Dua hari berlalu... Di kediaman keluarga Nugroho, sarapan pagi baru saja selesai. “Pa, jangan lupa minum obat tensinya. Mama ke depan dulu ya, mau nyiram tanaman,” Ucap Ayuma pada Haris. “Ya, Sayang.” Haris tersenyum hangat pada istri tercintanya, matanya lalu melirik obat yang telah Ayuma siapkan di atas meja makan. Kini tinggal Haris dan Clarissa-sang Putri di ruang makan tersebut. Clarissa menatap Haris dengan sorot mata penuh tanya. “Hari ini jadi pertemuan dengan PT. Selamat, Kak?” Tanya Haris setelah menelan pil dengan didorong beberapa teguk air minum. “Jadi, pukul sepuluh ini, Pa,” Jawab Clarissa, menatap intens wajah sang Papa. “Sama Elgard juga, kan?” “Hu'um.” “Bagus. Elgard itu public speaking-nya bagus. Dia ahli banget dalam urusan lobi-melobi dengan klien,” Haris senang. Putri dan Putranya kompak dalam mengurus perusahaan keluarga. “Kenapa gak Elgard aja yang jadi Presdir, Pa? Dia lebih cocok!” “No! Selagi dia masih sama perempuan itu, gak akan Papa kasi dia ja
“Sudah! Kalian berdua harus bekerjasama. Kamu juga, El. Sebagai wakil Clarissa, kamu harus ikut bersamanya. Jangan bawa-bawa masalah pribadi ke pekerjaan. Papa gak suka!” “Ya, Pa. Elgard paham.” Ucap Elgard, tak mau mengecewakan Haris. Clarissa hanya diam dengan wajah angkuhnya. Tak mau menurunkan ego jika sudah berdebat dengan dua pria ini. “Kamu kenapa kusut gitu? Papa lihat, setelah nikah lagi, kamu nggak pernah bahagia seperti dulu. Berantem lagi?” Elgard buang nafas kasar, capek hati. “Chelsea, Pa.” Jawabnya lesu. “Kenapa dia?” Haris penasaran. “Dia lagi hamil, tapi masih suka ngerokok, minum, lalu ngerancang beberapa gaun pengantin buat project dia di acara fashion week Madam Prilly minggu depan. Pola hidup dia benar-benar gak baik buat calon anak kami. Padahal sebelum nikahin dia, Elgard gak tau kalau Chelsea suka rokok sama minum. Berkali-kali Elgard tegur, dia malah melawan dan ujung-ujungnya bertengkar. Capek Elgard, Pa!” Haris tersenyum samar. Ya, bagus jika putranya
Barra semakin mengeratkan dekapannya, “Kamu masih bisa menahan rindu sebentar lagi saja?” Tanyanya resah. “InsyaAllah bisa. Sembari menunggu Ibu sadar, aku selalu berdoa supaya Allah beri bantuan untuk membukakan pintu hati Ibu agar luluh.” “Mas juga ingin mempertemukan kalian berdua. Tetapi Mas minta waktu sebentar lagi. Sayang mau bersabar, kan?” Olivia mendongakkan wajahnya ke atas, menatap Barra yang memeluknya. “Hu'um. Pokoknya, semua aku serahkan sama Mas. Mas yang paling tau apa yang terbaik untuk aku.” Olivia tersenyum manis, tak ingin suaminya sedih. “Kamu istri yang luar biasa. Mas selalu ingin memberikan apapun untuk kebahagiaan kamu. Mas berjanji, tidak akan lama lagi kamu akan bertemu Ibu!” Barra menegaskan. la harus memastikan Amanda benar-benar sudah berubah dan mau menerima dirinya, sehingga tidak ada lagi niat untuk memisahkannya dari Olivia. “Aku paham. Aku gak akan memaksakan keadaan untuk bertemu Ibu dalam waktu dekat ini kalau akhirnya malah membuat kita terp
Barra sampai memejam mata sesaat, menikmati perlakuan nakal Olivia hingga tatapannya berubah sayu menahan sensasi luar biasa dari sentuhan dan permainan jemari halus istrinya itu di tubuh atasnya. “Mas selalu bernafsu di dekat kamu, Sayang!” Barra langsung mencum-bu bibir hingga leher Olivia dengan gemas, membuat Olivia terkikik kegelian. Drrt... Drrt... Eh? Barra dan Olivia yang tengah bercum-bu mesra, terkejut mendengar suara ponsel Barra. “Selalu saja benda itu mengganggu. Mas matikan dulu!” Barra merogoh ponselnya di saku, akan menolak panggilan masuk tersebut. “Jangan Mas, lihat dulu siapa yang nelepon. Mungkin penting,” Olivia menghalangi niat suaminya. Barra menatap layar ponsel, matanya seketika melebar melihat siapa yang menelepon. Olivia ikut melihat layar ponsel di tangan Barra. “Tuh kan, Mommy ternyata. Terima cepat Mas...” Pintanya. Barra segera mendudukkan diri di sebelah Olivia, memperbaiki posisi duduk. la terima panggilan masuk dari sang Mommy. [BARRA MALIK
“Gue rasa begitu, gue sempat dengar dia nyebut nama perempuan itu. Tapi gue berharap telinga gue salah dengar. Sekarang coba Lo pikir, istri mana yang gak sedih melihat suaminya lebih memilih main sendiri daripada sama istri sendiri yang jelas-jelas bisa dia datangi kapan pun dia mau? Hancur hati gue Nina... Padahal waktu dia masih sama mantan istrinya itu, dia maunya begituan terus sama gue, kayak gak pernah bosan-bosan. Tapi setelah jadi istri, gue dianggurin!” “Huuft... Kacau! Kayaknya Elgard emang lebih suka yang haram-haram, sensasinya beda kali buat dia, ketimbang sama yang halal. Waktu masih sama mantannya dulu, dia juga lebih milih Lo yang cuma selingkuhan, kan?” Chelsea terhenyak dengan ucapan Shenina yang menyebut dirinya adalah selingkuhan Elgard sebelum mereka menikah. Nyelekit sekali kedengarannya. “Dia gak pernah nyentuh mantannya itu sama sekali dulu. Perempuan itu masih perawan waktu dia ceraikan.” Chelsea mendengus kesal. “Hah??? Serius Chel? Yang benar aja Elgard
“Aarghh!!! Kenapa bisa begini??!” Elgard tak lagi menahan diri untuk tidak menangis. “Sabar ya, Pak. Ini bisa dijadikan pelajaran jika harus benar-benar menjaga pola hidup terutama saat hamil. Alkohol sangat tidak disarankan bagi ibu hamil. Bahkan di trimester kedua kehamilan pun tak bisa disepelekan. Meskipun meminum dalam jumlah yang kecil, konsumsi alkohol dapat meningkatkan risiko terjadinya keguguran hingga 70 persen.” Ujar Dokter, sangat menyayangkan. Elgard terhenyak, dahinya mengkerut mendengar ucapan dokter. “Apa maksudnya minum alkohol?” Tanyanya masih belum mengerti. “Bu Chelsea habis minum alkohol sebelum mengalami kejadian ini. Kebiasaan itu sangat berbahaya bagi ibu, terutama janinnya.” Ujar dokter. “Minum?” Elgard terkejut bukan main. Chelsea sendiri yang berbuat ulah ternyata. “Saat Bumil meminumnya, alkohol akan masuk ke aliran darah dan dapat menembus plasenta, sehingga janin dalam kandungan juga ikut 'meminumnya'. Kalau pada orang dewasa, alkohol yang dikonsums
“Pa.” Amanda mendekati Tuan Rawless yang sedang duduk menemani Adnan bermain mobil-mobilan di ruang keluarga. “Ya, Manda? Kamu baru pulang kantor?” Tuan Rawless tersenyum. la tinggalkan Adnan yang duduk di karpet bulu tebal, kemudian ikut duduk di samping Amanda di sofa. “Hu'um.” Angguk Amanda, ia tersenyum melihat Adnan yang begitu aşik bermain hingga tak menyadari keberadaan dirinya di ruangan tersebut. “Besok pagi kita ada jadwal terapi lanjutan, kamu siap?” Tuan Rawless begitu bersemangat. “Siap, Pa.” “Apa yang kamu rasakan setelah dua kali terapi? Apa lebih enak perasaannya sekarang?” Tuan Rawless antusias. “Lebih plong pastinya. Manda mulai bisa mengontrol perasaan, apalagi kalau emosi.” “Syukurlah, Papa lega mendengarnya. Papa pun juga semakin bersemangat menjalani hari setelah terapi waktu itu.” Tuan Rawless berkata demikian, agar tak terlalu terlihat jika terapi ini sebenarnya dikhususkan untuk Amanda. “Setelah menjalani terapi, itu artinya Manda udah boleh ta
Keduanya mengobrol sebentar, menikmati suasana sore yang hangat. Barra senantiasa mengusap lembut dan mengajak bicara calon bayinya di perut Olivia, membuat wanita itu tertawa kecil melihat tingkah suaminya yang ternyata bisa juga seperti ini. Setelah menikmati kopi dan beberapa camilan, Barra melanjutkan kembali pekerjaannya. Sedang Olivia tak ingin mengganggu. “Mau kemana?” Barra menahan Olivia yang hendak pergi. “Mas kan mau fokus kerja, aku pergi aja biar gak ganggu.” “Duduklah di dekat Mas, temani. Ini juga tidak akan lama,” Pinta Barra. “Oh, gitu. Ya deh,” Olivia tak jadi pergi, akan menemani Barra seperti permintaan pria itu. la mainkan saja gadget, demi mengisi waktu agar tak bosan menunggu Barra. “Innalillahi wainnailaihi rooji'uun...” Olivia memegang dadanya yang berdebar, matanya tertuju pada layar ponsel. “Ada apa, Sayang?” Barra terheran melihat ekspresi istrinya. Olivia tengah fokus menatap ponsel. “Mas, ini, ada berita di sosial media kalau calon cucu Ha
“Udah, Sayang. Oliv jangan terlalu banyak diajak bicara. Lihatlah dia masih pucat sama lemas gitu,” tegur Virendra, ingin menghentikan Syafira yang masih saja mengajak Olivia mengobrol. Virendra begitu iba melihat menantu perempuannya dalam keadaan lelah. Pasti sangat sangat capek dan inginnya tidur tenang untuk merehatkan badan setelah berjuang melahirkan bayi yang ditunggu-tunggu oleh kedua belah pihak keluarga. “Waduh, maafkan Mommy ya Sayang. Kamu jadi terganggu,” Ucap Syafira pada Olivia. “Enggak kok, Mom.” Olivia terkekeh, dirinya malah selalu senang jika ibu mertuanya itu ada. Membuat suasana semakin hidup dan ramai. Syafira mengusap lembut lengan menantunya, kemudian mendekati Amanda yang berdiri di samping box bayi Olivia. Virendra mengambil kesempatan. la dekati Olivia, lalu membelai dan mengecup pucuk kepala menantunya. “Istirahat yang cukup ya, Nak,” ucapnya lembut, tersenyum dengan sorot mata penuh kasih sayang. “Ya, Dad,” Jawab Olivia ikut tersenyum. Di saat
Olivia ditempatkan di ruang rawatan President Suite-Royal Hospital dengan segala fasilitas lengkapnya. Aroma harum khas bayi baru lahir, menyebar ke seluruh penjuru ruangan, memberi ketenangan tersendiri. Ibu muda itu berbaring dengan kepala sedikit ditinggikan di atas tempat tidur pasien, tubuhnya nyaman ditutupi selimut halus. Di sampingnya, Barra duduk sambil menggenggam tangannya dengan mesra. Mata pria yang kini telah resmi menjadi seorang ayah itu, tak lepas memandangi wajah lelah Olivia yang tampak sedikit pucat. Cinta dan perhatian tergambar jelas dalam tatapan hangat Barra. la sesekali mengecup tangan Olivia, menunjukkan dukungan dan kasih sayang yang semakin besar saja pada istrinya itu. Rasa bangga terhadap Olivia yang telah melahirkan buah cinta mereka, kian membuncah. Sedang Olivia yang telah melewati proses persalinan, tampak lelah namun sumringah. Mata sayunya tertuju pada bayi yang kini berada dalam dekapan sang kakek. Tampak bayi mungil mereka tertidur lelap d
Dengan hati-hati, Barra membantu Olivia berjalan ke mobil, sambil terus memastikan bahwa istrinya itu merasa nyaman. “Udah yakin gak ada yang tertinggal, Sayang?” tanya Amanda sebelum pintu mobil ditutup. “InsyaAllah yakin, Bu.” “Ok. Jagain Oliv ya Bar. Ibu dan Kakek di belakang ngikutin mobil kalian.” “Ya, Bu.” Barra mengangguk, berdebar-debar karena Olivia menahan sakit sambil menggenggam kuat jemarinya. Amanda menutup pintu mobil Barra dari luar. Mobil pun segera melaju, menuju rumah sakit Royal Hospital. Amanda dan Tuan Rawless dengan mobil mereka sendiri, akan ikut ke rumah sakit untuk menunggui persalinan Olivia. Wajah keduanya cukup tegang, ini waktunya cucu Amanda sekaligus cicit Tuan Rawless akan hadir ke dunia ini. Sebentar lagi. Hujan masih terus mengguyur, menambah dramatis perjalanan mereka ke rumah sakit di dini hari yang dingin dan basah itu. “Aduh Mas, makin sakiiiit...” Olivia menggenggam erat tangan Barra. Kontraksinya terasa semakin kencang daripada sebelumn
_Dua bulan kemudian_ Pukul 01.00 wib. Suara gemericik hujan di luar jendela kediaman Rawless, semakin membuat malam terasa pekat. Di dalam kamar yang temarm oleh lampu tidur, Barra dan Olivia masih berbaring di bawah selimut tebal yang membalut tubuh keduanya. AC yang sejak awal diatur dengan suhu rendah, menambah kesejukan ruang kamar yang luas itu, serasi dengan dinginnya malam yang diselimuti hujan. Olivia dengan perutnya yang besar menonjol, tidur miring ke kiri membelakangi Barra dengan kepala bertumpu pada lengan suaminya sebagai bantal empuk. Sedang Barra memeluknya dari belakang, seperti salah satu kebiasaan mereka saat tidur. “Uugh...” Olivia mulai menggeliat. Rasa tak nyaman di perut yang dirasakannya sebelum tidur tadi, kembali lagi, malah semakin intens. Perutnya seperti mengencang, seakan menjadi sebuah tanda bahwa kontraksi sesungguhnya telah dimulai. “Nak, kok gerak-gerak terus ya? Apa udah mau lahir?” lirihnya dengan mengusap-usap perut. Dengan wajah meringis
Tampak penghulu datang, langsung disambut ramah oleh Tuan Rawless, Virendra dan Haris. Setelah berbasa basi, semuanya akhirnya duduk di tempat masing-masing. Penghulu, Barra dan Tuan Rawless sebagai saksi nikah. Yang terpenting, Jefri dan Haris duduk berhadap-hadapan untuk mengucapkan ijab qobul sebentar lagi. Sementara keluarga besar sudah menempati kursi mereka masing-masing, ikut tak sabar menyaksikan acara sakral ini. Tak berselang lama, Syafira dan Ayuma masuk ke dalam ballroom hotel. Suara riuh hadirin di dalam ruangan megah itu, sontak menarik perhatian Jefri. Ada ungkapan takjub dengan melafazkan kalimat MasyaAllah, terdengar dari suara-suara mereka yang melihat ke arah pintu masuk. Degup Degup Jantung Jefri berdegup sekencang mungkin. la menelan saliva, matanya tak berkedip. Clarissa masuk digandeng Syafira dan Ayuma, itu gadis yang sebentar lagi akan ia halalkan. Tak sampai hitungan jam lagi. ‘Ya Allah!’ ‘Indahnya cıptaanMu...’ Batin Jefri, terpesona melihat calon
Tiga minggu berlalu... Ballroom hotel bintang lima tempat Jefri dan Clarissa akan melangsungkan akad nikah sekaligus resepsi pernikahan, telah bertransformasi menjadi sebuah mahakarya keindahan, seperti sebuah istana mewah bak pernikahan putri raja. Di sekeliling ballroom, meja-meja tamu tersusun rapi dan elegan, ditata dengan linens putih bersih dan peralatan makan perak yang berkilau, dihiasi centerpiece yang terdiri dari bunga-bunga segar dan lilin-lilin yang menambahkan nuansa romantis. Di setiap sudutnya, terdapat rangkaian bunga yang mewah berwarna-warni sedemikian rupa, menambah semerbak aroma floral yang menggoda indra. Di bagian depan ballroom, sebuah meja berukuran sedang namun unik, telah disiapkan dengan kursi spesial untuk calon pengantin pria yang akan melangsungkan ijab qobul bersama wali nikah pengantin perempuan, tak lupa kursi khusus penghulu dan dua orang saksi nikah. Atmosfer di aula ini bukan hanya tentang keindahan visual, namun juga perasaan penuh harapan y
Kini mereka tengah berkumpul di kediaman Virendra sambil mengobrol. Jefri yang sudah disuruh beristirahat oleh sang Mommy, masih tetap bergabung dalam obrolan meski hanya menjadi pendengar. Wajahnya tampak tegang, sedikit gugup. “Jef, kamu kenapa? Dari tadi diem aja, disuruh rehat gak mau.” Syafira terheran melihat raut wajah gugup pemuda yang sudah ia anggap sebagai putra keduanya itu. “Um, Mommy, Daddy,” Jefri mencoba menetralkan sikap, harus tetap tenang. “Tell us. Kamu biasanya kalau mau ngomong sesuatu, gak pake basa basi, Jef. Kenapa sekarang gugup gitu, ada masalah lain?” Virendra cukup penasaran melihat ekspresi tegang Jefri. “Begini. Ada yang mau Jef sampaikan.” Jefri menatap satu persatu wajah Virendra dan Syafira yang menunggu apa yang akan ia sampaikan. “Jangan bikin Mommy penasaran ah, Jef! Cepetan ngomongnya,” Desak Syafira. Sudah tahu dirinya tak bisa dibuat penasaran. Jiwa keponya berontak. Jefri menarik napas dalam-dalam, membuat Syafira semakin penasaran. “Dad
“Dan sekarang, saya semakin yakin kalau saya tidak bisa kehilangan Nona Clarissa. Saya ingin bersamanya, memilikinya sebagai istri saya. Karena tidak mau membuang-buang waktu lagi, begitu tau Nona Clarissa akan meninggalkan Indonesia, saya langsung bergegas menyusul ke Bandara untuk membawanya kembali bersama saya. Tidak akan saya lepaskan lagi dia. Akan saya perjuangkan dia dengan cara mengikatnya ke dalam ikatan yang halal, karena saya sangat mencintainya, lebih dari segalanya. Sudah cukup bagi saya untuk mengenal kepribadiannya, tahu tentang harapan dan mimpinya, dan saya ingin menjadi bagian dari itu semua. Saya tidak hanya mencintai dia, tapi juga menghormati dia sebagai individu. Saya siap berbagi suka dan duka bersamanya, di setiap langkah yang akan kami tempuh bersama.” Jefri berucap dengan sorot mata penuh keseriusan, mengungkapkan seluruh perasaan dan keinginannya. Tanpa sadar, rasa gugup dan khawatir akan ditolak, menghilang begitu saja. Berganti menjadi rasa percaya diri d
“Begitupun saya, Nona. Sejak kecil, saya selalu berharap ada pasangan suami istri yang mau mengambil saya menjadi anak mereka, tetapi tidak pernah dilirik sama sekali. Mungkin karena saya kurus seperti anak kurang gizi. Dekil dan sering sakit dibanding anak panti lainnya. Tidak ada yang tertarik untuk mengadopsi saya. Tidak ada kelebihan yang saya punya selain otak yang mampu, tapi tidak seimbang dengan fisik saya yang lemah. Setelah bersama Pak Barra, saya berubah menjadi seperti sekarang. Kuat dan bisa beliau andalkan. Kalau tidak bertemu beliau dan Tuhan tidak menggerakkan hatinya untuk memasukkan saya ke dalam keluarga Virendra, mungkin sekarang pun saya juga bukan siapa-siapa. Belum tentu saya bisa bertemu circle orang-orang hebat. Dan belum tentu saya bisa bertemu dengan Nona,” Jefri menatap wajah Clarissa. Mata Gadis itu tengah berkaca-kaca mendengar kisah hidupnya. “Kamu hebat! Kamu pantas dipertemukan dengan orang-orang hebat pula seperti Pak Barra dan keluarga Virendra. Aku