Barra yang sedang memeriksa beberapa berkas yang datang, spontan menatap wajah Vincent. Kaki tangan kepercayaan Amanda itu senyum senyum.“Kapan nikahnya? Apa malam ini juga?“ tanya Barra.“Eh, bukan Pak. Rasanya tidak mungkin malam ini juga,” sanggah Vincent.“Kenapa? Kamu berencana membuat pesta pernikahan yang besar?”“Um, saya sih tidak ada keinginan seperti itu. Kalau bisa akad nikah, lalu sah dan syukuran kecil-kecilan saja,” jawab Vincent sesuai keinginannya.“Hem, jadi ingin secepatnya sah?” Barra mengangkat sebelah alisnya, “Sudah tidak sabar merasakan punya istri lagi ya?” sambungnya.“Iya, Pak. Eh, bukan. Maksudnya iya. Anu, bukan begitu_” Vincent gelagapan.“Kamu seperti baru pertama menikah saja. Kalau memang benar, kenapa harus malu-malu. Kecuali Jefri. Dia memang sejak dulu tidak pernah merasakan bagaimana jatuh cinta apalagi punya istri. Dia betah menjadi Iajangan berkarat,” ujar Barra dengan santainya, mengejutkan Jefri. Kenapa jadi membahas tentang kejombloannya? Dia
“Mommy kenapa pulang?” Barra meneliti wajah Syafira dengan intens, memastikan lbunya benar-benar telah sehat. “Kamu Barra! Bukannya meluk Mommy, malah nanya kenapa pulang!” Syafira mendengus kesal, putranya tak ada basa basinya. “Bukan begitu. Mommy sedang dalam pengobatan, kenapa pulang sebelum menyelesaikan pengobatannya? Aku sudah bilang supaya Mommy fokus saja di sana,” Barra tak habis pikir. lbunya pun pulang ke tanah air tanpa mengatakan terlebih dahulu padanya. “Kan Mommy udah bilang, pengobatannya di lanjut di Jakarta aja. Mommy udah minta rekomendasi Dokter spesialis Paru terbaik di sini. Check-up di Berlinnya nanti sekali dalam setahun aja,” tukas Syafira. la berdiri di samping Olivia dengan menggenggam tangan menantunya itu. Rasa bahagianya tak bisa tergambarkan melihat sang Menantu tampak sehat menjalani kehamilan mudanya ini. “Jadi bagaimana perkembangan pengobatan Mommy di sana?” Olivia ikut penasaran dengan kondisi kesehatan Syafira yang sekarang tampak semakin seg
“Barra, sebaiknya kamu nitipin Oliv ke Mommy aja. Mommy belum pernah menghabiskan waktu berdua sama Oliv setelah kalian nikah,” Syafira tak mau kalah. Ia tak ingin Olivia bersama Amanda. Khawatir besannya itu berniat akan memisahkan Putranya dengan Olivia lagi. “Sudah, sudah, ini kenapa jadi pada berebut mau sama Oliv? Kasihan Oliv jadi bingung gitu,” Tuan Rawless menatap iba pada Cucu kesayangannya yang kebingungan. Terlihat jelas jika Olivia tak ingin memilih antara Ibu kandung dan Ibu mertua yang sama-sama ia cintai. “Syafira nih, Pa. Seharusnya Oliv kan di sini selama Barra pergi. Kenapa jadi mau bawa ke rumah dia,” Amanda menatap dingin pada Syafira. “Lha, aku punya hak juga dong. lya kan, Paman? Sesekali apa salahnya Oliv ikut ke rumah Keluarga Virendra,” Syafira membela diri. Virendra menelan ludah, tak enak hati dengan ketegangan ini. la lirik Barra, Putra semata wayangnya itu juga tampak bingung menghadapi dua wanita bergelar ibu itu. Nia, Vincent, dan Jefri, sama-sa
Olivia melangkah menuju tempat tidur setelah selesai menyikat gigi dan berwudhu sebelum tidur. Barra duduk bersandar di headboard ranjang, menatap layar ponsel sembari menunggu kedatangan istrinya itu untuk tidur bersama. “Sudah?” tanya Barra sumringah saat Olivia telah naik ke atas tempat tidur. la letakkan ponsel di atas nakas, waktunya menghabiskan malam bersama sang istri. “Udah,” angguk Olivia, bersiap untuk tidur. Barra langsung merentangkan sebelah tangannya agar Olivia tidur dengan berbantal pada lengannya tersebut. Olivia dengan manja, meletakkan kepalanya di lengan berotot Barra. Tangannya melingkar di pinggang suaminya dengan wajahnya sesekali dibenamkan ke dalam dada bidang Barra. la menghirup wangi tubuh suaminya, hangat, tenteram dan nyaman. Barra tersenyum sembari membelai manja rambut Olivia. la kecup berkali-kali pucuk kepala istrinya, kebiasaannya setiap malam ketika mereka tidur. “Apa Mas batalkan saja ya keberangkatan besok?” ucap Barra tiba-tiba. O
“Manda,” panggilan Syafira menghentikan langkah Amanda. la menoleh ke belakang pada Besannya itu. Seandainya dia pulang saja ke rumahnya... batinnya, merasa tak nyaman pada Syafira yang ia rasa sedang mengawasinya. Syafira mendekati Amanda. Wajahnya tengah menahan tangis. “Kamu kenapa?” Amanda kaget, Syafira menangis. “Manda...” Syafira memeluk Amanda tiba-tiba. “Ada apa, Fira? Kamu sedih Barra keluar kota?” Amanda jadi khawatir. “Bukan,” Syafira melepas pelukannya, ia usap air matanya dengan masih terisak. “Lalu?” “Manda...“ Syafira menatap Amanda. “Terimakasih, ya...” ucapnya pelan, menahan air mata haru. “Terimakasih untuk apa?” Amanda masih bingung. Kenapa Besannya ini mendadak melankolis? “Terimakasih karena udah melahirkan Oliv ke dunia ini...” Syafira tanpa bisa menahan, akhirnya menangis lagi. Amanda terpana, terimakasih karena telah melahirkan Olivia? “Aku gak tau amalan apa yang kamu lakukan waktu hamil Oliv dulu. Yang pasti, kamu udah melahirkan se
Deg! Barra dengan bibirnya yang sedang dimajukan beberapa senti, terperanjat saat Jefri tiba-tiba sudah di dekatnya dan memanggilnya. Tatapan matanya pun langsung menajam pada Asisten pribadinya yang berpredikat jomblo sejati itu. Jefri mengganggu saja, ini bukan pertama kalinya pria itu begini. “Oh, itu... Maaf, Pak,” Jefri yang tergugup, cepat-cepat membalikkan badan membelakangi Barra yang seketika beraura dingin. Matilah ia karena telah merusak suasana romantis sang Bos yang sedang bermesraan dengan istrinya di telepon. “I Iove you, Sayang...” Ucap Barra begitu lembut, panggilan video pun ditutup. Jefri yang menunggu Barra selesai menelepon, bisa mendengar bosnya itu mengucap cinta pada Nyonya mudanya. Aih, bikin iri saja. la berusaha bersikap normal. Meski lagi-lagi harus menyaksikan keromantisan Bosnya yang selalu membuat jiwa jomblonya meronta-ronta. Ingin punya istri juga. “Tamunya sudah siap?” Jefri terkejut, Barra tiba-tiba saja sudah berdiri di sisinya dengan wajah ya
Syifa berlari secepat mungkin menghampiri posisi Barra. “Pak Barra...” teriaknya hingga berhenti tepat di hadapan sang Bos yang terpana. Napasnya terengah-engah dengan posisi tubuh membungkuk, tangannya memegang kedua lutut. Sekretaris Barra itu menghadang langkah sang CEO yang sedang menemani Tuan Lee dan Tuan Choi bersama seorang Director film ternama Indonesia yang telah ditunjuk, didampingi kepala desa di sana. Mereka tengah berjalan-jalan sembari berdiskusi dan melihat keindahan desa yang akan dinilai oleh tamu kehormatan tersebut, memastikan tempat ini pas dijadikan sebagai latar pembuatan film mereka. “Syif_“ tegur Jefri, tak enak pada CEO mereka dan dua tamu iłu. Syifa tersadar akan sikapnya. Baru ngeh jika yang ada bersama sang Bos adalah tamu dari Korea Selatan. “Oh, Joesonghamnida...” ucap Syifa menghadap Tuan Lee dan Tuan Choi sembari menundukkan kepala dan badannya, menunjukkan rasa penyesalannya yang dalam dan sungguh-sungguh meminta maaf atas ketidaknyamanan
“Sayang...” Virendra dengan tatapan masih fokus ke layar ponsel di tangannya, memanggil Syafira yang baru saja dari dapur. “Ada apa?” Syafira terheran melihat wajah suaminya yang tegang menatap ponselnya sendiri. “Sini, cepat!” Titah Virendra mendesak. Syafira dengan langkah cepat, segera menghampiri Virendra. Ikut khawatir, “Kenapa, Sayang?” tanyanya penasaran. “Perempuan ini_” Virendra menunjukkan layar ponselnya pada Syafira agar istrinya itu melihat sendiri. “Azalea?“ Syafira mengerutkan kening, mencoba menyimak video singkat dari media sosial Azalea yang tersebar. “Dia...?” “Ya, dia sedang di Kota yang Barra datangi sekarang,” Jelas Virendra kesal. Sepasang suami-istri itu mendengarkan apa yang Azalea katakan di video tersebut. Keduanya saling melempar pandang dengan wajah tak nyaman. “Dia bilang sedang janjian untuk bertemu seseorang?” Syafira mengulang kembali apa yang Azalea katakan di Video tersebut. “Dia bilang itu adalah tempat yang pernah dia kunjungi untuk vacati
Gerimis kecil membasahi dedaunan di sekitar penginapan kecil di desa itu, menciptakan suara gemercik yang menenangkan. Azalea, dengan langkah ringan, memainkan kunci kamar yang digenggamnya. Raut wajahnya terlihat tenang, namun ada kilatan licik yang sesekali tersirat. Dia mengenakan gaun merah yang ketat dan berenda, menonjolkan lekuk tubuhnya dengan sangat jelas, seolah-olah setiap jahitan di gaun itu sengaja dibuat untuk menarik perhatian. Kakinya berhenti tepat di depan Pintu sebuah kamar. Sesuai informasi yang didapatkannya, itu adalah kamar yang akan menjadi tempat peristirahatan Barra, mantan suaminya yang kini telah memiliki istri Iain. Azalea memasukkan kunci ke dalam lubang kunci, membuka Pintu dengan perasaan campur aduk, antara gugup dan bersemangat oleh rencana yang sudah ia susun dengan matang. Rencana dari seseorang yang mengajaknya bekerjasama lebih tepatnya, bertujuan untuk merusak hubungan Barra dengan istri pria itu, Olivia. Pintu terbuka. Azalea masuk ke dala
“Sayang...” Virendra dengan tatapan masih fokus ke layar ponsel di tangannya, memanggil Syafira yang baru saja dari dapur. “Ada apa?” Syafira terheran melihat wajah suaminya yang tegang menatap ponselnya sendiri. “Sini, cepat!” Titah Virendra mendesak. Syafira dengan langkah cepat, segera menghampiri Virendra. Ikut khawatir, “Kenapa, Sayang?” tanyanya penasaran. “Perempuan ini_” Virendra menunjukkan layar ponselnya pada Syafira agar istrinya itu melihat sendiri. “Azalea?“ Syafira mengerutkan kening, mencoba menyimak video singkat dari media sosial Azalea yang tersebar. “Dia...?” “Ya, dia sedang di Kota yang Barra datangi sekarang,” Jelas Virendra kesal. Sepasang suami-istri itu mendengarkan apa yang Azalea katakan di video tersebut. Keduanya saling melempar pandang dengan wajah tak nyaman. “Dia bilang sedang janjian untuk bertemu seseorang?” Syafira mengulang kembali apa yang Azalea katakan di Video tersebut. “Dia bilang itu adalah tempat yang pernah dia kunjungi untuk vacati
Syifa berlari secepat mungkin menghampiri posisi Barra. “Pak Barra...” teriaknya hingga berhenti tepat di hadapan sang Bos yang terpana. Napasnya terengah-engah dengan posisi tubuh membungkuk, tangannya memegang kedua lutut. Sekretaris Barra itu menghadang langkah sang CEO yang sedang menemani Tuan Lee dan Tuan Choi bersama seorang Director film ternama Indonesia yang telah ditunjuk, didampingi kepala desa di sana. Mereka tengah berjalan-jalan sembari berdiskusi dan melihat keindahan desa yang akan dinilai oleh tamu kehormatan tersebut, memastikan tempat ini pas dijadikan sebagai latar pembuatan film mereka. “Syif_“ tegur Jefri, tak enak pada CEO mereka dan dua tamu iłu. Syifa tersadar akan sikapnya. Baru ngeh jika yang ada bersama sang Bos adalah tamu dari Korea Selatan. “Oh, Joesonghamnida...” ucap Syifa menghadap Tuan Lee dan Tuan Choi sembari menundukkan kepala dan badannya, menunjukkan rasa penyesalannya yang dalam dan sungguh-sungguh meminta maaf atas ketidaknyamanan
Deg! Barra dengan bibirnya yang sedang dimajukan beberapa senti, terperanjat saat Jefri tiba-tiba sudah di dekatnya dan memanggilnya. Tatapan matanya pun langsung menajam pada Asisten pribadinya yang berpredikat jomblo sejati itu. Jefri mengganggu saja, ini bukan pertama kalinya pria itu begini. “Oh, itu... Maaf, Pak,” Jefri yang tergugup, cepat-cepat membalikkan badan membelakangi Barra yang seketika beraura dingin. Matilah ia karena telah merusak suasana romantis sang Bos yang sedang bermesraan dengan istrinya di telepon. “I Iove you, Sayang...” Ucap Barra begitu lembut, panggilan video pun ditutup. Jefri yang menunggu Barra selesai menelepon, bisa mendengar bosnya itu mengucap cinta pada Nyonya mudanya. Aih, bikin iri saja. la berusaha bersikap normal. Meski lagi-lagi harus menyaksikan keromantisan Bosnya yang selalu membuat jiwa jomblonya meronta-ronta. Ingin punya istri juga. “Tamunya sudah siap?” Jefri terkejut, Barra tiba-tiba saja sudah berdiri di sisinya dengan wajah ya
“Manda,” panggilan Syafira menghentikan langkah Amanda. la menoleh ke belakang pada Besannya itu. Seandainya dia pulang saja ke rumahnya... batinnya, merasa tak nyaman pada Syafira yang ia rasa sedang mengawasinya. Syafira mendekati Amanda. Wajahnya tengah menahan tangis. “Kamu kenapa?” Amanda kaget, Syafira menangis. “Manda...” Syafira memeluk Amanda tiba-tiba. “Ada apa, Fira? Kamu sedih Barra keluar kota?” Amanda jadi khawatir. “Bukan,” Syafira melepas pelukannya, ia usap air matanya dengan masih terisak. “Lalu?” “Manda...“ Syafira menatap Amanda. “Terimakasih, ya...” ucapnya pelan, menahan air mata haru. “Terimakasih untuk apa?” Amanda masih bingung. Kenapa Besannya ini mendadak melankolis? “Terimakasih karena udah melahirkan Oliv ke dunia ini...” Syafira tanpa bisa menahan, akhirnya menangis lagi. Amanda terpana, terimakasih karena telah melahirkan Olivia? “Aku gak tau amalan apa yang kamu lakukan waktu hamil Oliv dulu. Yang pasti, kamu udah melahirkan se
Olivia melangkah menuju tempat tidur setelah selesai menyikat gigi dan berwudhu sebelum tidur. Barra duduk bersandar di headboard ranjang, menatap layar ponsel sembari menunggu kedatangan istrinya itu untuk tidur bersama. “Sudah?” tanya Barra sumringah saat Olivia telah naik ke atas tempat tidur. la letakkan ponsel di atas nakas, waktunya menghabiskan malam bersama sang istri. “Udah,” angguk Olivia, bersiap untuk tidur. Barra langsung merentangkan sebelah tangannya agar Olivia tidur dengan berbantal pada lengannya tersebut. Olivia dengan manja, meletakkan kepalanya di lengan berotot Barra. Tangannya melingkar di pinggang suaminya dengan wajahnya sesekali dibenamkan ke dalam dada bidang Barra. la menghirup wangi tubuh suaminya, hangat, tenteram dan nyaman. Barra tersenyum sembari membelai manja rambut Olivia. la kecup berkali-kali pucuk kepala istrinya, kebiasaannya setiap malam ketika mereka tidur. “Apa Mas batalkan saja ya keberangkatan besok?” ucap Barra tiba-tiba. O
“Barra, sebaiknya kamu nitipin Oliv ke Mommy aja. Mommy belum pernah menghabiskan waktu berdua sama Oliv setelah kalian nikah,” Syafira tak mau kalah. Ia tak ingin Olivia bersama Amanda. Khawatir besannya itu berniat akan memisahkan Putranya dengan Olivia lagi. “Sudah, sudah, ini kenapa jadi pada berebut mau sama Oliv? Kasihan Oliv jadi bingung gitu,” Tuan Rawless menatap iba pada Cucu kesayangannya yang kebingungan. Terlihat jelas jika Olivia tak ingin memilih antara Ibu kandung dan Ibu mertua yang sama-sama ia cintai. “Syafira nih, Pa. Seharusnya Oliv kan di sini selama Barra pergi. Kenapa jadi mau bawa ke rumah dia,” Amanda menatap dingin pada Syafira. “Lha, aku punya hak juga dong. lya kan, Paman? Sesekali apa salahnya Oliv ikut ke rumah Keluarga Virendra,” Syafira membela diri. Virendra menelan ludah, tak enak hati dengan ketegangan ini. la lirik Barra, Putra semata wayangnya itu juga tampak bingung menghadapi dua wanita bergelar ibu itu. Nia, Vincent, dan Jefri, sama-sa
“Mommy kenapa pulang?” Barra meneliti wajah Syafira dengan intens, memastikan lbunya benar-benar telah sehat. “Kamu Barra! Bukannya meluk Mommy, malah nanya kenapa pulang!” Syafira mendengus kesal, putranya tak ada basa basinya. “Bukan begitu. Mommy sedang dalam pengobatan, kenapa pulang sebelum menyelesaikan pengobatannya? Aku sudah bilang supaya Mommy fokus saja di sana,” Barra tak habis pikir. lbunya pun pulang ke tanah air tanpa mengatakan terlebih dahulu padanya. “Kan Mommy udah bilang, pengobatannya di lanjut di Jakarta aja. Mommy udah minta rekomendasi Dokter spesialis Paru terbaik di sini. Check-up di Berlinnya nanti sekali dalam setahun aja,” tukas Syafira. la berdiri di samping Olivia dengan menggenggam tangan menantunya itu. Rasa bahagianya tak bisa tergambarkan melihat sang Menantu tampak sehat menjalani kehamilan mudanya ini. “Jadi bagaimana perkembangan pengobatan Mommy di sana?” Olivia ikut penasaran dengan kondisi kesehatan Syafira yang sekarang tampak semakin seg
Barra yang sedang memeriksa beberapa berkas yang datang, spontan menatap wajah Vincent. Kaki tangan kepercayaan Amanda itu senyum senyum.“Kapan nikahnya? Apa malam ini juga?“ tanya Barra.“Eh, bukan Pak. Rasanya tidak mungkin malam ini juga,” sanggah Vincent.“Kenapa? Kamu berencana membuat pesta pernikahan yang besar?”“Um, saya sih tidak ada keinginan seperti itu. Kalau bisa akad nikah, lalu sah dan syukuran kecil-kecilan saja,” jawab Vincent sesuai keinginannya.“Hem, jadi ingin secepatnya sah?” Barra mengangkat sebelah alisnya, “Sudah tidak sabar merasakan punya istri lagi ya?” sambungnya.“Iya, Pak. Eh, bukan. Maksudnya iya. Anu, bukan begitu_” Vincent gelagapan.“Kamu seperti baru pertama menikah saja. Kalau memang benar, kenapa harus malu-malu. Kecuali Jefri. Dia memang sejak dulu tidak pernah merasakan bagaimana jatuh cinta apalagi punya istri. Dia betah menjadi Iajangan berkarat,” ujar Barra dengan santainya, mengejutkan Jefri. Kenapa jadi membahas tentang kejombloannya? Dia