“Pa.” Amanda mendekati Tuan Rawless yang sedang duduk menemani Adnan bermain mobil-mobilan di ruang keluarga. “Ya, Manda? Kamu baru pulang kantor?” Tuan Rawless tersenyum. la tinggalkan Adnan yang duduk di karpet bulu tebal, kemudian ikut duduk di samping Amanda di sofa. “Hu'um.” Angguk Amanda, ia tersenyum melihat Adnan yang begitu aşik bermain hingga tak menyadari keberadaan dirinya di ruangan tersebut. “Besok pagi kita ada jadwal terapi lanjutan, kamu siap?” Tuan Rawless begitu bersemangat. “Siap, Pa.” “Apa yang kamu rasakan setelah dua kali terapi? Apa lebih enak perasaannya sekarang?” Tuan Rawless antusias. “Lebih plong pastinya. Manda mulai bisa mengontrol perasaan, apalagi kalau emosi.” “Syukurlah, Papa lega mendengarnya. Papa pun juga semakin bersemangat menjalani hari setelah terapi waktu itu.” Tuan Rawless berkata demikian, agar tak terlalu terlihat jika terapi ini sebenarnya dikhususkan untuk Amanda. “Setelah menjalani terapi, itu artinya Manda udah boleh ta
Keduanya mengobrol sebentar, menikmati suasana sore yang hangat. Barra senantiasa mengusap lembut dan mengajak bicara calon bayinya di perut Olivia, membuat wanita itu tertawa kecil melihat tingkah suaminya yang ternyata bisa juga seperti ini. Setelah menikmati kopi dan beberapa camilan, Barra melanjutkan kembali pekerjaannya. Sedang Olivia tak ingin mengganggu. “Mau kemana?” Barra menahan Olivia yang hendak pergi. “Mas kan mau fokus kerja, aku pergi aja biar gak ganggu.” “Duduklah di dekat Mas, temani. Ini juga tidak akan lama,” Pinta Barra. “Oh, gitu. Ya deh,” Olivia tak jadi pergi, akan menemani Barra seperti permintaan pria itu. la mainkan saja gadget, demi mengisi waktu agar tak bosan menunggu Barra. “Innalillahi wainnailaihi rooji'uun...” Olivia memegang dadanya yang berdebar, matanya tertuju pada layar ponsel. “Ada apa, Sayang?” Barra terheran melihat ekspresi istrinya. Olivia tengah fokus menatap ponsel. “Mas, ini, ada berita di sosial media kalau calon cucu Ha
Beberapa hari berlalu. “Kemarilah!” Barra meraih tubuh Olivia yang hendak keluar kamar. Istrinya itu berencana akan menyiapkan sarapan pagi ke dapur. “Kenapa, Mas?” Olivia terheran. Barra mendudukkannya di pangkuan pria itu, di tepi tempat tidur. “Bersiaplah, kita akan pergi sekarang.” “Kemana?” “Ke rumah Kakek.” Olivia mengedip-ngedipkan matanya, apa ia tidak salah dengar? “Kenapa diam? Tidak mau ikut?” Barra tersenyum melihat raut wajah Olivia yang bengong, tampak lucu. “A-apa, Mas? Ini beneran?” Olivia seakan belum percaya dengan apa yang suaminya katakan. “Hem, ya. Kita ke rumah Kakek hari ini,” Barra memperjelas. “Mas beneran yakin? Emang Ibu_” Olivia terdiam sebentar, memastikan keputusan Barra yang sudah memperbolehkannya bertemu ibu dan kakeknya. “Orang-orang ibu sudah tidak lagi mengikuti Jefri. Mereka tidak lagi mengawasi UD Entertainment dan ibu tidak lagi menempatkan anak buahnya di sekitar Penthouse kita. Kakek sendiri yang mengatakan kalau Ibu sudah tidak memp
“Gak apa, kamu udah menyadarinya aja, Papa udah senang. Apalagi kamu udah fokus sama diri kamu sendiri, Papa semakin lega.” “Manda udah janji mau mengikuti apa aja yang Papa minta. Jadi, Papa jangan khawatir Iagi. Manda juga gak ada kepikiran untuk mencari tau di mana Oliv tinggal dengan membuntuti siapa aja yang berhubungan dengan Barra. Pasti ada saatnya, kami akan bertemu juga. Iya kan, Pa?” Amanda menatap Tuan Rawless, sorot matanya tenang meski tak bisa menyembunyikan kesedihan karena harus menahan kerinduan pada Olivia. Tuan Rawless tahu itu. “Pasti kamu akan bertemu Oliv, bersama Iagi, bercerita banyak hal, menyiapkan makanan apa yang dia mau selama ngidam, dan menemaninya bersalin, melahirkan cucu kamu, cicit pertama Papa!” Tuan Rawless menatap lurus ke depan, pada gerbang rumah yang tinggi. Amanda terhenyak, menemani Olivia melahirkan cucunya? “Manda mau itu, Pa...” Ucapnya dengan menahan tangis. Membayangkannya saja, sudah membuat perasaannya bahagia tak terhingga. “K
“Liv, itu Kakek,” Amanda menunjuk Tuan Rawless yang berdiri tak jauh dari mereka.Olivia tersenyum lembut. Ia berjalan mendekati sang Kakek yang tengah menahan perasaan bergemuruh di dada. Cucunya memang sangat cantik, jauh lebih cantik dari yang pernah ia lihat sebentar waktu di acara konferensi pers.“Assalamu'alaikum Kakek, aku Oliv...” Sapa Olivia dengan sikap canggung saat berdiri di depan Tuan Rawless. Ia tersenyum kikuk. Pertama kali sengaja bertemu, apa pria ini sudah mau menganggapnya sebagai Cucu?“Wa'alaikumussalam, Cucuku Olivia,” Tuan Rawless bisa merasakan kecanggungan di diri Cucu cantiknya itu, “Kamu tidak mau memeluk Kakek juga?” Tanyanya dengan dada yang sesak.Seandainya dulu ia tetap memberikan waktu dan perhatian pada cucu semata wayangnya ini meski ada Abian, pasti tidak akan seasing ini rasanya.“Boleh ya Kek?” Tanya Olivia ragu-ragu, benarkah dirinya boleh menganggap Tuan Rawless yang dikenal semua orang sebagai Kakeknya?“Kemarilah, Nak. Peluk Kakek!” Pinta Tu
Pukul 17.50 wib. “Malam ini mau makan apa, Liv?” Tanya Amanda bersemangat. “Um,” Olivia berpikir sejenak. Ini sudah seharian dirinya dan Barra berada di rumah sang Kakek. Tetapi Ibunya itu masih menawarkan makan malam, seolah tak mau ia pulang. “Bilang aja, Nak. Ibu pasti akan buatin apapun yang kamu mau. Demi cucu Ibu juga,” Amanda tersenyum lebar. Ia akan memberitahu para Pelayan untuk membuatkan makanan apa saja yang Olivia inginkan. “Oliv lagi suka makan apa aja sih Bu. Yang penting enak...” Olivia tersenyum, nafsu makannya memang mulai kembali. “Wah, kalau gitu Ibu mau buatin semua makanan enak. Kamu bisa pilih dan makan sepuasnya,” Amanda sudah tak sabar. Ia panggil Nia untuk memasak bersama. Olivia sedikit bingung. Sejak tadi ia belum ada sama sekali bersama Barra. Amanda tak mau melepaskannya. Ibunya itu mengajaknya melihat-lihat rumah besar sang Kakek sembari bercerita tentang masa lalu yang indah di rumah ini. Olivia cukup antusias mendengarkannya. Amanda juga mengaja
“Oh jadi kok rencananya. Tapi aku gak tenang kalau gak izin dari Mas dulu. Emang beneran boleh aku tidur sama Ibu? Kalau gak boleh, aku mau tidur sama Mas aja di kamar kita,” Olivia memastikan kembali. Tak mau meninggalkan suaminya tidur seorang diri jika pria itu keberatan. “Terserah saja. Kalau memang mau tidur bersama Ibu malam ini, tidak apa-apa. Tapi Mas ragu kamu bisa tidur. Kamu biasanya harus dipeluk setiap malam,” Barra tak mau menunjukkan rasa keberatannya. Yakin Olivia sendiri yang akan ragu berpisah darinya malam ini. “Aku sih bisa aja, Mas. Paling Mas yang kecarian karena aku gak ada di samping Mas,” Goda Olivia. “Hem, apa tidak salah? Kamu yang biasanya tidak bisa tidur tanpa memeluk suami kamu ini. Kalau Mas tidak ada masalah kamu mau memilih tidur di mana,” Barra tak mau kalah. Jangan tunjukkan dirinya berharap Olivia memilih dirinya. Olivia tersenyum. Ia merasa suaminya memang tidak masalah dirinya tidur bersama Amanda. Barra juga yakin tak akan kecarian jika ta
“Trauma dan mental healthy Ibu memang belum sembuh sepenuhnya, Nak. Tapi Ibu udah gak ada alasan lagi untuk memisahkan kamu dari Barra. Setelah berkonsultasi dengan Dokter, juga dinasehatin Kakek, Ibu sadar, gak ada gunanya memisahkan kalian karena itu cuma akan membuat Ibu justru kehilangan kepercayaan dan respect dari kamu. Kamu pasti akan kecewa sama Ibu dan pada akhirnya Ibu tidak akan bisa menikmati kebersamaan kita,” Amanda mencoba meyakinkan Olivia. Meski belum sepenuhnya menyukai Barra, namun dirinya juga tak mau Putrinya hamil tanpa sosok seorang suami. Apalagi Cucunya. Seperti yang Abraham Rawless katakan, jangan sampai Cucunya nanti lahir dan tumbuh kembang tanpa seorang Ayah. Namun entah mengapa, rasa kesal dan tersaingi oleh Barra, masih saja ada di hatinya. Bahkan malam ini sengaja meminta tidur bersama Olivia dengan berbagai alasan, sekalian untuk melihat sejauh mana effort Barra dalam membahagiakan Putrinya dengan rela tidak sekamar dulu. “Benarkah, Bu? Jadi Ibu ud
“Ma...” Haris berusaha memegang pundak Ayuma yang duduk di tepi ranjang sembari membelakanginya. Ayuma hanya diam, air matanya terus saja mengalir. “Ma, berita itu bohong. Papa gak selingkuh. Clarissa main ngamuk-ngamuk aja di sana, sampai akhirnya semua orang melihat kami, lalu menyebar berita seperti apa yang mereka lihat aja,” Haris dengan perasaan khawatir, memberi penjelasan pada sang istri yang sejak tadi diam tak mengatakan apapun. Justru semakin membuatnya takut. Bukankah diamnya wanita bisa menjadi lebih berbahaya daripada marahnya secara langsung? Terlebih Ayuma tipe wanita yang tidak suka marah, lemah lembut, jika merasa sedih hanya memilih menangis, tapi diam-diam, bisa pergi begitu saja. la takut jika sampai seperti itu. “Ma, please... Tolong percaya Papa. Mustahil Papa menduakan Mama. Seperti yang Papa jelaskan tadi, Papa memang mengajak Azalea bekerjasama untuk membuat Barra dan Oliv berpisah. Tapi rencana itu gagal total kok, Ma. Maafkan Papa karena gak memberitahu
Barra mengamati video dari ponsel Jefri dengan seksama. la mengerutkan kening melihat bagaimana agresifnya Azalea mencumbu bibir Haris di restaurant. Perut Barra bagai diaduk-aduk, seketika merasa mual, Azalea benar-benar murahan. Bagaimana bisa dulu dirinya menikahi perempuan seperti ini, bahkan selalu menunggu kembalinya wanita itu dalam hidupnya setelah perceraian mereka, dua tahun lamanya. Bodohnya, ia sanggup mengajak Olivia menikah dengan sebuah kesepakatan akan mengakhiri pernikahan mereka jika Azalea kembali. Barra begitu merutuki kebodohannya tersebut. Hampir saja dirinya benar-benar kehilangan Olivia selamanya, hanya karena seorang Azalea yang tak pantas ditunggu apalagi diperjuangkan. “Bagaimana, Pak? Apa kita sebar sekarang videonya?” Jefri menunggu perintah. “Tahan dulu, Jef. Tadinya aku memang ingin video ini segera kita sebar sebagai balasan dari apa yang sudah mereka lakukan terhadapku. Tetapi setelah video pertengkaran Haris dan Putrinya viral, ditambah amukannya
“Munafik! Om itu suka sama aku, tapi di depan anak Om, Om bilang jijik sama aku. Muna!” teriak Azalea pada Haris, mengejutkan pria itu. “Kamu?” Haris melotot pada Azalea. “Apa? Emang benar kan kalau aku ini simpanan Om. Kita sering ketemuan diam-diam tanpa ada orang yang tau. Om suka minta ketemuan, kalau gak di hotel, di rumah aku, atau di villa milik keluarga Om!” Azalea membalas, mengeluarkan kebenciannya dengan mengarang cerita. “Apa yang kamu bicarakan? Kamu mau menfitnah saya_” Haris kaget. Tak menyangka Azalea bisa sebejat ini. “Hei, kamu!” tunjuk Azalea pada Clarissa yang tengah menahan emosi memuncak di ubun-ubunnya, “Papa kamu ini memang berselingkuh sama aku. Dia selalu mendapatkan kepuasan dari tubuh aku, dari pelayanan aku di atas ranjang. Dia selalu mengeluh kalau dia gak bisa terpuaskan dari Mama kamu yang udah gak muda lagi itu. Udah menopause katanya, gak gurih lagi! Dia merasa hampa karena kebutuhan biologisnya kurang terpenuhi dari Mama kamu, sehingga dengan keh
“Baiklah. Kamu akan saya lindungi dari kasus pencemaran nama baik ini. Mobil dan apartemen juga akan saya siapkan. Uang bulanan akan selalu saya transfer ke rekening kamu!” Haris menahan gemuruh emosi di dada. Azalea seketika mengembangkan senyum senang. Akhirnya ia memiliki ATM berjalan sekarang. “Thank's, Om sayang...” bisiknya di telinga Haris yang langsung menjauhkan kepalanya dari wajah Azalea. “Awas saja kalau kamu sampai membawa-bawa nama saya. Habis kamu, Azalea!!” Haris memperingatkan dengan serius. “Sure. Aku sebenarnya senang bekerjasama dengan Om. Om memang baik banget aslinya_” Azalea mengelus lembut paha Haris, hingga ke bagian dalam pahanya. “Singkirkan tangan menjijikkan kamu itu, Betina!!” Haris murka. Perutnya seketika mual, jijik akan sentuhan Azalea. “Om munafik. Bilang aja Om suka tapi takut istri, kan?” ledek Azalea. “Kalau Om mau, kita bisa ke hotel tempat aku menginap. Aku puasin Om karena udah baik banget sama aku! Gimana?” “Jalang!” bentak Haris Nugroho
“Oh iya, titip salam sama Haris ya. Saya ke dalam dulu,” Tuan Rawless tanpa basa basi untuk mengantarkan Elgard sampai ke mobil, justru masuk ke dalam rumah. Tak ada tawaran untuk Elgard agar masuk dulu ke dalam rumah, disuguhkan minuman, atau mengobrol layaknya memperlakukan seorang tamu. Elgard termangu sendirian. Perlakuan keluarga Rawless sangat dingin. Tidak memarahinya berlebihan ataupun menghujat karena perbuatannya dulu, tapi tidak pula beramah tamah. Ini lebih menyakitkan sebenarnya. la dengan langkah gontai, kembali ke mobil. Pendekatan yang direncanakan, gagal. Sedang Olivia tak sedikitpun mau berlama-lama bertatap muka dengannya. Olivia semakin lama semakin jauh, sulit digapai. Ini pasti karena larangan Barra. “Oliv...” lirihnya saat telah duduk di dalam mobil. “Semakin kamu bersikap cuek seperti ini, semakin kuat juga keinginan aku untuk memiliki kamu. Aku gak pernah merasakan rasa cinta yang menggebu-gebu seperti ini sebelumnya, perasaan yang sudah terlalu besar untu
“Baguslah masalah cepat selesai. Kakek cuma ingin hubungan kamu dan Barra baik-baik saja, tidak terpengaruh dengan apa yang terjadi kemarin. Yang Kakek mau, kalian berdua selalu kuat dan saling percaya satu sama lain,” pinta Tuan Rawless. Ujian cinta sepasang suami-istri itu pasti akan selalu ada, namun jangan sampai membuat keduanya terpisah lagi. “InsyaAllah kami berdua kuat, Kek. Oliv percaya Mas Barra sepenuhnya,” ungkap Olivia, meyakinkan sang Kakek. Tin tin... Suara klakson mobil terdengar di luar gerbang rumah, tampak security berbicara pada pemilik mobil yang ingin masuk. “Siapa, Pa?” Amanda menyipitkan mata melihat ke arah mobil di depan pos penjaga. “Papa juga gak tau,” Tuan Rawless mengangkat kedua bahunya. Olivia mengerutkan alis, itu seperti mobil seseorang yang ia kenal. Tampak Security setengah berlari menghampiri ketiganya. “Tuan, ada tamu yang ingin bertemu,” ucap Security memberitahukan. “Siapa?” Tuan Rawless tak merasa ada janji temu dengan seseorang. “Nam
“Stt, jangan kencang-kencang ngomongnya,” bisik Amal, mengedarkan pandangan ke arah Barra dan yang lain. “Diiih, lepasin!” Syifa menepis tangan Amal yang seenaknya menyentuhnya. “Maaf,” Amal jadi tak enak hati. “Kenapa kamu ada di penginapan waktu itu? Kamu sengaja mengikuti Pak Barra?” tanya Syifa, masih dengan tatapan menyelidik. Amal terdiam. Ketahuan sudah. Mau berkilah bagaimana lagi? “Ibu Amanda yang suruh?” tanya Syifa lagi. “Hem, ya. Tapi bukan karena Ibu ingin mencurigai Pak Barra. lbu cuma ingin memastikan Pak Barra gak diganggu Azalea,” Amal terpaksa jujur. “Lalu, kamu disuruh apa? Berjaga-jaga kalau-kalau Azalea mendatangi Pak Barra ke penginapan itu? Kalau ya, kenapa Azalea masih juga bisa masuk ke dalam kamar? Kamu kenapa gak mengusirnya sejak awal?” Syifa mendesak penjelasan dari Amal. Amal yang tak bisa lagi membantah, menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. “Kok kamu bingung gitu? Aku kasi tau Pak Barra sekarang!” Syifa hendak berbalik kepada Bar
“Kamu langsung ke kantor apa ke rumah Paman Rawless dulu, Manda?” Syafira mengamati Amanda yang sedang merapikan penampilannya di depan cermin. Ibu kandung menantunya itu masih begitu awet muda dengan usianya yang sudah memasuki empat puluh enam tahun, cantik dengan tubuhnya yang tinggi langsing. “Aku pulang ke rumah Papa dulu, Fir. Papa udah ngomel-ngomel nyuruh aku pulang. Barra dan Oliv juga disuruh ke sana sekarang,” Amanda terkekeh mengingat tingkah ayahnya tersebut. “Pasti Paman penasaran banget sama kabar hari ini kan?” Syafira ikut tertawa. “Hu'um. Papa itu penasaran kenapa ada video asli Barra yang dijebak Azalea, bisa tersebar,” Jawab Amanda, merapikan rambutnya. Sudah selesai. “Ternyata Paman sama dengan kita, penasaran siapa yang udah menyebarkan video itu. Kalau Paman gak tau siapa yang udah merekam kejadian di kamar itu, artinya memang bukan beliau ya orang yang melakukannya...” Syafira masih belum bisa menebak. “Hem, ya,” angguk Amanda. Syafira masih saja belum sa
“Pengacara sudah menyiapkan laporan ke kantor polisi atas tindakan pencemaran nama baik yang dilakukan Azalea, Pak,” ujar Jefri, menginformasikan. “Bagus. Lalu, Azalea sendiri masih di Hotel itu?” Barra tersenyum samar, seperti sedang memikirkan sesuatu yang menyenangkan. “Masih, Pak. Dia belum ada keluar sama sekali dari hotel itu sampai jam segini. Mungkin dia malu bertemu banyak orang, atau bingung mau kemana karena rumahnya juga sudah tidak ada lagi.” “Bukankah dia akan diberikan sebuah apartemen mewah?” Barra mengernyit heran. “Mungkin Om Sayang meninggalkannya karena tujuan mereka gagal, sehingga hadiah apartemen dan mobil mewah hanya tinggal wacana saja,” Jefri menahan senyum, tetap bersikap serius. Barra menaikkan sebelah alis, miris sekali jika benar seperti yang Jefri perkirakan. “Jef, ikuti terus dia. Aku yakin, sebentar lagi dia pasti akan menemui orang yang sudah membantunya menjebakku. Aku benar-benar penasaran siapa orang itu. Kalau kita sudah mengetahuinya,