Bian tercengang mendengar kata-kata dokter. Stella memeriksakan dirinya? Dibantu oleh Tantenya itu? Ya ampun, penderitaan apa ini lagi? Apa lagi masalah yang akan datang setelah ini?
Mengapa Stella tidak menolak untuk agar tidak diperiksa? Mengapa dia bahkan berpikir begitu? Namun, Bian akhirnya menghela napas lemah saat mengetahui dan menyadari siapa yang bisa berdebat dengan Lauren. Yang ada hanya masalah jika dia berani melakukannya. Lauren terkenal dengan semua jenis prinsip dan pasal hukum. Dia bisa dengan cepat membuat orang tidak bisa bicara dan bergerak.Stella keluar dari kamar dan melihat Bian yang sudah menghela napas."Ikut aku."Stella tidak menjawab, berjalan begitu saja dengan wajah yang semakin bungkuk saat Bian mengajaknya. Mereka menuruni tangga, lalu masuk ke mobil yang diparkir di halaman.Tak satu pun dari mereka mengucapkan sepatah kata sampai mobil memasuki jalan raya."Apa yang harus kita lakukan sekarang setelah semua itu terjadi?" Bian memulai pembicaraan, mengemudi dengan santai dan perlahan menyusuri jalan raya yang tidak terlalu ramai meskipun hari sudah sore.Stella menarik napas dalam-dalam, lalu menggelengkan kepalanya perlahan. "Aku juga tidak tahu," katanya dengan mata berkaca-kaca. "Aku tidak tahu bagaimana lagi aku akan memisahkan diri darimu. Apakah aku harus hamil, Bian? Demi kesenangan kalian?"Bian menghela napas putus asa, dia tidak tahu. Akhirnya, dia menghentikan mobilnya di tempat parkir alun-alun. Mereka keluar menuju kursi-kursi yang ada di sana agar mereka bisa berbicara dengan pemandangan jalan raya yang berada di luar pagar jalan.Bian diam-diam merenung, memikirkan apa yang bisa dia lakukan. Sekilas dia melihat bayangan ibunya yang berharap mereka bahagia bersama, dia dan Stella. Lalu kemudian, dia melihat keinginan kuat ibunya untuk memberikan cucu darinya dan Stella.Hal yang nyata adalah dambaan setiap orang tua dalam pernikahan anaknya. Namun, Bian tidak berniat menghabiskan waktunya untuk wanita ini atau kehidupan rumah tangganya. Dia hanya bertekad menjadi orang kaya, pengusaha paling sukses, dan diakui dunia.Dia tidak berniat menikah pada awalnya, tetapi ibunya memaksanya untuk menikah dengan Stella. Gadis yang telah dinikahinya ketika mereka sudah dwwasa. Tetapi, lihat bagaimana dia bisa mencintai wanita ini? Tidak selevel yang sama dengannya. Stella hanyalah seorang pemilik Cafe, sedangkan dia adalah pemilik sebuah perusahaan ternama. Bagaimana dia bisa pantas berdampingan dengan Stella? Itu benar-benar di luar nalar!"Bagaimana jika aku mengandung anakmu dan setelahnya baru kita bercerai?" Stella menawarkan dengan ragu karena pria ini pasti tidak mau.Bian menatapnya, lalu menghela napas kesal. "Apakah kau menginginkannya?"Stella menghela napas. "Aku tidak mau karena aku ingin punya anak dari pria yang mencintaiku. Kami menginginkannya bersama, yang membuatnya dengan cinta dan perasaan. Namun, aku tidak ingin Mama kecewa padaku. Ibumu selama ini sangat baik padaku. Aku mau tak mau akan melakukannya untuk membalas jasanya yang besar untukku," kata Stella dengan air mata berlinang. "Itupun kalau kau mau. Atau, aku punya cara lain..."Bian menatapnya diam-diam, lalu menghela napas dan memalingkan wajahnya ke jalan lagi. "Katakan.""Kau bisa mencari seorang wanita yang sesuai denganmu, yang kau cintai. Kau dapat memintanya untuk melahirkan anakmu, dan aku akan berpura-pura menjadi istrimu sampai dia melahirkan. Kita bisa mengenalkannya pada Mama sebagai anak kita, lalu kita cerai. Bagaimana?"Bian menarik napas dalam-dalam. "Aku tidak tertarik pada wanita manapun. Tidak ada wanita yang aku cintai lebih dari ibuku. Cara kedua yang kau katakan sangat tidak masuk akal untuk kulakukan."Stella menghela napas perlahan. "Apakah kau punya cara? Atau haruskah aku kabur saja? Dengan begitu, kita tidak perlu melakukannya."Bian menghela napas lagi dan lagi. "Kau mau lari kemana, Stella? Apakah kau pikir kau bisa melakukannya dengan Tante Lauren yang ada di antara kita? Dia ada di pihak Mama, dan kita adalah targetnya. Aku kesal ketika menyadari bahwa Tante mendengar apa yang kita bicarakan tadi! Semuanya jadi berantakan!" bentaknya kesal, membuat Stella diam saja.Tangannya terjalin dengan ekspresi sendu dan sedih. Dia tidak punya cara untuk menghadapi semua ini. Namun, dia tidak tahu ke mana dia pergi atau apa yang harus dilakukan. Dia sendirian di dunia ini, tanpa orang lain, tanpa orang tua, dan hanya keluarga Bian dan Lyra dalam hidupnya sejak ibunya meninggal.Stella mengusap wajahnya lelah hingga akhirnya dia menoleh ketika Bian meraih tangannya dan menatapnya datar."Kau ingin melahirkan anakku?"Stella meneteskan air matanya lalu menunduk sedih."Kau akan hamil. Kita bisa mencoba dengan cara ini. Aku akan membayar rahimmu, juga semua pengorbanan dan rasa sakit yang kau saat kau melahirkan kelak. Hanya ini yang bisa kita lakukan, Stella. Dan aku akan menceraikanmu setelah kau melahirkannya."Jantung Stella berdetak kencang mendengar kata-katanya. Namun, dialah yang mengusulkan metode ini sebelumnya. Dia harus setuju, meskipun mungkin ini menantang, tapi tidak ada cara lain."Kau dan aku hanya akan bekerja sama dalam satu malam. Kita harus melakukan hubungan suami istri agar kau bisa hamil. Tidak ada jalan lain karena kita harus menuruti permintaan Mama."Stella semakin kuat menahan air mata yang memaksa mereka jatuh. Bian hanya berbicara tentang ibunya dan dirinya, dan pria itu biasa mengabaikannya meskipun Stella merasa sakit. Namun, kali ini, Stella harus menahan rasa sakit itu, untuk melakukan itu semua. Demi ibu mertuanya.Tidak ada yang bisa dia lakukan selain menerima. Ini semua demi kebaikan ibu mertuanya karena tidak ada yang bisa menggantikan kebaikan ibu mertuanya kepadanya."Apa kau yakin?"Bian tidak langsung menjawab.“Jika nanti bayi di perutku kemudian lahir, apakah kau akan mencintai bayi itu juga? Bayi itu adalah anak yang dikandung oleh wanita yang tidak selevel denganmu. Apakah kau akan tetap menerima bayi itu sebagai anakmu?" tanya Stella, membiarkan air matanya jatuh lagi dan lagi kali ini. "Aku mengajukan pertanyaan serius kali ini. Keperawananku tidak masalah jika kau mau menerimanya. Di negeri ini, akan ada laki-laki yang mau menerimaku meski aku seorang janda. Tapi anak itu, apakah kamu akan menghargai dan mencintainya?"Bian terdiam, menyaksikan air mata istrinya yang jatuh tak terbendung. Dia menyadari bahwa Stella antara tidak mau dan terpaksa. Itu sebabnya dia menangis seperti itu.Bian sendiri belum siap memikirkan harus mengurus bayi yang merupakan anaknya. Itu masih di luar pikirannya, tetapi dia tahu bahwa Stella banyak berkorban untuk ibunya. Dia tidak akan membuat wanita ini bingung dan tidak yakin pada dirinya sendiri.“Bayi itu adalah anakku walaupun dia lahir dari rahimmu. Tentu saja kau dan bayi itu tidak sama karena kasta anakku, akan mengikuti kastaku."Mendengar ucapannya, Stella hanya bisa menghela napas dengan tatapan tak percaya. Dia sudah bersedia membantu Bian, tapi pria ini tetap saja angkuh dan tidak tahu bagaimana cara mengolah kata yang lebih baik.Namun, ya, dia adalah Bian yang selama ini memang angkuh dan suka menyakiti Stella dengan ucapan-ucapannya. Apa yang Stella harapkan? Bian berubah dan menjadi lebih menghargainya? Itu hanyalah hal yang konyol dan takkan pernah terjadi. Karena Bian merasa, dia hebat dan bisa berdiri dengan kakinya sendiri. "Apalagi yang akan kita lakukan?" tanya Stella setelah diam beberapa lama. "Apakah akan langsung dilakukan? Atau kau mau berlama-lama lagi."Bian tersenyum miring, menatap jalanan yang mulai sunyi. Hanya ada beberapa kendaraan yang melintas, meninggalkan jejak debu tipis yang tampak berterbangan di udara."Kau mau aku membayarmu berapa untuk mengandung anakku?" tanyanya datar, membuat Stella terdiam beberapa lama. "Katakan saja, kau mau seratus juta dollar atau di atasnya?"Ste
Stella hanya duduk diam di depan meja kerja Bian yang tengah mengotak-atik komputer miliknya. Tatapannya santai, seolah tak ada yang mengganggu hatinya dengan jemari lentiknya yang sudah sedang dia perhatikan.Gayanya dalam duduk itu terlihat anggun. Well, dia adalah wanita pekerja keras yang tidak suka menangisi sesuatu yang tidak pantas di tangisi. Masalah mengandung anak dan perjanjian dengan pria di hadapannya ini, itu bukanlah hal yang harus dipikirkan, apalagi dinegara ini wanita tidak perawan bukanlah suatu hal yang menjadi masalah.Lagipula dia tercatat sudah pernah menikah. Jadi kalau dia masih perawan itu malah akan menjadi gunjingan orang. Ya, meskipun dia tak ada niatan untuk melepaskan keperawanannya pada pria dihadapannya ini. Karena dia sama sekali tak mencintai Bian, mungkin takkan pernah mencintainya."Sudah selesai, kau bisa baca." Stella menatapnya, lalu mengulurkan tangan dan menerima dua lembar yang baru keluar dari mesin printer. Dibaliknya halaman itu, lalu mem
Disebuah rumah makan yang bisa dikatakan seperti cafe, sepasang manusia tengah duduk berhadapan sambil menunggu kedatangan makan malam. Mereka adalah Stella dan Asley, dua sahabat dekat yang sering dikait-kaitkan dengan hubungan asmara mereka. Padahal bisa dikatakan kalau mereka hanya dekat, tidak ada hubungan apa-apa. Selain karena Stella sudah punya suami dan sudah menikah, Asley hanya diam-diam dan menunggu kapan wanita ini akan di ceraikan oleh suaminya. "Jadi kau akan benar-benar bercerai tiga bulan lagi?" tanya Asley membuat Stella mendongak menatap wajah sahabatnya."Entahlah." Dia menghela napas. "Ada satu masalah yang harus kami selesaikan dulu, Asley. Tidak tahu aku bisa atau tidak melakukannya bersama dia," ujar Stella membuat Asley mengerutkan dahinya. "Soal apa? Tidakkah kau mau mengatakannya padaku? Sahabatmu?""Kau janji tidak akan marah?" tanyanya membuat Asley tambah mengerutkan dahinya. Namun wajah pria itu tetap enak di pandang, Asley pandai mempertahankan raut
Masuk ke dalam kamar di cafenya, Stella menatap ruangan yang kecil tapi nyaman baginya itu. Cafe yang dia tempati setelah menikah dengan Bian. Mereka memang tak pernah satu rumah, karena hubungan mereka tak ada baiknya sejak dulu sampai saat ini. Ya, bahkan sampai saat ini.Sampai saat ini hubungan mereka tidak baik-baik saja. Hanya agak dekat karena butuh dan tidak ada yang lebih daripada itu. Mengandung anak, melahirkan dan pergi. Suatu yang bagi Stella mudah, tapi sebenarnya dia tahu kalau dia bertaruh nyawa demi melakukan itu. Dia akan tinggal serumah bersama Bian, menghadapi sikap pria itu tiap hari. Apakah dia sanggup?Stella membuang napasnya pelan, seraya mengaduk tehnya di kursi pantry mini yang ada di dekat kamar mandinya. "Aku yakin pasti bisa." Stella berkata dengan suaranya yang nyaris tertelan malam dan kesunyian. "Ada Ashley yang akan menerimaku, bahkan dalam keadaan terburukku. Jikalau pun tidak, aku bisa pergi saat semuanya sudah berakhir dan mencari kehidupan sendir
Kening Stella berkerut mendengar pertanyaannya. "Siapa?" tanyanya tak paham yang di balas dengusan singkat oleh Bian."Pergilah, masak makananmu. Kamarmu ada di sebelah kamarku dan kuharap kau bisa membersihkannya setiap hari. Aku tidak suka ada yang kotor dirumah ini," ujarnya seraya meraih remote televisi. Stella tersenyum di salah satu sudut bibirnya. "Kau kira aku suka ada yang kotor?" tanyanya seraya mengambil gagang koper yang sudah diambil alih oleh pelayan dengan segera. "Aku juga akan kesal melihat hal yang kotor-kotor, termasuk isi hati orang lain."Bian menoleh kesal pada wanita yang tak lain adalah istrinya itu. Banyak bicara sekali! Apa yang dia maksudkan sebenarnya?Namun, Stella nampak tidak peduli dan malah melangkah pergi meninggalkannya sendirian di ruangan televisi. Benar-benar wanita menyebalkan!Ditatapnya televisi yang sudah menyala, lalu menghela napas datar kala melihat adik ibunya alias Lauren yang kembali diberitakan memegang sebuah kasus besar."Tante ...
"Malam ini kita akan mulai bercinta. Bersiaplah ..."Stella terdiam mendengar ucapan Bian. Tangannya meremas pelan gelas yang ada di genggamannya. "Malam ini?""Ya." Bian bersandar santai, menatap ke arah samping yang langsung menghubungkan pemandangannya dengan taman kecil di halaman kecil lantai apartemen miliknya. "Semakin cepat maka akan semakin baik. Kita bisa menjadi lebih cepat untuk mengakhiri semua ini. Aku tidak mau lama-lama menampungmu tinggal bersamaku."Stella menghela napasnya pelan, merasa lelah dan muak mendengar ucapan Bian yang kerap membuat hatinya sakit. Namun, dia tak harus membuat itu untuk menjadikan semangatnya berkurang. Dia akan tetap pada apa yang sudah dia katakan sejak awal. Stella tak suka menarik kata-kata yang sudah dia ucapkan. "Baiklah, aku akan mempersiapkan diriku. Namun aku minta, ini adalah yang terakhir, oke? Jangan pernah kita lakukan lagi, tapi jika dalam dua bulan aku tidak kunjung hamil, maka kau bebas mau mengatakan aku mandul atau apa. T
Usai makan, disini lah saat-saat yang mendebarkan bagi Stella yang harus melakukan hubungan suami istri bersama Bian.Dia meneguk banyak air minum setelah makan, melampiaskan kegugupan yang benar-benar tak bisa di minta pergi. Dia akan mengalami pengalaman pertama sebagai istri yang melayani suami malam ini, hingga hatinya benar-benar merasa kacau dan berdebar. "Aku yakin aku pasti bisa." Stella memegang pahanya dengan tangan yang terlihat gemetar. "Aku akan melayani Bian untuk segera hamil. Dan semoga saja tidak ada hal memalukan lain setelah ini. Semoga setelah ini, Bian tak mengatakan apa-apa dan melupakan semuanya," ujar Stella dalam hati, benar-benar mengharapkan semoga malam ini berakhir lancar dan tidak ada masalah apapun.Bian meletakkan sendoknya dengan santai, lalu mengelap bibirnya menggunakan serbet. Setelahnya, dia meraih gelas dan dengan begitu tenang meneguknya."Kau bisa langsung kekamar, aku akan menyusul." Stella menatap wajahnya yang masih meneguk air minum itu. "K
Tangan Bian menelusuri lekukan leher Stella yang sedang berbaring di bawah kungkungannya. Lembut, halus dan harum. Benar, seperti itu ...Entah menggunakan apa tapi Bian merasa kalau Stella tidak seburuk yang dia pikirkan. Gadis ini merawat tubuhnya dengan baik, hingga menampilkan aroma harum dan lembut yang membuat libidonya naik.Bian perlahan membuka pakaian tidur Stella yang sudah memejamkan matanya karena tak kuat menyaksikan pria ini melihat area tubuhnya yang selama ini dia tutupi. Dia sungguhan merasa malu, juga merasa kalau menarik kata-katanya juga tak bisa lagi.Hingga sekarang, pasrah adalah jalan yang harus mereka lalukan. Karena sekarang dia sedang menguatkan dirinya agar apapun yang terjadi selanjutnya adalah hal yang akan mengubah hidupnya.Dia yang semula perawan, kini akan melepaskan keperawanannya pada Bian. Dia yang semula hanya istri di atas kontrak, kini akan mengandung kalau semua ini berhasil.Semoga saja Stella sanggup karena sekarang dia bahkan mulai tidak yak
"50% saham hanya untuk bercinta denganku? Apakah kau merasa itu semua masuk akal?" Masih diposisi yang sama, Stella tak bisa lepas dari kungkungan Bian karena pria ini terlihat begitu serius ingin melakukannya. "Bukankah kau yang meminta syarat itu? Aku hanya berusaha untuk menurutinya supaya mendapatkan apa yang aku mau, sekaligus kau tidak merasa rugi dengan permintaanku." Bian menjawab dengan santai membuat Stella menarik napasnya tak percaya. "Bian, tidak ada untungnya-" "Ada, apakah kau meremehkan hasrat seorang pria sepertiku? Aku punya istri dan aku tidak bisa menyentuhnya dengan leluasa karena dia tidak percaya padaku dan masih sakit hati, jadi aku hanya berusaha untuk menggapai hatinya. Apapun akan kulakukan untuk itu, masih tidak percaya?" Stella terdiam, dia ingat sesuatu yang pernah dikatakan orang termasuk wanita-wanita yang pernah menikah. Mereka mengatakan kalau suami mereka rela melakukan apa saja jika sudah ingin melakukan hubungan suami istri. Bahkan ketika mer
Stella menatap wajah Bian yang sepertinya tak ada niatan untuk melepaskannya. Wanita itu sudah mencengkram selimut saat merasakan Bian menyapa bagian lehernya dengan ciuman dan kecapan mesra. "Bian ..." Bian mengangkat kepalanya, lalu menatap dalam wajah Stella yang sudah menggeleng. "Aku tidak bisa melakukan itu." "Kenapa?" Bian menciumnya dengan lembut. "Bukankah sudah bersedia untuk lebih menerima hubungan ini dan semua perhatianku?" Stella menelan ludahnya. "Tetapi bukan dengan bercinta, 'kan?" ucapnya pelan. "Aku tidak ada mendengar ucapan itu." Bian terdiam, sadar kalau selama ini dia terbawa perasaan sendiri padahal Stella tetap menganggap semuanya sama seperti pertama kali. "Bian ... aku sangat lelah." Bian tersenyum pelan lalu mengusap kepalanya. "Sudah berapa bulan kita tidak melakukannya, kau tidak merindukanku?" Stella menatapnya dengan tatapan tak paham membuat Bian tersenyum lagi. Gila, dia yang terbawa perasaan sendiri dengan hubungan dan kedekatan yang
Stella memijat kepalanya perlahan lalu keluar dari dalam mobil dan menatap Bian yang sudah membuka pintu rumah dan menyambutnya yang baru datang. Wanita itu diam selama beberapa saat tapi kemudian dia berjalan saat melihat Bian yang sedang tersenyum padanya."Kau mau pergi?"Bian menaikkan alisnya. "Tidak, kenapa kau bertanya seperti itu?" tanyanya seraya merangkul tubuh Stella, membawanya masuk ke rumah. "Emm, karena aku melihatmu keluar dari rumah saat aku sampai tadi. Kupikir kau bukan mau menyambutku tapi mau pergi ke suatu tempat seperti yang biasa kau lakukan dulu. Dulu bukankah kau biasanya selalu pergi? Kenapa sudah tidak pernah lagi keluar dan nongkrong atau menyendiri?"Bian mengajaknya duduk di sofa lalu tersenyum lembut menatap wajah istrinya itu. "Untuk apa? Aku lebih baik di rumah daripada keluar tanpa manfaat seperti itu. Aku tidak begitu punya teman, hanya ada beberapa rekan kerja. Kalau aku di rumah aku bisa membantu menjaga dan memberikan perhatian padamu. Kehamilan
Beberapa bulan berlalu setelah kehamilan Stella dan dia tetap mendapati sikap penuh perhatian dan juga segala hal yang diberikan Bian mulai lebih terlihat banyak dan berkembang.Pria angkuh dan kaku itu bahkan seolah sengaja untuk menjadi dirinya yang lebih baik, tidak lagi bermulut pedas, tidak lagi bertampang datar dan dingin, tidak lagi menjadi sosok yang menyebalkan.Stella menikmati semua perubahannya tapi juga dia masih berusaha menjaga jarak. Dia tidak bisa kalau harus membiarkan pria itu melakukan sesuatu padanya semakin jauh, tapi dia juga tidak memiliki kemampuan untuk menghalanginya hingga hanya bisa menerima."Maaf, aku terlambat datang. Tadi aku meeting dulu dengan klien baru setelahnya aku datang ke sini karena itu klien yang cukup penting. Dia sudah datang jauh-jauh dari luar negeri, makanya aku layani dulu," ucap Bian begitu masuk ke cafe Stella.Wanita berdress hitam itu menoleh ke arah Bian, lalu diam selama beberapa saat. "Kau bicara seolah menjadi gigolo saja," uja
Setelah pulang, tak ada lagi pembicaraan yang dilakukan oleh Bian dan Stella. Keduanya masuk ke dalam rumah dan disambut Amber, tapi karena tak ada yang dikatakan dan dibicarakan oleh kedua majikannya jadi Amber juga hanya diam dan berniat untuk memasak makan siang sebab sebentar lagi sudah harus makan. Stella masuk ke kamarnya dan memutuskan untuk beristirahat sambil berpikir. Dia merasa sifat Bian saat ini sudah terlalu jauh, pria itu sudah tak sama lagi dan itu membuatnya khawatir. Besar kemungkinan jika seperti ini maka mereka tidak akan berpisah sesuai dengan harapan pria itu. "Tidak ada dasar yang kuat kenapa dia berubah dan berniat untuk mempertahankanku. Aku bukan orang yang tidak punya hati sampai mengabaikan apa yang dia lakukan dan dia inginkan, tapi kalau dia tidak memiliki dasar yang kuat untuk mempertahankan pernikahan ini maka dia akan bisa mengabaikannya dengan mudah ke depannya. Dia tidak tahu bagaimana harus menjadi dirinya sendiri, karena bagaimanapun semua ini
Stella menoleh ke arah Bian saat pria itu sengaja meletakkan lauk di piringnya. Padahal dia tidak memintanya sama sekali tapi pria ini memang sengaja melakukannya dan menggunakan Calista yang ada dihadapan mereka untuk semakin berpura-pura.Saat ini mereka sedang makan pagi bersama dan Bian terlihat seperti seorang suami dan calon ayah yang baik. Dia tak tahu bagaimana harus menolaknya tapi saat ini dia hanya bisa diam saja dan memakan makanan itu tanpa banyak bicara."Makanlah yang banyak, agar kandunganmu sehat." Calista bersuara membuat Stella mengangguk tanpa menatapnya.Dia malas untuk banyak berbasa-basi saat ini, terlalu melelahkan. Sepertinya jika dia kembali ke rumah atau ke kamarnya yang ada di cafe akan lebih baik, dia tidak akan menyinggung atau membuat siapapun harus terusik. Dia bukan orang yang hebat dan bahkan dia selalu menjadi orang yang terhina.Stella menghela napas panjang lalu duduk di kursi dan melihat Bian serta Calista yang sedang bicara. Sejak tadi dia tahu m
"Aku mau." Stella menatap Bian dengan wajah datar. "Mau apa?" Bian melihat Stella dari atas sampai bawah, berulang-ulang membuat wanita itu memalingkan wajahnya dengan tatapan datar yang tak berubah. Dia sudah tahu apa yang dimaksudkan oleh pria ini, rasanya seperti tak masuk akal karena Bian bisa-bisanya meminta secara terang-terangan begini. "Apa yang kau pikirkan sebenarnya? Sadar tidak sih kalau aku sedang hamil?" "Memangnya kalau hamil tidak bisa melakukannya?" tanya Bian dengan wajah tak percaya. "Apa yang kau rasakan? Ada yang sakit lagi?" Stella menghela napasnya dalam-dalam lalu berjalan ke arah ranjang dengan rasa malas. "Aku belum fit, kalau kita lakukan malah beresiko. Itu bukan hal yang kuinginkan, aku mau mempertahankan anak ini. Apapun keadaannya, aku tidak akan membuatnya kenapa-napa. Kau harus tahu, keguguran pertama kali bisa membuat resiko macam-macam, salah satunya mungkin tidak akan bisa hamil lagi. Jadi, berhenti meminta sebelum keadaanku membaik." "O
Stella yang melihat Bian terdiam hanya bisa menelan makanannya sebelum bersuara. "Makanan ini sudah cukup untukku jadi kau tidak perlu merasa harus menegur mereka. menjalankan tugas dari kau tidak perlu melakukan sesuatu kesalahan yang malah membuat mereka merasa takut. Mereka sudah lebih lama menjadi pelayan kalian dibandingkan aku yang menjadi istrimu. Jangan lakukan apapun yang membuat mereka merasa bersalah," balasnya membuat Bian menarik napasnya dalam-dalam.Nyatanya ada banyak hal yang membuat Stella tak mau menerimanya dengan mudah. Dian sudah melakukan banyak kesalahan yang tak termaafkan hanya karena pernikahan itu tadi yang tidak dia inginkan. "Maaf ..." ucapnya lirih membuat Stella menghela napas."Tidak perlu minta maaf. Aku sudah mengalami selama beberapa bulan terakhir saja menjadi istrimu. Sekarang dan dulu juga tidak ada bedanya bagiku, kau tidak perlu khawatir karena aku juga mengerti apa yang kau inginkan hanya untuk kebaikanmu. Tetapi, apakah nanti anak ini akan m
Stella benar-benar enggan meninggalkan ranjang hari ini, dia hanya duduk seharian sambil membaca buku kehamilan dan segala macam artikel tentang kehamilan yang ada di ponselnya."Menyusui ... tidak, aku tidak harus menyusui bayi ini ketika dia lahir nanti karena aku akan langsung pergi begitu saja. Jadi, aku tidak harus mempelajarinya karena anak ini pasti akan mendapatkan susu formula berkualitas tinggi dan terjamin daripada air susuku." Stella bergumam sambil menatap gambar ibu yang sedang menunggu bayinya sambil menyusui itu.Dia juga ingin menjadi Ibu yang murni, yang benar-benar melakukan semua hal untuk anaknya. Tetapi keadaan saat ini memaksanya untuk tidak melakukan itu karena memang tidak bisa. Hubungan dia dan Bian terlalu retak dan parah untuk diperbaiki dan dia sama sekali tidak ada niatan untuk memperbaikinya.Sekali seorang pria menjadi brengsek dan jahat seperti ini maka kedepannya di dalam pernikahan yang lebih pasti nanti maka dia besar kemungkinan dia akan melakukan