Stella mengejar langkah Bian yang sengaja memintanya untuk bicara berdua kala ibunya mulai tenang dan tertidur.
Bagaimanapun ini harus diluruskan, bagaimana bisa Bian seenaknya begitu? Dia kira hamil dan melahirkan itu mudah? Setelah melahirkan, dengan sangat santai mereka akan berpisah? Benar-benar tidak punya hati! Seenaknya membuat keputusan dan seenaknya pula mengakhiri semuanya."Bian!"Pria yang sedang duduk di kursi belakang itu tampak acuh saat Stella memanggilnya. Hal yang membuatnya bergerak dan berdiri dihadapan Bian."Bian ... kau harus memikirkan semua ucapan dan janjimu itu. Bagaimana bisa kau malah menyetujui permintaan Mama? Siapa yang akan mengandung anakmu? Aku?" tanyanya dengan wajah yang memerah, tampak hampir marah karena pria ini bertindak sesuka hatinya.Memutuskan sesuka hatinya, memaki sesuka hatinya. Dia kira dia siapa? Stella sudah tidak mau berurusan dengannya lagi dan bagaimana mungkin Bian malah mengatakan hal itu."Aku juga tidak memintamu mengandung anakku!" Bian berkata tajam dengan matanya yang menatap nyalang pada Stella. "Memangnya aku memintamu melakukannya? 'Kan tidak ada! Mama dan permintaannya hanya kusetujui di depannya saja, aku tidak berniat untuk membuatnya menjadi kenyataan."Stella menghela napasnya lega."Kau harus menepati janjimu, ceraikan aku seminggu lagi. Aku tidak mau lagi bersamamu," ucap Stella tegas, hingga Bian merasa agak kesal mendengarnya."Lalu kau akan meninggalkanku dengan semua ini?!" Pria itu bangkit seraya memukul meja dengan emosi. "Kau harus membantuku sebentar lagi. Aku akan membuat rencana yang mengatakan kalau kau mandul, untuk membuktikan semuanya pada Mama kalau kita tidak bisa memiliki anak bersama.""Kau gila, ya? Kau mau mengulur waktu lagi? Aku tidak bisa begini, aku tidak mau!""Stella!" bentak Bian dengan tatapan menajam. "Aku akan membayar waktumu yang sudah terbuang ini. Kau jangan membuat Mama semakin parah!"Jantung Stella terasa berdegup kuat mendengar suara Bian yang meninggi. Tidak seharusnya dia bertingkah begini? Tubuh gadis itu melemah, hingga bersanggakan meja."Aku hanya membutuhkanmu sampai Mama percaya kalau kau mandul, setelahnya aku akan memintamu pergi."Stella memegang dadanya yang sakit, ada yang menekan jantungnya hingga dia merasa lemah."Kenapa harus aku yang mandul? Kenapa tidak kau saja?! Bukankah kau yang tidak tertarik pada wanita manapun?" tanyanya lemah membuat Bian melembutkan wajahnya dan menghela napas pelan."Aku tidak mandul dan Mama tahu itu sejak dulu. Kalau kau, bisa saja menjadi satu alasan." Bian berkata datar, membuat Stella menghela napasnya pelan. "Aku akan tetap mengurus perceraian kita, tapi sebelum Mama percaya kau mandul, aku tidak akan menandatanganinya."Hati Stella terasa seperti diiris kuat akibat ucapan Bian. Namun, dia harus kuat dan memikirkan ibu mertuanya juga. Walau hatinya tidak rela kala harus membohongi ibu mertuanya yang sudah begitu baik. Namun, untuk melakukan apa yang diminta oleh ibu mertuanya dia tak mampu. Stella tidak mau tubuh dan hidupya hanya akan dimanfaatkan oleh Bian, ada banyak sekali kerugian yang akan dia alami.Pertama, dia takkan lagi perawan andai Bian melakukan hubungan percintaan dengannya. Kedua, hamil itu tidak mudah, ada hormon, perubahan kulit, kerusakan kulit yang elastis dan semacamnya. Belum mual muntah yang identik di alami oleh ibu hamil, belum yang lainnya.Yang ketiga adalah hal yang membuatnya tidak siap, melahirkan. Itu sangat menyakitkan, apalagi kalau Bian hanya akan membuatnya hamil bayinya, lalu bayinya akan diserahkan pada ibu mertuanya untuk dirawat dan setelahnya mereka akan bercerai.Penderitaan apalagi setelah ini? Dia benar-benar tidak sanggup merasakan dan mengalaminya. Stella memang ingin menikah dan melahirkan, tapi dengan pria yang akan tulus mencintainya, yang akan berjuang untuk dirinya. Bukan dengan begini caranya, karena kalau begini maka dia yang akan merasakan sakit seorang diri, sementara Bian hanya akan diam dan acuh seperti selama ini."Baiklah, aku akan-""Ternyata seperti itu ..."Bian menegang mendengar suara yang ada dibelakang tubuhnya. Sontak saja dia menoleh, dengan Stella yang sama-sama membeku akibat takut."Tante Lauren ... Apa yang membuat Tante datang?" Bian dengan gugup tapi berusaha terlihat tenang bertanya, membuat wanita berpakaian jas putih itu tersenyum miring."Ini kunjungan rutinku kerumah. Kenapa? Kalian kaget mengetahui aku datang dan mendengar semua pembicaraan kalian?" tanyanya seraya melangkah lebih dekat pada dua manusia yang mulai tak bisa mempertahankan ketenangannya itu. "Hebat sekali kau Biantara Dominic, keponakanku yang ternyata sangat kejam dan pengecut! Ck, ck, ck ... apakah kau putra dari ibumu? Kau tidak merasa bersalah akan membohonginya?"Bian menelan ludahnya gugup, dia tak pernah bisa berhadapan dengan adik Ibunya yang jauh lebih skakmat dalam membalas perkataan orang. Lauren adalah seorang pengacara yang terkenal dan memiliki nama baik di kota ini. Sikapnya terang-terangan, ucapannya pedas tapi dia penuh kasih sayang dan dapat dipercaya.Bian sudah terjerat masalah saat ini karena pembicaraannya didengar oleh adik Ibunya yang tidak bisa disuap begitu saja. Benar-benar sial! Double sial!"Tidak perlu memaki dalam hatimu," ucap Lauren dengan senyum sinis, apalagi saat melihat Bian gelagapan. "Aku sudah lama tahu kalau hubungan kalian sangat membosankan, terutama bagi Stella yang merupakan seorang wanita," lanjutnya seraya melihat ke arah Stella yang diam menunduk. "Disia-siakan itu sangat menyakitkan, tidak dihargai, tak di anggap berharga. Bukan begitu, Stella?"Stella tak bersuara, pun Bian yang mematung tak tahu harus bicara apa pada Lauren yang sudah tersenyum lagi dan membuka tasnya."Aku mencabut gugatan perceraian yang kau ajukan lewat pengacara lain," ucap Lauren seraya meletakkan berkas di meja, membuat bola mata Bian dan Stella membulat. "Kau tidak bisa memintaku mengajukannya lagi karena semua sudah ada di tanganku. Aku Lauren Clarke, pengacara ternama di kota, tidak akan ada yang bisa mengambil apa yang sudah kuambil apalagi dari keponakanku sendiri."Bian tak bersuara apapun, dia hanya diam dengan rasa kesal yang tertanam. Sementara Stella, dia meremas tangan dengan erat karena merasa takut atas apa yang sudah terjadi dan apa yang akan terjadi selanjutnya."Aku akan beritahukan ibumu soal apa yang sudah kalian bicarakan," lanjut Lauren seraya menatap Stella dan Bian bergantian. "Aku sangat malu pada kalian, terutama padamu Bian. Kau adalah keponakanku yang kubanggakan, putra kebanggaan ibumu. Namun, kau tega menipunya dan memperalat seorang wanita? Astaga, luar biasa ... Kalau kau dilaporkan ke polisi, kau akan terkena hukuman penjara yang mungkin akan lama. Dan kau Stella, kau punya kuasa untuk melakukannya. Perlukah Tante mendampingimu membuat laporan?"Stella membulatkan matanya, pun Bian yang sejak tadi diam."Tante tidak perlu repot-repot," ucap pria itu membuat Stella menatapnya yang sudah tersenyum lebar dan memegang bahu Lauren dengan sikap akrab. "Maaf atas kekeliruan yang sudah kulakukan, masih ada waktu. Aku dan Stella akan memperbaikinya dan melakukan dengan sungguhan apa yang diminta oleh Mama.""Maaf atas kekeliruan yang sudah kulakukan, masih ada waktu. Aku dan Stella akan memperbaikinya dan melakukan dengan sungguhan apa yang diminta oleh Mama." Bian melangkah ke arahnya, membuat Stella mengerutkan dahi. "Kami akan memperbaikinya, iya, 'kan, Stella?"Stella mengerutkan dahinya makin dalam, dia tak mau. Ini diluar dari kesepakatan! Apa-apaan ini?"Stella ..." panggil Bian pelan tapi juga tajam dipendengarannya. Stella menatap dalam-dalam wajah pria tampan yang dingin dan sesuka hatinya ini. Benar-benar brengsek! Kemana rasa berani dari Bian yang selama ini dia tunjukkan? Kenapa tidak muncul di hadapan bibinya? Tangan Bian terasa melingkar dipinggangnya, menariknya hingga tubuh mereka berdempetan. Stella mengerutkan dahinya dengan mata yang mulai menajam, tapi Bian malah tersenyum seakan-seakan menahan rasa takut dan tak bisa melawan."Sebenarnya kami ada masalah dalam rumah tangga, makanya kami bertengkar tadi," ujarnya dengan lembut membuat Stella melotot. "Kami akan mem
Bian tercengang mendengar kata-kata dokter. Stella memeriksakan dirinya? Dibantu oleh Tantenya itu? Ya ampun, penderitaan apa ini lagi? Apa lagi masalah yang akan datang setelah ini?Mengapa Stella tidak menolak untuk agar tidak diperiksa? Mengapa dia bahkan berpikir begitu? Namun, Bian akhirnya menghela napas lemah saat mengetahui dan menyadari siapa yang bisa berdebat dengan Lauren. Yang ada hanya masalah jika dia berani melakukannya. Lauren terkenal dengan semua jenis prinsip dan pasal hukum. Dia bisa dengan cepat membuat orang tidak bisa bicara dan bergerak.Stella keluar dari kamar dan melihat Bian yang sudah menghela napas."Ikut aku."Stella tidak menjawab, berjalan begitu saja dengan wajah yang semakin bungkuk saat Bian mengajaknya. Mereka menuruni tangga, lalu masuk ke mobil yang diparkir di halaman.Tak satu pun dari mereka mengucapkan sepatah kata sampai mobil memasuki jalan raya. "Apa yang harus kita lakukan sekarang setelah semua itu terjadi?" Bian memulai pembicaraan, m
Mendengar ucapannya, Stella hanya bisa menghela napas dengan tatapan tak percaya. Dia sudah bersedia membantu Bian, tapi pria ini tetap saja angkuh dan tidak tahu bagaimana cara mengolah kata yang lebih baik.Namun, ya, dia adalah Bian yang selama ini memang angkuh dan suka menyakiti Stella dengan ucapan-ucapannya. Apa yang Stella harapkan? Bian berubah dan menjadi lebih menghargainya? Itu hanyalah hal yang konyol dan takkan pernah terjadi. Karena Bian merasa, dia hebat dan bisa berdiri dengan kakinya sendiri. "Apalagi yang akan kita lakukan?" tanya Stella setelah diam beberapa lama. "Apakah akan langsung dilakukan? Atau kau mau berlama-lama lagi."Bian tersenyum miring, menatap jalanan yang mulai sunyi. Hanya ada beberapa kendaraan yang melintas, meninggalkan jejak debu tipis yang tampak berterbangan di udara."Kau mau aku membayarmu berapa untuk mengandung anakku?" tanyanya datar, membuat Stella terdiam beberapa lama. "Katakan saja, kau mau seratus juta dollar atau di atasnya?"Ste
Stella hanya duduk diam di depan meja kerja Bian yang tengah mengotak-atik komputer miliknya. Tatapannya santai, seolah tak ada yang mengganggu hatinya dengan jemari lentiknya yang sudah sedang dia perhatikan.Gayanya dalam duduk itu terlihat anggun. Well, dia adalah wanita pekerja keras yang tidak suka menangisi sesuatu yang tidak pantas di tangisi. Masalah mengandung anak dan perjanjian dengan pria di hadapannya ini, itu bukanlah hal yang harus dipikirkan, apalagi dinegara ini wanita tidak perawan bukanlah suatu hal yang menjadi masalah.Lagipula dia tercatat sudah pernah menikah. Jadi kalau dia masih perawan itu malah akan menjadi gunjingan orang. Ya, meskipun dia tak ada niatan untuk melepaskan keperawanannya pada pria dihadapannya ini. Karena dia sama sekali tak mencintai Bian, mungkin takkan pernah mencintainya."Sudah selesai, kau bisa baca." Stella menatapnya, lalu mengulurkan tangan dan menerima dua lembar yang baru keluar dari mesin printer. Dibaliknya halaman itu, lalu mem
Disebuah rumah makan yang bisa dikatakan seperti cafe, sepasang manusia tengah duduk berhadapan sambil menunggu kedatangan makan malam. Mereka adalah Stella dan Asley, dua sahabat dekat yang sering dikait-kaitkan dengan hubungan asmara mereka. Padahal bisa dikatakan kalau mereka hanya dekat, tidak ada hubungan apa-apa. Selain karena Stella sudah punya suami dan sudah menikah, Asley hanya diam-diam dan menunggu kapan wanita ini akan di ceraikan oleh suaminya. "Jadi kau akan benar-benar bercerai tiga bulan lagi?" tanya Asley membuat Stella mendongak menatap wajah sahabatnya."Entahlah." Dia menghela napas. "Ada satu masalah yang harus kami selesaikan dulu, Asley. Tidak tahu aku bisa atau tidak melakukannya bersama dia," ujar Stella membuat Asley mengerutkan dahinya. "Soal apa? Tidakkah kau mau mengatakannya padaku? Sahabatmu?""Kau janji tidak akan marah?" tanyanya membuat Asley tambah mengerutkan dahinya. Namun wajah pria itu tetap enak di pandang, Asley pandai mempertahankan raut
Masuk ke dalam kamar di cafenya, Stella menatap ruangan yang kecil tapi nyaman baginya itu. Cafe yang dia tempati setelah menikah dengan Bian. Mereka memang tak pernah satu rumah, karena hubungan mereka tak ada baiknya sejak dulu sampai saat ini. Ya, bahkan sampai saat ini.Sampai saat ini hubungan mereka tidak baik-baik saja. Hanya agak dekat karena butuh dan tidak ada yang lebih daripada itu. Mengandung anak, melahirkan dan pergi. Suatu yang bagi Stella mudah, tapi sebenarnya dia tahu kalau dia bertaruh nyawa demi melakukan itu. Dia akan tinggal serumah bersama Bian, menghadapi sikap pria itu tiap hari. Apakah dia sanggup?Stella membuang napasnya pelan, seraya mengaduk tehnya di kursi pantry mini yang ada di dekat kamar mandinya. "Aku yakin pasti bisa." Stella berkata dengan suaranya yang nyaris tertelan malam dan kesunyian. "Ada Ashley yang akan menerimaku, bahkan dalam keadaan terburukku. Jikalau pun tidak, aku bisa pergi saat semuanya sudah berakhir dan mencari kehidupan sendir
Kening Stella berkerut mendengar pertanyaannya. "Siapa?" tanyanya tak paham yang di balas dengusan singkat oleh Bian."Pergilah, masak makananmu. Kamarmu ada di sebelah kamarku dan kuharap kau bisa membersihkannya setiap hari. Aku tidak suka ada yang kotor dirumah ini," ujarnya seraya meraih remote televisi. Stella tersenyum di salah satu sudut bibirnya. "Kau kira aku suka ada yang kotor?" tanyanya seraya mengambil gagang koper yang sudah diambil alih oleh pelayan dengan segera. "Aku juga akan kesal melihat hal yang kotor-kotor, termasuk isi hati orang lain."Bian menoleh kesal pada wanita yang tak lain adalah istrinya itu. Banyak bicara sekali! Apa yang dia maksudkan sebenarnya?Namun, Stella nampak tidak peduli dan malah melangkah pergi meninggalkannya sendirian di ruangan televisi. Benar-benar wanita menyebalkan!Ditatapnya televisi yang sudah menyala, lalu menghela napas datar kala melihat adik ibunya alias Lauren yang kembali diberitakan memegang sebuah kasus besar."Tante ...
"Malam ini kita akan mulai bercinta. Bersiaplah ..."Stella terdiam mendengar ucapan Bian. Tangannya meremas pelan gelas yang ada di genggamannya. "Malam ini?""Ya." Bian bersandar santai, menatap ke arah samping yang langsung menghubungkan pemandangannya dengan taman kecil di halaman kecil lantai apartemen miliknya. "Semakin cepat maka akan semakin baik. Kita bisa menjadi lebih cepat untuk mengakhiri semua ini. Aku tidak mau lama-lama menampungmu tinggal bersamaku."Stella menghela napasnya pelan, merasa lelah dan muak mendengar ucapan Bian yang kerap membuat hatinya sakit. Namun, dia tak harus membuat itu untuk menjadikan semangatnya berkurang. Dia akan tetap pada apa yang sudah dia katakan sejak awal. Stella tak suka menarik kata-kata yang sudah dia ucapkan. "Baiklah, aku akan mempersiapkan diriku. Namun aku minta, ini adalah yang terakhir, oke? Jangan pernah kita lakukan lagi, tapi jika dalam dua bulan aku tidak kunjung hamil, maka kau bebas mau mengatakan aku mandul atau apa. T
Stella sebenarnya mengatakan semua itu dengan sangat santai pada Bian tapi entah mengapa karena menyebut kata 'ibuku', Bian adi perasaan sendiri teringat dengan kesalahannya. Namun, meski begitu dia tetap meminta pelayan untuk membuatkan makanan yang diinginkan oleh Stella, pelayan itu datang dari rumah utama alias tempat ibunya tinggal dan membawa makanan yang diinginkan Stella. Sebenarnya semua ini dirasa terlalu berlebihan, padahal Stella sudah bilang kalau dia bisa membuatnya sendiri. Namun, Bian menyebalkan dengan kata posesif yang ada di dalam dirinya. Membuat Stella juga tak bisa membantah dan memutuskan untuk langsung makan saja karena dia sudah lapar. "Apakah ini yang namanya mengidam? Kudengar, seorang ibu hamil biasanya akan menyukai makanan-makanan random. Kau mendadak menginginkan makanan asia seperti ini, kau sedang mengidam?" tanya Bian sambil menyuapkan satu potong daging ke mulutnya. "Mungkin saja, aku juga tidak begitu tahu karena Ini pertama kalinya aku hami
Stella memejamkan matanya, merasa lelah dengan segala permintaan Bian yang selalu dia dapatkan. Setiap hari, pria ini pasti akan selalu mengungkit tentang itu dan memintanya untuk tidak pergi. Dengan sikapnya yang berubah-ubah, Stella justru takut dengan kenaikan yang diberikan Bian padanya. "Aku tidak meminta banyak, aku hanya meminta supaya kau tidak pergi meninggalkan kami. Aku sudah berjanji akan memberikan separuh sahamku kepadamu, kenapa sulit sekali bagimu untuk membuat keputusan kecil itu jika aku bisa memberikanmu sesuatu yang besar?" Selepas mandi habis melakukan percintaan itu, Bian kembali bertanya dengan duduk di atas ranjang yang sama dengannya. Sementara Stella sudah terbaring dengan dua bantal yang dia sadari hingga tubuhnya terlihat nyaman. "Kau tahu, seumur hidup itu tidak sebentar." Stella memulai ucapannya dengan lembut, tak mau berdebat dan tak memancing emosi pria ini. "Kau memintaku tetap bertahan setelah kita bercinta, hampir setiap hari memintaku melakuk
"50% saham hanya untuk bercinta denganku? Apakah kau merasa itu semua masuk akal?" Masih diposisi yang sama, Stella tak bisa lepas dari kungkungan Bian karena pria ini terlihat begitu serius ingin melakukannya. "Bukankah kau yang meminta syarat itu? Aku hanya berusaha untuk menurutinya supaya mendapatkan apa yang aku mau, sekaligus kau tidak merasa rugi dengan permintaanku." Bian menjawab dengan santai membuat Stella menarik napasnya tak percaya. "Bian, tidak ada untungnya-" "Ada, apakah kau meremehkan hasrat seorang pria sepertiku? Aku punya istri dan aku tidak bisa menyentuhnya dengan leluasa karena dia tidak percaya padaku dan masih sakit hati, jadi aku hanya berusaha untuk menggapai hatinya. Apapun akan kulakukan untuk itu, masih tidak percaya?" Stella terdiam, dia ingat sesuatu yang pernah dikatakan orang termasuk wanita-wanita yang pernah menikah. Mereka mengatakan kalau suami mereka rela melakukan apa saja jika sudah ingin melakukan hubungan suami istri. Bahkan ketika mer
Stella menatap wajah Bian yang sepertinya tak ada niatan untuk melepaskannya. Wanita itu sudah mencengkram selimut saat merasakan Bian menyapa bagian lehernya dengan ciuman dan kecapan mesra. "Bian ..." Bian mengangkat kepalanya, lalu menatap dalam wajah Stella yang sudah menggeleng. "Aku tidak bisa melakukan itu." "Kenapa?" Bian menciumnya dengan lembut. "Bukankah sudah bersedia untuk lebih menerima hubungan ini dan semua perhatianku?" Stella menelan ludahnya. "Tetapi bukan dengan bercinta, 'kan?" ucapnya pelan. "Aku tidak ada mendengar ucapan itu." Bian terdiam, sadar kalau selama ini dia terbawa perasaan sendiri padahal Stella tetap menganggap semuanya sama seperti pertama kali. "Bian ... aku sangat lelah." Bian tersenyum pelan lalu mengusap kepalanya. "Sudah berapa bulan kita tidak melakukannya, kau tidak merindukanku?" Stella menatapnya dengan tatapan tak paham membuat Bian tersenyum lagi. Gila, dia yang terbawa perasaan sendiri dengan hubungan dan kedekatan yang
Stella memijat kepalanya perlahan lalu keluar dari dalam mobil dan menatap Bian yang sudah membuka pintu rumah dan menyambutnya yang baru datang. Wanita itu diam selama beberapa saat tapi kemudian dia berjalan saat melihat Bian yang sedang tersenyum padanya."Kau mau pergi?"Bian menaikkan alisnya. "Tidak, kenapa kau bertanya seperti itu?" tanyanya seraya merangkul tubuh Stella, membawanya masuk ke rumah. "Emm, karena aku melihatmu keluar dari rumah saat aku sampai tadi. Kupikir kau bukan mau menyambutku tapi mau pergi ke suatu tempat seperti yang biasa kau lakukan dulu. Dulu bukankah kau biasanya selalu pergi? Kenapa sudah tidak pernah lagi keluar dan nongkrong atau menyendiri?"Bian mengajaknya duduk di sofa lalu tersenyum lembut menatap wajah istrinya itu. "Untuk apa? Aku lebih baik di rumah daripada keluar tanpa manfaat seperti itu. Aku tidak begitu punya teman, hanya ada beberapa rekan kerja. Kalau aku di rumah aku bisa membantu menjaga dan memberikan perhatian padamu. Kehamilan
Beberapa bulan berlalu setelah kehamilan Stella dan dia tetap mendapati sikap penuh perhatian dan juga segala hal yang diberikan Bian mulai lebih terlihat banyak dan berkembang.Pria angkuh dan kaku itu bahkan seolah sengaja untuk menjadi dirinya yang lebih baik, tidak lagi bermulut pedas, tidak lagi bertampang datar dan dingin, tidak lagi menjadi sosok yang menyebalkan.Stella menikmati semua perubahannya tapi juga dia masih berusaha menjaga jarak. Dia tidak bisa kalau harus membiarkan pria itu melakukan sesuatu padanya semakin jauh, tapi dia juga tidak memiliki kemampuan untuk menghalanginya hingga hanya bisa menerima."Maaf, aku terlambat datang. Tadi aku meeting dulu dengan klien baru setelahnya aku datang ke sini karena itu klien yang cukup penting. Dia sudah datang jauh-jauh dari luar negeri, makanya aku layani dulu," ucap Bian begitu masuk ke cafe Stella.Wanita berdress hitam itu menoleh ke arah Bian, lalu diam selama beberapa saat. "Kau bicara seolah menjadi gigolo saja," uja
Setelah pulang, tak ada lagi pembicaraan yang dilakukan oleh Bian dan Stella. Keduanya masuk ke dalam rumah dan disambut Amber, tapi karena tak ada yang dikatakan dan dibicarakan oleh kedua majikannya jadi Amber juga hanya diam dan berniat untuk memasak makan siang sebab sebentar lagi sudah harus makan. Stella masuk ke kamarnya dan memutuskan untuk beristirahat sambil berpikir. Dia merasa sifat Bian saat ini sudah terlalu jauh, pria itu sudah tak sama lagi dan itu membuatnya khawatir. Besar kemungkinan jika seperti ini maka mereka tidak akan berpisah sesuai dengan harapan pria itu. "Tidak ada dasar yang kuat kenapa dia berubah dan berniat untuk mempertahankanku. Aku bukan orang yang tidak punya hati sampai mengabaikan apa yang dia lakukan dan dia inginkan, tapi kalau dia tidak memiliki dasar yang kuat untuk mempertahankan pernikahan ini maka dia akan bisa mengabaikannya dengan mudah ke depannya. Dia tidak tahu bagaimana harus menjadi dirinya sendiri, karena bagaimanapun semua ini
Stella menoleh ke arah Bian saat pria itu sengaja meletakkan lauk di piringnya. Padahal dia tidak memintanya sama sekali tapi pria ini memang sengaja melakukannya dan menggunakan Calista yang ada dihadapan mereka untuk semakin berpura-pura.Saat ini mereka sedang makan pagi bersama dan Bian terlihat seperti seorang suami dan calon ayah yang baik. Dia tak tahu bagaimana harus menolaknya tapi saat ini dia hanya bisa diam saja dan memakan makanan itu tanpa banyak bicara."Makanlah yang banyak, agar kandunganmu sehat." Calista bersuara membuat Stella mengangguk tanpa menatapnya.Dia malas untuk banyak berbasa-basi saat ini, terlalu melelahkan. Sepertinya jika dia kembali ke rumah atau ke kamarnya yang ada di cafe akan lebih baik, dia tidak akan menyinggung atau membuat siapapun harus terusik. Dia bukan orang yang hebat dan bahkan dia selalu menjadi orang yang terhina.Stella menghela napas panjang lalu duduk di kursi dan melihat Bian serta Calista yang sedang bicara. Sejak tadi dia tahu m
"Aku mau." Stella menatap Bian dengan wajah datar. "Mau apa?" Bian melihat Stella dari atas sampai bawah, berulang-ulang membuat wanita itu memalingkan wajahnya dengan tatapan datar yang tak berubah. Dia sudah tahu apa yang dimaksudkan oleh pria ini, rasanya seperti tak masuk akal karena Bian bisa-bisanya meminta secara terang-terangan begini. "Apa yang kau pikirkan sebenarnya? Sadar tidak sih kalau aku sedang hamil?" "Memangnya kalau hamil tidak bisa melakukannya?" tanya Bian dengan wajah tak percaya. "Apa yang kau rasakan? Ada yang sakit lagi?" Stella menghela napasnya dalam-dalam lalu berjalan ke arah ranjang dengan rasa malas. "Aku belum fit, kalau kita lakukan malah beresiko. Itu bukan hal yang kuinginkan, aku mau mempertahankan anak ini. Apapun keadaannya, aku tidak akan membuatnya kenapa-napa. Kau harus tahu, keguguran pertama kali bisa membuat resiko macam-macam, salah satunya mungkin tidak akan bisa hamil lagi. Jadi, berhenti meminta sebelum keadaanku membaik." "O