“Aarghh!!! Kenapa bisa begini??!” Elgard tak lagi menahan diri untuk tidak menangis. “Sabar ya, Pak. Ini bisa dijadikan pelajaran jika harus benar-benar menjaga pola hidup terutama saat hamil. Alkohol sangat tidak disarankan bagi ibu hamil. Bahkan di trimester kedua kehamilan pun tak bisa disepelekan. Meskipun meminum dalam jumlah yang kecil, konsumsi alkohol dapat meningkatkan risiko terjadinya keguguran hingga 70 persen.” Ujar Dokter, sangat menyayangkan. Elgard terhenyak, dahinya mengkerut mendengar ucapan dokter. “Apa maksudnya minum alkohol?” Tanyanya masih belum mengerti. “Bu Chelsea habis minum alkohol sebelum mengalami kejadian ini. Kebiasaan itu sangat berbahaya bagi ibu, terutama janinnya.” Ujar dokter. “Minum?” Elgard terkejut bukan main. Chelsea sendiri yang berbuat ulah ternyata. “Saat Bumil meminumnya, alkohol akan masuk ke aliran darah dan dapat menembus plasenta, sehingga janin dalam kandungan juga ikut 'meminumnya'. Kalau pada orang dewasa, alkohol yang dikonsums
“Pa.” Amanda mendekati Tuan Rawless yang sedang duduk menemani Adnan bermain mobil-mobilan di ruang keluarga. “Ya, Manda? Kamu baru pulang kantor?” Tuan Rawless tersenyum. la tinggalkan Adnan yang duduk di karpet bulu tebal, kemudian ikut duduk di samping Amanda di sofa. “Hu'um.” Angguk Amanda, ia tersenyum melihat Adnan yang begitu aşik bermain hingga tak menyadari keberadaan dirinya di ruangan tersebut. “Besok pagi kita ada jadwal terapi lanjutan, kamu siap?” Tuan Rawless begitu bersemangat. “Siap, Pa.” “Apa yang kamu rasakan setelah dua kali terapi? Apa lebih enak perasaannya sekarang?” Tuan Rawless antusias. “Lebih plong pastinya. Manda mulai bisa mengontrol perasaan, apalagi kalau emosi.” “Syukurlah, Papa lega mendengarnya. Papa pun juga semakin bersemangat menjalani hari setelah terapi waktu itu.” Tuan Rawless berkata demikian, agar tak terlalu terlihat jika terapi ini sebenarnya dikhususkan untuk Amanda. “Setelah menjalani terapi, itu artinya Manda udah boleh ta
Keduanya mengobrol sebentar, menikmati suasana sore yang hangat. Barra senantiasa mengusap lembut dan mengajak bicara calon bayinya di perut Olivia, membuat wanita itu tertawa kecil melihat tingkah suaminya yang ternyata bisa juga seperti ini. Setelah menikmati kopi dan beberapa camilan, Barra melanjutkan kembali pekerjaannya. Sedang Olivia tak ingin mengganggu. “Mau kemana?” Barra menahan Olivia yang hendak pergi. “Mas kan mau fokus kerja, aku pergi aja biar gak ganggu.” “Duduklah di dekat Mas, temani. Ini juga tidak akan lama,” Pinta Barra. “Oh, gitu. Ya deh,” Olivia tak jadi pergi, akan menemani Barra seperti permintaan pria itu. la mainkan saja gadget, demi mengisi waktu agar tak bosan menunggu Barra. “Innalillahi wainnailaihi rooji'uun...” Olivia memegang dadanya yang berdebar, matanya tertuju pada layar ponsel. “Ada apa, Sayang?” Barra terheran melihat ekspresi istrinya. Olivia tengah fokus menatap ponsel. “Mas, ini, ada berita di sosial media kalau calon cucu Ha
Beberapa hari berlalu. “Kemarilah!” Barra meraih tubuh Olivia yang hendak keluar kamar. Istrinya itu berencana akan menyiapkan sarapan pagi ke dapur. “Kenapa, Mas?” Olivia terheran. Barra mendudukkannya di pangkuan pria itu, di tepi tempat tidur. “Bersiaplah, kita akan pergi sekarang.” “Kemana?” “Ke rumah Kakek.” Olivia mengedip-ngedipkan matanya, apa ia tidak salah dengar? “Kenapa diam? Tidak mau ikut?” Barra tersenyum melihat raut wajah Olivia yang bengong, tampak lucu. “A-apa, Mas? Ini beneran?” Olivia seakan belum percaya dengan apa yang suaminya katakan. “Hem, ya. Kita ke rumah Kakek hari ini,” Barra memperjelas. “Mas beneran yakin? Emang Ibu_” Olivia terdiam sebentar, memastikan keputusan Barra yang sudah memperbolehkannya bertemu ibu dan kakeknya. “Orang-orang ibu sudah tidak lagi mengikuti Jefri. Mereka tidak lagi mengawasi UD Entertainment dan ibu tidak lagi menempatkan anak buahnya di sekitar Penthouse kita. Kakek sendiri yang mengatakan kalau Ibu sudah tidak memp
“Gak apa, kamu udah menyadarinya aja, Papa udah senang. Apalagi kamu udah fokus sama diri kamu sendiri, Papa semakin lega.” “Manda udah janji mau mengikuti apa aja yang Papa minta. Jadi, Papa jangan khawatir Iagi. Manda juga gak ada kepikiran untuk mencari tau di mana Oliv tinggal dengan membuntuti siapa aja yang berhubungan dengan Barra. Pasti ada saatnya, kami akan bertemu juga. Iya kan, Pa?” Amanda menatap Tuan Rawless, sorot matanya tenang meski tak bisa menyembunyikan kesedihan karena harus menahan kerinduan pada Olivia. Tuan Rawless tahu itu. “Pasti kamu akan bertemu Oliv, bersama Iagi, bercerita banyak hal, menyiapkan makanan apa yang dia mau selama ngidam, dan menemaninya bersalin, melahirkan cucu kamu, cicit pertama Papa!” Tuan Rawless menatap lurus ke depan, pada gerbang rumah yang tinggi. Amanda terhenyak, menemani Olivia melahirkan cucunya? “Manda mau itu, Pa...” Ucapnya dengan menahan tangis. Membayangkannya saja, sudah membuat perasaannya bahagia tak terhingga. “K
“Liv, itu Kakek,” Amanda menunjuk Tuan Rawless yang berdiri tak jauh dari mereka.Olivia tersenyum lembut. Ia berjalan mendekati sang Kakek yang tengah menahan perasaan bergemuruh di dada. Cucunya memang sangat cantik, jauh lebih cantik dari yang pernah ia lihat sebentar waktu di acara konferensi pers.“Assalamu'alaikum Kakek, aku Oliv...” Sapa Olivia dengan sikap canggung saat berdiri di depan Tuan Rawless. Ia tersenyum kikuk. Pertama kali sengaja bertemu, apa pria ini sudah mau menganggapnya sebagai Cucu?“Wa'alaikumussalam, Cucuku Olivia,” Tuan Rawless bisa merasakan kecanggungan di diri Cucu cantiknya itu, “Kamu tidak mau memeluk Kakek juga?” Tanyanya dengan dada yang sesak.Seandainya dulu ia tetap memberikan waktu dan perhatian pada cucu semata wayangnya ini meski ada Abian, pasti tidak akan seasing ini rasanya.“Boleh ya Kek?” Tanya Olivia ragu-ragu, benarkah dirinya boleh menganggap Tuan Rawless yang dikenal semua orang sebagai Kakeknya?“Kemarilah, Nak. Peluk Kakek!” Pinta Tu
Pukul 17.50 wib. “Malam ini mau makan apa, Liv?” Tanya Amanda bersemangat. “Um,” Olivia berpikir sejenak. Ini sudah seharian dirinya dan Barra berada di rumah sang Kakek. Tetapi Ibunya itu masih menawarkan makan malam, seolah tak mau ia pulang. “Bilang aja, Nak. Ibu pasti akan buatin apapun yang kamu mau. Demi cucu Ibu juga,” Amanda tersenyum lebar. Ia akan memberitahu para Pelayan untuk membuatkan makanan apa saja yang Olivia inginkan. “Oliv lagi suka makan apa aja sih Bu. Yang penting enak...” Olivia tersenyum, nafsu makannya memang mulai kembali. “Wah, kalau gitu Ibu mau buatin semua makanan enak. Kamu bisa pilih dan makan sepuasnya,” Amanda sudah tak sabar. Ia panggil Nia untuk memasak bersama. Olivia sedikit bingung. Sejak tadi ia belum ada sama sekali bersama Barra. Amanda tak mau melepaskannya. Ibunya itu mengajaknya melihat-lihat rumah besar sang Kakek sembari bercerita tentang masa lalu yang indah di rumah ini. Olivia cukup antusias mendengarkannya. Amanda juga mengaja
“Oh jadi kok rencananya. Tapi aku gak tenang kalau gak izin dari Mas dulu. Emang beneran boleh aku tidur sama Ibu? Kalau gak boleh, aku mau tidur sama Mas aja di kamar kita,” Olivia memastikan kembali. Tak mau meninggalkan suaminya tidur seorang diri jika pria itu keberatan. “Terserah saja. Kalau memang mau tidur bersama Ibu malam ini, tidak apa-apa. Tapi Mas ragu kamu bisa tidur. Kamu biasanya harus dipeluk setiap malam,” Barra tak mau menunjukkan rasa keberatannya. Yakin Olivia sendiri yang akan ragu berpisah darinya malam ini. “Aku sih bisa aja, Mas. Paling Mas yang kecarian karena aku gak ada di samping Mas,” Goda Olivia. “Hem, apa tidak salah? Kamu yang biasanya tidak bisa tidur tanpa memeluk suami kamu ini. Kalau Mas tidak ada masalah kamu mau memilih tidur di mana,” Barra tak mau kalah. Jangan tunjukkan dirinya berharap Olivia memilih dirinya. Olivia tersenyum. Ia merasa suaminya memang tidak masalah dirinya tidur bersama Amanda. Barra juga yakin tak akan kecarian jika ta
Pukul, 19.00 wib_“Aah... Seru banget tadi filmnya.” Clarissa kegirangan, puas.“Nona suka film horor?” Jefri mengernyitkan dahi, cukup heran saat Clarissa memilih untuk menonton film horor tadi.Saat ini mereka baru saja keluar dari bioskop, berada di depan gedung. Keduanya berencana akan melanjutkan kencan romantis mereka untuk mencari kulineran malam.“Aku gak suka horor. Tapi mumpung nonton sama Ayang, aku mau!”“Kenapa?” Jefri masih tak mengerti.“Karena kalau pas lagi ada jump scare-nya, aku bisa meluk Ayang waktu kaget kayak tadi. Romantis kan? Hihihi...” kekeh Clarissa, itu alasannya.Jefri seketika tertawa, lucu sekali tingkah wanita yang sedang bersamanya ini. Alasan Clarissa di luar ekspektasinya.“Nona sudah lapar? Kita cari makan sekarang ya. Tunggu saja di sini. Saya ambil motor kita dulu.” Jefri meminta Clarissa untuk duduk di bangku panjang yang ada di sana. Clarissa tak perlu ikut berjalan ke parkiran, cukup tunggu saja dirinya menjemput.“Ayang, sebentar.” Clarissa d
Jefri tiba juga di depan Nugroho Group dengan sepeda motornya.Tampak dari pintu keluar, Clarissa melangkah cepat menghampirinya dengan senyum mengembang.“Ayaaang...” Seru Clarissa excited, bahagia Jefri telah datang menjemput setelah beberapa lama menunggu. la raih tangan Jefri seperti biasanya, menyalami pria yang ia anggap sebagai calon suaminya dengan mencium takzim punggung tangan pria itu.Jefri yang telah membuka kaca helm, mengedarkan pandangan ke sekeliling, tak ada yang melihat mereka dalam keadaan Clarissa menyalaminya dengan romantis seperti barusan.“Ayang kok nervous terus sih tiap aku salami,” kekeh Clarissa, Jefri selalu berwajah gugup tiap dirinya salami.“Bukan apa-apa, Nona. Cuma memastikan tidak ada yang melihat.”“Emang kenapa kalau ada yang lihat? Ayang malu?” goda Clarissa, menggemaskan sekali wajah kekasihnya ini.“Hanya menjaga tatakrama saja. Jangan sampai ada yang berpikir, orang zaman sekarang bukan suami istri, tetapi bertingkah melebihi pasangan suami i
Keesokan harinya,“Azalea ditusvk?” Barra terkejut mendengar informasi yang baru saja Jefri sampaikan.“Ya, Pak. Orang yang kita bayar untuk mengawasinya di sana, memberitahu kalau Azalea ditemukan di kamar mandi dalam keadaan perutnya ditusvk orang. Dan Margaretha beserta teman-temannya diduga sebagai pelaku atas kejadian itu,” jelas Jefri serius.“Apa benar Margaretha berani melakukannya? Bukankah itu perbuatan bodoh mengingat dia adalah musuh bebuyutan Azalea yang kalau melakukan tindakan seperti itu, pasti akan langsung ketahuan. Aku tidak percaya Margaretha pelakunya!” Barra mengusap-usap dagunya sambil mengerutkan alis mencerna kejadian tersebut.“Benar, Pak. Dari penjelasan orang bayaran kita, mustahil Margaretha yang melakukannya. Dia curiga ada orang lain yang sepertinya sengaja melakukan penvsukan itu dengan memanfaatkan permasalahan yang terjadi di antara Margaretha dan Azalea,”“Haris,” tebak Barra, yakin. “Setelah apa yang terjadi dalam pernikahannya, dia pasti semakin sa
“Heh, lu duduk di kursi gua!”Azalea yang hendak menyuap makanannya, terkejut. Pundaknya tiba-tiba ditepuk dengan kasar.la menolehkan wajah ke samping, menatap seorang wanita yang menghardiknya dengan tatapan sinis, mengklaim jika kursi yang ia duduki saat ini adalah milik wanita yang berdiri dengan berkacak pinggang tersebut.la edarkan pandangan ke semua meja panjang dengan kapasitas sepuluh orang di tiap mejanya, masih ada meja dan kursi yang kosong yang seharusnya bisa wanita itu gunakan untuk makan.“Lha, dia bengong! Eh, lu budeg? Gua bilang, lu duduk di kursi gua. Minggir!” bentak wanita yang sama-sama merupakan penghuni lapas.Azalea menghela napas panjang, begini saja terus. “Perasaan gak ada yang namanya kursi pribadi di sini, bebas mau duduk di mana aja selagi kosong. Kenapa kamu gak duduk di kursi lain? Aku udah lebih dulu duduk di sini.” Azalea tak mau mengalah.“Oooh, udah berani ngebantah ya sekarang, anak baru? Lo berani sama gua!”Aah!Azalea menjerit, rambutnya dija
“Ma, gak baik kayak gini. Kamu udah satu minggu lebih diemin Papa, jangan jadi istri durhaka!” Haris sudah di titik muak. Ayuma tak sedikit pun memberikan kepercayaan padanya, selalu menjauhi, menghindarinya hingga pisah kamar. Tadi saat di kantor, ART melaporkan padanya jika Ayuma sedang bersiap-siap untuk pergi dari rumah. Istrinya itu seperti sedang dikuasai amarah memuncak. “Istri durhaka? Itu kata ajaib yang selalu para suami ucapkan untuk menyudutkan istrinya tanpa mau introspeksi diri!” balas Ayuma, tak kalah keras. Ia terus saja memasukkan pakaiannya ke dalam koper, tak kuat lagi hidup satu atap dengan Haris. “Mau introspeksi diri bagaimana? Papa gak melakukan seperti apa yang orang-orang tuduhkan, kenapa juga Papa harus menyalahkan diri sendiri? Kamu sebagai istri, seharusnya mendukung suami. Tapi ini suami lagi dapat masalah, kamu malah ikut memojokkan. Istri macam apa kamu itu, Ma!” “Aku mencoba untuk percaya. Tapi fakta terbaru yang aku terima, kamu memang punya hubu
Olivia tersenyum manis, barusan dirinya dilanda cemburu. “Maaf, aku gak bakal kayak tadi lagi. Aku suka cemburuan sekarang. Aneh juga karena semakin nambah usia kandungan, aku jadi posesif sama Mas. Maaf ya, Cintaku...” Olivia menge-cup singkat bibir Barra, betapa dirinya sangat mencintai suaminya ini, semakin cinta dari hari ke hari. Mungkin bawaan bayi dalam kandungannya juga. Barra tersenyum senang. Mendengar Olivia cemburu, membuat hidungnya kembang kempis, bangga. Sekarang dirinya berhasil membuat istrinya itu jatuh cinta dan bergantung padanya. Tak hanya cinta sendiri. “Oh iya, Kak Risa kok belum juga mengabari ya?” Olivia hendak mengambil ponselnya, akan melihat apakah ada pesan dari Clarissa jika sudah tiba di UD Entertainment. “Biar Mas ambilkan.” Barra menahan Olivia agar tidak beranjak dari tempat tidur. Dirinya yang akan mengambilkan ponsel sang istri di atas meja. “Ini, Sayang.” Barra kembali ke tempat tidur, duduk di samping Olivia dengan membawakan ponsel. Kemba
“Ayang sweet banget iih... Bikin aku melting.” Clarissa tanpa Jefri duga, langsung memeluk lengan pria itu dengan manja. Lagi-lagi membuat Jefri membeku. Tidak sadarkah Clarissa jika dirinya adalah pria normal yang telah lama melajang? Drrt... Drrt... Sepasang Ayang-ayangan itu terkejut mendengar getar dari ponsel Clarissa. “Eh siapa yang nelepon ya?” Clarissa melepaskan rangkulan manjanya pada lengan kokoh Jefri, langsung melihat siapa yang menelepon. “Ini Mbak di rumah. Bentar ya, Yang.” Clarissa akan menerima panggilan masuk tersebut. “Ya, Mbak?” jawab Clarissa pada si penelepon di seberang sana. Jefri mengamati. Tatapannya masih setia pada Clarissa yang sudah berkali-kali sejak tadi membuatnya terkejut, hingga speechless. Masih bingung dengan status mereka yang sudah di hak patenkan gadis itu. “Apa mbak? Mama sama Papa berantem hebat??” Clarissa kaget dengan suara dipelankan. “Ce-cerai? Kok gitu? lya iya, aku pulang sekarang.” Clarissa dengan wajah panik, segera menutup te
Keduanya mulai menyantap makanan masing-masing, sudah begitu lapar. “Gimana? Enak? Atau gak sesuai lidah kamu?” tanya Clarissa di sela makan mereka, meminta pendapat Jefri. “Ini enak. Sesuai,” jawab Jefri sembari mengunyah. “Alhamdulillah.” Clarissa lega. “Jadi, yang akan menjabat sebagai Presiden Direktur Nugroho Group yang baru adalah Elgard Mario Nugroho?” Jefri kembali ke topik tadi, memastikan kembali. “lya. Awalnya para dewan direksi mengajukan beberapa nama pilihan mereka dari kalangan mereka sendiri, karena mereka tau kalau Elgard gak mungkin dipilih Papa mengingat dia menikah dengan perempuan yang Papa benci. Tapi ternyata Papa malah langsung memutuskan Elgard yang menjadi pengganti aku, bukan orang lain. Akhirnya mereka terbungkam sendiri, gak bisa membantah. Siap-siap aja jabatan mereka satu persatu bakal dicopot Papa.” Clarissa terkekeh, terus menikmati santap makan siangnya yang sudah hampir selesai. Jefri manggut-manggut pelan, sekarang sudah jelas. “Haduh, gak en
“Nona,” panggil Jefri saat mereka sudah keluar dari pintu lobby. “Eh, ma-maaf. Aku gak sadar. Maaf ya.” Clarissa melepaskan tangan Jefri, jadi malu sendiri. “Tidak apa-apa.” Jefri tersenyum tipis. “Wuaah... Kamu senyum barusan? Manis banget, Jefri,” Clarissa terpukau-pukau. Suka melihat senyuman Jefri yang baru ini bisa ia lihat secara langsung. Jefri lagi-lagi terhenyak, kembali salah tingkah dengan pujian Clarissa. Wanita di dekatnya ini ekspresif ternyata. Berbeda dengan dirinya yang cukup calm. “Oh, iya. Sebelumnya maaf ya. Aku pengen traktir kamu, tapi untuk kali ini, aku traktir makannya di tempat biasa aja ya. Uang aku pas-pasan,” jelas Clarissa, berterus-terang di awal. Jefri terperangah. Seorang Clarissa Nugroho hanya memiliki uang pas-pasan? “Kamu gak keberatan kan kalau kita makan di tempat yang murah meriah?” Clarissa memastikan dulu. “Oh, saya tidak mempermasalahkan soal itu. Yang penting bisa makan, sudah cukup,” balas Jefri, penasaran dengan apa yang sebenarnya