Zara memandangi dua bayi kembar yang baru saja lahir ke dunia, begitu cantik dan sangat beruntung karena lahir ditengah-tengah dua keluarga yang kaya raya.
Ia mengesah mengingat dulu pernah menjadi orang kaya dan menikmati segala kemewahan.
Tuhan begitu mudah merubah nasib seseorang seperti membolak-balikan telapak tangan.
Sekarang kehidupannya berubah seratus delapan puluh derajat tapi Zara patut bersyukur karena telah terbebas dari Jordi.
Ia dan keluarganya bisa kembali ke Negaranya dan memulai hidup baru.
Sebuah sentuhan di pundak membuat Zara menoleh. Arkana, pria itu masih saja mengikutinya.
Sebetulnya apa yang dia mau?
“Arsha udah masuk ruang rawat, kita ketemu dia dulu trus pamit ... nanti gue anter lo pulang,” ujar Arkana mengatur sesuka hati.
Zara menghadapkan tubuhnya secara sempurna ke depan Arkana, dagunya terangkat menatap lekat mata pria yang tidak bisa ia pungkiri jika Arkana yang sekarang jauh lebih tampan dengan tubuh kekar berisi sedikit berbeda dari Arkana yang dulu ia kenal.
“Kenapa?” tanya Zara selanjutnya.
“Kenapa apanya?” Arkana balik bertanya menghasilkan kerutan di keningnya.
“Kenapa Kak Arkana peduli? Aku tuh trauma ... dulu Kakak sering jailin aku ... mulai sekarang jauh-jauh dari aku, Kakak enggak boleh deket-deket sama aku minimal dua ratus meter.” Zara mundur beberapa langkah tapi tangan Arkasa dengan cepat mencekal tangannya.
Arkana bukanlah pria penyabar, ia menarik Zara hingga dada sang gadis membentur dadanya.
“Ikutin keinginan gue atau gue akan mengulang apa yang gue lakuin semasa SMA sama, lo!” bisik Arkana serak dengan tatapan mata tajam.
Mata cantik Zara membulat, ia menelan saliva merasakan aura kelam yang saat ini menyelimuti Arkana.
Pria itu mencengkram lengan atas Zara. “Lo denger ‘kan apa yang gue bilang?” tanyanya dengan intonasi tinggi sambil mengguncang tubuh Zara.
“De ... denger,” jawab Zara cepat sebelum pria itu mengamuk.
Tiba-tiba saja Zara menjadi penurut, ia benar-benar merasa ketakutan melebihi rasa takutnya pada Jordi melihat ekspresi Arkana tadi.
Bukan karena ancamannya melainkan raut wajah Arkana yang sangat menyeramkan, pria tampan itu seperti sedang kerasukan dan Zara tidak ingin mengambil resiko dengan membantahnya.
Arkana merangkul pundak Zara setelah tadi mengancamnya.
“Gini donk, kalau lo kooperatif kaya gini ... hidup lo bakal aman sama gue,” ujar pria itu dengan nada bicara santai, jauh berbeda dengan nada yang ia keluarkan tadi ketika mengancam Zara.
“Iiisshh ... dasar nyebelin!” gumam Zara mendengus, wajah cantiknya memberengut begitu menggemaskan bagi Arkana.
Arkana mengulum senyum, mencuri-curi pandang ke arah Zara yang sedang berada dalam rangkulannya.
“Menang banyak,” soraknya dalam hati.
Tidak lama kemudian keduanya sampai di depan kamar rawat Arsha.
“Ca ... aku pamit ya, besok pulang kerja ... aku ke sini lagi.”
“Makasih, Ra.” Arsha menyentuh tangan Zara dengan sorot mata teduh.
“Bang ... gue anter Zara dulu, nanti gue balik lagi.” Arkana ikut pamit.
Keduanya pergi setelah mendapat anggukan sepasang suami istri yang sedang berbahagia karena kelahiran kedua putri kembar mereka.
“Siapa cewek yang tadi?” Kama bertanya kepada istrinya.
“Dia Zara ... temen kuliah Caca dulu, Bang.”
“Trus hubungannya sama Arkana?” sang suami bertanya kembali.
Arsha menggelengkan kepala, ia juga ingin tau sebetulnya ada hubungan apa antara Zara dan Arkana karena saat di Caffe tadi Zara seolah enggan bertemu Arkana sementara Arkana justru menginginkan penjelasan atas menghilangnya Zara.
Di lorong rumah sakit, Zara menghentak kakinya melangkah cepat ingin segera menjauh dari Arkana.
Zara kesal sekesal kesalnya karena Arkana berhasil membuatnya jadi gadis penurut.
Bagaimana tidak, tadi Arkana begitu menyeramkan dan detik berikutnya kembali menyebalkan.
“Ra ... tunggu, pelan-pelan ... nanti kamu kepeleset ... lantai rumah sakit ini licin.”
“Enggak usah sok perhatian,” gumam Zara kesal.
Arkana menarik lengan Zara untuk ia lingkarkan di pinggang belakangnya lalu merangkul pundak sang gadis.
“Ih ... lepasin!” Zara meronta.
“Enggak!”
“Kak Ar ... lepasin!”
“Enggak ... gue pengen meluk lo, suruh siapa lo ngilang gitu aja!”
“Kak Aaaaarrrr ... aku teriak nih!” Zara mengancam.
“Teriak aja, ini rumah sakit milik Grandpa gue ... lo mau teriak ... mau kayang ampe mau dangdutan di loby juga, gue ijinin.”
Lihatlah betapa menyebalkannya pria itu, bagaimana Zara tidak membencinya.
“Ceritain dulu sama gue kenapa lo ngilang dan kemana aja lo selama ini ... baru nanti gue lepasin.”
Arkana hanya membutuhkan penjelasan itu meski ia telah mengetahui alasan Zara dan keluarganya menghilang tapi ia harus tau apa saja yang dialami Zara selama ini.
“Kak Ar, enggak pengen tau kenapa aku kenal sama Caca?” Zara yang masih berada dalam dekapan Arkana malah mengajukan pertanyaan yang sudah tentu bisa Arkana jawab.
“Lo temen kuliah Caca waktu di Singapura,” jawab Arkana enteng.
“Kok Kak Ar tau?” Zara berkerut kening heran.
Tentu saja Arkana tau, sering kali ia melakukan perjalanan Amerika – Singapura semasa kuliah hanya untuk bertemu Zara atau lebih tepatnya melihat Zara dari jauh karena Arkana tidak berani mendatangi gadis itu secara langsung.
Dan mengetahui Zara kenal dengan Arsha yang Arkana ketahui pernah berkuliah di Singapura, sudah dipastikan jika Zara adalah teman kuliah Kakak iparnya.
“Ya tau lah lo pernah kuliah di Singapura dan Caca juga kuliah di sana ... sekarang ceritain kemana aja lo selama ini!”
“Untuk apa sih Kak? Peduli banget sama aku ... buat jadi bahan bullyan Kak Ar lagi ya?”
Belum sempat Arkana menjawab, suara manja seorang perempuan membuat langkah mereka yang sudah berada di loby seketika berhenti.
“Arkana!” panggil seorang gadis yang tidak lain adalah Bunga.
“Apaan?” Arkana bertanya ketus.
“Gue ikut lo balik ya! Gue enggak bawa mobil.”
“Emang gue supir lo!” seru Arkana kesal, lama-lama Bunga ngelunjak karena sering di kasih hati.
“Pulang pake taxi!” sambung Arkana kemudian membawa Zara segera pergi keluar gedung rumah sakit.
Wajah Bunga mengeras dengan kedua tangan terkepal di samping tubuh tapi kemudian otot-ototnya yang tegang karena amarah pun mengendur mengingat bila Arkana pasti mendatangi apartemennya karena malam ini adalah jadwal pria itu mendapat jatah untuk ia puaskan.
Bunga tersenyum miring lantas berbalik menuju ruangannya untuk mengambil tas.
“Masuk!” Arkana membukakan pintu mobil untuk Zara setelah menerima kunci mobil dari security yang memarkirnya mobilnya.
Cucu pemilik rumah sakit ini ternyata mendapat parkir eksclusive tepat di depan pintu loby, sejajar dengan mobil sang Grandpa.
Bibir Zara mencebik, memberikan delikan tajam namun tak ayal ia masuk juga ke mobil mewah milik Arkana.
Arkana memutar setengah bagian mobil dengan cara berlari untuk dapat duduk di balik kemudi dan melajukan kendaraannya keluar dari pelataran parkir rumah sakit.
“Kita makan dulu ya!” Sekali lagi, perintah itu sungguh membuat Zara jengah.
“Enggak, aku mau pulang!” Zara berseru ketus.
Krubuk ... krubuk ...
Suara perut Zara yang cukup kencang terdengar hingga telinga Arkana dan mencetuskan gelak tawa pria itu.
Pipi Zara memerah, perutnya sendiri tidak bisa di ajak bekerja sama, sungguh sangat menyebalkan.
Sebetulnya Zara belum makan dari pagi, ia membantu sang Bunda berjualan kue di pasar kemudian pergi ke caffe untuk interview.
Ia pikir akan makan bersama dengan Arsha di caffe itu karena uang yang ia punya hanya untuk sekali makan.
Tapi kenyataannya ia harus mengantar Arsha melahirkan dan sampai sore ini belum ada apapun yang masuk ke perutnya.
Pantas saja perut Zara protes keras. “Lo tuh lucu ya, makanya dari dulu gue seneng banget isengin lo.”
“Mana ada cewek lucu diisengin? Yang ada disayang ... dimanja,” tukas Zara sewot.
“Jadi lo pengen gue sayang-sayang trus gue manja-manja gitu?” Arkana bertanya dengan nada menggoda.
“Enggak sudi!” Zara melipat tangan di depan dada dan mengalihkan pandangannya ke arah jendela di sebelah kirinya, malas menatap wajah tampan pria itu yang sikapnya sangat menyebalkan.
Arkana mengulum senyum. Ya Tuhan, betapa bahagia hatinya karena dapat bertemu kembali dengan Zara.
Satu jam kemudian mereka sampai di sebuah restoran mewah.
“Turun!” Nada perintah lagi yang Zara dengar meski Arkana memperlakukannya bak seorang ratu dengan membukakan pintu mobil.
Zara sudah malas mendebat, tubuhnya lemas karena seharian ini belum makan.
Ia berjalan lebih dulu namun ketika sampai di pintu, langkah Zara tiba-tiba terhenti.
“Eit, mau kemana?” Arkana menahan tubuh Zara yang hendak pergi menjauhi restoran.
“Ganti restoran aja ... aku pake baju kaya gini, enggak enak diliatin pelayan,” bisik Zara gelisah.
“Enggak apa-apa, ayo!” Arkana memutar tubuh Zara lalu merangkulnya seperti seorang kekasih.
Zara sudah tidak mempunyai tenaga untuk membantah, selain itu Arkana bukan tipe pria yang bisa menghargai keinginannya bahkan pria itu selalu saja memaksa jadi Zara pasrah dalam dekapan Arkana, masuk ke dalam restoran mewah tersebut.
Zara menyembunyikan dirinya di bawah lengan Arkana yang kekar.
Seorang pelayan yang mengantar mereka sesekali mencuri pandang, merasa aneh melihat pakaian Zara yang tidak pantas di pakai ke restoran semewah ini.
Akhirnya mereka sampai di lantai paling atas gedung, terdapat banyak gazebo dengan bantal cantik berwarna-warni dan Arkana memilih gazebo paling ujung agar lebih privat.
Setelah mempersilahkan, sang pelayan pergi untuk membawa pesanan yang baru saja Arkana sebutkan.
“Jangan deket-deket ah, duduknya sebelah sana.” Zara risih berdekatan dengan Arkana.
Trauma akan pria itu yang selalu menjailinya masih membekas dalam hati dan ingatan Zara.
“Kenapa sih lo kaya yang anti banget sama gue?”
“Pake nanya lagi, aku ‘kan udah bilang ... aku tuh trauma dijailin Kak Ar.”
“Ya sekarang udah enggak kali, Ra ... sini duduknya deketan.” Arkana menepuk bantal duduk kosong di sampingnya.
Ia rindu pada gadis itu dan selalu ingin berdekatan dengannya.
“Enggak mau!” seru Zara dengan tegas.
“Ya udah, gue yang ke sana.” Arkana beranjak lalu duduk di samping Zara.
Pria itu sungguh sangat menyebalkan. Zara tidak ingin berinteraksi lagi dengan Arkana karena kesal membutuhkan tenaga sedangkan ia sedang kelaparan saat ini.
Jadi yang dilakukan Zara adalah membenamkan kepalanya di antara kedua tangan yang ia lipat di atas meja.
“Cape ya, Ra?” Arkana bertanya sambil mengelus rambut di kepala Zara dengan lembut.
“Laper!” balas Zara ketus.
“Sabar ya, sebentar lagi makanannya dateng.”
Arkana terus mengelus kepala Zara dan yang bersangkutan membiarkannya karena lama-lama sentuhan itu membuat Zara nyaman.
Entah sadar atau tidak, Arkana melabuhkan kecupan di puncak kepala Zara.
“Kak Ar, apaan sih?” Zara menegakan tubuhnya.
Wajahnya memberengut karena tidak terima Arkana mengecup kepalanya.
“Kecup kepala kamu,” jawab Arkana padahal itu adalah pertanyaan retoris.
“Iya aku tau, tapi ngapain kecup-kecup kepala aku segala?”
“Kenapa memang? Dulu waktu SMA aja gue biarin lo kecup bibir gue ... pake ngutuk-ngutuk gue segala biar jatuh cinta sama lo, sekarang gue udah jatuh cinta sama lo ... lo harus tanggung jawab!”
Zara mengerjap, Arkana masih mengingat apa yang ia lakukan padanya bertahun-tahu yang lalu?
Sungguh sangat Luar biasa, Zara sampai takjub dan apa katanya tadi?
Pria itu jatuh cinta padanya?
Zara mendengus geli menanggapi apa yang dikatakan benaknya barusan.
Tidak mungkin Arkana mencintainya, dulu ketika ia masih cantik dan kaya raya saja pria itu membencinya dengan sering melakukan perbuatan yang merugikannya apalagi sekarang ketika wajah dan tubuhnya tidak terurus juga sudah jatuh miskin.
Jadi sangat tidak mungkin Arkana mencintainya, begitulah kira-kira prasangka Zara kepada Arkana.
“Sekarang ceritain ke gue apa yang terjadi sama lo selama ini.”
Sorot mata beserta nada suara Arkana begitu hangat, pria itu seperti malaikat yang ingin membantunya.
Mata Zara berkaca-kaca, dadanya terasa sesak bila mengingat pelariannya bersama kedua orang tua yang penuh dengan penderitaan.
Perlahan mengalirlah cerita itu dari bibir Zara sambil menahan laju air mata.
Keheningan terasa pekat mengisi perjalanan pulang mereka kala itu.Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Arkana membayangkan betapa menyedihkan hidup Zara selama ini setelah apa yang ia dengar dari penuturan sang gadis di restoran.Ia sendiri sampai tidak berselara makan tapi puas melihat Zara yang sepertinya sangat lapar bisa menghabiskan semua makanan yang ia pesan.Sedangkan Zara merutuki apa yang baru saja dilakukannya, menceritakan segala penderitaan yang dialami dan alasan kenapa ia dan keluarga harus melarikan diri.Untuk apa juga ia menceritakan semua kisah hidupnya yang menyedihkan kepada Arkana?Bisa saja semua ceritanya nanti akan dijadikan bahan bullyan pria itu, benak Zara kembali berprasangka buruk kepada Arkana.Zara belum mengetahui bila selama ini Arkana mencarinya dan sekarang pria itu sama kejamnya dengan Jordi hanya saja Arkana tidak akan pernah menyakiti Zara.“Di sini aja Kak, rumah aku jauh di dalam gang,” kata Zara saat mobil yang dikemudikan Arkana suda
“Mbak Zara, ada yang nyari.” Seorang pelayan pria memberitau.“Siapa yang nyari?” Angga yang saat itu sedang mengecek persediaan bahan pun bertanya demikian.“I ... itu, Pak ... emm, Kakak iparnya Bu Arsha yang sering ke sini itu loh ... temennya Bapak juga.” “Arkana?” Angga balas bertanya dan sang pelayan pria muda itu mengangguk membenarkan.Mendengar nama Arkana membuat jantung Zara berdebar kencang.Untuk apa pria itu datang lagi menemuinya di tempat kerja yang susah payah ia dapatkan.Padahal Zara sedang dalam masa percobaan. Ia tidak ingin membuat Angga sang Manager kecewa.“Kamu kenal sama dia, Zara?” Sekarang Angga bertanya kepada Zara dengan tatapan skeptis.Pria itu sampai menyimpan tabnya di atas meja menunggu penjelasan Zara, sementara Zara pura-pura sibuk membersihkan dapur sambil menunggu pesanan selesai dibuat oleh koki.“Kak Arkana ... Kakak kelas waktu SMA, Pak.” Zara menjawab jujur, karena terakhir kali membohongi Angga mengenai pendidikan terakhirnya—pria itu langs
Entah member apa yang dimiliki Arkana hingga pria itu mendapat fasilitas pengantaran barang belanjaan dari setiap butik yang mereka kunjungi jadi tidak perlu repot-repot menenteng semua barang-barang itu.Sengaja Zara memilih banyak barang-barang mahal bahkan sebagian adalah barang yang ia inginkan tapi Zara tau diri untuk bisa memiliki barang branded tersebut.Hasrat branded dan fashionablenya telah ia kubur dalam masa pelarian.Arkana tidak keberatan setiap kali Zara memilih banyak barang dengan harga mahal.Zara berpikir jika Arkana sangat mencintai kekasihnya, ia pun penasaran siapa gadis yang mampu bertahan dengan pria menyebalkan seperti Arkana.Ah, tapi mungkin Arkana tidak menyebalkan jika menghadapi kekasihnya.Pria itu pasti sangat lembut, menghargai dan pendengar setia sang kekasih sehingga siapapun perempuan itu mau menerima Arkana selain Arkana memang tampan dan kaya raya.“Kok ngelamun sih, sayang?” tegur Arkana saat mobilnya sudah melaju di jalanan Ibu Kota sedang berju
Zara melamun sepanjang perjalanan padahal saat bertemu dengan Rachel dan Arsha tadi, banyak yang mereka bicarakan.Ia baru mengetahui jika Rachel telah menikah dengan Kakak dari Arsha dan telah dikaruniai anak kembar.Gelak tawa juga tercetus berkali-kali hingga perut Zara terasa kram.Tapi di balik itu Zara insecure karena saat ini ia tidak sederajat lagi dengan Rachel dan Arsha, apalagi Rachel berkali-kali kedapatan melirik pakaian yang ia kenakan.Zara tau bila Rachel tidak bermaksud jahat, semua orang pasti heran dengan perubahan drastisnya.Tapi hal itu justru membuat Zara merasa jika ada jurang pemisah di antara mereka dan tidak seharusnya ia masih menjadi sahabat Arsha dan Rachel.Beruntung Arkana segera mengajaknya pulang dengan alasan hari sudah malam.“Ra,” panggil Arkana sambil menyentuh baru Zara dan sang gadis pun menoleh.“Makan dulu ya,” kata pria itu kemudian.“Pulang aja, Kak ... aku enggak laper.” “Enggak laper tapi lemes gitu ngomongnya ... biasanya lo tuh galak ta
Arkana tergelak karena Zara memutuskan sambungan telepon sepihak.Gadis itu pasti sedang galau sekarang, antara senang juga jual mahal.Tidak ada gadis yang tidak menyukai barang-barang mahal, bukan?Arkana melajukan kendaraannya dengan kecepatan tinggi membelah jalanan kota dan melambat ketika memasuki pelataran parkir sebuah gedung di mana Night Club bergengsi berada di dalamnya.Mobil sport itu terus melaju melewati banyak mobil mewah menuju basement dan berhenti di privat parking.Arkana menggunakan lift khusus untuk sampai ke bagian lain gedung tersebut.Dua pria bertubuh kekar memakai pakaian serba hitam menyambutnya penuh hormat, membukakan pintu untuk Arkana lalu menutupnya kembali dan berjaga di luar.Arkana duduk di kursi ke besarannya, di atas meja terdapat banyak layar yang tersambung dengan kamera CCTV.Pria itu menatap salah satu layarnya dengan seksama, layar tersebut menampilkan keadaan sebuah ruangan yang di dalamnya ada Darius beserta Rogger sang asisten juga seorang
“Gue enggak bisa mecat Zara gitu aja ... dia lagi butuh pekerjaan lagian gue enggak enak hati, dia temen gue masa iya gue enggak bantuin dia?” Dari ujung sambungan telepon, Arsha menolak mentah-mentah keinginan Arkana yang memintanya melarang Zara bekerja di cafe miliknya.“Tapi masa Zara kerja jadi pelayan?” Arkana tidak terima calon istrinya bekerja sebagai karyawan rendahan.“Itu maunya Zara, gue juga udah minta dia kerja di perusahaan Abang Kama tapi dianya enggak mau.” Arkana diam sejenak, hanya hembusan napas kasar yang terdengar oleh Arsha dari ujung sambungan telepon.Tampaknya Arkana begitu khawatir dengan keadaan Zara padahal dari yang Arsha dengar dari Angga—Zara bekerja dengan rajin dan semangat.“Lo suka sama dia ya?” Arsha menebak.“Bukan suka lagi, Ca ... gue cinta sama dia, gue mau jadiin dia istri gue!” “Susah Kana ... lo bakal susah dapetin dia, Zara pernah cerita kalau dia trauma gara-gara semasa SMA sering lo isengin.” Arsha tergelak setelah berkata demikian.“Ba
Hati Arkana membara setelah melihat gelagat Angga menyukai Zara.Lalu Zara yang pasrah saja ketika hendak diantar pulang oleh Angga membuat Arkana kecewa.Kenapa setiap kali ia yang mengajak Zara pulang selalu saja sang gadis menentang, apakah begitu dalam trauma Zara kepadanya?Belum lagi hasratnya yang sudah lama belum ia salurkan membuat emosi nyaris meledakan kepala Arkana.Arkana meninju kaca jendela mobilnya hingga retak dan buku jarinya terluka.Hanya satu tempat tujuan yang bisa menghilangkan segala gundah yaitu night club, maka ia menginjak pedal gas dalam di jalan tol dalam kota agar segera sampai ke tempat itu.Dan benar saja kedua sahabatnya telah berada di sana, Darius memang tidak pernah melewatkan satu malam pun tanpa mengunjungi night club karena tempat ini telah dipercayakan Arkana kepadanya.Sementara Raditya akan berkunjung sebentar untuk menenggak beberapa gelas minuman beralkohol agar ia bisa tidur nyenyak.Pria itu terkena insomnia, ia kesulitan tertidur diakibat
Arkana masuk ke dalam lift setelah pintu terbuka lalu menekan tombol yang akan membawanya ke basement.Tepat sebelum pintu tertutup, Bunga ikut masuk ke dalamnya.“Gue anter lo pulang, lo lagi mabuk.”Arkana tidak membantah, ia memang butuh driver saat ini meski jika bukan Bunga yang mengantarnya pun ia bisa meminta pegawainya untuk mengantar.“Ada luka enggak? Mau gue obatin dulu di apartemen gue?” tawar Bunga sambil mendekat.“Enggak ada,” balas Arkana sambil menggelengkan kepala.“Lo enggak kangen sama gue?” Bunga mulai menggoda Arkana tangannya mengusap dada Arkana dari dalam kemejanya melalui celah kancing yang terlepas. Namun, Arkana masih tetap bergeming.“Kita bisa ngelakuinnya di mobil atau di sini?” Bunga masih terus melancarkan serangan, tangannya kini berpindah ke bawah, meremas milik Arkana yang mengeras, ia pun tersenyum seduktif. “Lepas, Nga! Gue lagi enggak mau.” Arkana menepis tangan Bunga dari kejantanannya.“Kenapa? Karena cewek itu?” teriak Bunga geram di depan wa
Mata Zara menatap tajam pada seorang wanita dengan rok span pendek dan jas dokter yang membalut tubuh bagian atasnya.Dalaman blouse dengan tali panjang di leher memberi aksen manis pada tampilannya.Wanita dengan rambut panjang yang tengah berjalan berlawanan arah dengan Zara itu tersenyum tipis sorot matanya terlihat melecehkan Zara dibalik kacamata berbingkai besar.Demi apapun Zara ingin merobek mulut bergincu merah yang sedang tersenyum itu.Wanita itu bernama Saskia, merupakan anak dari pabrik obat merk ternama yang menjadi dokter di rumah sakit milik Edward-sang kakek mertua.Mereka berpapasan di depan pintu darurat, dengan kecepatan tangan karena latihan beladiri yang tidak pernah Zara tinggalkan meski telah memiliki banyak anak—ia bisa menarik Saskia sambil membuka pintu darurat dalam satu kali gerakan.Zara mendorong Saskia ke tembok seraya menodongkan pistol yang ia sembunyikan di balik punggungnya.“A ... apa-apa ... an kamu, Zara?” Senyum sinis Saskia luntur berganti raut
“Mommyyy ... juuu ... juuu.” Reyzio mengerucutkan bibir ketika mengatakannya.Ghaza, Nawa dan Reyzio begitu antusias bermain salju meski harus memakai mantel berlapis tiga ditambah syal, hoodie dan penutup telinga tidak lupa celana berlapis-lapis, kaos kaki khusus musim dingin dan sepatu water proof beserta sarung tangan membuat mereka seperti pinguin ketika berjalan tapi tidak menghentikan ketiganya bergerak aktif.“Iya sayang, itu salju ... jangan dimakan ya,” kata Ayara memperingati.Namun, apa yang dilakukan Reyzio selanjutnya?Batita itu malah memasukan salju ke mulut lalu tersenyum menatap sang mama.“Zioooo!!!” jerit Zara, berhamburan memburu Reyzio disusul Arkana dan bocah kecil itu semakin banyak memakan salju.“Adik, No!” Ghaza berseru melarang Reyzio, tangannya menahan tangan Reyzio yang hendak memasukan salju ke mulut.Tapi Reyzio terlalu keras kepala untuk menurut.Arkana menggendong Reyzio lantas tergelak sambil membersihkan mulut bocah nakal itu.“Ay, ini mah kamu bange
Zara merasakan sesuatu merangkak naik dari perut ke kerongkongan, bergegas lari—pergi dari ruang makan sebelum seluruh keluarga besar Arkana menyadari apa yang tengah ia rasakan dan tidak bernapsu lagi untuk makan malam.Seluruh Gunadhya sedang berkumpul tanpa terkecuali di rumah Kallandra Arion Gunadhya sang kepala suku Gunadhya untuk merayakan hari ulang tahun Shareena Azmi Zaina-istrinya.“Zara kenapa Bang?” tanya Aura cemas.“Biasa, hamil lagi.” Arkana membalas santai.Mengulum senyum antara bahagia dan malu karena istrinya sudah berbadan dua lagi, menyalip sang Kakak Kalila yang baru memiliki tiga anak.“Seriusan?” Dan semua kompak bertanya demikian.Arkana mengangguk dengan senyum lebar. “Hebat gue ya, tokcer ...,” ujar pria itu pongah.Para adik dan kakak beserta iparnya segera merotasi mata malas.“Lo nyalip gue.” Mata Kalila memicing tidak suka.“Nanti kita buat, honey.” King, suami Kalila mengusap pundak istrinya sensual dengan sorot mata penuh napsu.“No! Bukan itu maksudku
“Kamu kangen anak-anak?” bisik Arkana di telinga istrinya.“Banget.” Zara tidak perlu berpikir untuk menjawabnya.“Kalau punya anak keempat gimana?” cetus Arkana bukan meminta pendapat tapi meminta persetujuan.“Siapa takut?” Zara menantang lalu membalikan badan duduk di atas pangkuan Arkana dengan posisi berhadapan.Zara menaikan bokongnya sedikit untuk memudahkan milik Arkana yang sedari tadi telah menegang itu masuk ke dalamnya.“Tunggu, Yang ... aku enggak mau di sini, biar kamu nyaman kita pindah ke ranjang.”Arkana mengangkat tubuhnya keluar dari jacuzy membawa Zara ikut serta.Mulai melangkah pelan masuk ke dalam kamar sambil memagut bibir ranum istrinya.Kedua tangan dan kaki Zara melingkar posesif di tubuh Arkana.Sangat perlahan—penuh kehati-hatian—tanpa mengurai pagutan—Arkana merebahkan Zara di atas ranjang.Menggulirkan kecupannya ke sepanjang rahang dan berakhir di leher.Kedua tangannya sibuk meremat dan memainkan puncak di dada Zara.Zara melenguh merasakan sentuhan ta
Malam harinya pihak resort menyediakan barbeque atas permintaan Darius.Di masa lalu, acara barbeque pasti akan dilakukan di rumah Angga dan Bunga di Bandung setiap sebulan sekali.Akan tetapi seiring berjalannya waktu dan bertambahnya kesibukan mereka dalam mengurus anak, kegiatan tersebut hanya bisa setahun sekali atau paling sering setahun dua kali mereka bisa berkumpul seperti ini.“Jadi, kapan nambah anak lagi? Biasanya lo setahun sekali produksi.” Raditya bertanya setengah menyindir.“Sorry ya ... produksi mah setiap hari.” Arkana menjawab pongah.Mereka melingkari sebuah api unggun di pinggir pantai sambil menunggu koki menyajikan barbeque.Setidaknya acara barbeque sekarang mengalami suatu peningkatan karena Darius, Arkana, Angga dan Raditya tidak perlu repot memanggang hingga membuat pakaian mereka bau asap.Malah ketiga pria yang telah beristri itu, kini bisa duduk santai sambil memeluk istri mereka di atas day bed.Malang bagi Darius yang akan menjadi Jones alias Jomblo Nge
“Demi apa gue kangen sama kalian, sumpah!!” seru Darius yang tampak bahagia karena akhirnya bisa berlibur bersama para sahabat.Tapi antusias pria itu tidak ditanggapin oleh satu pun sahabatnya.“Elo mah kaya yang enggak happy liburan sama gue.” Darius menendang kaki Arkana yang tampak malas-malasan melihatnya.“Elo yang bikin acara liburan ini tapi elo juga yang dateng telat, padahal gue udah bela-belain ninggalin tiga anak gue buat dateng ke sini.” Arkana bersungut-sungut.“Sekarang Arkana jadi family man, geli gue.” Bunga mencibir.Yang bersangkutan mengerutkan kening sambil menurunkan kaca mata hitamnya agar bisa memperlihatkan tatapan tajam kepada Bunga.“Pake lagi kacamata kamu Arkana, kamu dilarang memandang sembarangan istri saya.” Angga mengatakannya dengan nada dingin penuh ancaman sebagai bentuk keposesifan.Darius tergelak hingga pundaknya berguncang lalu duduk di daybed di samping Arkana.“Kalian enggak pernah berubah,” kata Darius geleng-geleng kepala.“Kalau ketemu kaya
“Mommy,” bisik Ghaza membuat Zara buru-buru menghapus air matanya.“Jangan menangis, Mommy ... maafkan Ghaza ya.” Ghaza menegakan tubuhnya lantas mengangkat tangan mengusap air mata di pipi Zara.Bayi tiga tahun yang sudah pandai bicara sejak usia dua tahun itu kemudian memberikan pelukan untuk sang Mommy.Matanya tampak sayu mengantuk tapi Ghaza masih memaksakan diri terjaga dari tidurnya hanya untuk meminta maaf kepada Zara.“Ghaza maafin Mommy juga, kan?” Zara bertanya dengan suara parau.“Tentu saja Mommy, Ghaza sayang Mommy.”“Mommy juga sayang Ghaza.” Zara memeluk erat si sulung, memberikan banyak kecupan di wajah mungil anak tampannya.“Ghaza tidur lagi ya, udah malem ... besok Mommy anter Ghaza ke sekolah dulu sebelum ke kampus.”Ghaza mengangguk, menarik pipi Zara untuk memberikan kecupan di sana.Zara balas dengan memberikan kecupan di kening Ghaza lalu menyelimuti hingga dada dan membenarkan selimut Nawa yang tidak terusik dari mimpinya.Zara menyalakan lampu tidur dan mema
“Kenapa anak-anak nangis?” Arkana bertanya kepada dua Nanny yang bertugas menjaga Ghaza dan Nawa.“Enggak tau, Pak ... enggak biasanya, mungkin lagi mau tumbuh gigi.” Nannynya Ghaza yang lebih senior memberi alasan tapi Arkana bisa melihat kilat kebohongan dari pendar matanya.Arkana lantas meraih Ghaza dan Nawa, menggendong keduanya sekaligus di kiri dan kanan.Ghaza yang berumur tiga tahun dan Nawa berumur dua tahun lantas melingkarkan kedua tangan dan kakinya di tubuh sang daddy.“Abang sama Mas kenapa nangis?” Akhirnya Arkana bertanya langsung kepada kedua anaknya sambil membawa mereka ke kamar Ghaza.“Mommy ... tadi marah trus teriak ... Abang takut, Dad.”Ghaza yang sudah pintar bicara di usianya yang baru menginjak tiga tahun mengadu kepada Arkana.“Mommy nanis ... Sayang Mommynya cama Daddy.” Disela tangisnya yang seperti sedang merasa bersalah, Nawa juga berusaha menjelaskan apa yang baru saja terjadi.Langkah Arkana berhenti di depan kamar Ghaza, ia memutar tubuh menghadap
“Aaay, Ghaza nangis.” Zara bergumam dengan mata terpejam erat masih sangat mengantuk karena baru saja beberapa menit lalu selesai menyusui si bungsu Arnawarma Byakta Gunadhya.“Heeem.” Arkana membalas dengan gumaman, ia juga baru saja terlelap beberapa jam lalu sepulang pulang lembur.“Aaaay, cepetan.” Zara menendang kaki suaminya pelan mendengar tangis Ghaza yang kian kencang.Ghaza yang baru berumur satu tahun lebih masih suka bangun malam, perutnya tidak pernah kenyang meski sebelum tidur menghabiskan satu botol besar susu formula.Arkana mengembuskan napas berat tapi tak urung menegakan tubuhnya lalu turun dari ranjang.Rasanya begadang ini tidak pernah selesai karena dari Ghaza terus bersambung pada Nawa.Hanya empat bulan kosongnya rahim Zara dan langsung hamil kembali anak kedua.Arkana keluar dari kamar menuju kamar Ghaza, tangis bayi gempal itu kian kencang mengetahui sosok sang Daddy muncul seakan sedang mengadu jika dirinya lapar.“Bentar sayang, Daddy buat susunya dulu.”S