Sepanjang siang menjelang sore, Stella diam di ruangannya sampai akhirnya dia memutuskan untuk keluar saat mendapati pesan dari Bian. Pria itu tiba-tiba mengatakan kalau dia ada di depan dan meminta agar Stella keluar."Kenapa kau datang kesini?" tanya Stella dengan tatapan serius.Pria itu duduk di atas kap mobil mewahnya, terlihat begitu arogan dengan tangan bersedekap dan jas yang membungkus tubuhnya.Dia menatap Stella dengan tetapan datar yang terlihat begitu arogan, membuat Stella menatapnya tak kalah datar dan malas. Dua suami istri itu memang tak pernah akur selama ini, mereka bahkan tidak pernah saling bicara jika bukan hal penting yang harus mereka bahas. "Kau sudah melanggar perjanjian yang sudah kukatakan." Stella menaikkan alisnya mendengar itu. "Apa? Aku tidak merasa melakukan sesuatu dan perjanjian kita hanya sekedar aku dan kau bercinta, lalu aku melahirkan anakmu, setelahnya aku pergi. Apalagi perjanjian yang sudah kulanggar?" tanyanya sambil berkacak pinggang.Pria
"Dia tidak pulang?" Bian mengerutkan dahinya saat melihat rumahnya kosong.Begitu dia pulang, dia sama sekali tak menemukan Stella. Dia tampak menghela napas, lalu membuka dasinya dan duduk di sana sendirian. Biasanya juga dia akan tinggal sendirian dan enggan untuk ada orang lain disini, karena bagaimanapun juga dia sudah lama menyendiri. Hanya saja, kemarin dia dan Stella membuat janji kalau mereka akan tidur dan tinggal bersama, kenapa sekarang wanita itu mengabaikan perjanjiannya?"Benar-benar wanita yang merepotkan," gumamnya lalu mengeluarkan ponsel. Dia harus menghubungi wanita itu agar dia pulang, Bian tidak mau tantenya malah tahu tentang hubungannya dan Stella yang masih belum membaik. Tantenya itu bisa melaporkan hal ini pada ibunya dan membuat semuanya kacau. "Kau dimana? Kenapa tidak pulang?" tanya Bian begitu panggilannya tersambung.Stella menghela napasnya dalam-dalam lalu menjawab datar. "Di cafe, malam ini aku akan tidur di sini. Terlalu melelahkan kalau aku pulang
"Pulang!"Stella mengerutkan dahinya membaca pesan itu, dia baru saja bangun tidur dan Bian langsung mengirimkan pesan aneh begini."Hari ini Mama datang untuk melihat kita jadi kau harus pulang pagi-pagi sekali. Jangan sampai Mama tahu kalau kau tidak tidur di rumah malam ini. Mama akan datang pagi ini."Stella yang baru bangun langsung bangkit membaca pesan selanjutnya yang dikirim oleh Bian padanya. Dia sungguh tidak menduga kalau ibu mertuanya akan datang, akan berbahaya kalau Calista tahu dia tidak ada di rumah sementara Bian sudah menyetujui permintaan ibunya itu."Aku akan segera pulang."Stella hanya mencuci wajahnya saja dan tidak sempat mandi, dia mengirimkan pesan pada Lyra untuk datang dan membuka cafe mereka tanpa kehadirannya karena dia akan segera pergi ke rumah. Dia memesan taksi setelahnya, lalu bergegas pulang ke rumah.Dia takut ibu mertuanya duluan datang, itu hanya akan menjadi masalah. Sementara dia tidak punya mobil atau kendaraan apapun untuk menuju pulang sehi
Stella menelan ludahnya sendiri setelah beberapa saat, sementara itu Bian baru saja melepaskannya dan menetralkan napas di sebelahnya.Berbaring membelakanginya, Stella menggenggam selimut dengan erat lalu menghela napas. "Kenapa kau harus lakukan lagi?" tanya Stella dengan suaranya yang gemetar. "Ini melanggar perjanjian."Bian menatap punggung Stella dengan tetapan santai, lalu menghela napas dan tersenyum. "Tarik saja kata-kata yang kuucapkan tentang itu, aku tidak pernah menuliskannya dalam perjanjian tapi aku pernah mengucapkannya. Jadi, aku bebas mau bercinta kapan saja denganmu," ucapnya santai membuat Stella menghela napas dalam dan memejamkan matanya."Bunuh saja aku sekalian, kau menggenggam semua kehidupanku." Bian tak mengatakan apapun, dia bergerak, menyentuh lengan Stella yang ada di balik selimut."Kau akan segera hamil kalau kita rutin melakukannya, anggap saja aku membantumu." Bian berkata santai. "Segera bersihkan diri karena mungkin sebentar lagi Mama akan datang.
Stella terbangun saat mendengar suara. Nyatanya dia tertidur setelah pembicaraan dengan Bian tadi, hingga saat dia melihat jam nyatanya sudah hampir pukul 11.00 siang.Bangkit perlahan dari sana, dia menatap kamarnya yang kosong dan hanya ada Bian yang baru masuk ke dalam kamar ganti."Kenapa aku bisa tidur? Rasanya mengantuk dan lelah sekali." Stella menguap dan bersandar di headboard.Dia memijat dahinya yang terasa pusing karena barusan terbangun. Tak lama kemudian dia menemukan Bian yang sudah berjalan mendekatinya dalam membuka lagi nakas dan menatapnya dengan wajah santai. "Maaf aku ketiduran," balasnya lalu menguap pelan. "Apakah mama sudah pulang?""Belum, Mama mengatakan mau menginap di sini beberapa hari. Kenapa sangat sibuk sekali ingin mamaku cepat pulang? Mama tinggal di rumahku bukan di rumahmu." Bian berkata dengan wajahnya yang terlihat datar membuat Stella menghela napas dan tersenyum."Bukan itu maksudku, aku hanya bertanya karena niatnya siang ini aku ingin memasak
"Mama senang sekali melihat kalian bersama-sama seperti ini dan hidup dengan rukun. Ke depannya saat Mama datang Mama sangat ingin kamu sudah hamil, Stella," ucap Calista dengan wajahnya yang sangat keibuan. "Lalu saat Mama datang lagi kamu sedang melahirkan. Agar kehidupan Mama semakin berwarna."Stella dan Bian tersenyum mendengar ucapan Calista yang penuh harap itu. Setelah beberapa hari menginap di sini, Calista akhirnya memutuskan pulang karena dia merasa sangat senang hidup dengan menantu dan putranya tapi dia tetap punya rumah yang harus dia jaga. Dia tidak boleh sering-sering berada di rumah ini atau nanti akan mengganggu Bian dan Stella dalam fase pendekatan yang sedang mereka lakukan. "Mama hati-hati nanti, cepat atau lambat kalau memang Tuhan sudah mengatakan aku harus ambil maka pasti aku akan hamil. Nanti Mama bisa menjaga cucu dengan baik dan tidak akan ada yang bisa melarang Mama melakukannya." Bian berkata membuat Stella tersenyum dan diam-diam menahan sakitnya. Dia
"Aku baik-baik saja kok," ucap Stella seraya menarik napas. "Memutuskan untuk melakukan semua ini dengannya, Sama halnya dengan aku yang sudah memutuskan siap untuk terpenjara. Bian memang sudah seperti itu dari dulu dan tidak akan pernah menghormati orang lain. Apalagi aku yang merupakan istri yang tidak diinginkannya. Kebenciannya padaku, jelas besar dan tidak akan pernah hilang."Stella berkata seraya menarik napasnya dan menatap ke arah depan dimana jalan raya berada. Ashley sendiri hanya diam saja mendengarkan apa yang dikatakan oleh Stella, dia berniat menjadi seorang pendengar yang baik agar bisa memberikan tempat untuk Stella."Aku yakin setelah ini nanti akan hamil, tidak akan ada kata kedua atau bahkan perubahan dalam perjanjian yang sudah kami lakukan. Bagaimanapun juga, sikapnya yang arogan itu membuatku semakin tahu diri. Aku disana hanya untuk memberikan anak untuknya, sisanya tidak ada yang harus diharapkan. Sifatnya tidak akan pernah berubah, aku yakin," gumamnya membu
"Penghasilan hari ini semakin meningkat, Stella. Syukurlah, kau bisa menabung agar saat pergi dari hidup Bian nanti kau bisa membawa dirimu sendiri dan membuka cafe baru dengan identitas baru di negara atau kota yang baru."Stella tersenyum dan merasa lega setelah selesai menginput semua pemasukannya hari ini. Dari cafe saja dia bisa mendapatkan kurang lebih 300-700$ perhari. Mungkin penghasilan itu sedikit tapi cafenya juga tidak begitu besar dan hanya sering didatangi oleh para mahasiswa yang ingin mengerjakan tugas dan bersantai. Tapi yang pasti cafenya ini baru dia bangun kurang lebih setengah tahun lalu saat dia datang ke sini dan menikah dengan Bian, menikah dengan pria yang tak menginginkannya itu hingga dia memutuskan untuk mencari nafkah sendiri.Dia tak tahu dengan kehidupan yang dulu karena saat pertama kali dia sadar itu di rumah sakit dan ada Calista di sana yang mengabarkan tentang kematian orang tuanya dan dia serta Bian harus menikah karena perjodohan yang dilakukan ol
Stella sebenarnya mengatakan semua itu dengan sangat santai pada Bian tapi entah mengapa karena menyebut kata 'ibuku', Bian adi perasaan sendiri teringat dengan kesalahannya. Namun, meski begitu dia tetap meminta pelayan untuk membuatkan makanan yang diinginkan oleh Stella, pelayan itu datang dari rumah utama alias tempat ibunya tinggal dan membawa makanan yang diinginkan Stella. Sebenarnya semua ini dirasa terlalu berlebihan, padahal Stella sudah bilang kalau dia bisa membuatnya sendiri. Namun, Bian menyebalkan dengan kata posesif yang ada di dalam dirinya. Membuat Stella juga tak bisa membantah dan memutuskan untuk langsung makan saja karena dia sudah lapar. "Apakah ini yang namanya mengidam? Kudengar, seorang ibu hamil biasanya akan menyukai makanan-makanan random. Kau mendadak menginginkan makanan asia seperti ini, kau sedang mengidam?" tanya Bian sambil menyuapkan satu potong daging ke mulutnya. "Mungkin saja, aku juga tidak begitu tahu karena Ini pertama kalinya aku hami
Stella memejamkan matanya, merasa lelah dengan segala permintaan Bian yang selalu dia dapatkan. Setiap hari, pria ini pasti akan selalu mengungkit tentang itu dan memintanya untuk tidak pergi. Dengan sikapnya yang berubah-ubah, Stella justru takut dengan kenaikan yang diberikan Bian padanya. "Aku tidak meminta banyak, aku hanya meminta supaya kau tidak pergi meninggalkan kami. Aku sudah berjanji akan memberikan separuh sahamku kepadamu, kenapa sulit sekali bagimu untuk membuat keputusan kecil itu jika aku bisa memberikanmu sesuatu yang besar?" Selepas mandi habis melakukan percintaan itu, Bian kembali bertanya dengan duduk di atas ranjang yang sama dengannya. Sementara Stella sudah terbaring dengan dua bantal yang dia sadari hingga tubuhnya terlihat nyaman. "Kau tahu, seumur hidup itu tidak sebentar." Stella memulai ucapannya dengan lembut, tak mau berdebat dan tak memancing emosi pria ini. "Kau memintaku tetap bertahan setelah kita bercinta, hampir setiap hari memintaku melakuk
"50% saham hanya untuk bercinta denganku? Apakah kau merasa itu semua masuk akal?" Masih diposisi yang sama, Stella tak bisa lepas dari kungkungan Bian karena pria ini terlihat begitu serius ingin melakukannya. "Bukankah kau yang meminta syarat itu? Aku hanya berusaha untuk menurutinya supaya mendapatkan apa yang aku mau, sekaligus kau tidak merasa rugi dengan permintaanku." Bian menjawab dengan santai membuat Stella menarik napasnya tak percaya. "Bian, tidak ada untungnya-" "Ada, apakah kau meremehkan hasrat seorang pria sepertiku? Aku punya istri dan aku tidak bisa menyentuhnya dengan leluasa karena dia tidak percaya padaku dan masih sakit hati, jadi aku hanya berusaha untuk menggapai hatinya. Apapun akan kulakukan untuk itu, masih tidak percaya?" Stella terdiam, dia ingat sesuatu yang pernah dikatakan orang termasuk wanita-wanita yang pernah menikah. Mereka mengatakan kalau suami mereka rela melakukan apa saja jika sudah ingin melakukan hubungan suami istri. Bahkan ketika mer
Stella menatap wajah Bian yang sepertinya tak ada niatan untuk melepaskannya. Wanita itu sudah mencengkram selimut saat merasakan Bian menyapa bagian lehernya dengan ciuman dan kecapan mesra. "Bian ..." Bian mengangkat kepalanya, lalu menatap dalam wajah Stella yang sudah menggeleng. "Aku tidak bisa melakukan itu." "Kenapa?" Bian menciumnya dengan lembut. "Bukankah sudah bersedia untuk lebih menerima hubungan ini dan semua perhatianku?" Stella menelan ludahnya. "Tetapi bukan dengan bercinta, 'kan?" ucapnya pelan. "Aku tidak ada mendengar ucapan itu." Bian terdiam, sadar kalau selama ini dia terbawa perasaan sendiri padahal Stella tetap menganggap semuanya sama seperti pertama kali. "Bian ... aku sangat lelah." Bian tersenyum pelan lalu mengusap kepalanya. "Sudah berapa bulan kita tidak melakukannya, kau tidak merindukanku?" Stella menatapnya dengan tatapan tak paham membuat Bian tersenyum lagi. Gila, dia yang terbawa perasaan sendiri dengan hubungan dan kedekatan yang
Stella memijat kepalanya perlahan lalu keluar dari dalam mobil dan menatap Bian yang sudah membuka pintu rumah dan menyambutnya yang baru datang. Wanita itu diam selama beberapa saat tapi kemudian dia berjalan saat melihat Bian yang sedang tersenyum padanya."Kau mau pergi?"Bian menaikkan alisnya. "Tidak, kenapa kau bertanya seperti itu?" tanyanya seraya merangkul tubuh Stella, membawanya masuk ke rumah. "Emm, karena aku melihatmu keluar dari rumah saat aku sampai tadi. Kupikir kau bukan mau menyambutku tapi mau pergi ke suatu tempat seperti yang biasa kau lakukan dulu. Dulu bukankah kau biasanya selalu pergi? Kenapa sudah tidak pernah lagi keluar dan nongkrong atau menyendiri?"Bian mengajaknya duduk di sofa lalu tersenyum lembut menatap wajah istrinya itu. "Untuk apa? Aku lebih baik di rumah daripada keluar tanpa manfaat seperti itu. Aku tidak begitu punya teman, hanya ada beberapa rekan kerja. Kalau aku di rumah aku bisa membantu menjaga dan memberikan perhatian padamu. Kehamilan
Beberapa bulan berlalu setelah kehamilan Stella dan dia tetap mendapati sikap penuh perhatian dan juga segala hal yang diberikan Bian mulai lebih terlihat banyak dan berkembang.Pria angkuh dan kaku itu bahkan seolah sengaja untuk menjadi dirinya yang lebih baik, tidak lagi bermulut pedas, tidak lagi bertampang datar dan dingin, tidak lagi menjadi sosok yang menyebalkan.Stella menikmati semua perubahannya tapi juga dia masih berusaha menjaga jarak. Dia tidak bisa kalau harus membiarkan pria itu melakukan sesuatu padanya semakin jauh, tapi dia juga tidak memiliki kemampuan untuk menghalanginya hingga hanya bisa menerima."Maaf, aku terlambat datang. Tadi aku meeting dulu dengan klien baru setelahnya aku datang ke sini karena itu klien yang cukup penting. Dia sudah datang jauh-jauh dari luar negeri, makanya aku layani dulu," ucap Bian begitu masuk ke cafe Stella.Wanita berdress hitam itu menoleh ke arah Bian, lalu diam selama beberapa saat. "Kau bicara seolah menjadi gigolo saja," uja
Setelah pulang, tak ada lagi pembicaraan yang dilakukan oleh Bian dan Stella. Keduanya masuk ke dalam rumah dan disambut Amber, tapi karena tak ada yang dikatakan dan dibicarakan oleh kedua majikannya jadi Amber juga hanya diam dan berniat untuk memasak makan siang sebab sebentar lagi sudah harus makan. Stella masuk ke kamarnya dan memutuskan untuk beristirahat sambil berpikir. Dia merasa sifat Bian saat ini sudah terlalu jauh, pria itu sudah tak sama lagi dan itu membuatnya khawatir. Besar kemungkinan jika seperti ini maka mereka tidak akan berpisah sesuai dengan harapan pria itu. "Tidak ada dasar yang kuat kenapa dia berubah dan berniat untuk mempertahankanku. Aku bukan orang yang tidak punya hati sampai mengabaikan apa yang dia lakukan dan dia inginkan, tapi kalau dia tidak memiliki dasar yang kuat untuk mempertahankan pernikahan ini maka dia akan bisa mengabaikannya dengan mudah ke depannya. Dia tidak tahu bagaimana harus menjadi dirinya sendiri, karena bagaimanapun semua ini
Stella menoleh ke arah Bian saat pria itu sengaja meletakkan lauk di piringnya. Padahal dia tidak memintanya sama sekali tapi pria ini memang sengaja melakukannya dan menggunakan Calista yang ada dihadapan mereka untuk semakin berpura-pura.Saat ini mereka sedang makan pagi bersama dan Bian terlihat seperti seorang suami dan calon ayah yang baik. Dia tak tahu bagaimana harus menolaknya tapi saat ini dia hanya bisa diam saja dan memakan makanan itu tanpa banyak bicara."Makanlah yang banyak, agar kandunganmu sehat." Calista bersuara membuat Stella mengangguk tanpa menatapnya.Dia malas untuk banyak berbasa-basi saat ini, terlalu melelahkan. Sepertinya jika dia kembali ke rumah atau ke kamarnya yang ada di cafe akan lebih baik, dia tidak akan menyinggung atau membuat siapapun harus terusik. Dia bukan orang yang hebat dan bahkan dia selalu menjadi orang yang terhina.Stella menghela napas panjang lalu duduk di kursi dan melihat Bian serta Calista yang sedang bicara. Sejak tadi dia tahu m
"Aku mau." Stella menatap Bian dengan wajah datar. "Mau apa?" Bian melihat Stella dari atas sampai bawah, berulang-ulang membuat wanita itu memalingkan wajahnya dengan tatapan datar yang tak berubah. Dia sudah tahu apa yang dimaksudkan oleh pria ini, rasanya seperti tak masuk akal karena Bian bisa-bisanya meminta secara terang-terangan begini. "Apa yang kau pikirkan sebenarnya? Sadar tidak sih kalau aku sedang hamil?" "Memangnya kalau hamil tidak bisa melakukannya?" tanya Bian dengan wajah tak percaya. "Apa yang kau rasakan? Ada yang sakit lagi?" Stella menghela napasnya dalam-dalam lalu berjalan ke arah ranjang dengan rasa malas. "Aku belum fit, kalau kita lakukan malah beresiko. Itu bukan hal yang kuinginkan, aku mau mempertahankan anak ini. Apapun keadaannya, aku tidak akan membuatnya kenapa-napa. Kau harus tahu, keguguran pertama kali bisa membuat resiko macam-macam, salah satunya mungkin tidak akan bisa hamil lagi. Jadi, berhenti meminta sebelum keadaanku membaik." "O