"Hei!" Andita Salim memekik, ketika ia hampir saja tersungkur ke lantai setelah Liam mendorongnya dengan kasar. "Apa kamu tak bisa bersikap lembut dengan wanita?" protesnya, menatap Liam sepenuhnya.
Liam berdecih, ekspresinya seakan menjelaskan satu jawaban atas pertanyaan Andita barusan. Tidak! Tentu saja tidak! Memangnya siapa juga yang menganggap Andita sebagai wanita yang harus diperlakukan dengan lembut? Pasalnya di mata Liam sendiri, Andita hanyalah medusa licik yang sangat ingin ia singkirkan dari hidupnya."Apa yang kau lakukan di sini?" Liam enggan berbasa-basi. "Sebaiknya kau pergi sekarang dan berhenti membuat drama! Dan satu hal yang perlu kamu tahu, saya tidak sudi terlibat skandal apa pun denganmu! Jadi berhenti untuk menyeret nama saya dalam rumor murahan yang kamu ciptakan!""Rumor?" Meski wajah Liam terlihat tidak bersahabat dan terkesan mengintimidasi, nyatanya itu sama sekali tidak membuat Andita gentar. Malah dengan berani Andita mendekat ke hadapan Liam, menepis jarak hingga keduanya terlihat begitu intim. Andita menaikkan sebelah alisnya, menyunggingkan senyum penuh arti. "Maksudmu soal ciuman kita di lorong bar? Bukankah itu fakta, Tuan Wiliam Atmaja?"Liam mengepalkan kedua tangan, rahangnya mengeras ketika Andita dengan santai berbisik di dekat telinganya. Bau parfum beraroma cherry yang menguar dari tubuh wanita itu justru membuat Liam ingin muntah, alih-alih terpikat. Jika lelaki lain bisa saja tergoda dengan kecantikan dan kemolekan tubuh Andita yang terbalut dalam gaun seksi berbelahan dada rendah, berbeda dengan Liam yang justru merasa risih melihat lekukan tubuh yang sengaja diumbar-umbar. Liam sama sekali tidak tertarik, bahkan ia menunjukkannya secara terang-terangan dengan tindakannya yang mendorong kasar Andita untuk menjauh darinya."Ciuman kita?" Liam tersenyum mengejek. "Perlu saya luruskan, itu bukan ciuman kita, tapi kamu yang mencium saya sembarangan dan jika sebaliknya itu terjadi kepadamu, bukankah kamu akan menyebutnya pelecehan?" Bisa Liam lihat bagaimana Andita seketika terdiam membisu oleh ucapannya. "Seseorang tidak dikenal tiba-tiba menciummu dengan lancang di lorong bar. Jika seseorang itu bukan saya, apakah kamu akan selantang tadi mengakuinya?" Kali ini Liam memegang kendali.Andita terdiam, bibirnya kelu seolah ia kehilangan semua kemampuannya untuk merangkai kalimat balasan. Ia menggigit bibir dalamnya, melampiaskan kekesalannya atas ucapan Liam yang sialnya benar. Ya, jika seseorang yang tidak sengaja ia cium di lorong bar waktu itu bukan William Atmaja, apakah ia akan dengan berani mengakuinya di depan kamera? Tidak. Ya, jawabannya tentu tidak. Mungkin Andita akan menyangkal semua rumor yang tersebar dan mengatakan bahwa itu bukan dirinya, meski fakta yang sebenarnya itu dia. Tentu Andita tidak akan mengakui skandal murahan itu demi menyelamatkan karirnya.Namun, situasinya kali ini berbeda, karena seseorang itu seorang keturunan Atmaja. William Atmaja, seorang pengusaha muda yang sukses dan mapan diusianya yang terbilang masih dini. Wanita mana yang tidak akan tergoda oleh sosoknya, selain pamor dan kemapanan yang menjanjikan, visualnya pun tidak kalah menggiurkan. Hanya sekali pandang saja wanita manapun pasti akan tertarik, tidak terkecuali Andita yang begitu ingin menaklukkan sosok angkuh di hadapannya. Tapi sialnya Liam bukanlah lelaki yang mudah ditaklukan."Kamu sudah tahu jawabannya," tukas Liam. "Jadi tidak perlu berbelit-belit lagi untuk menyangkalnya. Saya tidak ingin membuang waktu saya yang beharga, jadi sebaiknya kamu ralat semua pernyataanmu tadi jika kamu masih ingin terus berkarir di dunia entertainment!" Ucapan Liam sarat akan ancaman. Tentu bukan hal sulit baginya untuk memporak-porandakan karir seseorang. Ia punya uang dan kekuasaan, dirinya bisa leluasa melakukan semua itu. "Saya tidak mau tahu, besok pagi saya harus mendengar kabar baik. Waktumu tidak banyak, sebaiknya kamu sekarang bergegas pergi!"Mata Andita berkedut, memerah dan terasa perih. Kedua tangannya mengepal, mencengkram erat sisi gaun panjang yang ia kenakan. Emosinya meledak-ledak, tapi sialnya ia tidak bisa menumpahkannya, sumpah serapahnya tertahan di tenggorokan. William Atmaja benar-benar berengsek! Bisa-bisanya laki-laki itu mengancamnya sampai tak berkutik.Andita bisa saja menantang balik Liam, apalagi ia bisa menjadikan skandal mereka sebagai amunisi. Sayangnya Andita tidak melakukannya, ia masih memikirkan nasib karirnya. Tentu saja Andita tidak bodoh, meski terdengar seperti gertakan saja, tapi Liam bisa merealisasikan ancaman itu jadi kenyataan. Andita tidak mau karir yang ia bangun dengan susah payah hancur begitu saja."Tunggu apa lagi? Pergi!" Liam mengedikkan dagunya menuju pintu keluar ballroom, mengusir Andita.Demi harga diri yang masih tersisa, Andita mengangkat dagunya menatap balik Liam. "Hari ini cukup sampai di sini pertemuan kita, Tuan William Atmaja." Tangannya yang lincah mengelus jas yang dikenakan Liam. "Aku harap dipertemuan mendatang, tidak dalam keadaan bersitegang seperti ini. Meski aku sangat menyukai ketegangan, tapi aku lebih suka kita berada di suasana yang panas seperti waktu awal perjumpaan kita," ucap Andita penuh arti, sambil mengedipkan sebelah matanya, lalu bergegas pergi sebelum Liam mematahkan keberaniannya barusan.Liam berdecih sinis, tidak menyangka ia begitu sial karena dipertemukan dengan wanita macam Andita. Liam pikir spesies wanita yang menyusahkannya itu hanya Carla, tapi ternyata semesta memberinya ujian lain dengan menghadirkan wanita macam Andita sebagai malapetaka. Melihat bagaimana sosok-sosok wanita yang ia jumpai sepanjang hari ini, membuat Liam semakin teguh memegang pendiriannya untuk tidak buru-buru menikah. Tapi sepertinya keteguhan itu harus melewati banyak rintangan, salah satunya sang mama."Liam," panggilan mamanya membuat Liam spontan berbalik. Wanita paruh baya yang tampak cantik dalam balutan gaun mewah itu menghampirinya."Di mana Andita?" tanya sang mama, celingukan mencari brand ambassador kosmetiknya."Pergi," jawab Liam, tampak tidak peduli."Pergi?" Mamanya mengernyit, menatap penuh selidik pada Liam. "Apa yang kalian bicarakan barusan? Kamu———""Ma, udah malem," potong Liam, sebelum sang mama melontarkan tuduhan yang tidak-tidak. "Besok Liam harus survei ke lapangan, jadi Liam perlu istirahat sebelum perjalanan ke luar kota. Liam pulang ya."Wilona Atmaja menghela napas panjang, menyadari betapa sibuknya rutinitas kerja sang anak sulung. Anaknya memang workaholic, bahkan di hari weekend saja masih sibuk mengurusi pekerjaan."Kamu tidak mau menjelaskan terlebih dahulu soal yang tadi?" tanya mamanya, menuntut penjelasan perihal kekacauan yang sempat terjadi di acara launching kosmetik terbarunya."Bukankah semuanya sudah jelas, Ma?" Sejujurnya Liam malas harus membahasnya lagi. "Calon menantu mama itu Carla, bukan yang lain. Dan soal wanita tadi, Liam tidak mengenalnya. Tapi Mama nggak perlu khawatir karena Liam sudah mengurus semuanya, besok pagi Liam pastikan Mama akan menerima kabar baik. Mama nggak perlu cemas atas kejadian tadi, itu tidak akan mempengaruhi peluncuran produk kosmetik terbaru Mama," jelas Liam, mengusap lembut bahu mamanya supaya tenang.Wilona menghela napas, tidak berniat mendebat. Meski tidak sepenuhnya percaya atas ucapan Liam, tapi ia berusaha untuk memahami keputusan anaknya. "Bagaimana Carla? Apa dia pulang dengan selamat?"Liam mengangguk. "Dia pulang dengan selamat, Mama nggak perlu khawatir karena Liam mengantarnya sampai rumah." Seandainya saja mamanya tahu kalau sebenarnya Liam tidak mengantar Carla ke rumah, melainkan ke rumah sakit."Syukurlah." Mamanya tampak begitu lega. "Carla kelihatan gadis yang baik, mama harap hubungan kalian serius. Mama nggak mau kamu menjadikannya tameng atas tuntutan mama sama papa buat kamu cepet-cepet nikah. Mama pengen kamu bener-bener serius, Liam. Mama pengen kamu menikah dengan wanita yang benar-benar kamu cintai, bukan wanita yang asal kamu pilih sembarangan hanya untuk dijadikan alasan agar kami berhenti menjodohkan kamu."Liam tersenyum tipis, hatinya tersentil oleh ucapan sang mama. Apa ia ketahuan? Apa sandiwaranya soal hubungannya bersama Carla sudah diketahui mamanya? Meski terbesit pertanyaan seperti itu dalam benak Liam, tapi ia berusaha menyangkal. Nggak mungkin! Mamanya nggak mungkin tahu, karena akting Liam dan Carla tadi cukup meyakinkan. Mustahil mamanya tahu."Mama tenang saja, Liam serius kok sama Carla. Liam benar-benar mencintainya. Bagi Liam, Carla itu begitu spesial, sama seperti Mama yang juga spesial buat Liam." Kata-kata mujarab untuk meluluhkan hati mamanya supaya berhenti menginterogasi Liam."Benarkah?" Tapi sepertinya kali ini Liam salah langkah. "Kalau begitu secepatnya kalian harus meresmikan hubungan kalian ke tahap yang lebih serius. Gimana kalau Bertunangan?"Oh shit!"Ya?" Liam syok mendengar usulan mamanya. Bertunangan? Yang benar saja!"Ya, sebaiknya kalian cepet-cepet bertunangan. Mama akan bicarakan ini sama papa dan kakek kamu. Pasti mereka setuju." Mamanya tampak antusias sekali. Berbanding terbalik dengan wajah Liam yang berubah pucat pasi.Sial! Lagi-lagi ucapannya jadi boomerang untuknya.Operasi pengangkatan tumor otak mama Carla berjalan lancar. Namun, kondisi beliau masih lemah dan harus terbaring di ruangan ICU, bahkan untuk bernafas dibantu ventilator dan Carla hanya bisa memandangi tubuh lemah mamanya dari balik jendela kaca ruang ICU. "Ma." Carla meratapi tubuh ringkih mamanya yang terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Dadanya terasa nyeri melihat satu-satunya orang yang disayang masih belum juga sadarkan diri sejak operasi berakhir dini hari tadi. "Mama cepetan bangun ya, Ma. Jangan tinggalin Carla sendirian, Carla nggak siap," lirih Carla, perasaannya makin tidak karuan. Terlebih ketika bayangan masa lalu kembali mengingatkannya akan sakitnya kehilangan sosok yang paling disayang. Ya, Carla pernah berada di posisi itu. Momen di mana dirinya sampai terpuruk karena harus menghadapi kenyataan bahwa papanya meninggalkannya untuk selamanya karena kecelakaan. Tidak hanya itu, sepeninggalan papanya merubah drastis kehidupan Carla dan mamanya, membuat ia maki
Carla duduk gelisah, meremas jemari tangannya yang basah berkeringat dingin. Jantungnya berdetak di luar kendali, matanya berkali-kali melirik ke sana-sini mencari pengalihan dari seseorang yang tengah menatap intens dirinya. Mati aku! Dalam hati Carla berkali-kali merutuk. Ia tidak habis pikir akan terjebak dalam kondisi serumit ini. Kalau semalam ia masih tahan banting hanya dicecar pertanyaan wartawan, tapi sekarang? Mana bisa tahan banting kalau yang mencecar calon mertua ... ralat calon mertua pura-pura. "Carla."Carla berharap waktu cepat berlalu, atau setidaknya ia memiliki jurus menghilang dalam sekejap mata. Jujur ia tidak nyaman duduk berhadapan dengan istri CEO perusahaan, rasanya ia akan gila menanggapi berbagai pertanyaan yang dilemparkan oleh wanita itu. Karena ia sendiri bingung harus menjawab apa, atas pertanyaan yang mungkin akan dilayangkan terhadapnya. Kalau saja kemarin Liam memberikan pengarahan terlebih dahulu, mungkin dirinya tidak akan kesulitan menghadapi si
Liam berdiri di depan lobi, berulang kali melirik pada jam tangannya. Sudah hampir setengah jam ia menunggu, tapi orang yang dinanti tidak kunjung muncul. Hal itu membuat kekesalannya kian bertumpuk di dalam dada sampai ke ubun-ubun. Liam berdecak, tak bisa mentolerir lebih lama lagi. Batas kesabarannya sudah habis untuk menunggu Carla, yang entah bagaimana ceritanya bisa bersama dengan mamanya saat ini. Kalau bukan karena mamanya juga, Liam tak akan sudi menunggu begini, mungkin juga ia akan langsung memecat Carla saat di telepon tadi. "Itu mobil Nyonya Willona, Pak." Suara Putra dari samping menginterupsi Liam, menarik pandangannya menuju arah yang dimaksud Putra. Liam mendengkus pelan ketika mobil milik mamanya berhenti tepat di depannya. Lalu kaca jendela belakang turun ke bawah, menampilkan sosok mamanya yang menyunggingkan senyuman lebar."Maaf ya Liam, mama pinjem Carla bentar buat nemenin sarapan," ucap Willona, tanpa menunjukkan rasa bersalah sedikit pun.Sebentar? Rasanya
Kesepian di keramaian. Mungkin itu definisi yang tepat untuk Carla sekarang. Duduk sendiri menikmati minuman bewarna merah menyala dengan rasa manis yang membekas di lidahnya. Ditemani hingar bingar musik fun yang malah terdengar membosankan di telinganya. Tatapan Carla beralih dari gelas di tangannya menuju ke arah pelaminan, memperhatikan sejenak wajah cantik mempelai wanita dengan gaun putih bagaikan princess disney. Menakjubkan!Membayangkan betapa megahnya pesta pernikahan yang diadakan di salah satu ballroom hotel ternama di kota metropolitan. Dari dekorasi sampai makanan dan pengiring musik, Carla sudah bisa menebak budget yang dikeluarkan pasti gila-gilaan dan perempuan miskin sepertinya hanya bisa bermimpi untuk pesta pernikahan semewah ini. Ngomong-ngomong soal pesta pernikahan, sejujurnya Carla tidak mengenal siapa yang menikah. Semua orang yang ada di ruangan besar ini tampak asing baginya, bahkan ia merasa kecil di antara para tamu undangan dengan dandanan glamor ala so
Mobil Range Rover warna hitam mengkilap memasuki pelataran gedung PT. Atmajaya Karya Husada. Perusahaan yang bergerak di bidang kontruksi dan merupakan anak cabang dari perusahaan Atmajaya Group. Mobil itu berhenti di depan lobi, menarik atensi setiap mata yang memandang ketika beberapa orang berpakaian formal berjejer di depan lobi utama. Pria berpakaian serba hitam segera memosisikan diri di depan pintu penumpang, membukakan pintu untuk orang penting di perusahaan Atamjaya Karya Husada atau biasa disebut AKH. "Selamat pagi Pak," sapa pria itu dengan sopan, membungkukkan sedikit badannya sebagai penghormatan pada atasannya."Pagi," balas pria yang keluar dari mobil, ekspresinya datar. Namun, sorot matanya begitu tegas, menatap lurus ke depan seiring dengan langkah kakinya. Ia tampak berkharisma.Pria berstelan jas rapi yang membalut tubuh atletis, dipadu dengan wajah tampan, berahang tegas, hidung mancung, alis tebal dan kaca mata hitam bertengger di atas hidung menutup mata beriri
"Kamu dipecat!"Mata Carla berkedut ketika mendengar suara lantang bosnya. Seminggu, memang waktu yang singkat untuk mengenali kepribadian bosnya. Tapi dalam seminggu Carla sudah hapal kebiasaan bosnya yang sering memakai nada tinggi dan tegas. Seperti saat ini, harusnya Carla sudah terbiasa, lagipula ini bukan yang pertama kalinya ia kena semprot bosnya yang super galak itu, tapi hampir setiap hari atau bahkan setiap waktu ia kena omel atasannya. Namun, hari ini berbeda, Carla bukan hanya kena omel, tapi juga nyaris kena serangan jantung karena ucapan lantang yang bosnya lontarkan. Dipecat! Carla tidak menyangka jika dirinya akan menjadi korban kebiadaban seorang Liam seperti pegawai-pegawai sebelumnya yang juga dipecat tanpa diberi kesempatan untuk menjelaskan. Enggak! Aku nggak boleh dipecat! Aku nggak boleh jadi pengangguran lagi! Carla menjerit frustrasi dalam benaknya, memikirkan nasib ke depannya jika ia sampai benar-benar kehilangan pekerjaan ini. Meskipun ia tahu kesalahann
Carla duduk tertunduk seraya meremas-remas jemari tangannya yang basah berkeringat. Di hadapannya duduk Liam dan mamanya yang sedari tadi melemparkan sorot menyelidik kepadanya. Entah pikiran macam apa yang bercokol di dalam kepala wanita paruh baya itu, setelah pengakuan konyol sepihak yang dilakukan oleh bosnya dan yang pasti Carla tahu kalau sesuatu yang sangat buruk akan menimpa dirinya setelah ini."Dia yang duluan mencium Liam. Padahal Liam sudah bilang buat nggak cium-cium di tempat sembarangan. Harusnya kamu bisa lebih menahan diri lagi, Carla. Lihatlah, gara-gara ketidaksabaran kamu, kita jadi ketahuan, kan."Jantung Carla rasanya seolah akan berhenti berdetak ketika mengingat kembali fitnah keji macam apa yang dilayangkan bosnya kepada dirinya. Mencium? Yang benar saja! Seumur hidup, bahkan Carla belum pernah berciuman, apalagi sampai nekad mencium atasannya sendiri. Itu sangat tidak masuk akal, harusnya nyonya Willona tidak mempercayai omong kosong itu, tapi sepertinya wani
"Jadi dia calon istri kamu?""Hubungan kami memang lebih dari sekedar atasan dan karyawan, kami diam-diam berkencan di luar kantor. Tapi untuk menikah, kayaknya masih terlalu dini.""Banyak alasan, kalau kamu cuma mau main-main, jangan sia-siakan waktu orang lain. Lebih baik kamu akhiri hubungan kalian, kakek kasihan sama wanita ini, harusnya dia mencari pasangan yang akan membawanya ke pelaminan, bukan hanya dijadikan kedok semata!""Kakek tenang saja, waktu yang Carla habiskan bersamaku tak akan jadi sia-sia. Lagipula bukannya aku tak mau serius sama Carla, aku hanya tak mau terburu-buru menikah. Hubungan kami juga baru dimulai secara resmi, jadi tolong beri kami waktu.""Satu bulan! Kalau satu bulan kamu masih tidak mau menikahinya, lebih baik kamu lepaskan dia. Biarkan dia bebas menentukan jodohnya sendiri. Jangan kamu tahan tanpa punya harapan akan masa depan! Baik kakek ataupun papa kamu, tidak ada yang mempermainkan wanita. Jadi jangan rusak tradisi keluarga kalau kamu hanya in
Kesepian di keramaian. Mungkin itu definisi yang tepat untuk Carla sekarang. Duduk sendiri menikmati minuman bewarna merah menyala dengan rasa manis yang membekas di lidahnya. Ditemani hingar bingar musik fun yang malah terdengar membosankan di telinganya. Tatapan Carla beralih dari gelas di tangannya menuju ke arah pelaminan, memperhatikan sejenak wajah cantik mempelai wanita dengan gaun putih bagaikan princess disney. Menakjubkan!Membayangkan betapa megahnya pesta pernikahan yang diadakan di salah satu ballroom hotel ternama di kota metropolitan. Dari dekorasi sampai makanan dan pengiring musik, Carla sudah bisa menebak budget yang dikeluarkan pasti gila-gilaan dan perempuan miskin sepertinya hanya bisa bermimpi untuk pesta pernikahan semewah ini. Ngomong-ngomong soal pesta pernikahan, sejujurnya Carla tidak mengenal siapa yang menikah. Semua orang yang ada di ruangan besar ini tampak asing baginya, bahkan ia merasa kecil di antara para tamu undangan dengan dandanan glamor ala so
Liam berdiri di depan lobi, berulang kali melirik pada jam tangannya. Sudah hampir setengah jam ia menunggu, tapi orang yang dinanti tidak kunjung muncul. Hal itu membuat kekesalannya kian bertumpuk di dalam dada sampai ke ubun-ubun. Liam berdecak, tak bisa mentolerir lebih lama lagi. Batas kesabarannya sudah habis untuk menunggu Carla, yang entah bagaimana ceritanya bisa bersama dengan mamanya saat ini. Kalau bukan karena mamanya juga, Liam tak akan sudi menunggu begini, mungkin juga ia akan langsung memecat Carla saat di telepon tadi. "Itu mobil Nyonya Willona, Pak." Suara Putra dari samping menginterupsi Liam, menarik pandangannya menuju arah yang dimaksud Putra. Liam mendengkus pelan ketika mobil milik mamanya berhenti tepat di depannya. Lalu kaca jendela belakang turun ke bawah, menampilkan sosok mamanya yang menyunggingkan senyuman lebar."Maaf ya Liam, mama pinjem Carla bentar buat nemenin sarapan," ucap Willona, tanpa menunjukkan rasa bersalah sedikit pun.Sebentar? Rasanya
Carla duduk gelisah, meremas jemari tangannya yang basah berkeringat dingin. Jantungnya berdetak di luar kendali, matanya berkali-kali melirik ke sana-sini mencari pengalihan dari seseorang yang tengah menatap intens dirinya. Mati aku! Dalam hati Carla berkali-kali merutuk. Ia tidak habis pikir akan terjebak dalam kondisi serumit ini. Kalau semalam ia masih tahan banting hanya dicecar pertanyaan wartawan, tapi sekarang? Mana bisa tahan banting kalau yang mencecar calon mertua ... ralat calon mertua pura-pura. "Carla."Carla berharap waktu cepat berlalu, atau setidaknya ia memiliki jurus menghilang dalam sekejap mata. Jujur ia tidak nyaman duduk berhadapan dengan istri CEO perusahaan, rasanya ia akan gila menanggapi berbagai pertanyaan yang dilemparkan oleh wanita itu. Karena ia sendiri bingung harus menjawab apa, atas pertanyaan yang mungkin akan dilayangkan terhadapnya. Kalau saja kemarin Liam memberikan pengarahan terlebih dahulu, mungkin dirinya tidak akan kesulitan menghadapi si
Operasi pengangkatan tumor otak mama Carla berjalan lancar. Namun, kondisi beliau masih lemah dan harus terbaring di ruangan ICU, bahkan untuk bernafas dibantu ventilator dan Carla hanya bisa memandangi tubuh lemah mamanya dari balik jendela kaca ruang ICU. "Ma." Carla meratapi tubuh ringkih mamanya yang terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Dadanya terasa nyeri melihat satu-satunya orang yang disayang masih belum juga sadarkan diri sejak operasi berakhir dini hari tadi. "Mama cepetan bangun ya, Ma. Jangan tinggalin Carla sendirian, Carla nggak siap," lirih Carla, perasaannya makin tidak karuan. Terlebih ketika bayangan masa lalu kembali mengingatkannya akan sakitnya kehilangan sosok yang paling disayang. Ya, Carla pernah berada di posisi itu. Momen di mana dirinya sampai terpuruk karena harus menghadapi kenyataan bahwa papanya meninggalkannya untuk selamanya karena kecelakaan. Tidak hanya itu, sepeninggalan papanya merubah drastis kehidupan Carla dan mamanya, membuat ia maki
"Hei!" Andita Salim memekik, ketika ia hampir saja tersungkur ke lantai setelah Liam mendorongnya dengan kasar. "Apa kamu tak bisa bersikap lembut dengan wanita?" protesnya, menatap Liam sepenuhnya. Liam berdecih, ekspresinya seakan menjelaskan satu jawaban atas pertanyaan Andita barusan. Tidak! Tentu saja tidak! Memangnya siapa juga yang menganggap Andita sebagai wanita yang harus diperlakukan dengan lembut? Pasalnya di mata Liam sendiri, Andita hanyalah medusa licik yang sangat ingin ia singkirkan dari hidupnya. "Apa yang kau lakukan di sini?" Liam enggan berbasa-basi. "Sebaiknya kau pergi sekarang dan berhenti membuat drama! Dan satu hal yang perlu kamu tahu, saya tidak sudi terlibat skandal apa pun denganmu! Jadi berhenti untuk menyeret nama saya dalam rumor murahan yang kamu ciptakan!""Rumor?" Meski wajah Liam terlihat tidak bersahabat dan terkesan mengintimidasi, nyatanya itu sama sekali tidak membuat Andita gentar. Malah dengan berani Andita mendekat ke hadapan Liam, menepis
"Liam, kamu di mana sekarang?" Suara nyaring sang mama memenuhi seisi mobil, ketika panggilan itu Liam loud speaker karena dirinya harus fokus mengemudi. "Jawab Liam, di mana kamu sekarang? Bisa-bisanya kamu kabur setelah membuat keributan?"Keributan? Liam memutar bola mata malas. Ia tidak merasa membuat keributan, malah dirinya baru saja membuat pertunjukan spektakuler. Ya, walaupun pertunjukan dadakan itu di luar skenarionya. Seandainya saja wanita licik bernama Andita Salim itu tidak memprovokasi dirinya dengan menyulut percikan api lebih dulu, maka Liam tidak akan menyiramkan bensin lebih banyak. Tentu saja pertunjukan itu tidak akan pernah terjadi, pertunjukan yang sekarang sukses jadi headline berita di mana-mana. "Liam!" Suara sang mama kian melengking, deru napasnya terdengar memburu menunjukkan betapa emosinya beliau saat ini. "Kamu dengar mama nggak sih?"Liam menghela napas kasar, lalu menjawab, "Lagi di jalan, Ma. Bentar lagi Liam ke situ.""Kamu sudah antar Carla pulang
"Kondisi pasien kian memburuk. Pasien tidak bisa menunggu lebih lama lagi untuk melakukan tindakan operasi pengangkatan tumor. Kita harus sesegera mungkin melakukan operasinya."Ucapan dokter beberapa saat lalu masih terngiang-ngiang jelas di pikiran Carla. Bagaimana dokter menjelaskan kondisi ibunya yang sempat mengalami penurunan kesadaran, efek dari penyakit yang dideritanya. Kanker otak stadium II! Tidak pernah Carla bayangkan sang mama akan mengidap penyakit ganas mematikan tersebut. Dua minggu sebelumnya ia membawa mamanya ke rumah sakit karena mengeluh sakit kepala yang tidak sembuh-sembuh dan terakhir kali beliau juga sempat mengalami penurunan kesadaran. Saat itulah Carla baru mengetahui bahwa mamanya mengidap kanker otak stadium II dan dokter menyarankan agar segera dilakukan operasi pengangkatan tumor. Namun, waktu itu Carla terkendala biaya. Tabungannya hanya cukup untuk membayar biaya rawat inap dan pemeriksaan awal. Sedangkan untuk operasi pengangkatan tumor membutuhk
"Jadi dia calon istri kamu?""Hubungan kami memang lebih dari sekedar atasan dan karyawan, kami diam-diam berkencan di luar kantor. Tapi untuk menikah, kayaknya masih terlalu dini.""Banyak alasan, kalau kamu cuma mau main-main, jangan sia-siakan waktu orang lain. Lebih baik kamu akhiri hubungan kalian, kakek kasihan sama wanita ini, harusnya dia mencari pasangan yang akan membawanya ke pelaminan, bukan hanya dijadikan kedok semata!""Kakek tenang saja, waktu yang Carla habiskan bersamaku tak akan jadi sia-sia. Lagipula bukannya aku tak mau serius sama Carla, aku hanya tak mau terburu-buru menikah. Hubungan kami juga baru dimulai secara resmi, jadi tolong beri kami waktu.""Satu bulan! Kalau satu bulan kamu masih tidak mau menikahinya, lebih baik kamu lepaskan dia. Biarkan dia bebas menentukan jodohnya sendiri. Jangan kamu tahan tanpa punya harapan akan masa depan! Baik kakek ataupun papa kamu, tidak ada yang mempermainkan wanita. Jadi jangan rusak tradisi keluarga kalau kamu hanya in
Carla duduk tertunduk seraya meremas-remas jemari tangannya yang basah berkeringat. Di hadapannya duduk Liam dan mamanya yang sedari tadi melemparkan sorot menyelidik kepadanya. Entah pikiran macam apa yang bercokol di dalam kepala wanita paruh baya itu, setelah pengakuan konyol sepihak yang dilakukan oleh bosnya dan yang pasti Carla tahu kalau sesuatu yang sangat buruk akan menimpa dirinya setelah ini."Dia yang duluan mencium Liam. Padahal Liam sudah bilang buat nggak cium-cium di tempat sembarangan. Harusnya kamu bisa lebih menahan diri lagi, Carla. Lihatlah, gara-gara ketidaksabaran kamu, kita jadi ketahuan, kan."Jantung Carla rasanya seolah akan berhenti berdetak ketika mengingat kembali fitnah keji macam apa yang dilayangkan bosnya kepada dirinya. Mencium? Yang benar saja! Seumur hidup, bahkan Carla belum pernah berciuman, apalagi sampai nekad mencium atasannya sendiri. Itu sangat tidak masuk akal, harusnya nyonya Willona tidak mempercayai omong kosong itu, tapi sepertinya wani