Mendengar ucapannya, Stella hanya bisa menghela napas dengan tatapan tak percaya. Dia sudah bersedia membantu Bian, tapi pria ini tetap saja angkuh dan tidak tahu bagaimana cara mengolah kata yang lebih baik.
Namun, ya, dia adalah Bian yang selama ini memang angkuh dan suka menyakiti Stella dengan ucapan-ucapannya. Apa yang Stella harapkan? Bian berubah dan menjadi lebih menghargainya? Itu hanyalah hal yang konyol dan takkan pernah terjadi. Karena Bian merasa, dia hebat dan bisa berdiri dengan kakinya sendiri."Apalagi yang akan kita lakukan?" tanya Stella setelah diam beberapa lama. "Apakah akan langsung dilakukan? Atau kau mau berlama-lama lagi."Bian tersenyum miring, menatap jalanan yang mulai sunyi. Hanya ada beberapa kendaraan yang melintas, meninggalkan jejak debu tipis yang tampak berterbangan di udara."Kau mau aku membayarmu berapa untuk mengandung anakku?" tanyanya datar, membuat Stella terdiam beberapa lama. "Katakan saja, kau mau seratus juta dollar atau di atasnya?"Stella menatap Bian yang baru mengatakan nominal uang. "Seratus juta dollar? Kau bercanda?"Bian menatapnya datar, seraya mengumpat dalam hati. "Katakan saja kau mau berapa? Aku akan coba penuhi untukmu."Stella menggeleng pelan, antara tak percaya dan juga gila memikirkan bagaimana cara Bian berpikir."Mengapa kau sangat menghargaiku yang kau katakan sebagai wanita tidak selevel denganmu?" tanya Stella datar, membuat Bian memutar bola matanya malas. "Kau yakin akan memberikan seratus juta dollar padaku? Hanya karena aku mengandung anakmu?""Jadi, aku harus memberikan berapa untukmu? Agar kau benar-benar pergi dan menghilang seakan di telan bumi setelah kau melahirkan anakku?" tanyanya lebih terdengar menghargai kali ini, walaupun nada angkuhnya tetap terasa. "Kau kira melahirkan itu mudah? Mengandungnya mudah? Justru karena rumitlah makanya aku malas melakukannya sejak awal. Asal kau tahu itu."Stella menghela napas pelan. "Aku tahu. Bahkan mungkin sebagai wanita, aku jauh lebih tahu darimu. Namun kau jangan terlalu mahal membayarku, aku hanya ingin kau membiayaiku selama mengandungnya. Hanya itu saja, karena selama ini aku membayar biaya untuk hidupku sendiri walaupun aku menjadi istrimu."Bian mengerutkan dahinya. "Hanya itu?" ulangnya tak percaya.Stella tersenyum miring, lalu bangkit dan berjalan ke arah pagar. "Jangan kau anggap 'hanya itu' tapi sebenarnya sangat mudah. Aku akan mengandung anakmu, jadi aku tidak akan tinggal dirumahku yang ada di dalam bagian cafe milikku. Kau harus memberikan aku rumah yang merupakan milikmu. Lalu, selama sembilan bulan kau harus memberikan biaya makan dan biaya hidup untukku. Kau akan membelikan susu, makanan sehat dan bergizi, uang untuk kelas ibu hamil, uang untuk periksa dan cek setiap bulan. Dan lagi, kau harus membiayai biaya persalinan nanti, aku tidak mau menanggung apapun."Bian mendengus pendek. "Baiklah, aku akan melakukannya." Bangkit dari duduknya, dia berjalan dan berhenti di belakang Stella yang masih memandang jalanan. "Namun, setelahnya, kau harus pergi dan tak menampakkan diri dihadapan kami. Jangan sekali-kali kau datang dan mengatakan kau adalah ibu dari anakku. Atau kau akan kupenjarakan."Wajah Stella tampak agak berubah mendengarnya. Tak bisa di sangkal, jiwa keibuannya datang dan menolak keras ucapan Bian. Namun, dia juga tak mau menghabiskan waktunya dengan sia-sia bersama dengan pria yang tak mencintainya.Itu adalah hal bodoh! Dan dia memiliki masa depan yang lebih indah daripada menjadi gila dan mengharapkan cinta."Masalah rumah, kau tinggal bersamaku saja di apartemen. Sampai kau akhirnya hamil dan melahirkan, baru kau boleh pergi. Karena aku ingin memastikan, kau merawat anakku dengan baik selama kau mengandungnya." Bian lanjut berkata, tapi Stella hanya diam. "Soal perjanjian, kita tidak bisa melakukannya lagi dengan bantuan hukum dan pengacara. Jadi aku akan mengetiknya sendiri di komputer dan mem-printernya menjadi lembaran. Kita akan tetap menandatanganinya menggunakan materai. Kau setuju?"Stella mengangguk saja, lalu berbalik dan menghadap pria yang menjadi suaminya selama tiga tahun terakhir."Lakukanlah sesukamu. Namun dapat kukatakan, tanpa perjanjian aku juga akan pergi karena aku tak pernah berharap untuk menghabiskan sisa hidupku bersamamu, Biantara Dominic. Kuharap setelah bercinta pertama kali, aku akan langsung hamil. Jadi kurang dari setahun, aku sudah melahirkan anakmu dan pergi. Itu adalah rancangan sederhana yang sudah kuurutkan dalam kepalaku. Kuharap kau tidak membebaniku dengan hal lain yang tidak ada dalam perjanjian lisan ini."Bian mengerutkan dahinya. "Baiklah," ujarnya menjawab, seraya memasukkan tangannya ke dalam saku. "Ayo pulang, aku akan membawamu tinggal bersamaku hari ini. Kita buat perjanjiannya dulu malam ini, lalu mempersiapkan kapan aku dan kau siap melakukan hubungan suami istri."Stella menarik napasnya lega, karena itu tidak akan terjadi hari ini. "Baiklah," ucapnya lapang hingga Bian dapat melihat kelegaam dari cara istrinya menjawab. "Namun setelah ini, aku akan ke cafe dan melihat keadaan. Bagaimanapun aku meninggalkan Lyra sendirian di sana.""Hmm." Bian melangkah, hingga Stella mengikutinya ke arah mobil. "Besok datang dan bawa pakaian serta beberapa keperluanmu. Kau akan tinggal bersamaku agar Mama juga menganggap kita mulai harmonis. Dan ... kuharap kau mau bekerja sama dengan pura-pura mulai menerima pernikahan kita."Stella menatap Bian yang sudah berdiri di pintu masuk mobilnya. "Kau?""Aku juga lakukan hal yang sama." Bian masuk, hingga Stella mengikuti. "Kita akan berpura-pura kalau dihadapan mereka. Namun kalau dibelakang mereka, jangan harap kita akan melakukannya.""Aku juga tidak mau." Stella menjawab seraya duduk dengan nyaman di kursi mobilnya, hingga Bian meliriknya yang tampak tenang tak terusik."Baguslah, setidaknya kau tidak membebani dirimu."Stella tak bersuara, dia menyandar dan melihat jendela luar. Malam sudah lebih gelap, sudah jam tujuh lewat. Stella mengeluarkan ponselnya saat melihat pesan dari pria yang merupakan teman dekatnya masuk.Room chat Stella dan Asley William:"Kau dimana?"Stella tersenyum, lalu mengetikkan balasan. "Dijalan, aku akan keapartmen Bian, ada urusan sebentar. Kenapa, Asley?""Aku ingin mengajakmu makan malam. Kau harus mau, sudah lama aku tidak menemuimu. Sekarang aku baru pulang dari luar negeri, jadi kau harus punya waktu untukku.""Jam berapa?" Stella menanyakan seraya melihat jam yang masih menuju pukul delapan."Setelah kau keluar dari rumahnya. Aku akan menahan laparku sampai kau datang dan mau makan malam denganku. Bagaimana?""Baiklah, jemput aku di depan apartemen. Aku janji dalam setengah jam setelah masuk, aku akan langsung keluar dan menemuimu.""Baiklah. Sampai jumpa, Stella. Aku merindukanmu ..."Stella tersenyum dengan tatapannya yang berbinar. "Aku juga merindukanmu. Sampai jumpa."Bian memperhatikan istrinya yang tersenyum-senyum seraya berbalas pesan. Benar-benar menyebalkan! Disaat dirinya sibuk memikirkan apa yang akan terjadi, Stella malah asyik bersenang-senang.Namun ... itu bukan urusannya.Stella hanya duduk diam di depan meja kerja Bian yang tengah mengotak-atik komputer miliknya. Tatapannya santai, seolah tak ada yang mengganggu hatinya dengan jemari lentiknya yang sudah sedang dia perhatikan.Gayanya dalam duduk itu terlihat anggun. Well, dia adalah wanita pekerja keras yang tidak suka menangisi sesuatu yang tidak pantas di tangisi. Masalah mengandung anak dan perjanjian dengan pria di hadapannya ini, itu bukanlah hal yang harus dipikirkan, apalagi dinegara ini wanita tidak perawan bukanlah suatu hal yang menjadi masalah.Lagipula dia tercatat sudah pernah menikah. Jadi kalau dia masih perawan itu malah akan menjadi gunjingan orang. Ya, meskipun dia tak ada niatan untuk melepaskan keperawanannya pada pria dihadapannya ini. Karena dia sama sekali tak mencintai Bian, mungkin takkan pernah mencintainya."Sudah selesai, kau bisa baca." Stella menatapnya, lalu mengulurkan tangan dan menerima dua lembar yang baru keluar dari mesin printer. Dibaliknya halaman itu, lalu mem
Disebuah rumah makan yang bisa dikatakan seperti cafe, sepasang manusia tengah duduk berhadapan sambil menunggu kedatangan makan malam. Mereka adalah Stella dan Asley, dua sahabat dekat yang sering dikait-kaitkan dengan hubungan asmara mereka. Padahal bisa dikatakan kalau mereka hanya dekat, tidak ada hubungan apa-apa. Selain karena Stella sudah punya suami dan sudah menikah, Asley hanya diam-diam dan menunggu kapan wanita ini akan di ceraikan oleh suaminya. "Jadi kau akan benar-benar bercerai tiga bulan lagi?" tanya Asley membuat Stella mendongak menatap wajah sahabatnya."Entahlah." Dia menghela napas. "Ada satu masalah yang harus kami selesaikan dulu, Asley. Tidak tahu aku bisa atau tidak melakukannya bersama dia," ujar Stella membuat Asley mengerutkan dahinya. "Soal apa? Tidakkah kau mau mengatakannya padaku? Sahabatmu?""Kau janji tidak akan marah?" tanyanya membuat Asley tambah mengerutkan dahinya. Namun wajah pria itu tetap enak di pandang, Asley pandai mempertahankan raut
Masuk ke dalam kamar di cafenya, Stella menatap ruangan yang kecil tapi nyaman baginya itu. Cafe yang dia tempati setelah menikah dengan Bian. Mereka memang tak pernah satu rumah, karena hubungan mereka tak ada baiknya sejak dulu sampai saat ini. Ya, bahkan sampai saat ini.Sampai saat ini hubungan mereka tidak baik-baik saja. Hanya agak dekat karena butuh dan tidak ada yang lebih daripada itu. Mengandung anak, melahirkan dan pergi. Suatu yang bagi Stella mudah, tapi sebenarnya dia tahu kalau dia bertaruh nyawa demi melakukan itu. Dia akan tinggal serumah bersama Bian, menghadapi sikap pria itu tiap hari. Apakah dia sanggup?Stella membuang napasnya pelan, seraya mengaduk tehnya di kursi pantry mini yang ada di dekat kamar mandinya. "Aku yakin pasti bisa." Stella berkata dengan suaranya yang nyaris tertelan malam dan kesunyian. "Ada Ashley yang akan menerimaku, bahkan dalam keadaan terburukku. Jikalau pun tidak, aku bisa pergi saat semuanya sudah berakhir dan mencari kehidupan sendir
Kening Stella berkerut mendengar pertanyaannya. "Siapa?" tanyanya tak paham yang di balas dengusan singkat oleh Bian."Pergilah, masak makananmu. Kamarmu ada di sebelah kamarku dan kuharap kau bisa membersihkannya setiap hari. Aku tidak suka ada yang kotor dirumah ini," ujarnya seraya meraih remote televisi. Stella tersenyum di salah satu sudut bibirnya. "Kau kira aku suka ada yang kotor?" tanyanya seraya mengambil gagang koper yang sudah diambil alih oleh pelayan dengan segera. "Aku juga akan kesal melihat hal yang kotor-kotor, termasuk isi hati orang lain."Bian menoleh kesal pada wanita yang tak lain adalah istrinya itu. Banyak bicara sekali! Apa yang dia maksudkan sebenarnya?Namun, Stella nampak tidak peduli dan malah melangkah pergi meninggalkannya sendirian di ruangan televisi. Benar-benar wanita menyebalkan!Ditatapnya televisi yang sudah menyala, lalu menghela napas datar kala melihat adik ibunya alias Lauren yang kembali diberitakan memegang sebuah kasus besar."Tante ...
"Malam ini kita akan mulai bercinta. Bersiaplah ..."Stella terdiam mendengar ucapan Bian. Tangannya meremas pelan gelas yang ada di genggamannya. "Malam ini?""Ya." Bian bersandar santai, menatap ke arah samping yang langsung menghubungkan pemandangannya dengan taman kecil di halaman kecil lantai apartemen miliknya. "Semakin cepat maka akan semakin baik. Kita bisa menjadi lebih cepat untuk mengakhiri semua ini. Aku tidak mau lama-lama menampungmu tinggal bersamaku."Stella menghela napasnya pelan, merasa lelah dan muak mendengar ucapan Bian yang kerap membuat hatinya sakit. Namun, dia tak harus membuat itu untuk menjadikan semangatnya berkurang. Dia akan tetap pada apa yang sudah dia katakan sejak awal. Stella tak suka menarik kata-kata yang sudah dia ucapkan. "Baiklah, aku akan mempersiapkan diriku. Namun aku minta, ini adalah yang terakhir, oke? Jangan pernah kita lakukan lagi, tapi jika dalam dua bulan aku tidak kunjung hamil, maka kau bebas mau mengatakan aku mandul atau apa. T
Usai makan, disini lah saat-saat yang mendebarkan bagi Stella yang harus melakukan hubungan suami istri bersama Bian.Dia meneguk banyak air minum setelah makan, melampiaskan kegugupan yang benar-benar tak bisa di minta pergi. Dia akan mengalami pengalaman pertama sebagai istri yang melayani suami malam ini, hingga hatinya benar-benar merasa kacau dan berdebar. "Aku yakin aku pasti bisa." Stella memegang pahanya dengan tangan yang terlihat gemetar. "Aku akan melayani Bian untuk segera hamil. Dan semoga saja tidak ada hal memalukan lain setelah ini. Semoga setelah ini, Bian tak mengatakan apa-apa dan melupakan semuanya," ujar Stella dalam hati, benar-benar mengharapkan semoga malam ini berakhir lancar dan tidak ada masalah apapun.Bian meletakkan sendoknya dengan santai, lalu mengelap bibirnya menggunakan serbet. Setelahnya, dia meraih gelas dan dengan begitu tenang meneguknya."Kau bisa langsung kekamar, aku akan menyusul." Stella menatap wajahnya yang masih meneguk air minum itu. "K
Tangan Bian menelusuri lekukan leher Stella yang sedang berbaring di bawah kungkungannya. Lembut, halus dan harum. Benar, seperti itu ...Entah menggunakan apa tapi Bian merasa kalau Stella tidak seburuk yang dia pikirkan. Gadis ini merawat tubuhnya dengan baik, hingga menampilkan aroma harum dan lembut yang membuat libidonya naik.Bian perlahan membuka pakaian tidur Stella yang sudah memejamkan matanya karena tak kuat menyaksikan pria ini melihat area tubuhnya yang selama ini dia tutupi. Dia sungguhan merasa malu, juga merasa kalau menarik kata-katanya juga tak bisa lagi.Hingga sekarang, pasrah adalah jalan yang harus mereka lalukan. Karena sekarang dia sedang menguatkan dirinya agar apapun yang terjadi selanjutnya adalah hal yang akan mengubah hidupnya.Dia yang semula perawan, kini akan melepaskan keperawanannya pada Bian. Dia yang semula hanya istri di atas kontrak, kini akan mengandung kalau semua ini berhasil.Semoga saja Stella sanggup karena sekarang dia bahkan mulai tidak yak
Bian menahan rasa nikmat yang menjalar disekujur tubuhnya karena milik mereka yang sudah menyatu tanpa sekat. Dia menggigit bibirnya sendiri, lalu menarik napas beberapa kali sebelum menatap Stella yang masih menangis."Apakah masih sakit?" Stella tak menjawab, wanita itu tetap saja sama tak begitu peduli padanya dan hanya mementingkan rasa sakit akibat keperawanannya yang sudah terkoyak. Ada rasa menyesal dalam hatinya yang kembali lagi, tapi Stella sadar kalau dia harus bisa dan memberikan cucu untuk ibu mertuanya yang sedang sakit."Lakukan perlahan, aku mohon ..." ujarnya membuat Bian merasakan dadanya bergetar. Dia menelan ludah kala ini, dengan hatinya yang merasa kalau Stella rela kesakitan hanya karena ini dan menuruti permintaan ibunya."Aku akan lakukan pelan-pelan," balas Bian seraya mengeratkan genggaman tangannya pada Stella. "Tahanlah, ini tidak akan sakit terlalu lama."Stella menarik napas beberapa kali sebelum akhirnya menenangkan dadanya yang berdebar. Benar, hanya
Stella sebenarnya mengatakan semua itu dengan sangat santai pada Bian tapi entah mengapa karena menyebut kata 'ibuku', Bian adi perasaan sendiri teringat dengan kesalahannya. Namun, meski begitu dia tetap meminta pelayan untuk membuatkan makanan yang diinginkan oleh Stella, pelayan itu datang dari rumah utama alias tempat ibunya tinggal dan membawa makanan yang diinginkan Stella. Sebenarnya semua ini dirasa terlalu berlebihan, padahal Stella sudah bilang kalau dia bisa membuatnya sendiri. Namun, Bian menyebalkan dengan kata posesif yang ada di dalam dirinya. Membuat Stella juga tak bisa membantah dan memutuskan untuk langsung makan saja karena dia sudah lapar. "Apakah ini yang namanya mengidam? Kudengar, seorang ibu hamil biasanya akan menyukai makanan-makanan random. Kau mendadak menginginkan makanan asia seperti ini, kau sedang mengidam?" tanya Bian sambil menyuapkan satu potong daging ke mulutnya. "Mungkin saja, aku juga tidak begitu tahu karena Ini pertama kalinya aku hami
Stella memejamkan matanya, merasa lelah dengan segala permintaan Bian yang selalu dia dapatkan. Setiap hari, pria ini pasti akan selalu mengungkit tentang itu dan memintanya untuk tidak pergi. Dengan sikapnya yang berubah-ubah, Stella justru takut dengan kenaikan yang diberikan Bian padanya. "Aku tidak meminta banyak, aku hanya meminta supaya kau tidak pergi meninggalkan kami. Aku sudah berjanji akan memberikan separuh sahamku kepadamu, kenapa sulit sekali bagimu untuk membuat keputusan kecil itu jika aku bisa memberikanmu sesuatu yang besar?" Selepas mandi habis melakukan percintaan itu, Bian kembali bertanya dengan duduk di atas ranjang yang sama dengannya. Sementara Stella sudah terbaring dengan dua bantal yang dia sadari hingga tubuhnya terlihat nyaman. "Kau tahu, seumur hidup itu tidak sebentar." Stella memulai ucapannya dengan lembut, tak mau berdebat dan tak memancing emosi pria ini. "Kau memintaku tetap bertahan setelah kita bercinta, hampir setiap hari memintaku melakuk
"50% saham hanya untuk bercinta denganku? Apakah kau merasa itu semua masuk akal?" Masih diposisi yang sama, Stella tak bisa lepas dari kungkungan Bian karena pria ini terlihat begitu serius ingin melakukannya. "Bukankah kau yang meminta syarat itu? Aku hanya berusaha untuk menurutinya supaya mendapatkan apa yang aku mau, sekaligus kau tidak merasa rugi dengan permintaanku." Bian menjawab dengan santai membuat Stella menarik napasnya tak percaya. "Bian, tidak ada untungnya-" "Ada, apakah kau meremehkan hasrat seorang pria sepertiku? Aku punya istri dan aku tidak bisa menyentuhnya dengan leluasa karena dia tidak percaya padaku dan masih sakit hati, jadi aku hanya berusaha untuk menggapai hatinya. Apapun akan kulakukan untuk itu, masih tidak percaya?" Stella terdiam, dia ingat sesuatu yang pernah dikatakan orang termasuk wanita-wanita yang pernah menikah. Mereka mengatakan kalau suami mereka rela melakukan apa saja jika sudah ingin melakukan hubungan suami istri. Bahkan ketika mer
Stella menatap wajah Bian yang sepertinya tak ada niatan untuk melepaskannya. Wanita itu sudah mencengkram selimut saat merasakan Bian menyapa bagian lehernya dengan ciuman dan kecapan mesra. "Bian ..." Bian mengangkat kepalanya, lalu menatap dalam wajah Stella yang sudah menggeleng. "Aku tidak bisa melakukan itu." "Kenapa?" Bian menciumnya dengan lembut. "Bukankah sudah bersedia untuk lebih menerima hubungan ini dan semua perhatianku?" Stella menelan ludahnya. "Tetapi bukan dengan bercinta, 'kan?" ucapnya pelan. "Aku tidak ada mendengar ucapan itu." Bian terdiam, sadar kalau selama ini dia terbawa perasaan sendiri padahal Stella tetap menganggap semuanya sama seperti pertama kali. "Bian ... aku sangat lelah." Bian tersenyum pelan lalu mengusap kepalanya. "Sudah berapa bulan kita tidak melakukannya, kau tidak merindukanku?" Stella menatapnya dengan tatapan tak paham membuat Bian tersenyum lagi. Gila, dia yang terbawa perasaan sendiri dengan hubungan dan kedekatan yang
Stella memijat kepalanya perlahan lalu keluar dari dalam mobil dan menatap Bian yang sudah membuka pintu rumah dan menyambutnya yang baru datang. Wanita itu diam selama beberapa saat tapi kemudian dia berjalan saat melihat Bian yang sedang tersenyum padanya."Kau mau pergi?"Bian menaikkan alisnya. "Tidak, kenapa kau bertanya seperti itu?" tanyanya seraya merangkul tubuh Stella, membawanya masuk ke rumah. "Emm, karena aku melihatmu keluar dari rumah saat aku sampai tadi. Kupikir kau bukan mau menyambutku tapi mau pergi ke suatu tempat seperti yang biasa kau lakukan dulu. Dulu bukankah kau biasanya selalu pergi? Kenapa sudah tidak pernah lagi keluar dan nongkrong atau menyendiri?"Bian mengajaknya duduk di sofa lalu tersenyum lembut menatap wajah istrinya itu. "Untuk apa? Aku lebih baik di rumah daripada keluar tanpa manfaat seperti itu. Aku tidak begitu punya teman, hanya ada beberapa rekan kerja. Kalau aku di rumah aku bisa membantu menjaga dan memberikan perhatian padamu. Kehamilan
Beberapa bulan berlalu setelah kehamilan Stella dan dia tetap mendapati sikap penuh perhatian dan juga segala hal yang diberikan Bian mulai lebih terlihat banyak dan berkembang.Pria angkuh dan kaku itu bahkan seolah sengaja untuk menjadi dirinya yang lebih baik, tidak lagi bermulut pedas, tidak lagi bertampang datar dan dingin, tidak lagi menjadi sosok yang menyebalkan.Stella menikmati semua perubahannya tapi juga dia masih berusaha menjaga jarak. Dia tidak bisa kalau harus membiarkan pria itu melakukan sesuatu padanya semakin jauh, tapi dia juga tidak memiliki kemampuan untuk menghalanginya hingga hanya bisa menerima."Maaf, aku terlambat datang. Tadi aku meeting dulu dengan klien baru setelahnya aku datang ke sini karena itu klien yang cukup penting. Dia sudah datang jauh-jauh dari luar negeri, makanya aku layani dulu," ucap Bian begitu masuk ke cafe Stella.Wanita berdress hitam itu menoleh ke arah Bian, lalu diam selama beberapa saat. "Kau bicara seolah menjadi gigolo saja," uja
Setelah pulang, tak ada lagi pembicaraan yang dilakukan oleh Bian dan Stella. Keduanya masuk ke dalam rumah dan disambut Amber, tapi karena tak ada yang dikatakan dan dibicarakan oleh kedua majikannya jadi Amber juga hanya diam dan berniat untuk memasak makan siang sebab sebentar lagi sudah harus makan. Stella masuk ke kamarnya dan memutuskan untuk beristirahat sambil berpikir. Dia merasa sifat Bian saat ini sudah terlalu jauh, pria itu sudah tak sama lagi dan itu membuatnya khawatir. Besar kemungkinan jika seperti ini maka mereka tidak akan berpisah sesuai dengan harapan pria itu. "Tidak ada dasar yang kuat kenapa dia berubah dan berniat untuk mempertahankanku. Aku bukan orang yang tidak punya hati sampai mengabaikan apa yang dia lakukan dan dia inginkan, tapi kalau dia tidak memiliki dasar yang kuat untuk mempertahankan pernikahan ini maka dia akan bisa mengabaikannya dengan mudah ke depannya. Dia tidak tahu bagaimana harus menjadi dirinya sendiri, karena bagaimanapun semua ini
Stella menoleh ke arah Bian saat pria itu sengaja meletakkan lauk di piringnya. Padahal dia tidak memintanya sama sekali tapi pria ini memang sengaja melakukannya dan menggunakan Calista yang ada dihadapan mereka untuk semakin berpura-pura.Saat ini mereka sedang makan pagi bersama dan Bian terlihat seperti seorang suami dan calon ayah yang baik. Dia tak tahu bagaimana harus menolaknya tapi saat ini dia hanya bisa diam saja dan memakan makanan itu tanpa banyak bicara."Makanlah yang banyak, agar kandunganmu sehat." Calista bersuara membuat Stella mengangguk tanpa menatapnya.Dia malas untuk banyak berbasa-basi saat ini, terlalu melelahkan. Sepertinya jika dia kembali ke rumah atau ke kamarnya yang ada di cafe akan lebih baik, dia tidak akan menyinggung atau membuat siapapun harus terusik. Dia bukan orang yang hebat dan bahkan dia selalu menjadi orang yang terhina.Stella menghela napas panjang lalu duduk di kursi dan melihat Bian serta Calista yang sedang bicara. Sejak tadi dia tahu m
"Aku mau." Stella menatap Bian dengan wajah datar. "Mau apa?" Bian melihat Stella dari atas sampai bawah, berulang-ulang membuat wanita itu memalingkan wajahnya dengan tatapan datar yang tak berubah. Dia sudah tahu apa yang dimaksudkan oleh pria ini, rasanya seperti tak masuk akal karena Bian bisa-bisanya meminta secara terang-terangan begini. "Apa yang kau pikirkan sebenarnya? Sadar tidak sih kalau aku sedang hamil?" "Memangnya kalau hamil tidak bisa melakukannya?" tanya Bian dengan wajah tak percaya. "Apa yang kau rasakan? Ada yang sakit lagi?" Stella menghela napasnya dalam-dalam lalu berjalan ke arah ranjang dengan rasa malas. "Aku belum fit, kalau kita lakukan malah beresiko. Itu bukan hal yang kuinginkan, aku mau mempertahankan anak ini. Apapun keadaannya, aku tidak akan membuatnya kenapa-napa. Kau harus tahu, keguguran pertama kali bisa membuat resiko macam-macam, salah satunya mungkin tidak akan bisa hamil lagi. Jadi, berhenti meminta sebelum keadaanku membaik." "O