“Trauma dan mental healthy Ibu memang belum sembuh sepenuhnya, Nak. Tapi Ibu udah gak ada alasan lagi untuk memisahkan kamu dari Barra. Setelah berkonsultasi dengan Dokter, juga dinasehatin Kakek, Ibu sadar, gak ada gunanya memisahkan kalian karena itu cuma akan membuat Ibu justru kehilangan kepercayaan dan respect dari kamu. Kamu pasti akan kecewa sama Ibu dan pada akhirnya Ibu tidak akan bisa menikmati kebersamaan kita,” Amanda mencoba meyakinkan Olivia. Meski belum sepenuhnya menyukai Barra, namun dirinya juga tak mau Putrinya hamil tanpa sosok seorang suami. Apalagi Cucunya. Seperti yang Abraham Rawless katakan, jangan sampai Cucunya nanti lahir dan tumbuh kembang tanpa seorang Ayah. Namun entah mengapa, rasa kesal dan tersaingi oleh Barra, masih saja ada di hatinya. Bahkan malam ini sengaja meminta tidur bersama Olivia dengan berbagai alasan, sekalian untuk melihat sejauh mana effort Barra dalam membahagiakan Putrinya dengan rela tidak sekamar dulu. “Benarkah, Bu? Jadi Ibu ud
“Aku akan tanya istriku dulu, dia mau pulang sekarang atau sebentar lagi,” Barra hendak masuk ke dalam rumah. “Um, Pak. Tentang project film kita yang akan mengadaptasi salah satu film terbaik Korea tentang kehidupan pemuda cerdas dari sebuah desa pedalaman. Tim akan melakukan survei ke desa yang akan dijadikan latar film ini. Sebisa mungkin dicari kemiripan dengan latar film yang akan diadaptasi itu,” Jelas Jefri. “Apa semua harus ikut?” Barra menyipitkan mata. “Ya, Pak. Termasuk Anda.” “Aku sepertinya tidak bisa. Istriku sedang hamil muda, tidak mungkin aku tinggal sendirian.” “Tetapi, Director dan Penulis cerita film tersebut, akan datang ke Indonesia dan mau ikut langsung membantu melakukan survei tempat di desa yang akan tim kita datangi.” Barra melipat kedua tangannya di dada, dilema. Kedatangan tamu dari Korea adalah suatu kebanggaan dan prestise tersendiri untuk project filmnya kali ini. Tetapi hatinya tak mau meninggalkan Olivia. “Kita cuma diharapkan datang ke s
“Mas,” panggil Olivia pelan. “Hem?” sahut Barra dengan suara parau, masih dengan mata terpejam. la merasa begitu nyaman tidur dengan memeluk tubuh Olivia setelah semalam kesulitan memejamkan mata. “Nyenyak banget tidurnya,” Olivia terkekeh kecil. “Karena memeluk kamu.” “Alhamdulillah...” ungkap Olivia. Tangannya masih membelai manja rambut suami posesifnya. “Sayang,” panggil Barra. Ia membuka mata, menatap Olivia dengan mengangkat wajahnya ke atas. “Besok pagi Mas harus berangkat ke luar kota bersama Jefri.” “Ke luar kota? Berapa hari Mas?” Olivia sedikit kaget. Ini terdengar mendadak. “Tidak sampai berhari-hari. Mas usahakan balik hari itu walaupun akan tiba di sini pada malam hari,” jelas Barra. “Jangan gitu Mas. Jangan memaksakan pulang hari itu juga sehingga kurang istirahat. Kan masih bisa balik besok harinya...” “Tidak apa-apa. Di sana ada penginapan katanya. Sebelum kembali ke Jakarta, Mas akan beristirahat dulu. Jangan khawatir.” “lya. Tapi kalau memang dirasa gak bi
“Manda, kamu jangan memarahi mereka. Apa yang mereka lakukan pada waktu itu memang udah benar. Kalau bukan karena mereka, mungkin sekarang Barra dan Oliv sudah berpisah karena kamu jadi juga membawa Putri kamu pergi ke Italia!” Tuan Rawless tidak tahan untuk bicara. “Ini masalah pengkhianatan, Pa!” Amanda berwajah dingin, seakan tak terima alasan apapun. “Gak ada yang mengkhianati kamu. Mereka justru ingin kebaikan untuk kamu, untuk semua. Kamu itu udah di jalan yang salah, itu sebabnya mereka terpaksa melakukan cara tadi di belakang kamu!” jelas Tuan Rawless meluruskan. “Mereka berdua adalah orang kepercayaan Manda, tapi tega berbohong. Mereka tidak bisa dimaafkan!” “Bu, jangan salahkan Kak Nia sama Pak Vincent_” Olivia tak tahan untuk membela. “Kamu diam saja, Nak! Jangan ikut campur!” tegas Amanda dingin, mengejutkan Olivia. Ibunya terlihat mengerikan jika marah. Barra merangkul pundak Olivia, menenangkan istrinya. la simak dulu apa yang terjadi saat ini. “Bu, Nia mohon maaf
Pukul 16.00 wib, “Kak Nia...” Olivia senyum-senyum di depan pintu kamar Nia. “Eh, Liv? Masuk Liv...” Nia langsung menghampiri Olivia, mengajak adiknya itu masuk ke dalam kamarnya. “Kak Nia lagi apa? Dari tadi kok gak ada keluar kamar?” Olivia duduk di kursi rias yang Nia berikan. “Kak Nia nervous, Liv. Astaghfirullah...” Nia memegang dadanya yang sejak tadi berdebar terus. “Nervous kenapa? Karena mau nikah?” Olivia menahan senyum melihat rona wajah Nia yang bersemu merah, tegang, dan gugup. “l-lya... Kenapa tiba-tiba jadi begini ya? Kak Nia dan Bang Vincent mau nikah aja. Padahal jujur nih Liv, kami gak punya hubungan istimewa apapun. Kak Nia kagum sih sama Bang Vincent, dia sayang anak dan rela melakukan apa aja demi Adnan. Tapi gak pernah kebayang bakal nikah juga,” Nia masih belum bisa mempercayai apa yang terjadi. “Memang jodoh gak ada yang tau, Kak. Ternyata jodoh Kak Nia InsyaAllah adalah Pak Vincent yang belum lama bertemu. Sepertinya kalian memang sengaja dipertemukan A
Barra yang sedang memeriksa beberapa berkas yang datang, spontan menatap wajah Vincent. Kaki tangan kepercayaan Amanda itu senyum senyum.“Kapan nikahnya? Apa malam ini juga?“ tanya Barra.“Eh, bukan Pak. Rasanya tidak mungkin malam ini juga,” sanggah Vincent.“Kenapa? Kamu berencana membuat pesta pernikahan yang besar?”“Um, saya sih tidak ada keinginan seperti itu. Kalau bisa akad nikah, lalu sah dan syukuran kecil-kecilan saja,” jawab Vincent sesuai keinginannya.“Hem, jadi ingin secepatnya sah?” Barra mengangkat sebelah alisnya, “Sudah tidak sabar merasakan punya istri lagi ya?” sambungnya.“Iya, Pak. Eh, bukan. Maksudnya iya. Anu, bukan begitu_” Vincent gelagapan.“Kamu seperti baru pertama menikah saja. Kalau memang benar, kenapa harus malu-malu. Kecuali Jefri. Dia memang sejak dulu tidak pernah merasakan bagaimana jatuh cinta apalagi punya istri. Dia betah menjadi Iajangan berkarat,” ujar Barra dengan santainya, mengejutkan Jefri. Kenapa jadi membahas tentang kejombloannya? Dia
“Mommy kenapa pulang?” Barra meneliti wajah Syafira dengan intens, memastikan lbunya benar-benar telah sehat. “Kamu Barra! Bukannya meluk Mommy, malah nanya kenapa pulang!” Syafira mendengus kesal, putranya tak ada basa basinya. “Bukan begitu. Mommy sedang dalam pengobatan, kenapa pulang sebelum menyelesaikan pengobatannya? Aku sudah bilang supaya Mommy fokus saja di sana,” Barra tak habis pikir. lbunya pun pulang ke tanah air tanpa mengatakan terlebih dahulu padanya. “Kan Mommy udah bilang, pengobatannya di lanjut di Jakarta aja. Mommy udah minta rekomendasi Dokter spesialis Paru terbaik di sini. Check-up di Berlinnya nanti sekali dalam setahun aja,” tukas Syafira. la berdiri di samping Olivia dengan menggenggam tangan menantunya itu. Rasa bahagianya tak bisa tergambarkan melihat sang Menantu tampak sehat menjalani kehamilan mudanya ini. “Jadi bagaimana perkembangan pengobatan Mommy di sana?” Olivia ikut penasaran dengan kondisi kesehatan Syafira yang sekarang tampak semakin seg
“Barra, sebaiknya kamu nitipin Oliv ke Mommy aja. Mommy belum pernah menghabiskan waktu berdua sama Oliv setelah kalian nikah,” Syafira tak mau kalah. Ia tak ingin Olivia bersama Amanda. Khawatir besannya itu berniat akan memisahkan Putranya dengan Olivia lagi. “Sudah, sudah, ini kenapa jadi pada berebut mau sama Oliv? Kasihan Oliv jadi bingung gitu,” Tuan Rawless menatap iba pada Cucu kesayangannya yang kebingungan. Terlihat jelas jika Olivia tak ingin memilih antara Ibu kandung dan Ibu mertua yang sama-sama ia cintai. “Syafira nih, Pa. Seharusnya Oliv kan di sini selama Barra pergi. Kenapa jadi mau bawa ke rumah dia,” Amanda menatap dingin pada Syafira. “Lha, aku punya hak juga dong. lya kan, Paman? Sesekali apa salahnya Oliv ikut ke rumah Keluarga Virendra,” Syafira membela diri. Virendra menelan ludah, tak enak hati dengan ketegangan ini. la lirik Barra, Putra semata wayangnya itu juga tampak bingung menghadapi dua wanita bergelar ibu itu. Nia, Vincent, dan Jefri, sama-sa
Barra mengamati video dari ponsel Jefri dengan seksama. la mengerutkan kening melihat bagaimana agresifnya Azalea mencumbu bibir Haris di restaurant. Perut Barra bagai diaduk-aduk, seketika merasa mual, Azalea benar-benar murahan. Bagaimana bisa dulu dirinya menikahi perempuan seperti ini, bahkan selalu menunggu kembalinya wanita itu dalam hidupnya setelah perceraian mereka, dua tahun lamanya. Bodohnya, ia sanggup mengajak Olivia menikah dengan sebuah kesepakatan akan mengakhiri pernikahan mereka jika Azalea kembali. Barra begitu merutuki kebodohannya tersebut. Hampir saja dirinya benar-benar kehilangan Olivia selamanya, hanya karena seorang Azalea yang tak pantas ditunggu apalagi diperjuangkan. “Bagaimana, Pak? Apa kita sebar sekarang videonya?” Jefri menunggu perintah. “Tahan dulu, Jef. Tadinya aku memang ingin video ini segera kita sebar sebagai balasan dari apa yang sudah mereka lakukan terhadapku. Tetapi setelah video pertengkaran Haris dan Putrinya viral, ditambah amukannya
“Munafik! Om itu suka sama aku, tapi di depan anak Om, Om bilang jijik sama aku. Muna!” teriak Azalea pada Haris, mengejutkan pria itu. “Kamu?” Haris melotot pada Azalea. “Apa? Emang benar kan kalau aku ini simpanan Om. Kita sering ketemuan diam-diam tanpa ada orang yang tau. Om suka minta ketemuan, kalau gak di hotel, di rumah aku, atau di villa milik keluarga Om!” Azalea membalas, mengeluarkan kebenciannya dengan mengarang cerita. “Apa yang kamu bicarakan? Kamu mau menfitnah saya_” Haris kaget. Tak menyangka Azalea bisa sebejat ini. “Hei, kamu!” tunjuk Azalea pada Clarissa yang tengah menahan emosi memuncak di ubun-ubunnya, “Papa kamu ini memang berselingkuh sama aku. Dia selalu mendapatkan kepuasan dari tubuh aku, dari pelayanan aku di atas ranjang. Dia selalu mengeluh kalau dia gak bisa terpuaskan dari Mama kamu yang udah gak muda lagi itu. Udah menopause katanya, gak gurih lagi! Dia merasa hampa karena kebutuhan biologisnya kurang terpenuhi dari Mama kamu, sehingga dengan keh
“Baiklah. Kamu akan saya lindungi dari kasus pencemaran nama baik ini. Mobil dan apartemen juga akan saya siapkan. Uang bulanan akan selalu saya transfer ke rekening kamu!” Haris menahan gemuruh emosi di dada. Azalea seketika mengembangkan senyum senang. Akhirnya ia memiliki ATM berjalan sekarang. “Thank's, Om sayang...” bisiknya di telinga Haris yang langsung menjauhkan kepalanya dari wajah Azalea. “Awas saja kalau kamu sampai membawa-bawa nama saya. Habis kamu, Azalea!!” Haris memperingatkan dengan serius. “Sure. Aku sebenarnya senang bekerjasama dengan Om. Om memang baik banget aslinya_” Azalea mengelus lembut paha Haris, hingga ke bagian dalam pahanya. “Singkirkan tangan menjijikkan kamu itu, Betina!!” Haris murka. Perutnya seketika mual, jijik akan sentuhan Azalea. “Om munafik. Bilang aja Om suka tapi takut istri, kan?” ledek Azalea. “Kalau Om mau, kita bisa ke hotel tempat aku menginap. Aku puasin Om karena udah baik banget sama aku! Gimana?” “Jalang!” bentak Haris Nugroho
“Oh iya, titip salam sama Haris ya. Saya ke dalam dulu,” Tuan Rawless tanpa basa basi untuk mengantarkan Elgard sampai ke mobil, justru masuk ke dalam rumah. Tak ada tawaran untuk Elgard agar masuk dulu ke dalam rumah, disuguhkan minuman, atau mengobrol layaknya memperlakukan seorang tamu. Elgard termangu sendirian. Perlakuan keluarga Rawless sangat dingin. Tidak memarahinya berlebihan ataupun menghujat karena perbuatannya dulu, tapi tidak pula beramah tamah. Ini lebih menyakitkan sebenarnya. la dengan langkah gontai, kembali ke mobil. Pendekatan yang direncanakan, gagal. Sedang Olivia tak sedikitpun mau berlama-lama bertatap muka dengannya. Olivia semakin lama semakin jauh, sulit digapai. Ini pasti karena larangan Barra. “Oliv...” lirihnya saat telah duduk di dalam mobil. “Semakin kamu bersikap cuek seperti ini, semakin kuat juga keinginan aku untuk memiliki kamu. Aku gak pernah merasakan rasa cinta yang menggebu-gebu seperti ini sebelumnya, perasaan yang sudah terlalu besar untu
“Baguslah masalah cepat selesai. Kakek cuma ingin hubungan kamu dan Barra baik-baik saja, tidak terpengaruh dengan apa yang terjadi kemarin. Yang Kakek mau, kalian berdua selalu kuat dan saling percaya satu sama lain,” pinta Tuan Rawless. Ujian cinta sepasang suami-istri itu pasti akan selalu ada, namun jangan sampai membuat keduanya terpisah lagi. “InsyaAllah kami berdua kuat, Kek. Oliv percaya Mas Barra sepenuhnya,” ungkap Olivia, meyakinkan sang Kakek. Tin tin... Suara klakson mobil terdengar di luar gerbang rumah, tampak security berbicara pada pemilik mobil yang ingin masuk. “Siapa, Pa?” Amanda menyipitkan mata melihat ke arah mobil di depan pos penjaga. “Papa juga gak tau,” Tuan Rawless mengangkat kedua bahunya. Olivia mengerutkan alis, itu seperti mobil seseorang yang ia kenal. Tampak Security setengah berlari menghampiri ketiganya. “Tuan, ada tamu yang ingin bertemu,” ucap Security memberitahukan. “Siapa?” Tuan Rawless tak merasa ada janji temu dengan seseorang. “Nam
“Stt, jangan kencang-kencang ngomongnya,” bisik Amal, mengedarkan pandangan ke arah Barra dan yang lain. “Diiih, lepasin!” Syifa menepis tangan Amal yang seenaknya menyentuhnya. “Maaf,” Amal jadi tak enak hati. “Kenapa kamu ada di penginapan waktu itu? Kamu sengaja mengikuti Pak Barra?” tanya Syifa, masih dengan tatapan menyelidik. Amal terdiam. Ketahuan sudah. Mau berkilah bagaimana lagi? “Ibu Amanda yang suruh?” tanya Syifa lagi. “Hem, ya. Tapi bukan karena Ibu ingin mencurigai Pak Barra. lbu cuma ingin memastikan Pak Barra gak diganggu Azalea,” Amal terpaksa jujur. “Lalu, kamu disuruh apa? Berjaga-jaga kalau-kalau Azalea mendatangi Pak Barra ke penginapan itu? Kalau ya, kenapa Azalea masih juga bisa masuk ke dalam kamar? Kamu kenapa gak mengusirnya sejak awal?” Syifa mendesak penjelasan dari Amal. Amal yang tak bisa lagi membantah, menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. “Kok kamu bingung gitu? Aku kasi tau Pak Barra sekarang!” Syifa hendak berbalik kepada Bar
“Kamu langsung ke kantor apa ke rumah Paman Rawless dulu, Manda?” Syafira mengamati Amanda yang sedang merapikan penampilannya di depan cermin. Ibu kandung menantunya itu masih begitu awet muda dengan usianya yang sudah memasuki empat puluh enam tahun, cantik dengan tubuhnya yang tinggi langsing. “Aku pulang ke rumah Papa dulu, Fir. Papa udah ngomel-ngomel nyuruh aku pulang. Barra dan Oliv juga disuruh ke sana sekarang,” Amanda terkekeh mengingat tingkah ayahnya tersebut. “Pasti Paman penasaran banget sama kabar hari ini kan?” Syafira ikut tertawa. “Hu'um. Papa itu penasaran kenapa ada video asli Barra yang dijebak Azalea, bisa tersebar,” Jawab Amanda, merapikan rambutnya. Sudah selesai. “Ternyata Paman sama dengan kita, penasaran siapa yang udah menyebarkan video itu. Kalau Paman gak tau siapa yang udah merekam kejadian di kamar itu, artinya memang bukan beliau ya orang yang melakukannya...” Syafira masih belum bisa menebak. “Hem, ya,” angguk Amanda. Syafira masih saja belum sa
“Pengacara sudah menyiapkan laporan ke kantor polisi atas tindakan pencemaran nama baik yang dilakukan Azalea, Pak,” ujar Jefri, menginformasikan. “Bagus. Lalu, Azalea sendiri masih di Hotel itu?” Barra tersenyum samar, seperti sedang memikirkan sesuatu yang menyenangkan. “Masih, Pak. Dia belum ada keluar sama sekali dari hotel itu sampai jam segini. Mungkin dia malu bertemu banyak orang, atau bingung mau kemana karena rumahnya juga sudah tidak ada lagi.” “Bukankah dia akan diberikan sebuah apartemen mewah?” Barra mengernyit heran. “Mungkin Om Sayang meninggalkannya karena tujuan mereka gagal, sehingga hadiah apartemen dan mobil mewah hanya tinggal wacana saja,” Jefri menahan senyum, tetap bersikap serius. Barra menaikkan sebelah alis, miris sekali jika benar seperti yang Jefri perkirakan. “Jef, ikuti terus dia. Aku yakin, sebentar lagi dia pasti akan menemui orang yang sudah membantunya menjebakku. Aku benar-benar penasaran siapa orang itu. Kalau kita sudah mengetahuinya,
“Jadi kita gagal Iagi nih, Pa?” Elgard kesal bukan kepalang. “Sia-sia saja semuanya! Papa pikir kita sudah berhasil, ternyata Barra di sana punya video aslinya,” Haris membuang napas kasar. Tangannya memijit pelipisnya yang berdenyut, sedang punggungnya bersandar lemas tak bersemangat pada sandaran kursi kerja miliknya di kediaman keluarga besarnya itu. “Papa yakin Barra pemilik video itu? Dari video yang Elgard lihat, Barra justru nampak kaget juga dengan kehadiran Azalea yang diam-diam sudah ada saja di kamarnya. Kayaknya dia juga gak tau tentang rekaman video asli itu, pa.” “Lalu kalau bukan dia, siapa lagi?” “Banyak orang-orang hebat di sekitar Barra. Bisa aja keluarga Rawless,” Tebak Elgard. “Kalau udah begini, gawat! Dari kabar yang Papa dengar, Barra tetap akan membawa masalah ini ke jalur hukum. Azalea akan dilaporkan dan bisa aja perempuan itu buka mulut kalau ini adalah rencana Papa awalnya!” Haris mulai panik. “Jangan sampai dia melakukan itu, Pa. Bungkam mulutny