Bian mengerjap pelan, lalu menatap ke arah sekitarnya dan merasakan pergerakan dari arah samping. Stella, istrinya yang dia nikmati tadi malam itu sedang bangkit dan beranjak dari atas ranjangnya dengan memakai selimut yang ada disana."Bisakah kau duluan yang ke kamar mandi?" tanya Stella tapi Bian tak mengatakan apapun dan hanya menatapnya. "Aku mau pinjam selimut ini agar bisa ke kamarku. Aku mau membersihkan diriku disana."Bian sadar kalau Stella dan dirinya tak memakai apapun saat ini karena mereka langsung tidur tadi malam.Melihat Bian yang tak mengatakan apapun. Stella akhirnya menghela napas dan menatap ke bawah. Celananya masih utuh dan juga bajunya. Malas berlama-lama disini, Stella akhirnya menunduk dan mengambil pakaiannya itu dari sana.Ringisan pelan terdengar dari bibirnya ketika dia merasakan sakit saat berjongkok. Namun dia memakai celana itu sebelum akhirnya memakai bajunya dalam keadaan jongkok. Bian masih diam di atas ranjang, menatap ke arah Stella yang baru ba
Stella menatap wajah Bian dengan cepat. "Siapa kau bisa menghalangiku bertemu dengannya?" tanya Stella tak senang seraya meletakkan apa yang dipegangnya. Bian tersenyum sinis, duduk di kursi makan dan menatap Stella yang tampak menatapnya penuh. Meminta jawaban atas apa yang dia katakan, hingga mau tak mau dia harus bertahan tanpa memasak."Kau tidak ada mengatakan larangan ini sebelumnya, Bian!" Stella kembali berkata dengan tatapannya yang menegas. "Kau tidak bisa melarangku melakukannya!"Bian berdecak, tampak tak senang dengan apa yang dilakukan oleh Stella. Bagaimana istrinya itu bisa berkata tegas padanya, membuatnya merasa kalau dia tak dihargai. Ck, Bian ingat kalau diapun tak pernah menghargai Stella, lantas bagaimana dia bisa dihargai balik?"Kau dengarkan aku." Bian berkata datar membuat Stella mengerutkan dahinya menunggu. "Kau tidak bisa bertemu dengan pria itu karena kau sedang dalam fase melakukan perjanjian denganku. Siapa yang bisa menduga kalau akan bermain jahat de
Bian berangkat ke kantor setelah makan bersama dengan suasana dingin bersama Stella. Pada awalnya dia dan wanita itu mana pernah dekat dan tak pernah makan dalam suasana hangat, ditambah lagi dengan apa yang Bian lakukan dan Bian katakan padanya untuk tidak mendekati pria itu, tentu saja Stella marah dan semakin tak bisa dikendalikan.Hal yang membuat Bian yakin kalau pria itu memang pacar dari Stella. Kalau bukan pacarnya, wanita itu mana mungkin akan semarah dan sekesal tadi pagi, bukan? Bian sangat yakin kalau hati Stella ada dengan pria itu, makanya dia tidak terima dilarang bertemu."Cih! Kenapa aku harus memikirkan Stella terus-terusan!" Bian menghempaskan tubuhnya ke sandaran kursi, melepaskan berkas yang dipegangnya dan memejamkan mata. "Benar, wanita benar-benar penyihir. Hanya beberapa hari aku memiliki percakapan lebih panjang dengannya dan baru sekali aku bercinta dengannya tapi dia sudah membuatku seperti ini. Stella ... kau benar-benar penuh tipuan!"Bian menggeram kesal
Sepanjang siang menjelang sore, Stella diam di ruangannya sampai akhirnya dia memutuskan untuk keluar saat mendapati pesan dari Bian. Pria itu tiba-tiba mengatakan kalau dia ada di depan dan meminta agar Stella keluar."Kenapa kau datang kesini?" tanya Stella dengan tatapan serius.Pria itu duduk di atas kap mobil mewahnya, terlihat begitu arogan dengan tangan bersedekap dan jas yang membungkus tubuhnya.Dia menatap Stella dengan tetapan datar yang terlihat begitu arogan, membuat Stella menatapnya tak kalah datar dan malas. Dua suami istri itu memang tak pernah akur selama ini, mereka bahkan tidak pernah saling bicara jika bukan hal penting yang harus mereka bahas. "Kau sudah melanggar perjanjian yang sudah kukatakan." Stella menaikkan alisnya mendengar itu. "Apa? Aku tidak merasa melakukan sesuatu dan perjanjian kita hanya sekedar aku dan kau bercinta, lalu aku melahirkan anakmu, setelahnya aku pergi. Apalagi perjanjian yang sudah kulanggar?" tanyanya sambil berkacak pinggang.Pria
"Dia tidak pulang?" Bian mengerutkan dahinya saat melihat rumahnya kosong.Begitu dia pulang, dia sama sekali tak menemukan Stella. Dia tampak menghela napas, lalu membuka dasinya dan duduk di sana sendirian. Biasanya juga dia akan tinggal sendirian dan enggan untuk ada orang lain disini, karena bagaimanapun juga dia sudah lama menyendiri. Hanya saja, kemarin dia dan Stella membuat janji kalau mereka akan tidur dan tinggal bersama, kenapa sekarang wanita itu mengabaikan perjanjiannya?"Benar-benar wanita yang merepotkan," gumamnya lalu mengeluarkan ponsel. Dia harus menghubungi wanita itu agar dia pulang, Bian tidak mau tantenya malah tahu tentang hubungannya dan Stella yang masih belum membaik. Tantenya itu bisa melaporkan hal ini pada ibunya dan membuat semuanya kacau. "Kau dimana? Kenapa tidak pulang?" tanya Bian begitu panggilannya tersambung.Stella menghela napasnya dalam-dalam lalu menjawab datar. "Di cafe, malam ini aku akan tidur di sini. Terlalu melelahkan kalau aku pulang
"Pulang!"Stella mengerutkan dahinya membaca pesan itu, dia baru saja bangun tidur dan Bian langsung mengirimkan pesan aneh begini."Hari ini Mama datang untuk melihat kita jadi kau harus pulang pagi-pagi sekali. Jangan sampai Mama tahu kalau kau tidak tidur di rumah malam ini. Mama akan datang pagi ini."Stella yang baru bangun langsung bangkit membaca pesan selanjutnya yang dikirim oleh Bian padanya. Dia sungguh tidak menduga kalau ibu mertuanya akan datang, akan berbahaya kalau Calista tahu dia tidak ada di rumah sementara Bian sudah menyetujui permintaan ibunya itu."Aku akan segera pulang."Stella hanya mencuci wajahnya saja dan tidak sempat mandi, dia mengirimkan pesan pada Lyra untuk datang dan membuka cafe mereka tanpa kehadirannya karena dia akan segera pergi ke rumah. Dia memesan taksi setelahnya, lalu bergegas pulang ke rumah.Dia takut ibu mertuanya duluan datang, itu hanya akan menjadi masalah. Sementara dia tidak punya mobil atau kendaraan apapun untuk menuju pulang sehi
Stella menelan ludahnya sendiri setelah beberapa saat, sementara itu Bian baru saja melepaskannya dan menetralkan napas di sebelahnya.Berbaring membelakanginya, Stella menggenggam selimut dengan erat lalu menghela napas. "Kenapa kau harus lakukan lagi?" tanya Stella dengan suaranya yang gemetar. "Ini melanggar perjanjian."Bian menatap punggung Stella dengan tetapan santai, lalu menghela napas dan tersenyum. "Tarik saja kata-kata yang kuucapkan tentang itu, aku tidak pernah menuliskannya dalam perjanjian tapi aku pernah mengucapkannya. Jadi, aku bebas mau bercinta kapan saja denganmu," ucapnya santai membuat Stella menghela napas dalam dan memejamkan matanya."Bunuh saja aku sekalian, kau menggenggam semua kehidupanku." Bian tak mengatakan apapun, dia bergerak, menyentuh lengan Stella yang ada di balik selimut."Kau akan segera hamil kalau kita rutin melakukannya, anggap saja aku membantumu." Bian berkata santai. "Segera bersihkan diri karena mungkin sebentar lagi Mama akan datang.
Stella terbangun saat mendengar suara. Nyatanya dia tertidur setelah pembicaraan dengan Bian tadi, hingga saat dia melihat jam nyatanya sudah hampir pukul 11.00 siang.Bangkit perlahan dari sana, dia menatap kamarnya yang kosong dan hanya ada Bian yang baru masuk ke dalam kamar ganti."Kenapa aku bisa tidur? Rasanya mengantuk dan lelah sekali." Stella menguap dan bersandar di headboard.Dia memijat dahinya yang terasa pusing karena barusan terbangun. Tak lama kemudian dia menemukan Bian yang sudah berjalan mendekatinya dalam membuka lagi nakas dan menatapnya dengan wajah santai. "Maaf aku ketiduran," balasnya lalu menguap pelan. "Apakah mama sudah pulang?""Belum, Mama mengatakan mau menginap di sini beberapa hari. Kenapa sangat sibuk sekali ingin mamaku cepat pulang? Mama tinggal di rumahku bukan di rumahmu." Bian berkata dengan wajahnya yang terlihat datar membuat Stella menghela napas dan tersenyum."Bukan itu maksudku, aku hanya bertanya karena niatnya siang ini aku ingin memasak
"50% saham hanya untuk bercinta denganku? Apakah kau merasa itu semua masuk akal?" Masih diposisi yang sama, Stella tak bisa lepas dari kungkungan Bian karena pria ini terlihat begitu serius ingin melakukannya. "Bukankah kau yang meminta syarat itu? Aku hanya berusaha untuk menurutinya supaya mendapatkan apa yang aku mau, sekaligus kau tidak merasa rugi dengan permintaanku." Bian menjawab dengan santai membuat Stella menarik napasnya tak percaya. "Bian, tidak ada untungnya-" "Ada, apakah kau meremehkan hasrat seorang pria sepertiku? Aku punya istri dan aku tidak bisa menyentuhnya dengan leluasa karena dia tidak percaya padaku dan masih sakit hati, jadi aku hanya berusaha untuk menggapai hatinya. Apapun akan kulakukan untuk itu, masih tidak percaya?" Stella terdiam, dia ingat sesuatu yang pernah dikatakan orang termasuk wanita-wanita yang pernah menikah. Mereka mengatakan kalau suami mereka rela melakukan apa saja jika sudah ingin melakukan hubungan suami istri. Bahkan ketika mer
Stella menatap wajah Bian yang sepertinya tak ada niatan untuk melepaskannya. Wanita itu sudah mencengkram selimut saat merasakan Bian menyapa bagian lehernya dengan ciuman dan kecapan mesra. "Bian ..." Bian mengangkat kepalanya, lalu menatap dalam wajah Stella yang sudah menggeleng. "Aku tidak bisa melakukan itu." "Kenapa?" Bian menciumnya dengan lembut. "Bukankah sudah bersedia untuk lebih menerima hubungan ini dan semua perhatianku?" Stella menelan ludahnya. "Tetapi bukan dengan bercinta, 'kan?" ucapnya pelan. "Aku tidak ada mendengar ucapan itu." Bian terdiam, sadar kalau selama ini dia terbawa perasaan sendiri padahal Stella tetap menganggap semuanya sama seperti pertama kali. "Bian ... aku sangat lelah." Bian tersenyum pelan lalu mengusap kepalanya. "Sudah berapa bulan kita tidak melakukannya, kau tidak merindukanku?" Stella menatapnya dengan tatapan tak paham membuat Bian tersenyum lagi. Gila, dia yang terbawa perasaan sendiri dengan hubungan dan kedekatan yang
Stella memijat kepalanya perlahan lalu keluar dari dalam mobil dan menatap Bian yang sudah membuka pintu rumah dan menyambutnya yang baru datang. Wanita itu diam selama beberapa saat tapi kemudian dia berjalan saat melihat Bian yang sedang tersenyum padanya."Kau mau pergi?"Bian menaikkan alisnya. "Tidak, kenapa kau bertanya seperti itu?" tanyanya seraya merangkul tubuh Stella, membawanya masuk ke rumah. "Emm, karena aku melihatmu keluar dari rumah saat aku sampai tadi. Kupikir kau bukan mau menyambutku tapi mau pergi ke suatu tempat seperti yang biasa kau lakukan dulu. Dulu bukankah kau biasanya selalu pergi? Kenapa sudah tidak pernah lagi keluar dan nongkrong atau menyendiri?"Bian mengajaknya duduk di sofa lalu tersenyum lembut menatap wajah istrinya itu. "Untuk apa? Aku lebih baik di rumah daripada keluar tanpa manfaat seperti itu. Aku tidak begitu punya teman, hanya ada beberapa rekan kerja. Kalau aku di rumah aku bisa membantu menjaga dan memberikan perhatian padamu. Kehamilan
Beberapa bulan berlalu setelah kehamilan Stella dan dia tetap mendapati sikap penuh perhatian dan juga segala hal yang diberikan Bian mulai lebih terlihat banyak dan berkembang.Pria angkuh dan kaku itu bahkan seolah sengaja untuk menjadi dirinya yang lebih baik, tidak lagi bermulut pedas, tidak lagi bertampang datar dan dingin, tidak lagi menjadi sosok yang menyebalkan.Stella menikmati semua perubahannya tapi juga dia masih berusaha menjaga jarak. Dia tidak bisa kalau harus membiarkan pria itu melakukan sesuatu padanya semakin jauh, tapi dia juga tidak memiliki kemampuan untuk menghalanginya hingga hanya bisa menerima."Maaf, aku terlambat datang. Tadi aku meeting dulu dengan klien baru setelahnya aku datang ke sini karena itu klien yang cukup penting. Dia sudah datang jauh-jauh dari luar negeri, makanya aku layani dulu," ucap Bian begitu masuk ke cafe Stella.Wanita berdress hitam itu menoleh ke arah Bian, lalu diam selama beberapa saat. "Kau bicara seolah menjadi gigolo saja," uja
Setelah pulang, tak ada lagi pembicaraan yang dilakukan oleh Bian dan Stella. Keduanya masuk ke dalam rumah dan disambut Amber, tapi karena tak ada yang dikatakan dan dibicarakan oleh kedua majikannya jadi Amber juga hanya diam dan berniat untuk memasak makan siang sebab sebentar lagi sudah harus makan. Stella masuk ke kamarnya dan memutuskan untuk beristirahat sambil berpikir. Dia merasa sifat Bian saat ini sudah terlalu jauh, pria itu sudah tak sama lagi dan itu membuatnya khawatir. Besar kemungkinan jika seperti ini maka mereka tidak akan berpisah sesuai dengan harapan pria itu. "Tidak ada dasar yang kuat kenapa dia berubah dan berniat untuk mempertahankanku. Aku bukan orang yang tidak punya hati sampai mengabaikan apa yang dia lakukan dan dia inginkan, tapi kalau dia tidak memiliki dasar yang kuat untuk mempertahankan pernikahan ini maka dia akan bisa mengabaikannya dengan mudah ke depannya. Dia tidak tahu bagaimana harus menjadi dirinya sendiri, karena bagaimanapun semua ini
Stella menoleh ke arah Bian saat pria itu sengaja meletakkan lauk di piringnya. Padahal dia tidak memintanya sama sekali tapi pria ini memang sengaja melakukannya dan menggunakan Calista yang ada dihadapan mereka untuk semakin berpura-pura.Saat ini mereka sedang makan pagi bersama dan Bian terlihat seperti seorang suami dan calon ayah yang baik. Dia tak tahu bagaimana harus menolaknya tapi saat ini dia hanya bisa diam saja dan memakan makanan itu tanpa banyak bicara."Makanlah yang banyak, agar kandunganmu sehat." Calista bersuara membuat Stella mengangguk tanpa menatapnya.Dia malas untuk banyak berbasa-basi saat ini, terlalu melelahkan. Sepertinya jika dia kembali ke rumah atau ke kamarnya yang ada di cafe akan lebih baik, dia tidak akan menyinggung atau membuat siapapun harus terusik. Dia bukan orang yang hebat dan bahkan dia selalu menjadi orang yang terhina.Stella menghela napas panjang lalu duduk di kursi dan melihat Bian serta Calista yang sedang bicara. Sejak tadi dia tahu m
"Aku mau." Stella menatap Bian dengan wajah datar. "Mau apa?" Bian melihat Stella dari atas sampai bawah, berulang-ulang membuat wanita itu memalingkan wajahnya dengan tatapan datar yang tak berubah. Dia sudah tahu apa yang dimaksudkan oleh pria ini, rasanya seperti tak masuk akal karena Bian bisa-bisanya meminta secara terang-terangan begini. "Apa yang kau pikirkan sebenarnya? Sadar tidak sih kalau aku sedang hamil?" "Memangnya kalau hamil tidak bisa melakukannya?" tanya Bian dengan wajah tak percaya. "Apa yang kau rasakan? Ada yang sakit lagi?" Stella menghela napasnya dalam-dalam lalu berjalan ke arah ranjang dengan rasa malas. "Aku belum fit, kalau kita lakukan malah beresiko. Itu bukan hal yang kuinginkan, aku mau mempertahankan anak ini. Apapun keadaannya, aku tidak akan membuatnya kenapa-napa. Kau harus tahu, keguguran pertama kali bisa membuat resiko macam-macam, salah satunya mungkin tidak akan bisa hamil lagi. Jadi, berhenti meminta sebelum keadaanku membaik." "O
Stella yang melihat Bian terdiam hanya bisa menelan makanannya sebelum bersuara. "Makanan ini sudah cukup untukku jadi kau tidak perlu merasa harus menegur mereka. menjalankan tugas dari kau tidak perlu melakukan sesuatu kesalahan yang malah membuat mereka merasa takut. Mereka sudah lebih lama menjadi pelayan kalian dibandingkan aku yang menjadi istrimu. Jangan lakukan apapun yang membuat mereka merasa bersalah," balasnya membuat Bian menarik napasnya dalam-dalam.Nyatanya ada banyak hal yang membuat Stella tak mau menerimanya dengan mudah. Dian sudah melakukan banyak kesalahan yang tak termaafkan hanya karena pernikahan itu tadi yang tidak dia inginkan. "Maaf ..." ucapnya lirih membuat Stella menghela napas."Tidak perlu minta maaf. Aku sudah mengalami selama beberapa bulan terakhir saja menjadi istrimu. Sekarang dan dulu juga tidak ada bedanya bagiku, kau tidak perlu khawatir karena aku juga mengerti apa yang kau inginkan hanya untuk kebaikanmu. Tetapi, apakah nanti anak ini akan m
Stella benar-benar enggan meninggalkan ranjang hari ini, dia hanya duduk seharian sambil membaca buku kehamilan dan segala macam artikel tentang kehamilan yang ada di ponselnya."Menyusui ... tidak, aku tidak harus menyusui bayi ini ketika dia lahir nanti karena aku akan langsung pergi begitu saja. Jadi, aku tidak harus mempelajarinya karena anak ini pasti akan mendapatkan susu formula berkualitas tinggi dan terjamin daripada air susuku." Stella bergumam sambil menatap gambar ibu yang sedang menunggu bayinya sambil menyusui itu.Dia juga ingin menjadi Ibu yang murni, yang benar-benar melakukan semua hal untuk anaknya. Tetapi keadaan saat ini memaksanya untuk tidak melakukan itu karena memang tidak bisa. Hubungan dia dan Bian terlalu retak dan parah untuk diperbaiki dan dia sama sekali tidak ada niatan untuk memperbaikinya.Sekali seorang pria menjadi brengsek dan jahat seperti ini maka kedepannya di dalam pernikahan yang lebih pasti nanti maka dia besar kemungkinan dia akan melakukan