkan kami. Aku sudah berjanji akan memberikan separuh sahamku kepadamu, kenapa sulit sekali bagimu untuk membuat keputusan kecil itu jika aku bisa memberikanmu sesuatu yang besar?" Selepas mandi habis melakukan percintaan itu, Bian kembali bertanya dengan duduk di atas ranjang yang sama dengannya. Sementara Stella sudah terbaring dengan dua bantal yang dia sadari hingga tubuhnya terlihat nyaman. "Kau tahu, seumur hidup itu tidak sebentar." Stella memulai ucapannya dengan lembut, tak mau berdebat dan tak memancing emosi pria ini. "Kau memintaku tetap bertahan setelah kita bercinta, hampir setiap hari memintaku melakuk
"50% saham hanya untuk bercinta denganku? Apakah kau merasa itu semua masuk akal?" Masih diposisi yang sama, Stella tak bisa lepas dari kungkungan Bian karena pria ini terlihat begitu serius ingin melakukannya. "Bukankah kau yang meminta syarat itu? Aku hanya berusaha untuk menurutinya supaya mendapatkan apa yang aku mau, sekaligus kau tidak merasa rugi dengan permintaanku." Bian menjawab dengan santai membuat Stella menarik napasnya tak percaya. "Bian, tidak ada untungnya-" "Ada, apakah kau meremehkan hasrat seorang pria sepertiku? Aku punya istri dan aku tidak bisa menyentuhnya dengan leluasa karena dia tidak percaya padaku dan masih sakit hati, jadi aku hanya berusaha untuk menggapai hatinya. Apapun akan kulakukan untuk itu, masih tidak percaya?" Stella terdiam, dia ingat sesuatu yang pernah dikatakan orang termasuk wanita-wanita yang pernah menikah. Mereka mengatakan kalau suami mereka rela melakukan apa saja jika sudah ingin melakukan hubungan suami istri. Bahkan ketika mer
Stella menatap wajah Bian yang sepertinya tak ada niatan untuk melepaskannya. Wanita itu sudah mencengkram selimut saat merasakan Bian menyapa bagian lehernya dengan ciuman dan kecapan mesra. "Bian ..." Bian mengangkat kepalanya, lalu menatap dalam wajah Stella yang sudah menggeleng. "Aku tidak bisa melakukan itu." "Kenapa?" Bian menciumnya dengan lembut. "Bukankah sudah bersedia untuk lebih menerima hubungan ini dan semua perhatianku?" Stella menelan ludahnya. "Tetapi bukan dengan bercinta, 'kan?" ucapnya pelan. "Aku tidak ada mendengar ucapan itu." Bian terdiam, sadar kalau selama ini dia terbawa perasaan sendiri padahal Stella tetap menganggap semuanya sama seperti pertama kali. "Bian ... aku sangat lelah." Bian tersenyum pelan lalu mengusap kepalanya. "Sudah berapa bulan kita tidak melakukannya, kau tidak merindukanku?" Stella menatapnya dengan tatapan tak paham membuat Bian tersenyum lagi. Gila, dia yang terbawa perasaan sendiri dengan hubungan dan kedekatan yang
Stella memijat kepalanya perlahan lalu keluar dari dalam mobil dan menatap Bian yang sudah membuka pintu rumah dan menyambutnya yang baru datang. Wanita itu diam selama beberapa saat tapi kemudian dia berjalan saat melihat Bian yang sedang tersenyum padanya."Kau mau pergi?"Bian menaikkan alisnya. "Tidak, kenapa kau bertanya seperti itu?" tanyanya seraya merangkul tubuh Stella, membawanya masuk ke rumah. "Emm, karena aku melihatmu keluar dari rumah saat aku sampai tadi. Kupikir kau bukan mau menyambutku tapi mau pergi ke suatu tempat seperti yang biasa kau lakukan dulu. Dulu bukankah kau biasanya selalu pergi? Kenapa sudah tidak pernah lagi keluar dan nongkrong atau menyendiri?"Bian mengajaknya duduk di sofa lalu tersenyum lembut menatap wajah istrinya itu. "Untuk apa? Aku lebih baik di rumah daripada keluar tanpa manfaat seperti itu. Aku tidak begitu punya teman, hanya ada beberapa rekan kerja. Kalau aku di rumah aku bisa membantu menjaga dan memberikan perhatian padamu. Kehamilan
Beberapa bulan berlalu setelah kehamilan Stella dan dia tetap mendapati sikap penuh perhatian dan juga segala hal yang diberikan Bian mulai lebih terlihat banyak dan berkembang.Pria angkuh dan kaku itu bahkan seolah sengaja untuk menjadi dirinya yang lebih baik, tidak lagi bermulut pedas, tidak lagi bertampang datar dan dingin, tidak lagi menjadi sosok yang menyebalkan.Stella menikmati semua perubahannya tapi juga dia masih berusaha menjaga jarak. Dia tidak bisa kalau harus membiarkan pria itu melakukan sesuatu padanya semakin jauh, tapi dia juga tidak memiliki kemampuan untuk menghalanginya hingga hanya bisa menerima."Maaf, aku terlambat datang. Tadi aku meeting dulu dengan klien baru setelahnya aku datang ke sini karena itu klien yang cukup penting. Dia sudah datang jauh-jauh dari luar negeri, makanya aku layani dulu," ucap Bian begitu masuk ke cafe Stella.Wanita berdress hitam itu menoleh ke arah Bian, lalu diam selama beberapa saat. "Kau bicara seolah menjadi gigolo saja," uja
Setelah pulang, tak ada lagi pembicaraan yang dilakukan oleh Bian dan Stella. Keduanya masuk ke dalam rumah dan disambut Amber, tapi karena tak ada yang dikatakan dan dibicarakan oleh kedua majikannya jadi Amber juga hanya diam dan berniat untuk memasak makan siang sebab sebentar lagi sudah harus makan. Stella masuk ke kamarnya dan memutuskan untuk beristirahat sambil berpikir. Dia merasa sifat Bian saat ini sudah terlalu jauh, pria itu sudah tak sama lagi dan itu membuatnya khawatir. Besar kemungkinan jika seperti ini maka mereka tidak akan berpisah sesuai dengan harapan pria itu. "Tidak ada dasar yang kuat kenapa dia berubah dan berniat untuk mempertahankanku. Aku bukan orang yang tidak punya hati sampai mengabaikan apa yang dia lakukan dan dia inginkan, tapi kalau dia tidak memiliki dasar yang kuat untuk mempertahankan pernikahan ini maka dia akan bisa mengabaikannya dengan mudah ke depannya. Dia tidak tahu bagaimana harus menjadi dirinya sendiri, karena bagaimanapun semua ini
Stella menoleh ke arah Bian saat pria itu sengaja meletakkan lauk di piringnya. Padahal dia tidak memintanya sama sekali tapi pria ini memang sengaja melakukannya dan menggunakan Calista yang ada dihadapan mereka untuk semakin berpura-pura.Saat ini mereka sedang makan pagi bersama dan Bian terlihat seperti seorang suami dan calon ayah yang baik. Dia tak tahu bagaimana harus menolaknya tapi saat ini dia hanya bisa diam saja dan memakan makanan itu tanpa banyak bicara."Makanlah yang banyak, agar kandunganmu sehat." Calista bersuara membuat Stella mengangguk tanpa menatapnya.Dia malas untuk banyak berbasa-basi saat ini, terlalu melelahkan. Sepertinya jika dia kembali ke rumah atau ke kamarnya yang ada di cafe akan lebih baik, dia tidak akan menyinggung atau membuat siapapun harus terusik. Dia bukan orang yang hebat dan bahkan dia selalu menjadi orang yang terhina.Stella menghela napas panjang lalu duduk di kursi dan melihat Bian serta Calista yang sedang bicara. Sejak tadi dia tahu m
"Aku mau." Stella menatap Bian dengan wajah datar. "Mau apa?" Bian melihat Stella dari atas sampai bawah, berulang-ulang membuat wanita itu memalingkan wajahnya dengan tatapan datar yang tak berubah. Dia sudah tahu apa yang dimaksudkan oleh pria ini, rasanya seperti tak masuk akal karena Bian bisa-bisanya meminta secara terang-terangan begini. "Apa yang kau pikirkan sebenarnya? Sadar tidak sih kalau aku sedang hamil?" "Memangnya kalau hamil tidak bisa melakukannya?" tanya Bian dengan wajah tak percaya. "Apa yang kau rasakan? Ada yang sakit lagi?" Stella menghela napasnya dalam-dalam lalu berjalan ke arah ranjang dengan rasa malas. "Aku belum fit, kalau kita lakukan malah beresiko. Itu bukan hal yang kuinginkan, aku mau mempertahankan anak ini. Apapun keadaannya, aku tidak akan membuatnya kenapa-napa. Kau harus tahu, keguguran pertama kali bisa membuat resiko macam-macam, salah satunya mungkin tidak akan bisa hamil lagi. Jadi, berhenti meminta sebelum keadaanku membaik." "O