Stella hanya duduk diam di depan meja kerja Bian yang tengah mengotak-atik komputer miliknya. Tatapannya santai, seolah tak ada yang mengganggu hatinya dengan jemari lentiknya yang sudah sedang dia perhatikan.
Gayanya dalam duduk itu terlihat anggun. Well, dia adalah wanita pekerja keras yang tidak suka menangisi sesuatu yang tidak pantas di tangisi. Masalah mengandung anak dan perjanjian dengan pria di hadapannya ini, itu bukanlah hal yang harus dipikirkan, apalagi dinegara ini wanita tidak perawan bukanlah suatu hal yang menjadi masalah.Lagipula dia tercatat sudah pernah menikah. Jadi kalau dia masih perawan itu malah akan menjadi gunjingan orang. Ya, meskipun dia tak ada niatan untuk melepaskan keperawanannya pada pria dihadapannya ini. Karena dia sama sekali tak mencintai Bian, mungkin takkan pernah mencintainya."Sudah selesai, kau bisa baca."Stella menatapnya, lalu mengulurkan tangan dan menerima dua lembar yang baru keluar dari mesin printer. Dibaliknya halaman itu, lalu membacanya dan melihat beberapa poin yang tak boleh di langgar."Kita tidak boleh saling jatuh cinta, kita tidak akan dekat setelah melakukan hubungan suami istri, kalau bisa kita hanya akan bicara hal yang seperlunya. Pihak wanita harus menjaga dan mempertanggungjawabkan keadaan bayi yang dikandungnya. Kalau terjadi apa-apa harap langsung katakan pada pihak pria agar dapat dilakukan tindakan yang baik." Stella bergumam membaca pasal pertama hingga dia mendongak menatap Bian yang santai di hadapannya."Izin bertanya," ucapnya membuat Bian menaikkan alis tanpa kata. "Apa maksud dari pihak pertama harus bertanggung jawab atas keadaan bayi yang dikandungnya? Jadi kalau misalnya tanpa sengaja bayi yang kukandung itu tidak sempurna atau aku keguguran karena dia lemah bagaimana? Apa aku akan bertanggung jawab juga?" tanyanya tak senang yang membuat Bian menghela napas pelan."Bukan tanggung jawab yang itu." Bian berkata membuat Stella yang kini menaikkan alis. "Kalau dia memang tidak sempurna, itu ada sebabnya. Biasanya janin tidak sempurna kalau ibunya merokok, minum minuman keras dan mengkonsumsi obat-obatan berbahaya. Kau mengkonsumsi apa yang kukatakan?"Stella diam, laku menggeleng pelan. "Kalau pun ada, aku hanya minum anggur yang dosisnya rendah. Itupun tidak tiap hari," gumamnya membuat Bian tersenyum miring."Kalau masalah keguguran, itu juga tergantung bayi. Ada bayi yang lemah saat sudah di kandungan walaupun dirawat dengan begitu baik dan di jaga. Aku akan mencoba memahami kalau anakku gugur, selama itu memang karena bawaan dari tenaga bayiku yang tidak kuat sejak ada di dalam kandunganmu. Namun kalau kata dokter bayi itu gugur karena ulahmu yang sengaja tidak menjaganya, baru aku akan membuatmu tahu kalau aku tidak sebaik itu." Bian berkata datar membuat Stella mendengkus pelan."Baiklah." Stella menghela napasnya pelan. "Aku akan mencoba menjaganya dengan sebaik mungkin kalau sudah ada di dalam rahimku. Karena kalau aku harus keguguran tanpa aku yang menyebabkannya, itu artinya aku harus mengandung anakmu lagi. Mau berapa lama lagi aku harus tetap bersamamu?"Bian tak menjawab apa-apa, dia hanya menatap Stella yang tampak santai membuka lembar kedua. Wanita ini memang agak keras, tidak mudah untuk di tundukkan. Bian tahu hal itu dan menyadari, sejak dia mengatakan di malam pernikahan mereka dulu kalau dia tak akan pernah mencintainya, sejak itulah Stella juga tak pernah melakukan apapun padanya.Jika seorang istri akan melayani suaminya dalam beberapa kebutuhan, Stella terkadang masih mau melakukannya. Namun kalau hal yang lebih daripada itu, dia gak pernah mau melakukannya. Stella menjaga jarak, tak peduli Bian tak pernah memberikan uang nafkah dan tak peduli Bian mau melakukan apa. Dia hanya asyik dengan hidupnya."Ini sudah cukup." Stella mengambil bolpen, lalu menatap Bian yang masih santai di hadapannya. "Mana materainya? Aku akan menandatangani ini sebelum pulang."Bian membuka laci mejanya, lalu mengeluarkan dua buah materai. Diberikannya beberapa sebuah pada Stella yang langsung membuka kertas penahan lem dan menempelkannya di bagian tandatangan."Kita punya masing-masing satu dan isi perjanjiannya hanya beda beberapa hal." Bian berkata, seraya mengulurkan miliknya pada Stella. "Milikku hanya dengan isi aku akan membiayai semua kebutuhanmu mulai dari akan mengandung sampai melahirkan anakku. Dan aku akan bertanggung jawab atas keselamatanmu karena kau sedang mengandung anakku."Stella membalik lembaran itu, sebelum akhirnya mengangguk-angguk pelan dan menyerahkannya pada Bian. Usai bertandatanagan, Stella bangkit hingga Bian meletakkan bolpennya dengan santai dan menatap wajah Stella yang sedang memegang perjanjiannya."Perjanjian ini bisa di batalkan kedua belah pihak kalau ada yang sudah tidak masuk akal. Dan disana aku juga sudah menambahkan, asalkan hal yang salah itu masuk akal, maka bisa untuk dibicarakan."Stella tak terlalu mendengarnya, dia hanya memakai tas dan memegang dengan erat perjanjian yang sudah di masukkan ke dalam map oleh Bian."Aku pulang."Bian mengangguk samar, tampak acuh. "Besok kau harus datang kemari dan membawa barang-barangmu yang kau perlukan. Aku menunggumu sampai jam delapan pagi.""Hmm." Stella melangkah pergi, meninggalkan Bian yang diam di meja kerjanya seraya memasukkan perjanjian miliknya ke dalam laci.Dia menarik napasnya dalam-dalam. Perasaannya tak menentu, dia tak tahu apa yang bisa dia lakukan selain hal konyol ini. Meminta istrinya mengandung anaknya dengan menggunakan perjanjian tertulis, hal yang sangat aneh tapi juga bermanfaat.Dia membutuhkan seorang pewaris untuk perusahaannya nanti. Dan dengan memiliki anak satu dari istrinya, bukanlah hal yang buruk. Selain itu bisa membuatnya memiliki pewaris, anaknya juga bisa membuat keadaan ibunya baik-baik saja.Toh Stella juga tak keberatan atas apa yang sudah diberikan. Wanita itu sangat sungguhan ingin melakukannya dan membuatnya tak perlu merasa bersalah. 'Kan Stella yang duluan menawarkan apa yang tadi dia katakan, Bian hanya meluruskannya agar matang.Bangkit dari duduknya, Bian melangkah ke arah jendela yang langsung menghadap ke jalan raya. Dan entah kebetulan atau tidak, matanya menyipit melihat Stella tengah berpelukan dengan seorang pria di bawah sana."Apakah itu pacarmu yang kau katakan, Stella?" tanyanya dalam hati dengan dahi berkerut tapi akhirnya dia tersenyum miring. "Kita lihat saja apa yang akan dia lakukan kalau tahu kau akan mengandung anakku. Apakah akan ada pekerjaan perasaan antara kalian berdua?"Ditutupnya tirai jendela, lalu beranjak pergi dari ruangan kerja. Bian melangkah ke kamar, lalu membuka semua pakaiannya di kamar mandi dan langsung memasukkannya ke dalam keranjang pakaian kotor. Tak lama air sudah mengucur di sekujur tubuhnya yang atletis dan putih mulus. Tubuh pria tinggi itu tampak nyaman di bawah saluran air."Aku harus membuat jadwal yang tepat, kapan aku dan dia akan bercinta."Disebuah rumah makan yang bisa dikatakan seperti cafe, sepasang manusia tengah duduk berhadapan sambil menunggu kedatangan makan malam. Mereka adalah Stella dan Asley, dua sahabat dekat yang sering dikait-kaitkan dengan hubungan asmara mereka. Padahal bisa dikatakan kalau mereka hanya dekat, tidak ada hubungan apa-apa. Selain karena Stella sudah punya suami dan sudah menikah, Asley hanya diam-diam dan menunggu kapan wanita ini akan di ceraikan oleh suaminya. "Jadi kau akan benar-benar bercerai tiga bulan lagi?" tanya Asley membuat Stella mendongak menatap wajah sahabatnya."Entahlah." Dia menghela napas. "Ada satu masalah yang harus kami selesaikan dulu, Asley. Tidak tahu aku bisa atau tidak melakukannya bersama dia," ujar Stella membuat Asley mengerutkan dahinya. "Soal apa? Tidakkah kau mau mengatakannya padaku? Sahabatmu?""Kau janji tidak akan marah?" tanyanya membuat Asley tambah mengerutkan dahinya. Namun wajah pria itu tetap enak di pandang, Asley pandai mempertahankan raut
Masuk ke dalam kamar di cafenya, Stella menatap ruangan yang kecil tapi nyaman baginya itu. Cafe yang dia tempati setelah menikah dengan Bian. Mereka memang tak pernah satu rumah, karena hubungan mereka tak ada baiknya sejak dulu sampai saat ini. Ya, bahkan sampai saat ini.Sampai saat ini hubungan mereka tidak baik-baik saja. Hanya agak dekat karena butuh dan tidak ada yang lebih daripada itu. Mengandung anak, melahirkan dan pergi. Suatu yang bagi Stella mudah, tapi sebenarnya dia tahu kalau dia bertaruh nyawa demi melakukan itu. Dia akan tinggal serumah bersama Bian, menghadapi sikap pria itu tiap hari. Apakah dia sanggup?Stella membuang napasnya pelan, seraya mengaduk tehnya di kursi pantry mini yang ada di dekat kamar mandinya. "Aku yakin pasti bisa." Stella berkata dengan suaranya yang nyaris tertelan malam dan kesunyian. "Ada Ashley yang akan menerimaku, bahkan dalam keadaan terburukku. Jikalau pun tidak, aku bisa pergi saat semuanya sudah berakhir dan mencari kehidupan sendir
Kening Stella berkerut mendengar pertanyaannya. "Siapa?" tanyanya tak paham yang di balas dengusan singkat oleh Bian."Pergilah, masak makananmu. Kamarmu ada di sebelah kamarku dan kuharap kau bisa membersihkannya setiap hari. Aku tidak suka ada yang kotor dirumah ini," ujarnya seraya meraih remote televisi. Stella tersenyum di salah satu sudut bibirnya. "Kau kira aku suka ada yang kotor?" tanyanya seraya mengambil gagang koper yang sudah diambil alih oleh pelayan dengan segera. "Aku juga akan kesal melihat hal yang kotor-kotor, termasuk isi hati orang lain."Bian menoleh kesal pada wanita yang tak lain adalah istrinya itu. Banyak bicara sekali! Apa yang dia maksudkan sebenarnya?Namun, Stella nampak tidak peduli dan malah melangkah pergi meninggalkannya sendirian di ruangan televisi. Benar-benar wanita menyebalkan!Ditatapnya televisi yang sudah menyala, lalu menghela napas datar kala melihat adik ibunya alias Lauren yang kembali diberitakan memegang sebuah kasus besar."Tante ...
"Malam ini kita akan mulai bercinta. Bersiaplah ..."Stella terdiam mendengar ucapan Bian. Tangannya meremas pelan gelas yang ada di genggamannya. "Malam ini?""Ya." Bian bersandar santai, menatap ke arah samping yang langsung menghubungkan pemandangannya dengan taman kecil di halaman kecil lantai apartemen miliknya. "Semakin cepat maka akan semakin baik. Kita bisa menjadi lebih cepat untuk mengakhiri semua ini. Aku tidak mau lama-lama menampungmu tinggal bersamaku."Stella menghela napasnya pelan, merasa lelah dan muak mendengar ucapan Bian yang kerap membuat hatinya sakit. Namun, dia tak harus membuat itu untuk menjadikan semangatnya berkurang. Dia akan tetap pada apa yang sudah dia katakan sejak awal. Stella tak suka menarik kata-kata yang sudah dia ucapkan. "Baiklah, aku akan mempersiapkan diriku. Namun aku minta, ini adalah yang terakhir, oke? Jangan pernah kita lakukan lagi, tapi jika dalam dua bulan aku tidak kunjung hamil, maka kau bebas mau mengatakan aku mandul atau apa. T
Usai makan, disini lah saat-saat yang mendebarkan bagi Stella yang harus melakukan hubungan suami istri bersama Bian.Dia meneguk banyak air minum setelah makan, melampiaskan kegugupan yang benar-benar tak bisa di minta pergi. Dia akan mengalami pengalaman pertama sebagai istri yang melayani suami malam ini, hingga hatinya benar-benar merasa kacau dan berdebar. "Aku yakin aku pasti bisa." Stella memegang pahanya dengan tangan yang terlihat gemetar. "Aku akan melayani Bian untuk segera hamil. Dan semoga saja tidak ada hal memalukan lain setelah ini. Semoga setelah ini, Bian tak mengatakan apa-apa dan melupakan semuanya," ujar Stella dalam hati, benar-benar mengharapkan semoga malam ini berakhir lancar dan tidak ada masalah apapun.Bian meletakkan sendoknya dengan santai, lalu mengelap bibirnya menggunakan serbet. Setelahnya, dia meraih gelas dan dengan begitu tenang meneguknya."Kau bisa langsung kekamar, aku akan menyusul." Stella menatap wajahnya yang masih meneguk air minum itu. "K
Tangan Bian menelusuri lekukan leher Stella yang sedang berbaring di bawah kungkungannya. Lembut, halus dan harum. Benar, seperti itu ...Entah menggunakan apa tapi Bian merasa kalau Stella tidak seburuk yang dia pikirkan. Gadis ini merawat tubuhnya dengan baik, hingga menampilkan aroma harum dan lembut yang membuat libidonya naik.Bian perlahan membuka pakaian tidur Stella yang sudah memejamkan matanya karena tak kuat menyaksikan pria ini melihat area tubuhnya yang selama ini dia tutupi. Dia sungguhan merasa malu, juga merasa kalau menarik kata-katanya juga tak bisa lagi.Hingga sekarang, pasrah adalah jalan yang harus mereka lalukan. Karena sekarang dia sedang menguatkan dirinya agar apapun yang terjadi selanjutnya adalah hal yang akan mengubah hidupnya.Dia yang semula perawan, kini akan melepaskan keperawanannya pada Bian. Dia yang semula hanya istri di atas kontrak, kini akan mengandung kalau semua ini berhasil.Semoga saja Stella sanggup karena sekarang dia bahkan mulai tidak yak
Bian menahan rasa nikmat yang menjalar disekujur tubuhnya karena milik mereka yang sudah menyatu tanpa sekat. Dia menggigit bibirnya sendiri, lalu menarik napas beberapa kali sebelum menatap Stella yang masih menangis."Apakah masih sakit?" Stella tak menjawab, wanita itu tetap saja sama tak begitu peduli padanya dan hanya mementingkan rasa sakit akibat keperawanannya yang sudah terkoyak. Ada rasa menyesal dalam hatinya yang kembali lagi, tapi Stella sadar kalau dia harus bisa dan memberikan cucu untuk ibu mertuanya yang sedang sakit."Lakukan perlahan, aku mohon ..." ujarnya membuat Bian merasakan dadanya bergetar. Dia menelan ludah kala ini, dengan hatinya yang merasa kalau Stella rela kesakitan hanya karena ini dan menuruti permintaan ibunya."Aku akan lakukan pelan-pelan," balas Bian seraya mengeratkan genggaman tangannya pada Stella. "Tahanlah, ini tidak akan sakit terlalu lama."Stella menarik napas beberapa kali sebelum akhirnya menenangkan dadanya yang berdebar. Benar, hanya
Bian mengerjap pelan, lalu menatap ke arah sekitarnya dan merasakan pergerakan dari arah samping. Stella, istrinya yang dia nikmati tadi malam itu sedang bangkit dan beranjak dari atas ranjangnya dengan memakai selimut yang ada disana."Bisakah kau duluan yang ke kamar mandi?" tanya Stella tapi Bian tak mengatakan apapun dan hanya menatapnya. "Aku mau pinjam selimut ini agar bisa ke kamarku. Aku mau membersihkan diriku disana."Bian sadar kalau Stella dan dirinya tak memakai apapun saat ini karena mereka langsung tidur tadi malam.Melihat Bian yang tak mengatakan apapun. Stella akhirnya menghela napas dan menatap ke bawah. Celananya masih utuh dan juga bajunya. Malas berlama-lama disini, Stella akhirnya menunduk dan mengambil pakaiannya itu dari sana.Ringisan pelan terdengar dari bibirnya ketika dia merasakan sakit saat berjongkok. Namun dia memakai celana itu sebelum akhirnya memakai bajunya dalam keadaan jongkok. Bian masih diam di atas ranjang, menatap ke arah Stella yang baru ba
Stella sebenarnya mengatakan semua itu dengan sangat santai pada Bian tapi entah mengapa karena menyebut kata 'ibuku', Bian adi perasaan sendiri teringat dengan kesalahannya. Namun, meski begitu dia tetap meminta pelayan untuk membuatkan makanan yang diinginkan oleh Stella, pelayan itu datang dari rumah utama alias tempat ibunya tinggal dan membawa makanan yang diinginkan Stella. Sebenarnya semua ini dirasa terlalu berlebihan, padahal Stella sudah bilang kalau dia bisa membuatnya sendiri. Namun, Bian menyebalkan dengan kata posesif yang ada di dalam dirinya. Membuat Stella juga tak bisa membantah dan memutuskan untuk langsung makan saja karena dia sudah lapar. "Apakah ini yang namanya mengidam? Kudengar, seorang ibu hamil biasanya akan menyukai makanan-makanan random. Kau mendadak menginginkan makanan asia seperti ini, kau sedang mengidam?" tanya Bian sambil menyuapkan satu potong daging ke mulutnya. "Mungkin saja, aku juga tidak begitu tahu karena Ini pertama kalinya aku hami
Stella memejamkan matanya, merasa lelah dengan segala permintaan Bian yang selalu dia dapatkan. Setiap hari, pria ini pasti akan selalu mengungkit tentang itu dan memintanya untuk tidak pergi. Dengan sikapnya yang berubah-ubah, Stella justru takut dengan kenaikan yang diberikan Bian padanya. "Aku tidak meminta banyak, aku hanya meminta supaya kau tidak pergi meninggalkan kami. Aku sudah berjanji akan memberikan separuh sahamku kepadamu, kenapa sulit sekali bagimu untuk membuat keputusan kecil itu jika aku bisa memberikanmu sesuatu yang besar?" Selepas mandi habis melakukan percintaan itu, Bian kembali bertanya dengan duduk di atas ranjang yang sama dengannya. Sementara Stella sudah terbaring dengan dua bantal yang dia sadari hingga tubuhnya terlihat nyaman. "Kau tahu, seumur hidup itu tidak sebentar." Stella memulai ucapannya dengan lembut, tak mau berdebat dan tak memancing emosi pria ini. "Kau memintaku tetap bertahan setelah kita bercinta, hampir setiap hari memintaku melakuk
"50% saham hanya untuk bercinta denganku? Apakah kau merasa itu semua masuk akal?" Masih diposisi yang sama, Stella tak bisa lepas dari kungkungan Bian karena pria ini terlihat begitu serius ingin melakukannya. "Bukankah kau yang meminta syarat itu? Aku hanya berusaha untuk menurutinya supaya mendapatkan apa yang aku mau, sekaligus kau tidak merasa rugi dengan permintaanku." Bian menjawab dengan santai membuat Stella menarik napasnya tak percaya. "Bian, tidak ada untungnya-" "Ada, apakah kau meremehkan hasrat seorang pria sepertiku? Aku punya istri dan aku tidak bisa menyentuhnya dengan leluasa karena dia tidak percaya padaku dan masih sakit hati, jadi aku hanya berusaha untuk menggapai hatinya. Apapun akan kulakukan untuk itu, masih tidak percaya?" Stella terdiam, dia ingat sesuatu yang pernah dikatakan orang termasuk wanita-wanita yang pernah menikah. Mereka mengatakan kalau suami mereka rela melakukan apa saja jika sudah ingin melakukan hubungan suami istri. Bahkan ketika mer
Stella menatap wajah Bian yang sepertinya tak ada niatan untuk melepaskannya. Wanita itu sudah mencengkram selimut saat merasakan Bian menyapa bagian lehernya dengan ciuman dan kecapan mesra. "Bian ..." Bian mengangkat kepalanya, lalu menatap dalam wajah Stella yang sudah menggeleng. "Aku tidak bisa melakukan itu." "Kenapa?" Bian menciumnya dengan lembut. "Bukankah sudah bersedia untuk lebih menerima hubungan ini dan semua perhatianku?" Stella menelan ludahnya. "Tetapi bukan dengan bercinta, 'kan?" ucapnya pelan. "Aku tidak ada mendengar ucapan itu." Bian terdiam, sadar kalau selama ini dia terbawa perasaan sendiri padahal Stella tetap menganggap semuanya sama seperti pertama kali. "Bian ... aku sangat lelah." Bian tersenyum pelan lalu mengusap kepalanya. "Sudah berapa bulan kita tidak melakukannya, kau tidak merindukanku?" Stella menatapnya dengan tatapan tak paham membuat Bian tersenyum lagi. Gila, dia yang terbawa perasaan sendiri dengan hubungan dan kedekatan yang
Stella memijat kepalanya perlahan lalu keluar dari dalam mobil dan menatap Bian yang sudah membuka pintu rumah dan menyambutnya yang baru datang. Wanita itu diam selama beberapa saat tapi kemudian dia berjalan saat melihat Bian yang sedang tersenyum padanya."Kau mau pergi?"Bian menaikkan alisnya. "Tidak, kenapa kau bertanya seperti itu?" tanyanya seraya merangkul tubuh Stella, membawanya masuk ke rumah. "Emm, karena aku melihatmu keluar dari rumah saat aku sampai tadi. Kupikir kau bukan mau menyambutku tapi mau pergi ke suatu tempat seperti yang biasa kau lakukan dulu. Dulu bukankah kau biasanya selalu pergi? Kenapa sudah tidak pernah lagi keluar dan nongkrong atau menyendiri?"Bian mengajaknya duduk di sofa lalu tersenyum lembut menatap wajah istrinya itu. "Untuk apa? Aku lebih baik di rumah daripada keluar tanpa manfaat seperti itu. Aku tidak begitu punya teman, hanya ada beberapa rekan kerja. Kalau aku di rumah aku bisa membantu menjaga dan memberikan perhatian padamu. Kehamilan
Beberapa bulan berlalu setelah kehamilan Stella dan dia tetap mendapati sikap penuh perhatian dan juga segala hal yang diberikan Bian mulai lebih terlihat banyak dan berkembang.Pria angkuh dan kaku itu bahkan seolah sengaja untuk menjadi dirinya yang lebih baik, tidak lagi bermulut pedas, tidak lagi bertampang datar dan dingin, tidak lagi menjadi sosok yang menyebalkan.Stella menikmati semua perubahannya tapi juga dia masih berusaha menjaga jarak. Dia tidak bisa kalau harus membiarkan pria itu melakukan sesuatu padanya semakin jauh, tapi dia juga tidak memiliki kemampuan untuk menghalanginya hingga hanya bisa menerima."Maaf, aku terlambat datang. Tadi aku meeting dulu dengan klien baru setelahnya aku datang ke sini karena itu klien yang cukup penting. Dia sudah datang jauh-jauh dari luar negeri, makanya aku layani dulu," ucap Bian begitu masuk ke cafe Stella.Wanita berdress hitam itu menoleh ke arah Bian, lalu diam selama beberapa saat. "Kau bicara seolah menjadi gigolo saja," uja
Setelah pulang, tak ada lagi pembicaraan yang dilakukan oleh Bian dan Stella. Keduanya masuk ke dalam rumah dan disambut Amber, tapi karena tak ada yang dikatakan dan dibicarakan oleh kedua majikannya jadi Amber juga hanya diam dan berniat untuk memasak makan siang sebab sebentar lagi sudah harus makan. Stella masuk ke kamarnya dan memutuskan untuk beristirahat sambil berpikir. Dia merasa sifat Bian saat ini sudah terlalu jauh, pria itu sudah tak sama lagi dan itu membuatnya khawatir. Besar kemungkinan jika seperti ini maka mereka tidak akan berpisah sesuai dengan harapan pria itu. "Tidak ada dasar yang kuat kenapa dia berubah dan berniat untuk mempertahankanku. Aku bukan orang yang tidak punya hati sampai mengabaikan apa yang dia lakukan dan dia inginkan, tapi kalau dia tidak memiliki dasar yang kuat untuk mempertahankan pernikahan ini maka dia akan bisa mengabaikannya dengan mudah ke depannya. Dia tidak tahu bagaimana harus menjadi dirinya sendiri, karena bagaimanapun semua ini
Stella menoleh ke arah Bian saat pria itu sengaja meletakkan lauk di piringnya. Padahal dia tidak memintanya sama sekali tapi pria ini memang sengaja melakukannya dan menggunakan Calista yang ada dihadapan mereka untuk semakin berpura-pura.Saat ini mereka sedang makan pagi bersama dan Bian terlihat seperti seorang suami dan calon ayah yang baik. Dia tak tahu bagaimana harus menolaknya tapi saat ini dia hanya bisa diam saja dan memakan makanan itu tanpa banyak bicara."Makanlah yang banyak, agar kandunganmu sehat." Calista bersuara membuat Stella mengangguk tanpa menatapnya.Dia malas untuk banyak berbasa-basi saat ini, terlalu melelahkan. Sepertinya jika dia kembali ke rumah atau ke kamarnya yang ada di cafe akan lebih baik, dia tidak akan menyinggung atau membuat siapapun harus terusik. Dia bukan orang yang hebat dan bahkan dia selalu menjadi orang yang terhina.Stella menghela napas panjang lalu duduk di kursi dan melihat Bian serta Calista yang sedang bicara. Sejak tadi dia tahu m
"Aku mau." Stella menatap Bian dengan wajah datar. "Mau apa?" Bian melihat Stella dari atas sampai bawah, berulang-ulang membuat wanita itu memalingkan wajahnya dengan tatapan datar yang tak berubah. Dia sudah tahu apa yang dimaksudkan oleh pria ini, rasanya seperti tak masuk akal karena Bian bisa-bisanya meminta secara terang-terangan begini. "Apa yang kau pikirkan sebenarnya? Sadar tidak sih kalau aku sedang hamil?" "Memangnya kalau hamil tidak bisa melakukannya?" tanya Bian dengan wajah tak percaya. "Apa yang kau rasakan? Ada yang sakit lagi?" Stella menghela napasnya dalam-dalam lalu berjalan ke arah ranjang dengan rasa malas. "Aku belum fit, kalau kita lakukan malah beresiko. Itu bukan hal yang kuinginkan, aku mau mempertahankan anak ini. Apapun keadaannya, aku tidak akan membuatnya kenapa-napa. Kau harus tahu, keguguran pertama kali bisa membuat resiko macam-macam, salah satunya mungkin tidak akan bisa hamil lagi. Jadi, berhenti meminta sebelum keadaanku membaik." "O