"Kondisi pasien kian memburuk. Pasien tidak bisa menunggu lebih lama lagi untuk melakukan tindakan operasi pengangkatan tumor. Kita harus sesegera mungkin melakukan operasinya."
Ucapan dokter beberapa saat lalu masih terngiang-ngiang jelas di pikiran Carla. Bagaimana dokter menjelaskan kondisi ibunya yang sempat mengalami penurunan kesadaran, efek dari penyakit yang dideritanya.Kanker otak stadium II!Tidak pernah Carla bayangkan sang mama akan mengidap penyakit ganas mematikan tersebut. Dua minggu sebelumnya ia membawa mamanya ke rumah sakit karena mengeluh sakit kepala yang tidak sembuh-sembuh dan terakhir kali beliau juga sempat mengalami penurunan kesadaran. Saat itulah Carla baru mengetahui bahwa mamanya mengidap kanker otak stadium II dan dokter menyarankan agar segera dilakukan operasi pengangkatan tumor.Namun, waktu itu Carla terkendala biaya. Tabungannya hanya cukup untuk membayar biaya rawat inap dan pemeriksaan awal. Sedangkan untuk operasi pengangkatan tumor membutuhkan biaya sekitar lima puluh juta. Tapi sekarang dokter mendesak agar segera dilakukan operasi tersebut karena kondisi mamanya yang kian mengkhawatirkan. Bahkan hari ini mamanya beberapa kali mengalami penurunan kesadaran.Carla dilema, menatap hampa kertas persetujuan yang harus ditandatanganinya. Ia berdiri kaku di depan tempat pelayanan adminitrasi rumah sakit. Dari mana uang lima puluh juta bisa Carla dapatkan malam ini juga. Haruskah ia jual diri? Opsi yang selalu Carla hindari meski keadaan begitu mendesak. Tapi uang sebegitu banyaknya dari mana bisa ia dapatkan dengan cepat.Kasbon perusahaan?Yang benar saja! Meski pemikiran itu sempat jadi solusi, tapi ketika teringat bagaimana ia dengan lantang bicara pada atasannya bahwa ia tidak keberatan jika harus dipecat. Benar-benar bagus Carla, ia baru saja mematahkan satu-satunya harapan."Maaf Bu, pasien harus segera ditangani, bisa ditandatangani dokumen persetujuannya?" Suara petugas adminitrasi menginterupsi Carla dari lamunannya."Ah iya." Carla menghalau air mata yang nyaris saja jatuh membasahi pipi. Di saat seperti ini ia tidak boleh cengeng, ia harus kuat, seperti janjinya beberapa tahun silam pada mendiang papa. Carla berjanji akan merawat mamanya dengan baik, jadi hari ini ia akan membuktikan bahwa dirinya mampu. "Maaf," Carla tidak punya ide lain, selain berterus terang dan meminta keringanan pada pihak rumah sakit, "apa biayanya bisa menyusul? Bisa saya cicil dulu?" Ini sangat memalukan, tapi Carla tidak punya pilihan lain selain melakukan ini demi mamanya yang membutuhkan penanganan secepatnya. "Saya janji, saya akan usahakan secepatnya, besok, saya akan bayarkan uangnya besok," ucap Carla, tanpa tahu uang dari mana yang akan ia pakai untuk membayar.Bisa bobol bank, ngerampok, atau jual organ dalamnya. Itu masalah nanti, yang penting mamanya bisa dioperasi terlebih dahulu. Karena satu-satunya harta paling beharga yang Carla punya tinggal mamanya, ia tidak mau mamanya sampai meninggalkannya sendiri di dunia yang begitu kejam ini. Carla rela kesusahan setiap hari, asal ia masih punya tumpuan hidup yaitu mamanya. Satu-satunya orang yang jadi alasan Carla bertahan sampai sejauh ini."Tolong saya, mama saya harus segera ditangani, saya janji, saya akan bayarkan secepatnya." Carla memohon, ia bahkan rela kalau harus mengemis asalkan ia dapat keringanan untuk pembayaran biaya operasi."Untuk biaya operasi sudah dibayarkan, bahkan untuk perawatan selanjutnya juga sudah ada penjaminnya. Jadi Ibu tidak perlu khawatir untuk masalah biayanya, Ibu hanya perlu tanda tangani surat persetujuannya agar operasi bisa segera dilakukan.""Ya?" Bagai mendapat serangan fajar, Carla melongo sesaat. Ia sedang tidak bermimpi 'kan? Ini bukan khayalannya semata, 'kan? Ini benar-benar nyata?Rasanya Carla tidak bisa percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Bagai mendapatkan jackpot tidak terduga, ada orang yang begitu dermawan sampai membayarkan biaya operasi mamanya, bahkan sampai jadi penjamin segala. Ini benar-benar seperti mimpi, memangnya apa benar ada orang sebaik itu? Tapi siapa?"Maaf, kalau boleh tahu siapa orangnya ya?" Carla penasaran akan sosok baik hati yang sudah menanggung semua biaya operasi mamanya. Padahal itu bukan uang yang sedikit, lima puluh juta setara dengan gajinya selama sepuluh bulan."Orang yang tadi bersama Ibu, katanya beliau keluarga Ibu makanya semua biaya ditanggung olehnya." Mendengar jawaban petugas administrasi, pikiran Carla langsung tertuju pada bosnya."Pak Liam?" Nggak mungkin! Carla ingin menyangkalnya, tapi satu-satunya orang yang datang bersamanya cuma laki-laki itu. "Sekarang orangnya di mana ya, Bu?" tanya Carla, ingin segera menemui bosnya untuk klarifikasi."Baru saja pergi," kata petugas yang langsung menghentikan Carla saat ia bergegas akan pergi menyusul bosnya. "Maaf Ibu, tolong tanda tangani lebih dulu dokumen persetujuannya, supaya pasien bisa langsung ditindak.""Oh, iya." Carla nyaris saja lupa. Bagaimana ia bisa sebodoh itu, padahal prioritasnya ialah sang mama yang harus segera dioperasi. "Ini," Carla menyerahkan map berisi lembar persetujuan wali pasien yang sudah ditandatanganinya, "terima kasih." Setelah itu bergegas pergi, berharap masih bisa mengejar bosnya yang keberadaannya saat ini tidak diketahuinya.Tempat yang pertama Carla datangi adalah parkiran valet yang ada di pelataran depan rumah sakit. Di mana tadi mobil bosnya terparkir, ia harus memastikan apakah bosnya masih berada di area rumah sakit atau sudah pergi. Sebenarnya Carla bisa saja menelepon bosnya, tapi sialnya ponsel Carla kehabisan baterai karena lupa seharian ini tidak diisi daya.Beruntung mobil bosnya masih terparkir di tempat semula, Carla bisa bernapas lega. Terlebih saat mendapati bosnya sedang memainkan ponsel di dekat pintu mobil bagian kemudi. Carla pun segera menghampirinya. "Pak Liam."Suara Carla menarik atensi Liam, mengalihkan pandangannya ketika Carla tiba di hadapannya. Wanita itu tampak kelelahan setelah berlarian dengan gaun dan high heels yang menyusahkannya untuk melangkah lebar. Keringat bercucuran dari dahi, meski sama sekali tidak merusak riasan wajah Carla, hanya saja matanya yang agak sembab. Kemungkinan karena tadi Carla sempat menangis saat tahu mamanya mengalami penurunan kesadaran dan harus segera dioperasi."Pak Liam, saya boleh tanya sesuatu?" Carla meminta izin untuk bertanya, bagaimanapun ia harus berlaku sopan pada atasannya meski ini di luar jam kerja dan bukan di kantor.Liam hanya memberikan anggukan, tapi matanya tidak berhenti memindai Carla dari atas sampai bawah. Seolah mata tajam nan tegas seperti mata elang itu sedang menilai Carla secara keseluruhan. Bisa jadi ada dari bagian tubuh Carla yang bisa dijadikan pengganti untuk uang yang sudah dibayarkan buat operasi. Pemikiran Carla yang tidak berdasar, padahal jelas bukan itu yang sedang Liam lakukan. Laki-laki itu hanya ingin memastikan kondisi Carla baik-baik saja."Apa benar, Pak Liam yang membayarkan uang operasi mama saya?" tanya Carla hati-hati, takut Liam akan tersinggung dan langsung menagih balik uang yang baru saja dibayarkan. Bisa gawat kalau hal itu terjadi, karena saat ini Carla tidak punya uang sebanyak itu. Buat makan saja pas-pasan, belum bayar kontrakan juga bulan ini. Benar-benar hidup yang menyedihkan!Liam mengangguk, tidak menyangkalnya. Carla pikir Liam akan sedikit berbelit dengan enggan mengakuinya, tapi ternyata laki-laki itu dengan santai mengiyakan. Namun, Carla tetap harus bersyukur, jika bukan karena bosnya, mungkin mamanya tidak akan bisa dioperasi."Terima kasih banyak Pak Liam, terima kasih sudah membantu biaya operasi mama saya. Saya berhutang banyak sama Pak Liam, tapi Pak Liam nggak usah khawatir karena saya pasti akan bayar utang saya, secepatnya. Tapi kalau bisa dicicil ya Pak." Carla meringis ketika matanya beradu pandang dengan mata Liam yang tampak memandangnya datar. "Atau Pak Liam bisa langsung potong sebagian gaji saya yang nggak seberapa itu," gumam Carla, sejujurnya tidak rela karena gajinya sudah kecil masih harus kena potong bayar utang segala. "Tapi jangan banyak-banyak ya Pak, soalnya saya tetap harus membiayai diri saya dan mama saya juga." Carla berharap maklum sebanyak-banyaknya dari atasannya itu. Walau rasanya itu seperti mustahil."Bukannya kamu mau berhenti kerja?" Ucapan Liam menyadarkan Carla pada ucapannya sendiri beberapa waktu lalu ketika mereka di perjalanan pulang. Di mana Carla dengan yakin minta berhenti dari sandiwara yang dibuat Liam, bahkan ia tidak takut jika harus dipecat dan malah dengan berani meminta pesangon segala sama Liam. Lalu sekarang dengan tidak tahu malu bilang seolah-olah ia masih akan terus bekerja di perusahaan Liam. "Apa kamu berubah pikiran?""Enggak!" seru Carla, spontanitas. Lalu menyesalinya dan buru-buru meralat ucapannya. "Maksud saya ...," Tapi ia kebingungan harus bilang apa sebagai alasan untuk meralat ucapannya tadi di mobil, ia berpikir keras sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal, "em ... saya tidak benar-benar ingin berhenti kerja sebenarnya. Saya ....""Kamu nggak mau berhenti bekerja maksudnya?" ulang Liam, mempertegas ucapan Carla barusan."Iya!" Carla dengan tegas mengiyakan, lalu memelas. "Saya mohon, kasih kesempatan saya sekali lagi buat bekerja di perusahaan Pak Liam. Saya janji, saya bakal bekerja dengan rajin dan giat, saya juga nggak bakal telat lagi. Suer!" Dengan ekspresi memelas, Carla menunjukkan dua jari kepada Liam, tanda ia bersungguh-sungguh atas ucapannya.Liam mendengkus pelan, mana percaya dengan ucapan Carla. "Sayangnya saya sudah tidak percaya dengan janji kamu itu.""Saya mohon Pak Liam." Carla memohon, refleks meraih kedua tangan Liam dan menggenggamnya erat. "Tolong kasihani saya, saya benar-benar butuh pekerjaan ini. Kalau saya jadi pengangguran bagaimana nasib saya dan mama saya. Apalagi mama saya masih memerlukan banyak biaya buat pemulihan, saya juga perlu bayar hutang sama Pak Liam."Sebenarnya Liam cukup iba dengan kondisi Carla yang harus menjadi tulang punggung keluarga, ditambah keadaan mamanya yang membutuhkan banyak biaya. Hal itu menggugah hati nuraninya, makanya tadi ia tanpa pikir panjang membayarkan biaya operasi mamanya Carla karena yakin kalau Carla tidak punya uang sebanyak itu dan prediksinya benar. "Sebenarnya saya bisa saja kasih kamu kesempatan, asalā""Asal apa Pak?" sergah Carla, rela melakukan apa saja asal ia tidak dipecat. Berbanding terbalik dengan tadi saat ia dengan lantang tidak takut dipecat. "Saya akan lakukan apa saja, asalkan ...." Carla seketika terdiam ketika teringat akan sandiwara yang dibuat bosnya. Jangan bilang si bos mau ia tetap meneruskan sandiwara itu?Seolah bisa membaca pikiran Carla, Liam tersenyum miring. "Sepertinya kamu sudah tahu." Dan tebakannya benar, kalau pikiran mereka sama. "Ya, asal kamu tetap mau bersandiwara jadi pasangan pura-pura saya. Saya akan memberikanmu kesempatan terakhir.""Tapi Pak." Carla protes, tetap tidak ingin melanjutkan. Sayangnya ia dibuat tidak berdaya oleh ucapan Liam selanjutnya."Sayang kamu nggak punya pilihan. Uang yang tadi saya bayarkan buat biaya operasi mama kamu, itu adalah jaminannya. Jaminan kalau kamu akan tetap melanjutkan sandiwara kita dan kamu boleh berhenti kapan saja asal kamu bisa membayarkan kembali uang jaminannya. Saya kasih waktu sampai besok, kalau sampai besok kamu nggak bisa balikin uangnya, maka kamu mau tidak mau harus melanjutkan sandiwara kita seterusnya."Mata Carla berkedut, tangannya mengepal erat. Liam benar-benar menyudutkannya, ia memang tidak punya pilihan lain karena mustahil ia bisa dapat uang sebanyak itu sampai besok. Bahkan jika ia nekat jual diri atau jual organ dalamnya, Carla tidak yakin akan laku mahal. Bagaimana jika ternyata tidak mencukupi untuk bayar utang pada bosnya? Carla frustrasi, sampai akhirnya ia pun terpaksa memutuskan dengan berat hati. "Baiklah," lirih Carla, suaranya melemah. "Saya akan melanjutkan sandiwara kita, tapi saya mau ada perjanjian di atas materai juga ada syarat-syarat yang harus Pak Liam penuhi."Liam tersenyum menang. "It's okay," Tidak masalah dengan syarat yang diminta Carla, "kita bisa bicarakan ini besok. Kalau begitu saya pulang dulu." Liam pun pamit undur diri meninggalkan Carla yang tertunduk lesu sambil menggerutu, menyumpah serapah Liam habis-habisan."Dasar bos berengsek!""Liam, kamu di mana sekarang?" Suara nyaring sang mama memenuhi seisi mobil, ketika panggilan itu Liam loud speaker karena dirinya harus fokus mengemudi. "Jawab Liam, di mana kamu sekarang? Bisa-bisanya kamu kabur setelah membuat keributan?"Keributan? Liam memutar bola mata malas. Ia tidak merasa membuat keributan, malah dirinya baru saja membuat pertunjukan spektakuler. Ya, walaupun pertunjukan dadakan itu di luar skenarionya. Seandainya saja wanita licik bernama Andita Salim itu tidak memprovokasi dirinya dengan menyulut percikan api lebih dulu, maka Liam tidak akan menyiramkan bensin lebih banyak. Tentu saja pertunjukan itu tidak akan pernah terjadi, pertunjukan yang sekarang sukses jadi headline berita di mana-mana. "Liam!" Suara sang mama kian melengking, deru napasnya terdengar memburu menunjukkan betapa emosinya beliau saat ini. "Kamu dengar mama nggak sih?"Liam menghela napas kasar, lalu menjawab, "Lagi di jalan, Ma. Bentar lagi Liam ke situ.""Kamu sudah antar Carla pulang
"Hei!" Andita Salim memekik, ketika ia hampir saja tersungkur ke lantai setelah Liam mendorongnya dengan kasar. "Apa kamu tak bisa bersikap lembut dengan wanita?" protesnya, menatap Liam sepenuhnya. Liam berdecih, ekspresinya seakan menjelaskan satu jawaban atas pertanyaan Andita barusan. Tidak! Tentu saja tidak! Memangnya siapa juga yang menganggap Andita sebagai wanita yang harus diperlakukan dengan lembut? Pasalnya di mata Liam sendiri, Andita hanyalah medusa licik yang sangat ingin ia singkirkan dari hidupnya. "Apa yang kau lakukan di sini?" Liam enggan berbasa-basi. "Sebaiknya kau pergi sekarang dan berhenti membuat drama! Dan satu hal yang perlu kamu tahu, saya tidak sudi terlibat skandal apa pun denganmu! Jadi berhenti untuk menyeret nama saya dalam rumor murahan yang kamu ciptakan!""Rumor?" Meski wajah Liam terlihat tidak bersahabat dan terkesan mengintimidasi, nyatanya itu sama sekali tidak membuat Andita gentar. Malah dengan berani Andita mendekat ke hadapan Liam, menepis
Operasi pengangkatan tumor otak mama Carla berjalan lancar. Namun, kondisi beliau masih lemah dan harus terbaring di ruangan ICU, bahkan untuk bernafas dibantu ventilator dan Carla hanya bisa memandangi tubuh lemah mamanya dari balik jendela kaca ruang ICU. "Ma." Carla meratapi tubuh ringkih mamanya yang terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Dadanya terasa nyeri melihat satu-satunya orang yang disayang masih belum juga sadarkan diri sejak operasi berakhir dini hari tadi. "Mama cepetan bangun ya, Ma. Jangan tinggalin Carla sendirian, Carla nggak siap," lirih Carla, perasaannya makin tidak karuan. Terlebih ketika bayangan masa lalu kembali mengingatkannya akan sakitnya kehilangan sosok yang paling disayang. Ya, Carla pernah berada di posisi itu. Momen di mana dirinya sampai terpuruk karena harus menghadapi kenyataan bahwa papanya meninggalkannya untuk selamanya karena kecelakaan. Tidak hanya itu, sepeninggalan papanya merubah drastis kehidupan Carla dan mamanya, membuat ia maki
Carla duduk gelisah, meremas jemari tangannya yang basah berkeringat dingin. Jantungnya berdetak di luar kendali, matanya berkali-kali melirik ke sana-sini mencari pengalihan dari seseorang yang tengah menatap intens dirinya. Mati aku! Dalam hati Carla berkali-kali merutuk. Ia tidak habis pikir akan terjebak dalam kondisi serumit ini. Kalau semalam ia masih tahan banting hanya dicecar pertanyaan wartawan, tapi sekarang? Mana bisa tahan banting kalau yang mencecar calon mertua ... ralat calon mertua pura-pura. "Carla."Carla berharap waktu cepat berlalu, atau setidaknya ia memiliki jurus menghilang dalam sekejap mata. Jujur ia tidak nyaman duduk berhadapan dengan istri CEO perusahaan, rasanya ia akan gila menanggapi berbagai pertanyaan yang dilemparkan oleh wanita itu. Karena ia sendiri bingung harus menjawab apa, atas pertanyaan yang mungkin akan dilayangkan terhadapnya. Kalau saja kemarin Liam memberikan pengarahan terlebih dahulu, mungkin dirinya tidak akan kesulitan menghadapi si
Liam berdiri di depan lobi, berulang kali melirik pada jam tangannya. Sudah hampir setengah jam ia menunggu, tapi orang yang dinanti tidak kunjung muncul. Hal itu membuat kekesalannya kian bertumpuk di dalam dada sampai ke ubun-ubun. Liam berdecak, tak bisa mentolerir lebih lama lagi. Batas kesabarannya sudah habis untuk menunggu Carla, yang entah bagaimana ceritanya bisa bersama dengan mamanya saat ini. Kalau bukan karena mamanya juga, Liam tak akan sudi menunggu begini, mungkin juga ia akan langsung memecat Carla saat di telepon tadi. "Itu mobil Nyonya Willona, Pak." Suara Putra dari samping menginterupsi Liam, menarik pandangannya menuju arah yang dimaksud Putra. Liam mendengkus pelan ketika mobil milik mamanya berhenti tepat di depannya. Lalu kaca jendela belakang turun ke bawah, menampilkan sosok mamanya yang menyunggingkan senyuman lebar."Maaf ya Liam, mama pinjem Carla bentar buat nemenin sarapan," ucap Willona, tanpa menunjukkan rasa bersalah sedikit pun.Sebentar? Rasanya
Kesepian di keramaian. Mungkin itu definisi yang tepat untuk Carla sekarang. Duduk sendiri menikmati minuman bewarna merah menyala dengan rasa manis yang membekas di lidahnya. Ditemani hingar bingar musik fun yang malah terdengar membosankan di telinganya. Tatapan Carla beralih dari gelas di tangannya menuju ke arah pelaminan, memperhatikan sejenak wajah cantik mempelai wanita dengan gaun putih bagaikan princess disney. Menakjubkan!Membayangkan betapa megahnya pesta pernikahan yang diadakan di salah satu ballroom hotel ternama di kota metropolitan. Dari dekorasi sampai makanan dan pengiring musik, Carla sudah bisa menebak budget yang dikeluarkan pasti gila-gilaan dan perempuan miskin sepertinya hanya bisa bermimpi untuk pesta pernikahan semewah ini. Ngomong-ngomong soal pesta pernikahan, sejujurnya Carla tidak mengenal siapa yang menikah. Semua orang yang ada di ruangan besar ini tampak asing baginya, bahkan ia merasa kecil di antara para tamu undangan dengan dandanan glamor ala so
Mobil Range Rover warna hitam mengkilap memasuki pelataran gedung PT. Atmajaya Karya Husada. Perusahaan yang bergerak di bidang kontruksi dan merupakan anak cabang dari perusahaan Atmajaya Group. Mobil itu berhenti di depan lobi, menarik atensi setiap mata yang memandang ketika beberapa orang berpakaian formal berjejer di depan lobi utama. Pria berpakaian serba hitam segera memosisikan diri di depan pintu penumpang, membukakan pintu untuk orang penting di perusahaan Atamjaya Karya Husada atau biasa disebut AKH. "Selamat pagi Pak," sapa pria itu dengan sopan, membungkukkan sedikit badannya sebagai penghormatan pada atasannya."Pagi," balas pria yang keluar dari mobil, ekspresinya datar. Namun, sorot matanya begitu tegas, menatap lurus ke depan seiring dengan langkah kakinya. Ia tampak berkharisma.Pria berstelan jas rapi yang membalut tubuh atletis, dipadu dengan wajah tampan, berahang tegas, hidung mancung, alis tebal dan kaca mata hitam bertengger di atas hidung menutup mata beriri
"Kamu dipecat!"Mata Carla berkedut ketika mendengar suara lantang bosnya. Seminggu, memang waktu yang singkat untuk mengenali kepribadian bosnya. Tapi dalam seminggu Carla sudah hapal kebiasaan bosnya yang sering memakai nada tinggi dan tegas. Seperti saat ini, harusnya Carla sudah terbiasa, lagipula ini bukan yang pertama kalinya ia kena semprot bosnya yang super galak itu, tapi hampir setiap hari atau bahkan setiap waktu ia kena omel atasannya. Namun, hari ini berbeda, Carla bukan hanya kena omel, tapi juga nyaris kena serangan jantung karena ucapan lantang yang bosnya lontarkan. Dipecat! Carla tidak menyangka jika dirinya akan menjadi korban kebiadaban seorang Liam seperti pegawai-pegawai sebelumnya yang juga dipecat tanpa diberi kesempatan untuk menjelaskan. Enggak! Aku nggak boleh dipecat! Aku nggak boleh jadi pengangguran lagi! Carla menjerit frustrasi dalam benaknya, memikirkan nasib ke depannya jika ia sampai benar-benar kehilangan pekerjaan ini. Meskipun ia tahu kesalahann
Kesepian di keramaian. Mungkin itu definisi yang tepat untuk Carla sekarang. Duduk sendiri menikmati minuman bewarna merah menyala dengan rasa manis yang membekas di lidahnya. Ditemani hingar bingar musik fun yang malah terdengar membosankan di telinganya. Tatapan Carla beralih dari gelas di tangannya menuju ke arah pelaminan, memperhatikan sejenak wajah cantik mempelai wanita dengan gaun putih bagaikan princess disney. Menakjubkan!Membayangkan betapa megahnya pesta pernikahan yang diadakan di salah satu ballroom hotel ternama di kota metropolitan. Dari dekorasi sampai makanan dan pengiring musik, Carla sudah bisa menebak budget yang dikeluarkan pasti gila-gilaan dan perempuan miskin sepertinya hanya bisa bermimpi untuk pesta pernikahan semewah ini. Ngomong-ngomong soal pesta pernikahan, sejujurnya Carla tidak mengenal siapa yang menikah. Semua orang yang ada di ruangan besar ini tampak asing baginya, bahkan ia merasa kecil di antara para tamu undangan dengan dandanan glamor ala so
Liam berdiri di depan lobi, berulang kali melirik pada jam tangannya. Sudah hampir setengah jam ia menunggu, tapi orang yang dinanti tidak kunjung muncul. Hal itu membuat kekesalannya kian bertumpuk di dalam dada sampai ke ubun-ubun. Liam berdecak, tak bisa mentolerir lebih lama lagi. Batas kesabarannya sudah habis untuk menunggu Carla, yang entah bagaimana ceritanya bisa bersama dengan mamanya saat ini. Kalau bukan karena mamanya juga, Liam tak akan sudi menunggu begini, mungkin juga ia akan langsung memecat Carla saat di telepon tadi. "Itu mobil Nyonya Willona, Pak." Suara Putra dari samping menginterupsi Liam, menarik pandangannya menuju arah yang dimaksud Putra. Liam mendengkus pelan ketika mobil milik mamanya berhenti tepat di depannya. Lalu kaca jendela belakang turun ke bawah, menampilkan sosok mamanya yang menyunggingkan senyuman lebar."Maaf ya Liam, mama pinjem Carla bentar buat nemenin sarapan," ucap Willona, tanpa menunjukkan rasa bersalah sedikit pun.Sebentar? Rasanya
Carla duduk gelisah, meremas jemari tangannya yang basah berkeringat dingin. Jantungnya berdetak di luar kendali, matanya berkali-kali melirik ke sana-sini mencari pengalihan dari seseorang yang tengah menatap intens dirinya. Mati aku! Dalam hati Carla berkali-kali merutuk. Ia tidak habis pikir akan terjebak dalam kondisi serumit ini. Kalau semalam ia masih tahan banting hanya dicecar pertanyaan wartawan, tapi sekarang? Mana bisa tahan banting kalau yang mencecar calon mertua ... ralat calon mertua pura-pura. "Carla."Carla berharap waktu cepat berlalu, atau setidaknya ia memiliki jurus menghilang dalam sekejap mata. Jujur ia tidak nyaman duduk berhadapan dengan istri CEO perusahaan, rasanya ia akan gila menanggapi berbagai pertanyaan yang dilemparkan oleh wanita itu. Karena ia sendiri bingung harus menjawab apa, atas pertanyaan yang mungkin akan dilayangkan terhadapnya. Kalau saja kemarin Liam memberikan pengarahan terlebih dahulu, mungkin dirinya tidak akan kesulitan menghadapi si
Operasi pengangkatan tumor otak mama Carla berjalan lancar. Namun, kondisi beliau masih lemah dan harus terbaring di ruangan ICU, bahkan untuk bernafas dibantu ventilator dan Carla hanya bisa memandangi tubuh lemah mamanya dari balik jendela kaca ruang ICU. "Ma." Carla meratapi tubuh ringkih mamanya yang terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Dadanya terasa nyeri melihat satu-satunya orang yang disayang masih belum juga sadarkan diri sejak operasi berakhir dini hari tadi. "Mama cepetan bangun ya, Ma. Jangan tinggalin Carla sendirian, Carla nggak siap," lirih Carla, perasaannya makin tidak karuan. Terlebih ketika bayangan masa lalu kembali mengingatkannya akan sakitnya kehilangan sosok yang paling disayang. Ya, Carla pernah berada di posisi itu. Momen di mana dirinya sampai terpuruk karena harus menghadapi kenyataan bahwa papanya meninggalkannya untuk selamanya karena kecelakaan. Tidak hanya itu, sepeninggalan papanya merubah drastis kehidupan Carla dan mamanya, membuat ia maki
"Hei!" Andita Salim memekik, ketika ia hampir saja tersungkur ke lantai setelah Liam mendorongnya dengan kasar. "Apa kamu tak bisa bersikap lembut dengan wanita?" protesnya, menatap Liam sepenuhnya. Liam berdecih, ekspresinya seakan menjelaskan satu jawaban atas pertanyaan Andita barusan. Tidak! Tentu saja tidak! Memangnya siapa juga yang menganggap Andita sebagai wanita yang harus diperlakukan dengan lembut? Pasalnya di mata Liam sendiri, Andita hanyalah medusa licik yang sangat ingin ia singkirkan dari hidupnya. "Apa yang kau lakukan di sini?" Liam enggan berbasa-basi. "Sebaiknya kau pergi sekarang dan berhenti membuat drama! Dan satu hal yang perlu kamu tahu, saya tidak sudi terlibat skandal apa pun denganmu! Jadi berhenti untuk menyeret nama saya dalam rumor murahan yang kamu ciptakan!""Rumor?" Meski wajah Liam terlihat tidak bersahabat dan terkesan mengintimidasi, nyatanya itu sama sekali tidak membuat Andita gentar. Malah dengan berani Andita mendekat ke hadapan Liam, menepis
"Liam, kamu di mana sekarang?" Suara nyaring sang mama memenuhi seisi mobil, ketika panggilan itu Liam loud speaker karena dirinya harus fokus mengemudi. "Jawab Liam, di mana kamu sekarang? Bisa-bisanya kamu kabur setelah membuat keributan?"Keributan? Liam memutar bola mata malas. Ia tidak merasa membuat keributan, malah dirinya baru saja membuat pertunjukan spektakuler. Ya, walaupun pertunjukan dadakan itu di luar skenarionya. Seandainya saja wanita licik bernama Andita Salim itu tidak memprovokasi dirinya dengan menyulut percikan api lebih dulu, maka Liam tidak akan menyiramkan bensin lebih banyak. Tentu saja pertunjukan itu tidak akan pernah terjadi, pertunjukan yang sekarang sukses jadi headline berita di mana-mana. "Liam!" Suara sang mama kian melengking, deru napasnya terdengar memburu menunjukkan betapa emosinya beliau saat ini. "Kamu dengar mama nggak sih?"Liam menghela napas kasar, lalu menjawab, "Lagi di jalan, Ma. Bentar lagi Liam ke situ.""Kamu sudah antar Carla pulang
"Kondisi pasien kian memburuk. Pasien tidak bisa menunggu lebih lama lagi untuk melakukan tindakan operasi pengangkatan tumor. Kita harus sesegera mungkin melakukan operasinya."Ucapan dokter beberapa saat lalu masih terngiang-ngiang jelas di pikiran Carla. Bagaimana dokter menjelaskan kondisi ibunya yang sempat mengalami penurunan kesadaran, efek dari penyakit yang dideritanya. Kanker otak stadium II! Tidak pernah Carla bayangkan sang mama akan mengidap penyakit ganas mematikan tersebut. Dua minggu sebelumnya ia membawa mamanya ke rumah sakit karena mengeluh sakit kepala yang tidak sembuh-sembuh dan terakhir kali beliau juga sempat mengalami penurunan kesadaran. Saat itulah Carla baru mengetahui bahwa mamanya mengidap kanker otak stadium II dan dokter menyarankan agar segera dilakukan operasi pengangkatan tumor. Namun, waktu itu Carla terkendala biaya. Tabungannya hanya cukup untuk membayar biaya rawat inap dan pemeriksaan awal. Sedangkan untuk operasi pengangkatan tumor membutuhk
"Jadi dia calon istri kamu?""Hubungan kami memang lebih dari sekedar atasan dan karyawan, kami diam-diam berkencan di luar kantor. Tapi untuk menikah, kayaknya masih terlalu dini.""Banyak alasan, kalau kamu cuma mau main-main, jangan sia-siakan waktu orang lain. Lebih baik kamu akhiri hubungan kalian, kakek kasihan sama wanita ini, harusnya dia mencari pasangan yang akan membawanya ke pelaminan, bukan hanya dijadikan kedok semata!""Kakek tenang saja, waktu yang Carla habiskan bersamaku tak akan jadi sia-sia. Lagipula bukannya aku tak mau serius sama Carla, aku hanya tak mau terburu-buru menikah. Hubungan kami juga baru dimulai secara resmi, jadi tolong beri kami waktu.""Satu bulan! Kalau satu bulan kamu masih tidak mau menikahinya, lebih baik kamu lepaskan dia. Biarkan dia bebas menentukan jodohnya sendiri. Jangan kamu tahan tanpa punya harapan akan masa depan! Baik kakek ataupun papa kamu, tidak ada yang mempermainkan wanita. Jadi jangan rusak tradisi keluarga kalau kamu hanya in
Carla duduk tertunduk seraya meremas-remas jemari tangannya yang basah berkeringat. Di hadapannya duduk Liam dan mamanya yang sedari tadi melemparkan sorot menyelidik kepadanya. Entah pikiran macam apa yang bercokol di dalam kepala wanita paruh baya itu, setelah pengakuan konyol sepihak yang dilakukan oleh bosnya dan yang pasti Carla tahu kalau sesuatu yang sangat buruk akan menimpa dirinya setelah ini."Dia yang duluan mencium Liam. Padahal Liam sudah bilang buat nggak cium-cium di tempat sembarangan. Harusnya kamu bisa lebih menahan diri lagi, Carla. Lihatlah, gara-gara ketidaksabaran kamu, kita jadi ketahuan, kan."Jantung Carla rasanya seolah akan berhenti berdetak ketika mengingat kembali fitnah keji macam apa yang dilayangkan bosnya kepada dirinya. Mencium? Yang benar saja! Seumur hidup, bahkan Carla belum pernah berciuman, apalagi sampai nekad mencium atasannya sendiri. Itu sangat tidak masuk akal, harusnya nyonya Willona tidak mempercayai omong kosong itu, tapi sepertinya wani