"Liam, kamu di mana sekarang?" Suara nyaring sang mama memenuhi seisi mobil, ketika panggilan itu Liam loud speaker karena dirinya harus fokus mengemudi. "Jawab Liam, di mana kamu sekarang? Bisa-bisanya kamu kabur setelah membuat keributan?"
Keributan? Liam memutar bola mata malas. Ia tidak merasa membuat keributan, malah dirinya baru saja membuat pertunjukan spektakuler. Ya, walaupun pertunjukan dadakan itu di luar skenarionya. Seandainya saja wanita licik bernama Andita Salim itu tidak memprovokasi dirinya dengan menyulut percikan api lebih dulu, maka Liam tidak akan menyiramkan bensin lebih banyak. Tentu saja pertunjukan itu tidak akan pernah terjadi, pertunjukan yang sekarang sukses jadi headline berita di mana-mana."Liam!" Suara sang mama kian melengking, deru napasnya terdengar memburu menunjukkan betapa emosinya beliau saat ini. "Kamu dengar mama nggak sih?"Liam menghela napas kasar, lalu menjawab, "Lagi di jalan, Ma. Bentar lagi Liam ke situ.""Kamu sudah antar Carla pulang, 'kan?" Mamanya tengah memastikan bahwa Liam saat ini sendiri di mobil."Hm." Liam menjawab dengan gumaman, terlalu malas untuk bicara. "Kalau begitu cepat ke sini, kamu harus bertanggung jawab atas kekacauan ini!" Liam berdecak mendengar mamanya menuntut pertanggung jawabannya. Padahal kekacauan itu bukan sepenuhnya salah dirinya. Tapi mamanya tidak mau tahu dan memintanya segera datang."Iya." Setelah memberikan jawaban singkat, Liam mematikan sambungan telepon tepat ketika mobilnya berhenti di lampu merah.Liam melepas ikatan dasi yang serasa mencekik leher, membuka kaca jendela samping agar mendapat pasokan udara lebih banyak. Udara malam yang cukup dingin menyerbu masuk, membantu mendinginkan kepala Liam yang serasa mau meledak jika mengingat kejadian tadi di acara launching produk kosmetik mamanya. Bisa-bisanya wanita aneh, bernama Andita Salim itu berteriak kepada para wartawan sehingga memicu serangkaian asumsi miring terhadap dirinya. Untungnya Liam berhasil membalikkan keadaan, ia yakin kalau sekarang wanita aneh itu sedang marah-marah karena berhasil ia permalukan di depan umum dan pasti beritanya akan muncul di akun-akun gosip nggak jelas! Sukurin! Liam benar-benar puas membayangkan dampak buruk yang menimpa Andita Salim saat ini karena balasannya tadi. Lagian siapa suruh wanita itu mencoba panjat sosial pada dirinya, Liam amat sangat membenci siapa pun yang melakukan itu padanya.Liam menatap ke luar jendela, netranya tidak sengaja melihat gaun merah yang dipajang di sebuah butik seberang jalan. Melihat long dress itu mengingatkannya pada gaun yang tadi Carla pakai. Mengetahui Carla masih memakai gaun terbuka di saat udara malam begitu dingin, Liam pun tanpa pikir panjang langsung putar balik ketika lampu berganti hijau. Untungnya jalanan yang ia lalui tidak begitu ramai, sehingga tindakannya tidak menimbulkan keluhan oleh pengendara lain.Liam tidak langsung kembali ke rumah sakit, melainkan mampir ke sebuah butik yang masi buka untuk membeli pakaian ganti buat Carla. Tidak hanya mampir ke butik, Liam juga menyempatkan diri mampir ke sebuah restoran cepat saji yang melayani drive thru. Liam yakin kalau Carla sekarang tengah kelaparan, mengingat sejak ia membawanya ke acara launching kosmetik milik mamanya, Carla sama sekali belum makan apa pun kecuali berkali-kali menengguk air putih.Perlu Liam pertegas, bahwa bentuk kepedulian yang ia lakukan saat ini tidak ada maksud tertentu. Ini murni karena inisiatifnya sebagai atasan pada karyawannya, Liam tidak mau Carla sampai sakit dan izin masuk kantor. Pekerjaannya terlalu padat dan ia tidak bisa mentolerir jika Carla benar-benar izin nggak masuk kerja. Jadwalnya bisa berantakan nantinya, tidak mau hal itu terjadi makanya Liam melakukan semua ini.Liam berdecak, ketika ponselnya terus berdering nyaring memenuhi seisi mobil. Ia baru saja tiba di rumah sakit, tapi sepertinya sang mama tidak sabaran ingin dirinya cepat datang ke acara yang entah sudah selesai apa belum, karena Liam meninggalkan acara itu begitu saja setelah membuat Andita Salim dipermalukan di depan banyak orang."Iya, Ma. Liam bentar lagi sampai." Liam terpaksa berbohong agar mamanya tidak cerewet. "Jalanannya macet." Ia beralasan, padahal sebenarnya ia sekarang sedang berjalan di koridor rumah sakit menuju ruang operasi di mana mamanya Carla sedang ditangani oleh para dokter. "Iya, Liam bentar lagi sampai sana. Mama nggak sabaran banget sih. Udah dulu ya, Liam harus konsentrasi, mama nggak mau kan kalau Liam kenapa-napa di jalan? See you Mom." Liam mengakhiri panggilannya ketika ia hampir tiba di tempat yang ditujunya.Dari ujung koridor, Bisa Liam lihat kalau Carla tampak kelelahan sampai ia tertidur di kursi tunggu. Tentunya dengan pakaian terbuka yang tadi dikenakannya, wanita itu tidur dalam keadaan duduk bersandar pada kursi dan kepala menunduk. Kedua tangannya memeluk tubuhnya sendiri, berharap mampu mengurangi hawa dingin yang terus menusuk kulit.Liam menghela napas kasar, melihat Carla seperti ini membuat perasaannya tidak nyaman. Perasaan aneh yang entah mengapa membuatnya ikut sesak. Apa ini iba? Bisa saja iya, Liam menyimpulkan cepat. Tidak ingin goyah dengan memikirkan perasaannya yang tidak menentu. Ia buru-buru melepas jasnya untuk menutupi tubuh Carla yang terekspos dan kedinginan. Liam juga meletakkan dua paper bag di sisi Carla, satu berisi pakaian ganti dan satunya berisi makanan cepat saji.Sekali lagi Liam memperhatikan kepala Carla yang tertunduk, membuat helaian rambut panjangnya yang bergelombang terurai ke depan menutupi sebagian wajahnya. Refleks tangan Liam terulur, berniat menyingkirkan helaian rambut yang menutupi wajah Carla. Namun, belum sampai ia menyentuh rambut Carla, kesadaran menyentak kuat dirinya. Liam memandangi uluran tangannya, memejamkan mata sambil merutuki tindakannya.Apa yang aku lakukan?Apa aku sudah gila?Liam mengusap kasar wajahnya, mengembuskan napas berat. Ia sadar jika dirinya tidak bisa lebih lama di sini atau kewarasannya akan dengan mudah tergoyahkan. Meski berkali-kali ia meyakini kalau tindakannya barusan adalah karena rasa simpati, tapi entah kenapa sebagian besar hatinya menyangkal. Tapi logika dan kewarasannya pun turut menyangkal akan apa yang dirasakan hatinya."Sial!" Liam mengumpat, buru-buru berbalik melenggang pergi.Bersamaan dengan kepergian Liam, Carla terbangun. Kepalanya terangkat dan matanya menyipit, menoleh ke arah suara langkah kaki yang mulai menjauh dan hilang di balik koridor."Pak Liam?" gumam Carla, seolah mengenali siluet laki-laki yang sempat ia lihat sekilas dan samar-samar. Carla mengucek kedua matanya, lalu membuka matanya lebar-lebar ke ujung koridor. Tidak ada siapa pun. "Apa aku salah lihat?" Tapi Carla yakin kalau barusan ia sempat melihat seseorang yang ia yakini adalah bosnya. "Enggak mungkin!" Walau pada akhirnya ia menepis kemungkinan itu. "Pak Liam, kan, sudah pulang, nggak mungkin dia kemari."Carla sudah sangat yakin bahwa ia hanya salah lihat, karena mustahil Liam akan kembali ke sini. Namun, ketika Carla menyadari akan sesuatu yang menutupi tubuh bagian depannya, barulah keyakinannya dengan cepat memudar. Melihat jas yang menutupi tubuhnya, pikiran Carla langsung tertuju pada bosnya."Jadi yang tadi beneran pak Liam?" Carla sontak menoleh ke ujung koridor, memastikan walau sudah tidak ada siapa pun di sana. "Pak Liam ke sini lagi?" Carla bertanya-tanya, lalu pandangannya tanpa sengaja melihat dua paper bag di sisinya. "Pak Liam bawain ini semua?" Carla tidak percaya saat melihat isi dua paper bag tersebut. "Beneran pak Liam?"Rasanya memang mustahil kalau yang melakukan semua itu bosnya. Secara Carla tahu betul sikap dan sifat bosnya, yang pasti bosnya tidak akan melakukan tindakan seperti ini pada bawahannya. Ayolah, seorang Liam tidak sebaik itu. Namun, kalau bukan bosnya, terus siapa? Carla dibuat bingung, pasalnya hanya Liam yang tahu akan keberadaannya di rumah sakit. Lagipula Carla juga tidak punya sanak saudara ataupun teman dekat, bahkan di kantor pun ia merasa seperti dikucilkan karena penampilan dan latar belakangnya. Beruntung saja ia mendapat promosi jadi sekretaris Liam, sehingga Carla sekarang bisa bekerja lebih nyaman. Ralat, nggak nyaman-nyaman juga sih karena bosnya yang dingin dan keras kayak batu. Tapi tetap jauh lebih baik daripada harus berurusan dengan karyawan lain.Ponsel Carla berbunyi, satu notifikasi pesan masuk. Carla buru-buru membukanya, mendapati satu pesan masuk dari bosnya. "Panjang umur juga dia," gumam Carla, tapi kemudian ia spontan mengumpat saat membaca pesan dari Liam. "Bos sialan!"Bos Rese! : Baju sama makanannya akan dipotong dari gaji kamu. Jadi sebaiknya kamu tidak menyia-nyiakannya.Makan, jangan sampai mati. Utang kamu sama saya masih banyak."Ya Tuhan, dosa apa hamba punya bos laknat macam ini!" Carla mendesah berat, menahan gondok luar biasa pada bosnya. Sayangnya ia hanya bisa pasrah karena semua kendali di tangan bosnya. "Liam sialan!"***Sekretaris oon; Tenang saja, saya nggak bakalan mati sebelum utang saya lunas. Kalaupun saya mati nantinya, pak Liam bisa kejar saya sampai alam baka dan tagih saya di sana!Liam mendengkus geli, membaca balasan pesan dari Carla yang terlalu berani. "Apa dia mabuk?"Liam geleng-geleng kepala, membayangkan ekspresi kesal Carla saat ini. Siapa pun memang akan kesal jika mendapat pesan menyebalkan seperti yang Liam kirimkan tadi. Tapi Liam tidak menduga kalau Carla akan memberikan balasan seperti itu, ia pikir wanita itu tidak akan punya nyali untuk melakukannya. Namun, sepertinya Liam salah menilai soal Carla."Liam!" Suara lengkingan menyambut kedatangan Liam.Sepertinya acara launching kosmetiknya sudah usai. Tidak nampak para tamu undangan maupun para wartawan di dalam gedung, kecuali mereka para pegawai yang sedang membereskan ruangan."Sini kamu!" Mamanya dengan tampang garang menghampiri Liam, menyeret paksa Liam dan membawanya ke ruangan lain."Ma, apa-apaan sih? Nggak usah seret-seret begini, kan, bisa." Liam menggerutu kesal, pasalnya tindakan mamanya mengundang perhatian dari orang-orang yang masih ada di dalam ball room."Kamu harus bertanggung jawab Liam, bisa-bisanya kamu buat keributan di acara penting mama!" Sepertinya sang mama benar-benar murka karena kejadian tadi. "Kamu harus meluruskan berita simpang siur kepada papa dan kakek kamu. Sekarang mereka sudah menunggumu!"Liam memutar bola mata malas, mengetahui dirinya akan disidang oleh keluarganya sendiri. Tapi Liam tidak punya pilihan lain karena mamanya berhasil membawanya memasuki ruang persidangan. Liam pikir di ruangan itu hanya ada papa dan kakeknya, tapi ia salah mengira karena ternyata ada sosok lain yang juga duduk di salah satu kursi yang membelakanginya. Meski hanya melihat siluet punggung yang terbuka, namun Liam bisa mengenali siapa sosok tersebut."Kau!" Spontan Liam meninggikan suaranya, menarik perhatian semua orang di ruangan itu. Bahkan mamanya yang berjalan menyeretnya sampai refleks berhenti. "Apa yang kau lakukan di sini?"Sosok yang dimaksud Liam pun menoleh, memberikan senyum lebar menawan. "Hai, Liam. Kita ketemu lagi, kayaknya kita jodoh."What the hell!!!Liam melotot saat melihat tampak muka sosok yang ia kenali ternyata benar. Sosok itu Andita Salim, wanita licik yang membuat mood-nya berantakan. Wanita ini benar-benar medusa!"Hei!" Andita Salim memekik, ketika ia hampir saja tersungkur ke lantai setelah Liam mendorongnya dengan kasar. "Apa kamu tak bisa bersikap lembut dengan wanita?" protesnya, menatap Liam sepenuhnya. Liam berdecih, ekspresinya seakan menjelaskan satu jawaban atas pertanyaan Andita barusan. Tidak! Tentu saja tidak! Memangnya siapa juga yang menganggap Andita sebagai wanita yang harus diperlakukan dengan lembut? Pasalnya di mata Liam sendiri, Andita hanyalah medusa licik yang sangat ingin ia singkirkan dari hidupnya. "Apa yang kau lakukan di sini?" Liam enggan berbasa-basi. "Sebaiknya kau pergi sekarang dan berhenti membuat drama! Dan satu hal yang perlu kamu tahu, saya tidak sudi terlibat skandal apa pun denganmu! Jadi berhenti untuk menyeret nama saya dalam rumor murahan yang kamu ciptakan!""Rumor?" Meski wajah Liam terlihat tidak bersahabat dan terkesan mengintimidasi, nyatanya itu sama sekali tidak membuat Andita gentar. Malah dengan berani Andita mendekat ke hadapan Liam, menepis
Operasi pengangkatan tumor otak mama Carla berjalan lancar. Namun, kondisi beliau masih lemah dan harus terbaring di ruangan ICU, bahkan untuk bernafas dibantu ventilator dan Carla hanya bisa memandangi tubuh lemah mamanya dari balik jendela kaca ruang ICU. "Ma." Carla meratapi tubuh ringkih mamanya yang terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Dadanya terasa nyeri melihat satu-satunya orang yang disayang masih belum juga sadarkan diri sejak operasi berakhir dini hari tadi. "Mama cepetan bangun ya, Ma. Jangan tinggalin Carla sendirian, Carla nggak siap," lirih Carla, perasaannya makin tidak karuan. Terlebih ketika bayangan masa lalu kembali mengingatkannya akan sakitnya kehilangan sosok yang paling disayang. Ya, Carla pernah berada di posisi itu. Momen di mana dirinya sampai terpuruk karena harus menghadapi kenyataan bahwa papanya meninggalkannya untuk selamanya karena kecelakaan. Tidak hanya itu, sepeninggalan papanya merubah drastis kehidupan Carla dan mamanya, membuat ia maki
Carla duduk gelisah, meremas jemari tangannya yang basah berkeringat dingin. Jantungnya berdetak di luar kendali, matanya berkali-kali melirik ke sana-sini mencari pengalihan dari seseorang yang tengah menatap intens dirinya. Mati aku! Dalam hati Carla berkali-kali merutuk. Ia tidak habis pikir akan terjebak dalam kondisi serumit ini. Kalau semalam ia masih tahan banting hanya dicecar pertanyaan wartawan, tapi sekarang? Mana bisa tahan banting kalau yang mencecar calon mertua ... ralat calon mertua pura-pura. "Carla."Carla berharap waktu cepat berlalu, atau setidaknya ia memiliki jurus menghilang dalam sekejap mata. Jujur ia tidak nyaman duduk berhadapan dengan istri CEO perusahaan, rasanya ia akan gila menanggapi berbagai pertanyaan yang dilemparkan oleh wanita itu. Karena ia sendiri bingung harus menjawab apa, atas pertanyaan yang mungkin akan dilayangkan terhadapnya. Kalau saja kemarin Liam memberikan pengarahan terlebih dahulu, mungkin dirinya tidak akan kesulitan menghadapi si
Liam berdiri di depan lobi, berulang kali melirik pada jam tangannya. Sudah hampir setengah jam ia menunggu, tapi orang yang dinanti tidak kunjung muncul. Hal itu membuat kekesalannya kian bertumpuk di dalam dada sampai ke ubun-ubun. Liam berdecak, tak bisa mentolerir lebih lama lagi. Batas kesabarannya sudah habis untuk menunggu Carla, yang entah bagaimana ceritanya bisa bersama dengan mamanya saat ini. Kalau bukan karena mamanya juga, Liam tak akan sudi menunggu begini, mungkin juga ia akan langsung memecat Carla saat di telepon tadi. "Itu mobil Nyonya Willona, Pak." Suara Putra dari samping menginterupsi Liam, menarik pandangannya menuju arah yang dimaksud Putra. Liam mendengkus pelan ketika mobil milik mamanya berhenti tepat di depannya. Lalu kaca jendela belakang turun ke bawah, menampilkan sosok mamanya yang menyunggingkan senyuman lebar."Maaf ya Liam, mama pinjem Carla bentar buat nemenin sarapan," ucap Willona, tanpa menunjukkan rasa bersalah sedikit pun.Sebentar? Rasanya
Kesepian di keramaian. Mungkin itu definisi yang tepat untuk Carla sekarang. Duduk sendiri menikmati minuman bewarna merah menyala dengan rasa manis yang membekas di lidahnya. Ditemani hingar bingar musik fun yang malah terdengar membosankan di telinganya. Tatapan Carla beralih dari gelas di tangannya menuju ke arah pelaminan, memperhatikan sejenak wajah cantik mempelai wanita dengan gaun putih bagaikan princess disney. Menakjubkan!Membayangkan betapa megahnya pesta pernikahan yang diadakan di salah satu ballroom hotel ternama di kota metropolitan. Dari dekorasi sampai makanan dan pengiring musik, Carla sudah bisa menebak budget yang dikeluarkan pasti gila-gilaan dan perempuan miskin sepertinya hanya bisa bermimpi untuk pesta pernikahan semewah ini. Ngomong-ngomong soal pesta pernikahan, sejujurnya Carla tidak mengenal siapa yang menikah. Semua orang yang ada di ruangan besar ini tampak asing baginya, bahkan ia merasa kecil di antara para tamu undangan dengan dandanan glamor ala so
Mobil Range Rover warna hitam mengkilap memasuki pelataran gedung PT. Atmajaya Karya Husada. Perusahaan yang bergerak di bidang kontruksi dan merupakan anak cabang dari perusahaan Atmajaya Group. Mobil itu berhenti di depan lobi, menarik atensi setiap mata yang memandang ketika beberapa orang berpakaian formal berjejer di depan lobi utama. Pria berpakaian serba hitam segera memosisikan diri di depan pintu penumpang, membukakan pintu untuk orang penting di perusahaan Atamjaya Karya Husada atau biasa disebut AKH. "Selamat pagi Pak," sapa pria itu dengan sopan, membungkukkan sedikit badannya sebagai penghormatan pada atasannya."Pagi," balas pria yang keluar dari mobil, ekspresinya datar. Namun, sorot matanya begitu tegas, menatap lurus ke depan seiring dengan langkah kakinya. Ia tampak berkharisma.Pria berstelan jas rapi yang membalut tubuh atletis, dipadu dengan wajah tampan, berahang tegas, hidung mancung, alis tebal dan kaca mata hitam bertengger di atas hidung menutup mata beriri
"Kamu dipecat!"Mata Carla berkedut ketika mendengar suara lantang bosnya. Seminggu, memang waktu yang singkat untuk mengenali kepribadian bosnya. Tapi dalam seminggu Carla sudah hapal kebiasaan bosnya yang sering memakai nada tinggi dan tegas. Seperti saat ini, harusnya Carla sudah terbiasa, lagipula ini bukan yang pertama kalinya ia kena semprot bosnya yang super galak itu, tapi hampir setiap hari atau bahkan setiap waktu ia kena omel atasannya. Namun, hari ini berbeda, Carla bukan hanya kena omel, tapi juga nyaris kena serangan jantung karena ucapan lantang yang bosnya lontarkan. Dipecat! Carla tidak menyangka jika dirinya akan menjadi korban kebiadaban seorang Liam seperti pegawai-pegawai sebelumnya yang juga dipecat tanpa diberi kesempatan untuk menjelaskan. Enggak! Aku nggak boleh dipecat! Aku nggak boleh jadi pengangguran lagi! Carla menjerit frustrasi dalam benaknya, memikirkan nasib ke depannya jika ia sampai benar-benar kehilangan pekerjaan ini. Meskipun ia tahu kesalahann
Carla duduk tertunduk seraya meremas-remas jemari tangannya yang basah berkeringat. Di hadapannya duduk Liam dan mamanya yang sedari tadi melemparkan sorot menyelidik kepadanya. Entah pikiran macam apa yang bercokol di dalam kepala wanita paruh baya itu, setelah pengakuan konyol sepihak yang dilakukan oleh bosnya dan yang pasti Carla tahu kalau sesuatu yang sangat buruk akan menimpa dirinya setelah ini."Dia yang duluan mencium Liam. Padahal Liam sudah bilang buat nggak cium-cium di tempat sembarangan. Harusnya kamu bisa lebih menahan diri lagi, Carla. Lihatlah, gara-gara ketidaksabaran kamu, kita jadi ketahuan, kan."Jantung Carla rasanya seolah akan berhenti berdetak ketika mengingat kembali fitnah keji macam apa yang dilayangkan bosnya kepada dirinya. Mencium? Yang benar saja! Seumur hidup, bahkan Carla belum pernah berciuman, apalagi sampai nekad mencium atasannya sendiri. Itu sangat tidak masuk akal, harusnya nyonya Willona tidak mempercayai omong kosong itu, tapi sepertinya wani
Kesepian di keramaian. Mungkin itu definisi yang tepat untuk Carla sekarang. Duduk sendiri menikmati minuman bewarna merah menyala dengan rasa manis yang membekas di lidahnya. Ditemani hingar bingar musik fun yang malah terdengar membosankan di telinganya. Tatapan Carla beralih dari gelas di tangannya menuju ke arah pelaminan, memperhatikan sejenak wajah cantik mempelai wanita dengan gaun putih bagaikan princess disney. Menakjubkan!Membayangkan betapa megahnya pesta pernikahan yang diadakan di salah satu ballroom hotel ternama di kota metropolitan. Dari dekorasi sampai makanan dan pengiring musik, Carla sudah bisa menebak budget yang dikeluarkan pasti gila-gilaan dan perempuan miskin sepertinya hanya bisa bermimpi untuk pesta pernikahan semewah ini. Ngomong-ngomong soal pesta pernikahan, sejujurnya Carla tidak mengenal siapa yang menikah. Semua orang yang ada di ruangan besar ini tampak asing baginya, bahkan ia merasa kecil di antara para tamu undangan dengan dandanan glamor ala so
Liam berdiri di depan lobi, berulang kali melirik pada jam tangannya. Sudah hampir setengah jam ia menunggu, tapi orang yang dinanti tidak kunjung muncul. Hal itu membuat kekesalannya kian bertumpuk di dalam dada sampai ke ubun-ubun. Liam berdecak, tak bisa mentolerir lebih lama lagi. Batas kesabarannya sudah habis untuk menunggu Carla, yang entah bagaimana ceritanya bisa bersama dengan mamanya saat ini. Kalau bukan karena mamanya juga, Liam tak akan sudi menunggu begini, mungkin juga ia akan langsung memecat Carla saat di telepon tadi. "Itu mobil Nyonya Willona, Pak." Suara Putra dari samping menginterupsi Liam, menarik pandangannya menuju arah yang dimaksud Putra. Liam mendengkus pelan ketika mobil milik mamanya berhenti tepat di depannya. Lalu kaca jendela belakang turun ke bawah, menampilkan sosok mamanya yang menyunggingkan senyuman lebar."Maaf ya Liam, mama pinjem Carla bentar buat nemenin sarapan," ucap Willona, tanpa menunjukkan rasa bersalah sedikit pun.Sebentar? Rasanya
Carla duduk gelisah, meremas jemari tangannya yang basah berkeringat dingin. Jantungnya berdetak di luar kendali, matanya berkali-kali melirik ke sana-sini mencari pengalihan dari seseorang yang tengah menatap intens dirinya. Mati aku! Dalam hati Carla berkali-kali merutuk. Ia tidak habis pikir akan terjebak dalam kondisi serumit ini. Kalau semalam ia masih tahan banting hanya dicecar pertanyaan wartawan, tapi sekarang? Mana bisa tahan banting kalau yang mencecar calon mertua ... ralat calon mertua pura-pura. "Carla."Carla berharap waktu cepat berlalu, atau setidaknya ia memiliki jurus menghilang dalam sekejap mata. Jujur ia tidak nyaman duduk berhadapan dengan istri CEO perusahaan, rasanya ia akan gila menanggapi berbagai pertanyaan yang dilemparkan oleh wanita itu. Karena ia sendiri bingung harus menjawab apa, atas pertanyaan yang mungkin akan dilayangkan terhadapnya. Kalau saja kemarin Liam memberikan pengarahan terlebih dahulu, mungkin dirinya tidak akan kesulitan menghadapi si
Operasi pengangkatan tumor otak mama Carla berjalan lancar. Namun, kondisi beliau masih lemah dan harus terbaring di ruangan ICU, bahkan untuk bernafas dibantu ventilator dan Carla hanya bisa memandangi tubuh lemah mamanya dari balik jendela kaca ruang ICU. "Ma." Carla meratapi tubuh ringkih mamanya yang terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Dadanya terasa nyeri melihat satu-satunya orang yang disayang masih belum juga sadarkan diri sejak operasi berakhir dini hari tadi. "Mama cepetan bangun ya, Ma. Jangan tinggalin Carla sendirian, Carla nggak siap," lirih Carla, perasaannya makin tidak karuan. Terlebih ketika bayangan masa lalu kembali mengingatkannya akan sakitnya kehilangan sosok yang paling disayang. Ya, Carla pernah berada di posisi itu. Momen di mana dirinya sampai terpuruk karena harus menghadapi kenyataan bahwa papanya meninggalkannya untuk selamanya karena kecelakaan. Tidak hanya itu, sepeninggalan papanya merubah drastis kehidupan Carla dan mamanya, membuat ia maki
"Hei!" Andita Salim memekik, ketika ia hampir saja tersungkur ke lantai setelah Liam mendorongnya dengan kasar. "Apa kamu tak bisa bersikap lembut dengan wanita?" protesnya, menatap Liam sepenuhnya. Liam berdecih, ekspresinya seakan menjelaskan satu jawaban atas pertanyaan Andita barusan. Tidak! Tentu saja tidak! Memangnya siapa juga yang menganggap Andita sebagai wanita yang harus diperlakukan dengan lembut? Pasalnya di mata Liam sendiri, Andita hanyalah medusa licik yang sangat ingin ia singkirkan dari hidupnya. "Apa yang kau lakukan di sini?" Liam enggan berbasa-basi. "Sebaiknya kau pergi sekarang dan berhenti membuat drama! Dan satu hal yang perlu kamu tahu, saya tidak sudi terlibat skandal apa pun denganmu! Jadi berhenti untuk menyeret nama saya dalam rumor murahan yang kamu ciptakan!""Rumor?" Meski wajah Liam terlihat tidak bersahabat dan terkesan mengintimidasi, nyatanya itu sama sekali tidak membuat Andita gentar. Malah dengan berani Andita mendekat ke hadapan Liam, menepis
"Liam, kamu di mana sekarang?" Suara nyaring sang mama memenuhi seisi mobil, ketika panggilan itu Liam loud speaker karena dirinya harus fokus mengemudi. "Jawab Liam, di mana kamu sekarang? Bisa-bisanya kamu kabur setelah membuat keributan?"Keributan? Liam memutar bola mata malas. Ia tidak merasa membuat keributan, malah dirinya baru saja membuat pertunjukan spektakuler. Ya, walaupun pertunjukan dadakan itu di luar skenarionya. Seandainya saja wanita licik bernama Andita Salim itu tidak memprovokasi dirinya dengan menyulut percikan api lebih dulu, maka Liam tidak akan menyiramkan bensin lebih banyak. Tentu saja pertunjukan itu tidak akan pernah terjadi, pertunjukan yang sekarang sukses jadi headline berita di mana-mana. "Liam!" Suara sang mama kian melengking, deru napasnya terdengar memburu menunjukkan betapa emosinya beliau saat ini. "Kamu dengar mama nggak sih?"Liam menghela napas kasar, lalu menjawab, "Lagi di jalan, Ma. Bentar lagi Liam ke situ.""Kamu sudah antar Carla pulang
"Kondisi pasien kian memburuk. Pasien tidak bisa menunggu lebih lama lagi untuk melakukan tindakan operasi pengangkatan tumor. Kita harus sesegera mungkin melakukan operasinya."Ucapan dokter beberapa saat lalu masih terngiang-ngiang jelas di pikiran Carla. Bagaimana dokter menjelaskan kondisi ibunya yang sempat mengalami penurunan kesadaran, efek dari penyakit yang dideritanya. Kanker otak stadium II! Tidak pernah Carla bayangkan sang mama akan mengidap penyakit ganas mematikan tersebut. Dua minggu sebelumnya ia membawa mamanya ke rumah sakit karena mengeluh sakit kepala yang tidak sembuh-sembuh dan terakhir kali beliau juga sempat mengalami penurunan kesadaran. Saat itulah Carla baru mengetahui bahwa mamanya mengidap kanker otak stadium II dan dokter menyarankan agar segera dilakukan operasi pengangkatan tumor. Namun, waktu itu Carla terkendala biaya. Tabungannya hanya cukup untuk membayar biaya rawat inap dan pemeriksaan awal. Sedangkan untuk operasi pengangkatan tumor membutuhk
"Jadi dia calon istri kamu?""Hubungan kami memang lebih dari sekedar atasan dan karyawan, kami diam-diam berkencan di luar kantor. Tapi untuk menikah, kayaknya masih terlalu dini.""Banyak alasan, kalau kamu cuma mau main-main, jangan sia-siakan waktu orang lain. Lebih baik kamu akhiri hubungan kalian, kakek kasihan sama wanita ini, harusnya dia mencari pasangan yang akan membawanya ke pelaminan, bukan hanya dijadikan kedok semata!""Kakek tenang saja, waktu yang Carla habiskan bersamaku tak akan jadi sia-sia. Lagipula bukannya aku tak mau serius sama Carla, aku hanya tak mau terburu-buru menikah. Hubungan kami juga baru dimulai secara resmi, jadi tolong beri kami waktu.""Satu bulan! Kalau satu bulan kamu masih tidak mau menikahinya, lebih baik kamu lepaskan dia. Biarkan dia bebas menentukan jodohnya sendiri. Jangan kamu tahan tanpa punya harapan akan masa depan! Baik kakek ataupun papa kamu, tidak ada yang mempermainkan wanita. Jadi jangan rusak tradisi keluarga kalau kamu hanya in
Carla duduk tertunduk seraya meremas-remas jemari tangannya yang basah berkeringat. Di hadapannya duduk Liam dan mamanya yang sedari tadi melemparkan sorot menyelidik kepadanya. Entah pikiran macam apa yang bercokol di dalam kepala wanita paruh baya itu, setelah pengakuan konyol sepihak yang dilakukan oleh bosnya dan yang pasti Carla tahu kalau sesuatu yang sangat buruk akan menimpa dirinya setelah ini."Dia yang duluan mencium Liam. Padahal Liam sudah bilang buat nggak cium-cium di tempat sembarangan. Harusnya kamu bisa lebih menahan diri lagi, Carla. Lihatlah, gara-gara ketidaksabaran kamu, kita jadi ketahuan, kan."Jantung Carla rasanya seolah akan berhenti berdetak ketika mengingat kembali fitnah keji macam apa yang dilayangkan bosnya kepada dirinya. Mencium? Yang benar saja! Seumur hidup, bahkan Carla belum pernah berciuman, apalagi sampai nekad mencium atasannya sendiri. Itu sangat tidak masuk akal, harusnya nyonya Willona tidak mempercayai omong kosong itu, tapi sepertinya wani