“Gue rasa begitu, gue sempat dengar dia nyebut nama perempuan itu. Tapi gue berharap telinga gue salah dengar. Sekarang coba Lo pikir, istri mana yang gak sedih melihat suaminya lebih memilih main sendiri daripada sama istri sendiri yang jelas-jelas bisa dia datangi kapan pun dia mau? Hancur hati gue Nina... Padahal waktu dia masih sama mantan istrinya itu, dia maunya begituan terus sama gue, kayak gak pernah bosan-bosan. Tapi setelah jadi istri, gue dianggurin!” “Huuft... Kacau! Kayaknya Elgard emang lebih suka yang haram-haram, sensasinya beda kali buat dia, ketimbang sama yang halal. Waktu masih sama mantannya dulu, dia juga lebih milih Lo yang cuma selingkuhan, kan?” Chelsea terhenyak dengan ucapan Shenina yang menyebut dirinya adalah selingkuhan Elgard sebelum mereka menikah. Nyelekit sekali kedengarannya. “Dia gak pernah nyentuh mantannya itu sama sekali dulu. Perempuan itu masih perawan waktu dia ceraikan.” Chelsea mendengus kesal. “Hah??? Serius Chel? Yang benar aja Elgard
“Aarghh!!! Kenapa bisa begini??!” Elgard tak lagi menahan diri untuk tidak menangis. “Sabar ya, Pak. Ini bisa dijadikan pelajaran jika harus benar-benar menjaga pola hidup terutama saat hamil. Alkohol sangat tidak disarankan bagi ibu hamil. Bahkan di trimester kedua kehamilan pun tak bisa disepelekan. Meskipun meminum dalam jumlah yang kecil, konsumsi alkohol dapat meningkatkan risiko terjadinya keguguran hingga 70 persen.” Ujar Dokter, sangat menyayangkan. Elgard terhenyak, dahinya mengkerut mendengar ucapan dokter. “Apa maksudnya minum alkohol?” Tanyanya masih belum mengerti. “Bu Chelsea habis minum alkohol sebelum mengalami kejadian ini. Kebiasaan itu sangat berbahaya bagi ibu, terutama janinnya.” Ujar dokter. “Minum?” Elgard terkejut bukan main. Chelsea sendiri yang berbuat ulah ternyata. “Saat Bumil meminumnya, alkohol akan masuk ke aliran darah dan dapat menembus plasenta, sehingga janin dalam kandungan juga ikut 'meminumnya'. Kalau pada orang dewasa, alkohol yang dikonsums
“Pa.” Amanda mendekati Tuan Rawless yang sedang duduk menemani Adnan bermain mobil-mobilan di ruang keluarga. “Ya, Manda? Kamu baru pulang kantor?” Tuan Rawless tersenyum. la tinggalkan Adnan yang duduk di karpet bulu tebal, kemudian ikut duduk di samping Amanda di sofa. “Hu'um.” Angguk Amanda, ia tersenyum melihat Adnan yang begitu aşik bermain hingga tak menyadari keberadaan dirinya di ruangan tersebut. “Besok pagi kita ada jadwal terapi lanjutan, kamu siap?” Tuan Rawless begitu bersemangat. “Siap, Pa.” “Apa yang kamu rasakan setelah dua kali terapi? Apa lebih enak perasaannya sekarang?” Tuan Rawless antusias. “Lebih plong pastinya. Manda mulai bisa mengontrol perasaan, apalagi kalau emosi.” “Syukurlah, Papa lega mendengarnya. Papa pun juga semakin bersemangat menjalani hari setelah terapi waktu itu.” Tuan Rawless berkata demikian, agar tak terlalu terlihat jika terapi ini sebenarnya dikhususkan untuk Amanda. “Setelah menjalani terapi, itu artinya Manda udah boleh ta
Keduanya mengobrol sebentar, menikmati suasana sore yang hangat. Barra senantiasa mengusap lembut dan mengajak bicara calon bayinya di perut Olivia, membuat wanita itu tertawa kecil melihat tingkah suaminya yang ternyata bisa juga seperti ini. Setelah menikmati kopi dan beberapa camilan, Barra melanjutkan kembali pekerjaannya. Sedang Olivia tak ingin mengganggu. “Mau kemana?” Barra menahan Olivia yang hendak pergi. “Mas kan mau fokus kerja, aku pergi aja biar gak ganggu.” “Duduklah di dekat Mas, temani. Ini juga tidak akan lama,” Pinta Barra. “Oh, gitu. Ya deh,” Olivia tak jadi pergi, akan menemani Barra seperti permintaan pria itu. la mainkan saja gadget, demi mengisi waktu agar tak bosan menunggu Barra. “Innalillahi wainnailaihi rooji'uun...” Olivia memegang dadanya yang berdebar, matanya tertuju pada layar ponsel. “Ada apa, Sayang?” Barra terheran melihat ekspresi istrinya. Olivia tengah fokus menatap ponsel. “Mas, ini, ada berita di sosial media kalau calon cucu Ha
Beberapa hari berlalu. “Kemarilah!” Barra meraih tubuh Olivia yang hendak keluar kamar. Istrinya itu berencana akan menyiapkan sarapan pagi ke dapur. “Kenapa, Mas?” Olivia terheran. Barra mendudukkannya di pangkuan pria itu, di tepi tempat tidur. “Bersiaplah, kita akan pergi sekarang.” “Kemana?” “Ke rumah Kakek.” Olivia mengedip-ngedipkan matanya, apa ia tidak salah dengar? “Kenapa diam? Tidak mau ikut?” Barra tersenyum melihat raut wajah Olivia yang bengong, tampak lucu. “A-apa, Mas? Ini beneran?” Olivia seakan belum percaya dengan apa yang suaminya katakan. “Hem, ya. Kita ke rumah Kakek hari ini,” Barra memperjelas. “Mas beneran yakin? Emang Ibu_” Olivia terdiam sebentar, memastikan keputusan Barra yang sudah memperbolehkannya bertemu ibu dan kakeknya. “Orang-orang ibu sudah tidak lagi mengikuti Jefri. Mereka tidak lagi mengawasi UD Entertainment dan ibu tidak lagi menempatkan anak buahnya di sekitar Penthouse kita. Kakek sendiri yang mengatakan kalau Ibu sudah tidak memp
“Gak apa, kamu udah menyadarinya aja, Papa udah senang. Apalagi kamu udah fokus sama diri kamu sendiri, Papa semakin lega.” “Manda udah janji mau mengikuti apa aja yang Papa minta. Jadi, Papa jangan khawatir Iagi. Manda juga gak ada kepikiran untuk mencari tau di mana Oliv tinggal dengan membuntuti siapa aja yang berhubungan dengan Barra. Pasti ada saatnya, kami akan bertemu juga. Iya kan, Pa?” Amanda menatap Tuan Rawless, sorot matanya tenang meski tak bisa menyembunyikan kesedihan karena harus menahan kerinduan pada Olivia. Tuan Rawless tahu itu. “Pasti kamu akan bertemu Oliv, bersama Iagi, bercerita banyak hal, menyiapkan makanan apa yang dia mau selama ngidam, dan menemaninya bersalin, melahirkan cucu kamu, cicit pertama Papa!” Tuan Rawless menatap lurus ke depan, pada gerbang rumah yang tinggi. Amanda terhenyak, menemani Olivia melahirkan cucunya? “Manda mau itu, Pa...” Ucapnya dengan menahan tangis. Membayangkannya saja, sudah membuat perasaannya bahagia tak terhingga. “K
“Liv, itu Kakek,” Amanda menunjuk Tuan Rawless yang berdiri tak jauh dari mereka.Olivia tersenyum lembut. Ia berjalan mendekati sang Kakek yang tengah menahan perasaan bergemuruh di dada. Cucunya memang sangat cantik, jauh lebih cantik dari yang pernah ia lihat sebentar waktu di acara konferensi pers.“Assalamu'alaikum Kakek, aku Oliv...” Sapa Olivia dengan sikap canggung saat berdiri di depan Tuan Rawless. Ia tersenyum kikuk. Pertama kali sengaja bertemu, apa pria ini sudah mau menganggapnya sebagai Cucu?“Wa'alaikumussalam, Cucuku Olivia,” Tuan Rawless bisa merasakan kecanggungan di diri Cucu cantiknya itu, “Kamu tidak mau memeluk Kakek juga?” Tanyanya dengan dada yang sesak.Seandainya dulu ia tetap memberikan waktu dan perhatian pada cucu semata wayangnya ini meski ada Abian, pasti tidak akan seasing ini rasanya.“Boleh ya Kek?” Tanya Olivia ragu-ragu, benarkah dirinya boleh menganggap Tuan Rawless yang dikenal semua orang sebagai Kakeknya?“Kemarilah, Nak. Peluk Kakek!” Pinta Tu
Pukul 17.50 wib. “Malam ini mau makan apa, Liv?” Tanya Amanda bersemangat. “Um,” Olivia berpikir sejenak. Ini sudah seharian dirinya dan Barra berada di rumah sang Kakek. Tetapi Ibunya itu masih menawarkan makan malam, seolah tak mau ia pulang. “Bilang aja, Nak. Ibu pasti akan buatin apapun yang kamu mau. Demi cucu Ibu juga,” Amanda tersenyum lebar. Ia akan memberitahu para Pelayan untuk membuatkan makanan apa saja yang Olivia inginkan. “Oliv lagi suka makan apa aja sih Bu. Yang penting enak...” Olivia tersenyum, nafsu makannya memang mulai kembali. “Wah, kalau gitu Ibu mau buatin semua makanan enak. Kamu bisa pilih dan makan sepuasnya,” Amanda sudah tak sabar. Ia panggil Nia untuk memasak bersama. Olivia sedikit bingung. Sejak tadi ia belum ada sama sekali bersama Barra. Amanda tak mau melepaskannya. Ibunya itu mengajaknya melihat-lihat rumah besar sang Kakek sembari bercerita tentang masa lalu yang indah di rumah ini. Olivia cukup antusias mendengarkannya. Amanda juga mengaja
“Udah, Sayang. Oliv jangan terlalu banyak diajak bicara. Lihatlah dia masih pucat sama lemas gitu,” tegur Virendra, ingin menghentikan Syafira yang masih saja mengajak Olivia mengobrol. Virendra begitu iba melihat menantu perempuannya dalam keadaan lelah. Pasti sangat sangat capek dan inginnya tidur tenang untuk merehatkan badan setelah berjuang melahirkan bayi yang ditunggu-tunggu oleh kedua belah pihak keluarga. “Waduh, maafkan Mommy ya Sayang. Kamu jadi terganggu,” Ucap Syafira pada Olivia. “Enggak kok, Mom.” Olivia terkekeh, dirinya malah selalu senang jika ibu mertuanya itu ada. Membuat suasana semakin hidup dan ramai. Syafira mengusap lembut lengan menantunya, kemudian mendekati Amanda yang berdiri di samping box bayi Olivia. Virendra mengambil kesempatan. la dekati Olivia, lalu membelai dan mengecup pucuk kepala menantunya. “Istirahat yang cukup ya, Nak,” ucapnya lembut, tersenyum dengan sorot mata penuh kasih sayang. “Ya, Dad,” Jawab Olivia ikut tersenyum. Di saat
Olivia ditempatkan di ruang rawatan President Suite-Royal Hospital dengan segala fasilitas lengkapnya. Aroma harum khas bayi baru lahir, menyebar ke seluruh penjuru ruangan, memberi ketenangan tersendiri. Ibu muda itu berbaring dengan kepala sedikit ditinggikan di atas tempat tidur pasien, tubuhnya nyaman ditutupi selimut halus. Di sampingnya, Barra duduk sambil menggenggam tangannya dengan mesra. Mata pria yang kini telah resmi menjadi seorang ayah itu, tak lepas memandangi wajah lelah Olivia yang tampak sedikit pucat. Cinta dan perhatian tergambar jelas dalam tatapan hangat Barra. la sesekali mengecup tangan Olivia, menunjukkan dukungan dan kasih sayang yang semakin besar saja pada istrinya itu. Rasa bangga terhadap Olivia yang telah melahirkan buah cinta mereka, kian membuncah. Sedang Olivia yang telah melewati proses persalinan, tampak lelah namun sumringah. Mata sayunya tertuju pada bayi yang kini berada dalam dekapan sang kakek. Tampak bayi mungil mereka tertidur lelap d
Dengan hati-hati, Barra membantu Olivia berjalan ke mobil, sambil terus memastikan bahwa istrinya itu merasa nyaman. “Udah yakin gak ada yang tertinggal, Sayang?” tanya Amanda sebelum pintu mobil ditutup. “InsyaAllah yakin, Bu.” “Ok. Jagain Oliv ya Bar. Ibu dan Kakek di belakang ngikutin mobil kalian.” “Ya, Bu.” Barra mengangguk, berdebar-debar karena Olivia menahan sakit sambil menggenggam kuat jemarinya. Amanda menutup pintu mobil Barra dari luar. Mobil pun segera melaju, menuju rumah sakit Royal Hospital. Amanda dan Tuan Rawless dengan mobil mereka sendiri, akan ikut ke rumah sakit untuk menunggui persalinan Olivia. Wajah keduanya cukup tegang, ini waktunya cucu Amanda sekaligus cicit Tuan Rawless akan hadir ke dunia ini. Sebentar lagi. Hujan masih terus mengguyur, menambah dramatis perjalanan mereka ke rumah sakit di dini hari yang dingin dan basah itu. “Aduh Mas, makin sakiiiit...” Olivia menggenggam erat tangan Barra. Kontraksinya terasa semakin kencang daripada sebelumn
_Dua bulan kemudian_ Pukul 01.00 wib. Suara gemericik hujan di luar jendela kediaman Rawless, semakin membuat malam terasa pekat. Di dalam kamar yang temarm oleh lampu tidur, Barra dan Olivia masih berbaring di bawah selimut tebal yang membalut tubuh keduanya. AC yang sejak awal diatur dengan suhu rendah, menambah kesejukan ruang kamar yang luas itu, serasi dengan dinginnya malam yang diselimuti hujan. Olivia dengan perutnya yang besar menonjol, tidur miring ke kiri membelakangi Barra dengan kepala bertumpu pada lengan suaminya sebagai bantal empuk. Sedang Barra memeluknya dari belakang, seperti salah satu kebiasaan mereka saat tidur. “Uugh...” Olivia mulai menggeliat. Rasa tak nyaman di perut yang dirasakannya sebelum tidur tadi, kembali lagi, malah semakin intens. Perutnya seperti mengencang, seakan menjadi sebuah tanda bahwa kontraksi sesungguhnya telah dimulai. “Nak, kok gerak-gerak terus ya? Apa udah mau lahir?” lirihnya dengan mengusap-usap perut. Dengan wajah meringis
Tampak penghulu datang, langsung disambut ramah oleh Tuan Rawless, Virendra dan Haris. Setelah berbasa basi, semuanya akhirnya duduk di tempat masing-masing. Penghulu, Barra dan Tuan Rawless sebagai saksi nikah. Yang terpenting, Jefri dan Haris duduk berhadap-hadapan untuk mengucapkan ijab qobul sebentar lagi. Sementara keluarga besar sudah menempati kursi mereka masing-masing, ikut tak sabar menyaksikan acara sakral ini. Tak berselang lama, Syafira dan Ayuma masuk ke dalam ballroom hotel. Suara riuh hadirin di dalam ruangan megah itu, sontak menarik perhatian Jefri. Ada ungkapan takjub dengan melafazkan kalimat MasyaAllah, terdengar dari suara-suara mereka yang melihat ke arah pintu masuk. Degup Degup Jantung Jefri berdegup sekencang mungkin. la menelan saliva, matanya tak berkedip. Clarissa masuk digandeng Syafira dan Ayuma, itu gadis yang sebentar lagi akan ia halalkan. Tak sampai hitungan jam lagi. ‘Ya Allah!’ ‘Indahnya cıptaanMu...’ Batin Jefri, terpesona melihat calon
Tiga minggu berlalu... Ballroom hotel bintang lima tempat Jefri dan Clarissa akan melangsungkan akad nikah sekaligus resepsi pernikahan, telah bertransformasi menjadi sebuah mahakarya keindahan, seperti sebuah istana mewah bak pernikahan putri raja. Di sekeliling ballroom, meja-meja tamu tersusun rapi dan elegan, ditata dengan linens putih bersih dan peralatan makan perak yang berkilau, dihiasi centerpiece yang terdiri dari bunga-bunga segar dan lilin-lilin yang menambahkan nuansa romantis. Di setiap sudutnya, terdapat rangkaian bunga yang mewah berwarna-warni sedemikian rupa, menambah semerbak aroma floral yang menggoda indra. Di bagian depan ballroom, sebuah meja berukuran sedang namun unik, telah disiapkan dengan kursi spesial untuk calon pengantin pria yang akan melangsungkan ijab qobul bersama wali nikah pengantin perempuan, tak lupa kursi khusus penghulu dan dua orang saksi nikah. Atmosfer di aula ini bukan hanya tentang keindahan visual, namun juga perasaan penuh harapan y
Kini mereka tengah berkumpul di kediaman Virendra sambil mengobrol. Jefri yang sudah disuruh beristirahat oleh sang Mommy, masih tetap bergabung dalam obrolan meski hanya menjadi pendengar. Wajahnya tampak tegang, sedikit gugup. “Jef, kamu kenapa? Dari tadi diem aja, disuruh rehat gak mau.” Syafira terheran melihat raut wajah gugup pemuda yang sudah ia anggap sebagai putra keduanya itu. “Um, Mommy, Daddy,” Jefri mencoba menetralkan sikap, harus tetap tenang. “Tell us. Kamu biasanya kalau mau ngomong sesuatu, gak pake basa basi, Jef. Kenapa sekarang gugup gitu, ada masalah lain?” Virendra cukup penasaran melihat ekspresi tegang Jefri. “Begini. Ada yang mau Jef sampaikan.” Jefri menatap satu persatu wajah Virendra dan Syafira yang menunggu apa yang akan ia sampaikan. “Jangan bikin Mommy penasaran ah, Jef! Cepetan ngomongnya,” Desak Syafira. Sudah tahu dirinya tak bisa dibuat penasaran. Jiwa keponya berontak. Jefri menarik napas dalam-dalam, membuat Syafira semakin penasaran. “Dad
“Dan sekarang, saya semakin yakin kalau saya tidak bisa kehilangan Nona Clarissa. Saya ingin bersamanya, memilikinya sebagai istri saya. Karena tidak mau membuang-buang waktu lagi, begitu tau Nona Clarissa akan meninggalkan Indonesia, saya langsung bergegas menyusul ke Bandara untuk membawanya kembali bersama saya. Tidak akan saya lepaskan lagi dia. Akan saya perjuangkan dia dengan cara mengikatnya ke dalam ikatan yang halal, karena saya sangat mencintainya, lebih dari segalanya. Sudah cukup bagi saya untuk mengenal kepribadiannya, tahu tentang harapan dan mimpinya, dan saya ingin menjadi bagian dari itu semua. Saya tidak hanya mencintai dia, tapi juga menghormati dia sebagai individu. Saya siap berbagi suka dan duka bersamanya, di setiap langkah yang akan kami tempuh bersama.” Jefri berucap dengan sorot mata penuh keseriusan, mengungkapkan seluruh perasaan dan keinginannya. Tanpa sadar, rasa gugup dan khawatir akan ditolak, menghilang begitu saja. Berganti menjadi rasa percaya diri d
“Begitupun saya, Nona. Sejak kecil, saya selalu berharap ada pasangan suami istri yang mau mengambil saya menjadi anak mereka, tetapi tidak pernah dilirik sama sekali. Mungkin karena saya kurus seperti anak kurang gizi. Dekil dan sering sakit dibanding anak panti lainnya. Tidak ada yang tertarik untuk mengadopsi saya. Tidak ada kelebihan yang saya punya selain otak yang mampu, tapi tidak seimbang dengan fisik saya yang lemah. Setelah bersama Pak Barra, saya berubah menjadi seperti sekarang. Kuat dan bisa beliau andalkan. Kalau tidak bertemu beliau dan Tuhan tidak menggerakkan hatinya untuk memasukkan saya ke dalam keluarga Virendra, mungkin sekarang pun saya juga bukan siapa-siapa. Belum tentu saya bisa bertemu circle orang-orang hebat. Dan belum tentu saya bisa bertemu dengan Nona,” Jefri menatap wajah Clarissa. Mata Gadis itu tengah berkaca-kaca mendengar kisah hidupnya. “Kamu hebat! Kamu pantas dipertemukan dengan orang-orang hebat pula seperti Pak Barra dan keluarga Virendra. Aku