Keheningan terasa pekat mengisi perjalanan pulang mereka kala itu.
Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Arkana membayangkan betapa menyedihkan hidup Zara selama ini setelah apa yang ia dengar dari penuturan sang gadis di restoran.Ia sendiri sampai tidak berselara makan tapi puas melihat Zara yang sepertinya sangat lapar bisa menghabiskan semua makanan yang ia pesan.Sedangkan Zara merutuki apa yang baru saja dilakukannya, menceritakan segala penderitaan yang dialami dan alasan kenapa ia dan keluarga harus melarikan diri.Untuk apa juga ia menceritakan semua kisah hidupnya yang menyedihkan kepada Arkana?Bisa saja semua ceritanya nanti akan dijadikan bahan bullyan pria itu, benak Zara kembali berprasangka buruk kepada Arkana.Zara belum mengetahui bila selama ini Arkana mencarinya dan sekarang pria itu sama kejamnya dengan Jordi hanya saja Arkana tidak akan pernah menyakiti Zara.“Di sini aja Kak, rumah aku jauh di dalam gang,” kata Zara saat mobil yang dikemudikan Arkana sudah mendekati gang di mana rumahnya berada.Arkana mencari tempat untuk memarkirkan mobilnya lalu turun mengambil paperbag dari dalam bagasi.“Ayo,” kata pria itu lagi kepada Zara yang juga sudah turun dari mobil tapi malah berdiri mematung.“Kemana?”“Ke rumah lo ... .”Arkana menarik tangan Zara masuk ke dalam gang sempit yang disebutkan Zara tadi ketika dalam perjalanan.“Tapi jauh, Kak ... .” Zara menolak Arkana mengantarnya lalu matanya melirik paperbag berisi makanan dari restoran yang ditenteng Arkana, bertanya-tanya apa yang akan dilakukan sang pria dengan paperbag itu.“Biarin!!” balas Arkana tidak peduli.“Lepasin tangan aku kalau gitu, malu diliatin orang.”“Biarin aja!”Zara mengembuskan napas, berhenti mendebat Arkana yang tidak pernah mau mendengarnya.Ia harus menunduk menyembunyikan wajah agar para tetangga tidak mengetahui jika yang sedang digandeng oleh pria tampan dengan pakaian mentereng adalah dirinya.Saat ini Zara dan Arkana seperti bumi dan langit, pakaian yang dipakai Arkana beserta jam dan sepatu tidak perlu ditanya lagi harganya.Sekilas saja orang bisa melihat jika Arkana adalah pria kaya tidak seperti dirinya yang memakai pakaian lusuh yang bahkan sudah terdapat sobekan di bagian kerahnya.“Jauh banget rumah lo, Ra ... .” Arkana terdengar mengeluh.“Kan udah aku bilang tadi, Kak Ar yang enggak mau denger.”Cukup lama mereka berjalan, sampai akhirnya tiba di sebuah rumah kontrakan kecil, rumah itu tampak reyot tapi bersih.Seorang pria paruh baya duduk di teras hanya menggunakan kaos singlet, mengibas-ngibaskan kertas selebaran untuk menghilangkan hawa panas di tubuhnya.“Ayah ...,” panggil Zara.Willy menoleh saat mendengar suara putrinya memanggil.“Zara ... baru pulang, Nak?” Pria paruh baya itu pun beranjak dari kursi usang yang ia duduki.Willy melirik pria yang bersama putrinya. Yang bersangkutan tersenyum ramah lalu mengulurkan tangan ke arah Willy.“Apa kabar Om ... Saya Arkana Gunadhya, pacar Zara.”Zara terkesiap lalu menepuk lengan Arkana sedikit kencang.“Apaan sih!” tegur Zara membantah keras dengan mata terbelalak membuat Willy tergelak.“Kabar Om baik ... ayo masuk, Nak!”“Ini ada sedikit makanan Om, tadi kami makan malam dulu di luar makanya agak terlambat pulang ke rumah.” Arkana menyerahkan paperbag yang ia bawa.Zara tercenung, ternyata makanan itu untuk kedua orangtuanya.Apakah kisah hidup yang tadi ia ceritakan menyentuh hati Arkana hingga pria itu merasa iba?Tapi Zara tidak butuh belas kasihan Arkana, ia dan kedua orangtuanya masih sanggup bertahan hidup dengan usaha sendiri.“Ah ... tidak perlu repot-repot, Nak Arkana ... tapi, terimakasih ya.” Willy meraih paperbag itu untuk menghargai Arkana.“Bun ... ada tamu Bun.” Willy memanggil sang istri.“Iya .. Yaaaah.” Maya-Ibunda dari Zara setengah berlari dari dalam rumah.“Selamat Malam Tante, saya Arkana Gunadhya.” Arkana memperkenalkan diri.“Oalaaah, ini Nak Arkana anaknya pemilik AG Group ‘kan? Yang temen SMA Zara itu? Ya ampun ... dulu, Zara sering ceritain Nak Arkana sama Tante ... ayo masuk-masuk.”Arkana tersenyum sambil mengangguk sebagai tanggapan lalu melirik Zara yang wajahnya memerah akibat ucapan sang Bunda yang membocorkan cerita jika di masa lampau gadis itu sering membicarakannya.Willy sudah mengetahui siapa Arkana dari nama belakangnya tapi ia memilih untuk diam dan tidak menyinggung dari mana pria itu berasal agar tidak ada jarak di antara mereka mengingat dirinya bukan lagi pengusaha sukses seperti dulu.“Maaf, Nak Arkana ... rumahnya sempit,” ujar Willy berharap pria yang mengaku sebagai kekasih anaknya itu memaklumi.“Enggak apa-apa, Om ... saya sama Zara mau ngobrol di luar sebentar aja, boleh?”“Oh ... silahkan-silahkan.” Bunda Maya yang membalas lalu menarik suaminya ke dalam dan menutup pintu.“Kita nguping dari kamar,” bisik Maya pada suaminya.“Bun ... kita makan ini aja, ngapain nguping ... urusan anak muda.”“Eh ... dari mana itu?” Maya mengambil alih paperbag dari tangan suaminya.“Dari Nak Arkana, makan yuk ... tadi Bunda bilang katanya laper.”“Duh, laper banget Yah ... ayo kita makan.”Kedua orang tua Zara tidak jadi menguping, mereka memutuskan pergi ke dapur dan menyantap makanan pemberian Arkana yang dulu sering kali mereka nikmati.“Mau ngomong apa sih?” Zara duduk di kursi yang tadi sang Ayah duduki.“Besok gue jemput ya!”“Jemput kemana? Besok aku kerja.”“Kerja di mana?”“Di caffenya, Caca.”“Yang bener aja, Ra! Masa lo kerja di sana?”“Ya masa aku bohong, tadi aku ‘kan udah bilang kalau Ayah belum dapet pekerjaan tetap jadi aku yang kerja.”“Lo kerja sama gue ... Ayah lo juga kerja sama gue, jangan kerja di Caffe itu!” Arkana berseru tegas.“Kak! Tolong hargai aku ... aku bukan siapa-siapanya Kakak, aku memang miskin sekarang tapi aku bukan bonekanya Kakak yang bisa diatur-atur sesuka hati Kakak ... dan tolong jangan kasian sama aku karena cerita hidup aku selama ini, tadi Kakak yang maksa aku untuk cerita jadi aku cerita ... semua itu bukan untuk minta belas kasihan Kak Arkana ... jadi tolong jangan ganggu hidup aku, Kak ... aku ingin mulai hidup aku dari awal lagi.”“Gue enggak maksud ganggu, Ra ... gue cuma mau bantu.”“Enggak perlu, Kak ... makasih banyak, dulu dalam pelarian tanpa bantuan siapapun kami masih bisa hidup.”“Zara!” Arkana mencengkram tangan Zara kuat, pria itu sedang memaksa agar Zara menuruti keinginannya.“Kak Arkana, please.” Tatapan Zara penuh permohonan membuat Arkana tidak tega memaksakan kehendaknya lagi.Arkana melepaskan cengkraman tangannya lalu pergi tanpa sepatah kata pun.Zara mengembuskan napas lega, akhirnya ia bisa terbebas dari pria tampan menyebalkan itu.Sewaktu SMA hidupnya begitu suram karena ulah Arkana dan sekarang ia tidak ingin berhubungan dengannya lagi.“Bener ‘kan kata Bunda ... kalau Arkana itu suka sama kamu, sayang ...,” celetuk sang Bunda ketika Zara baru saja masuk ke dalam rumah.Willy dan Maya sempat mendengar pertengkaran kecil mereka dan sebagai orang tua, mereka bisa mendengar ada nada penuh khawatir dari setiap kata yang diucapkan Arkana.“Apaan sih Bunda.” Zara merajuk kemudian masuk ke dalam kamar tidak ingin lebih lanjut membicarakan Arkana.Hari ini sangat melelahkan, ia membutuhkan istirahat cukup agar besok di hari pertamanya bisa bekerja dengan maksimal.“Memangnya anak Gunadhya itu dulu pernah deket sama Zara ya, Bun?” Willy jadi penasaran dengan hubungan Zara dan anak pengusaha terkaya di Negri ini.“Enggak sih, tapi waktu SMA ... Zara pernah cerita kalau Arkana sering isengin dia, trus Bunda bilang kalau Arkana begitu karena sebenernya suka sama Zara ... Bunda juga kasih saran biar Zara jangan jutek-jutek sama Arkana ... eeh, Zara enggak percaya ... dia bilang kalau Arkana suka sama dia, enggak mungkin ngisengin dia terus.”Willy tergelak mendengar cerita sang istri. “Kalau menurut Ayah gimana?” Maya pun menanyakan pendapat suaminya.“Udah jelas kalau Arkana memang suka sama Zara,” jawabnya yang mendapat anggukan dari Maya.“Yah, kayanya Bunda baru bisa tenang kalau Zara udah nikah ... walau Jordi di penjara tapi kok Bunda ngerasa dia bisa melakukan apa aja dari dalam sana.” Maya mengungkapkan kekhawatirannya.Helaan napas keluar dari mulut Willy, satu tangannya merangkul pundak sang istri membuat Maya bisa bersandar di pundak suaminya tercinta.“Enggak mungkin, Bun ... segala gerak gerik Jordi masih dalam pemantauan intelejen karena menyangkut orang-orang penting jadi Ayah rasa dia enggak akan ngurusin kita lagi.”Maya mengangguk mengerti. Sejujurnya kata-kata Willy hanya untuk menenangkan sang istri, jauh di dalam hati ia pun masih merasa khawatir bila Jordi akan merenggut putrinya.***Arkana tertegun beberapa saat di balik kemudi lalu mengusap wajahnya kasar dan memukul stir berkali-kali.“Shiittt!!!”Selama ini Arkana selalu mudah mendapatkan apapun hanya Zara yang sulit ia gapai.Pundak Arkana melorot, punggungnya bersandar pada jok mobil.Pria itu sedang menyesali apa yang dilakukannya semasa SMA kepada Zara.Jika saja ia bisa memberi kesan baik di masa lampau mungkin saat ini Zara tidak akan menjauhinya.Bukan salah Zara, Arkana yang bodoh, Arkana yang brengsek, Arkana yang tidak mengerti bagaimana memperlakukan seorang gadis dengan baik.Ia pun teringat sesuatu, merogoh ponsel dari dalam saku celana lalu menekan nomor Darius untuk menghubunginya.Beberapa saat kemudian panggilan tersebut mendapatkan jawaban.“Yes ... brader!!” sapa Darius dari ujung sana.“Darius, gue mau lo cari tau tentang Pak Willy Darmawan ... beliau lagi cari kerjaan dan minta Radit untuk masukin Pak Willy ke salah satu perusahaan gue,” titah Arkana sang penguasa.“Perusahaan lo yang mana? Yang legal apa yang ilegal?” Darius pun bertanya dengan santainya.“Yang legal, dodol!! Dia calon mertua gue, kasih posisi tinggi, rumah dan mobil dinas ... kasih fasilitas terbaik tapi jangan sampai dia tau kalau gue ada di balik itu.”“Tumben lo nepotisme ... lagian kalau enggak salah Bapaknya Bunga namanya Bobby Santoso, sejak kapan beliau ganti nama?”Arkana menyugar rambutnya ke belakang. “Pak Willy Darmawan itu bapaknya Zara bukan bapaknya Bunga, Dariuuusss.” Arkana menggeram kesal.“Zara yang lo cari-cari itu? Lo ketemu dia di mana?” cecar Darius ingin tau.“Ceritanya panjang ... nanti gue ceritain!”“Kenapa enggak sekarang aja ceritanya? Memangnya lo mau kemana? Mau ke apartemen Bunga ya? Mau minta jatah ya ... eh, lupa ... ‘kan udah ada Zara.” Darius menepuk keningnya agar lebih dramatis.Decakan lidah Arkana terdengar kencang. Salah satu sahabat tapi tangan kanannya itu memang sangat menyebalkan.“Ck!! Gue mau ke rumah sakit, kakak ipar gue lahiran ... gue tunggu kabarnya besok pagi!”“Mana bisa Kanaaa, gue bukan Sangkuriang ... besok, gue harus cari tau dulu Pak Willy masukin lamaran kerja kemana aja atau minta kerjaan ke siapa aja, lo enggak pengen Pak Willy tau kalau lo yang kasih dia kerjaan ‘kan? Jadi harus pelan-pelan donk, bradeeer.”“Kalau sampai besok Pak Willy Darmawan belum dapet panggilan interview, gue pecat lo jadi tangan kanan gue!”Arkana menutup sambungan telepon sepihak setelah mengancam Darius dengan nada tenang.Darius adalah orang kepercayaan Arkana yang pria itu kenal cukup lama dari dunia hitam.Berbeda dengan Raditya yang merupakan sahabat Arkana ketika berkuliah di Amerika dulu.Raditya lahir dari keluarga sederhana namun memiliki otak jenius dan saat ini dipercaya memegang beberapa perusahaan Arkana yang tidak diketahui keluarga Gunadhya karena perusahaan tersebut dibangun dari uang yang dihasilkan dari dunia hitam.Darius dan Raditya menjadi orang kepercayaan Arkana untuk menjalankan semua bisnis legal sekaligus ilegalnya dan hanya kedua pria itu dan Bunga yang mengetahui sosok Arkana yang lain.“Mbak Zara, ada yang nyari.” Seorang pelayan pria memberitau.“Siapa yang nyari?” Angga yang saat itu sedang mengecek persediaan bahan pun bertanya demikian.“I ... itu, Pak ... emm, Kakak iparnya Bu Arsha yang sering ke sini itu loh ... temennya Bapak juga.” “Arkana?” Angga balas bertanya dan sang pelayan pria muda itu mengangguk membenarkan.Mendengar nama Arkana membuat jantung Zara berdebar kencang.Untuk apa pria itu datang lagi menemuinya di tempat kerja yang susah payah ia dapatkan.Padahal Zara sedang dalam masa percobaan. Ia tidak ingin membuat Angga sang Manager kecewa.“Kamu kenal sama dia, Zara?” Sekarang Angga bertanya kepada Zara dengan tatapan skeptis.Pria itu sampai menyimpan tabnya di atas meja menunggu penjelasan Zara, sementara Zara pura-pura sibuk membersihkan dapur sambil menunggu pesanan selesai dibuat oleh koki.“Kak Arkana ... Kakak kelas waktu SMA, Pak.” Zara menjawab jujur, karena terakhir kali membohongi Angga mengenai pendidikan terakhirnya—pria itu langs
Entah member apa yang dimiliki Arkana hingga pria itu mendapat fasilitas pengantaran barang belanjaan dari setiap butik yang mereka kunjungi jadi tidak perlu repot-repot menenteng semua barang-barang itu.Sengaja Zara memilih banyak barang-barang mahal bahkan sebagian adalah barang yang ia inginkan tapi Zara tau diri untuk bisa memiliki barang branded tersebut.Hasrat branded dan fashionablenya telah ia kubur dalam masa pelarian.Arkana tidak keberatan setiap kali Zara memilih banyak barang dengan harga mahal.Zara berpikir jika Arkana sangat mencintai kekasihnya, ia pun penasaran siapa gadis yang mampu bertahan dengan pria menyebalkan seperti Arkana.Ah, tapi mungkin Arkana tidak menyebalkan jika menghadapi kekasihnya.Pria itu pasti sangat lembut, menghargai dan pendengar setia sang kekasih sehingga siapapun perempuan itu mau menerima Arkana selain Arkana memang tampan dan kaya raya.“Kok ngelamun sih, sayang?” tegur Arkana saat mobilnya sudah melaju di jalanan Ibu Kota sedang berju
Zara melamun sepanjang perjalanan padahal saat bertemu dengan Rachel dan Arsha tadi, banyak yang mereka bicarakan.Ia baru mengetahui jika Rachel telah menikah dengan Kakak dari Arsha dan telah dikaruniai anak kembar.Gelak tawa juga tercetus berkali-kali hingga perut Zara terasa kram.Tapi di balik itu Zara insecure karena saat ini ia tidak sederajat lagi dengan Rachel dan Arsha, apalagi Rachel berkali-kali kedapatan melirik pakaian yang ia kenakan.Zara tau bila Rachel tidak bermaksud jahat, semua orang pasti heran dengan perubahan drastisnya.Tapi hal itu justru membuat Zara merasa jika ada jurang pemisah di antara mereka dan tidak seharusnya ia masih menjadi sahabat Arsha dan Rachel.Beruntung Arkana segera mengajaknya pulang dengan alasan hari sudah malam.“Ra,” panggil Arkana sambil menyentuh baru Zara dan sang gadis pun menoleh.“Makan dulu ya,” kata pria itu kemudian.“Pulang aja, Kak ... aku enggak laper.” “Enggak laper tapi lemes gitu ngomongnya ... biasanya lo tuh galak ta
Arkana tergelak karena Zara memutuskan sambungan telepon sepihak.Gadis itu pasti sedang galau sekarang, antara senang juga jual mahal.Tidak ada gadis yang tidak menyukai barang-barang mahal, bukan?Arkana melajukan kendaraannya dengan kecepatan tinggi membelah jalanan kota dan melambat ketika memasuki pelataran parkir sebuah gedung di mana Night Club bergengsi berada di dalamnya.Mobil sport itu terus melaju melewati banyak mobil mewah menuju basement dan berhenti di privat parking.Arkana menggunakan lift khusus untuk sampai ke bagian lain gedung tersebut.Dua pria bertubuh kekar memakai pakaian serba hitam menyambutnya penuh hormat, membukakan pintu untuk Arkana lalu menutupnya kembali dan berjaga di luar.Arkana duduk di kursi ke besarannya, di atas meja terdapat banyak layar yang tersambung dengan kamera CCTV.Pria itu menatap salah satu layarnya dengan seksama, layar tersebut menampilkan keadaan sebuah ruangan yang di dalamnya ada Darius beserta Rogger sang asisten juga seorang
“Gue enggak bisa mecat Zara gitu aja ... dia lagi butuh pekerjaan lagian gue enggak enak hati, dia temen gue masa iya gue enggak bantuin dia?” Dari ujung sambungan telepon, Arsha menolak mentah-mentah keinginan Arkana yang memintanya melarang Zara bekerja di cafe miliknya.“Tapi masa Zara kerja jadi pelayan?” Arkana tidak terima calon istrinya bekerja sebagai karyawan rendahan.“Itu maunya Zara, gue juga udah minta dia kerja di perusahaan Abang Kama tapi dianya enggak mau.” Arkana diam sejenak, hanya hembusan napas kasar yang terdengar oleh Arsha dari ujung sambungan telepon.Tampaknya Arkana begitu khawatir dengan keadaan Zara padahal dari yang Arsha dengar dari Angga—Zara bekerja dengan rajin dan semangat.“Lo suka sama dia ya?” Arsha menebak.“Bukan suka lagi, Ca ... gue cinta sama dia, gue mau jadiin dia istri gue!” “Susah Kana ... lo bakal susah dapetin dia, Zara pernah cerita kalau dia trauma gara-gara semasa SMA sering lo isengin.” Arsha tergelak setelah berkata demikian.“Ba
Hati Arkana membara setelah melihat gelagat Angga menyukai Zara.Lalu Zara yang pasrah saja ketika hendak diantar pulang oleh Angga membuat Arkana kecewa.Kenapa setiap kali ia yang mengajak Zara pulang selalu saja sang gadis menentang, apakah begitu dalam trauma Zara kepadanya?Belum lagi hasratnya yang sudah lama belum ia salurkan membuat emosi nyaris meledakan kepala Arkana.Arkana meninju kaca jendela mobilnya hingga retak dan buku jarinya terluka.Hanya satu tempat tujuan yang bisa menghilangkan segala gundah yaitu night club, maka ia menginjak pedal gas dalam di jalan tol dalam kota agar segera sampai ke tempat itu.Dan benar saja kedua sahabatnya telah berada di sana, Darius memang tidak pernah melewatkan satu malam pun tanpa mengunjungi night club karena tempat ini telah dipercayakan Arkana kepadanya.Sementara Raditya akan berkunjung sebentar untuk menenggak beberapa gelas minuman beralkohol agar ia bisa tidur nyenyak.Pria itu terkena insomnia, ia kesulitan tertidur diakibat
Arkana masuk ke dalam lift setelah pintu terbuka lalu menekan tombol yang akan membawanya ke basement.Tepat sebelum pintu tertutup, Bunga ikut masuk ke dalamnya.“Gue anter lo pulang, lo lagi mabuk.”Arkana tidak membantah, ia memang butuh driver saat ini meski jika bukan Bunga yang mengantarnya pun ia bisa meminta pegawainya untuk mengantar.“Ada luka enggak? Mau gue obatin dulu di apartemen gue?” tawar Bunga sambil mendekat.“Enggak ada,” balas Arkana sambil menggelengkan kepala.“Lo enggak kangen sama gue?” Bunga mulai menggoda Arkana tangannya mengusap dada Arkana dari dalam kemejanya melalui celah kancing yang terlepas. Namun, Arkana masih tetap bergeming.“Kita bisa ngelakuinnya di mobil atau di sini?” Bunga masih terus melancarkan serangan, tangannya kini berpindah ke bawah, meremas milik Arkana yang mengeras, ia pun tersenyum seduktif. “Lepas, Nga! Gue lagi enggak mau.” Arkana menepis tangan Bunga dari kejantanannya.“Kenapa? Karena cewek itu?” teriak Bunga geram di depan wa
“Hai cantik, butuh bantuan?” Zara menoleh saat mendengar suara Arkana dari ambang pintu.Menatap Arkana sesaat tepat di mata mencari sisa amarah yang mungkin saja tertinggal sisa tadi malam namun tidak Zara temukan.“Nih, dus-dus ini harus di bawa ke depan gang.” Arkana memberi kode dengan tangan kepada seseorang di belakang punggungnya.Ternyata tidak hanya satu orang, tapi ada beberapa orang pria masuk ke dalam kamar Zara yang sempit lalu mengangkat dus-dus yang siap diangkut.Zara melongo, apa pria itu bisa membaca pikirannya?Niat Zara yang ingin mengerjai Arkana gagal togal bila begini caranya.“Aku ‘kan minta tolong Kak Ar, kenapa Kak Ar bawa orang-orang untuk angkut barang?” Zara mengerucutkan bibirnya merasa kecewa tapi malah tampak menggemaskan di mata Arkana.“Biar cepet, jarak dari sini ke depan gang jauh ... kalau banyak orang yang bantuin ‘kan bisa sekali jalan.” Zara mendengkus kesal. “Sudah semua, Pak?” tanya orang suruhan Arkana.“Coba tanya Pak Willy dan Bu Maya,”
Mata Zara menatap tajam pada seorang wanita dengan rok span pendek dan jas dokter yang membalut tubuh bagian atasnya.Dalaman blouse dengan tali panjang di leher memberi aksen manis pada tampilannya.Wanita dengan rambut panjang yang tengah berjalan berlawanan arah dengan Zara itu tersenyum tipis sorot matanya terlihat melecehkan Zara dibalik kacamata berbingkai besar.Demi apapun Zara ingin merobek mulut bergincu merah yang sedang tersenyum itu.Wanita itu bernama Saskia, merupakan anak dari pabrik obat merk ternama yang menjadi dokter di rumah sakit milik Edward-sang kakek mertua.Mereka berpapasan di depan pintu darurat, dengan kecepatan tangan karena latihan beladiri yang tidak pernah Zara tinggalkan meski telah memiliki banyak anak—ia bisa menarik Saskia sambil membuka pintu darurat dalam satu kali gerakan.Zara mendorong Saskia ke tembok seraya menodongkan pistol yang ia sembunyikan di balik punggungnya.“A ... apa-apa ... an kamu, Zara?” Senyum sinis Saskia luntur berganti raut
“Mommyyy ... juuu ... juuu.” Reyzio mengerucutkan bibir ketika mengatakannya.Ghaza, Nawa dan Reyzio begitu antusias bermain salju meski harus memakai mantel berlapis tiga ditambah syal, hoodie dan penutup telinga tidak lupa celana berlapis-lapis, kaos kaki khusus musim dingin dan sepatu water proof beserta sarung tangan membuat mereka seperti pinguin ketika berjalan tapi tidak menghentikan ketiganya bergerak aktif.“Iya sayang, itu salju ... jangan dimakan ya,” kata Ayara memperingati.Namun, apa yang dilakukan Reyzio selanjutnya?Batita itu malah memasukan salju ke mulut lalu tersenyum menatap sang mama.“Zioooo!!!” jerit Zara, berhamburan memburu Reyzio disusul Arkana dan bocah kecil itu semakin banyak memakan salju.“Adik, No!” Ghaza berseru melarang Reyzio, tangannya menahan tangan Reyzio yang hendak memasukan salju ke mulut.Tapi Reyzio terlalu keras kepala untuk menurut.Arkana menggendong Reyzio lantas tergelak sambil membersihkan mulut bocah nakal itu.“Ay, ini mah kamu bange
Zara merasakan sesuatu merangkak naik dari perut ke kerongkongan, bergegas lari—pergi dari ruang makan sebelum seluruh keluarga besar Arkana menyadari apa yang tengah ia rasakan dan tidak bernapsu lagi untuk makan malam.Seluruh Gunadhya sedang berkumpul tanpa terkecuali di rumah Kallandra Arion Gunadhya sang kepala suku Gunadhya untuk merayakan hari ulang tahun Shareena Azmi Zaina-istrinya.“Zara kenapa Bang?” tanya Aura cemas.“Biasa, hamil lagi.” Arkana membalas santai.Mengulum senyum antara bahagia dan malu karena istrinya sudah berbadan dua lagi, menyalip sang Kakak Kalila yang baru memiliki tiga anak.“Seriusan?” Dan semua kompak bertanya demikian.Arkana mengangguk dengan senyum lebar. “Hebat gue ya, tokcer ...,” ujar pria itu pongah.Para adik dan kakak beserta iparnya segera merotasi mata malas.“Lo nyalip gue.” Mata Kalila memicing tidak suka.“Nanti kita buat, honey.” King, suami Kalila mengusap pundak istrinya sensual dengan sorot mata penuh napsu.“No! Bukan itu maksudku
“Kamu kangen anak-anak?” bisik Arkana di telinga istrinya.“Banget.” Zara tidak perlu berpikir untuk menjawabnya.“Kalau punya anak keempat gimana?” cetus Arkana bukan meminta pendapat tapi meminta persetujuan.“Siapa takut?” Zara menantang lalu membalikan badan duduk di atas pangkuan Arkana dengan posisi berhadapan.Zara menaikan bokongnya sedikit untuk memudahkan milik Arkana yang sedari tadi telah menegang itu masuk ke dalamnya.“Tunggu, Yang ... aku enggak mau di sini, biar kamu nyaman kita pindah ke ranjang.”Arkana mengangkat tubuhnya keluar dari jacuzy membawa Zara ikut serta.Mulai melangkah pelan masuk ke dalam kamar sambil memagut bibir ranum istrinya.Kedua tangan dan kaki Zara melingkar posesif di tubuh Arkana.Sangat perlahan—penuh kehati-hatian—tanpa mengurai pagutan—Arkana merebahkan Zara di atas ranjang.Menggulirkan kecupannya ke sepanjang rahang dan berakhir di leher.Kedua tangannya sibuk meremat dan memainkan puncak di dada Zara.Zara melenguh merasakan sentuhan ta
Malam harinya pihak resort menyediakan barbeque atas permintaan Darius.Di masa lalu, acara barbeque pasti akan dilakukan di rumah Angga dan Bunga di Bandung setiap sebulan sekali.Akan tetapi seiring berjalannya waktu dan bertambahnya kesibukan mereka dalam mengurus anak, kegiatan tersebut hanya bisa setahun sekali atau paling sering setahun dua kali mereka bisa berkumpul seperti ini.“Jadi, kapan nambah anak lagi? Biasanya lo setahun sekali produksi.” Raditya bertanya setengah menyindir.“Sorry ya ... produksi mah setiap hari.” Arkana menjawab pongah.Mereka melingkari sebuah api unggun di pinggir pantai sambil menunggu koki menyajikan barbeque.Setidaknya acara barbeque sekarang mengalami suatu peningkatan karena Darius, Arkana, Angga dan Raditya tidak perlu repot memanggang hingga membuat pakaian mereka bau asap.Malah ketiga pria yang telah beristri itu, kini bisa duduk santai sambil memeluk istri mereka di atas day bed.Malang bagi Darius yang akan menjadi Jones alias Jomblo Nge
“Demi apa gue kangen sama kalian, sumpah!!” seru Darius yang tampak bahagia karena akhirnya bisa berlibur bersama para sahabat.Tapi antusias pria itu tidak ditanggapin oleh satu pun sahabatnya.“Elo mah kaya yang enggak happy liburan sama gue.” Darius menendang kaki Arkana yang tampak malas-malasan melihatnya.“Elo yang bikin acara liburan ini tapi elo juga yang dateng telat, padahal gue udah bela-belain ninggalin tiga anak gue buat dateng ke sini.” Arkana bersungut-sungut.“Sekarang Arkana jadi family man, geli gue.” Bunga mencibir.Yang bersangkutan mengerutkan kening sambil menurunkan kaca mata hitamnya agar bisa memperlihatkan tatapan tajam kepada Bunga.“Pake lagi kacamata kamu Arkana, kamu dilarang memandang sembarangan istri saya.” Angga mengatakannya dengan nada dingin penuh ancaman sebagai bentuk keposesifan.Darius tergelak hingga pundaknya berguncang lalu duduk di daybed di samping Arkana.“Kalian enggak pernah berubah,” kata Darius geleng-geleng kepala.“Kalau ketemu kaya
“Mommy,” bisik Ghaza membuat Zara buru-buru menghapus air matanya.“Jangan menangis, Mommy ... maafkan Ghaza ya.” Ghaza menegakan tubuhnya lantas mengangkat tangan mengusap air mata di pipi Zara.Bayi tiga tahun yang sudah pandai bicara sejak usia dua tahun itu kemudian memberikan pelukan untuk sang Mommy.Matanya tampak sayu mengantuk tapi Ghaza masih memaksakan diri terjaga dari tidurnya hanya untuk meminta maaf kepada Zara.“Ghaza maafin Mommy juga, kan?” Zara bertanya dengan suara parau.“Tentu saja Mommy, Ghaza sayang Mommy.”“Mommy juga sayang Ghaza.” Zara memeluk erat si sulung, memberikan banyak kecupan di wajah mungil anak tampannya.“Ghaza tidur lagi ya, udah malem ... besok Mommy anter Ghaza ke sekolah dulu sebelum ke kampus.”Ghaza mengangguk, menarik pipi Zara untuk memberikan kecupan di sana.Zara balas dengan memberikan kecupan di kening Ghaza lalu menyelimuti hingga dada dan membenarkan selimut Nawa yang tidak terusik dari mimpinya.Zara menyalakan lampu tidur dan mema
“Kenapa anak-anak nangis?” Arkana bertanya kepada dua Nanny yang bertugas menjaga Ghaza dan Nawa.“Enggak tau, Pak ... enggak biasanya, mungkin lagi mau tumbuh gigi.” Nannynya Ghaza yang lebih senior memberi alasan tapi Arkana bisa melihat kilat kebohongan dari pendar matanya.Arkana lantas meraih Ghaza dan Nawa, menggendong keduanya sekaligus di kiri dan kanan.Ghaza yang berumur tiga tahun dan Nawa berumur dua tahun lantas melingkarkan kedua tangan dan kakinya di tubuh sang daddy.“Abang sama Mas kenapa nangis?” Akhirnya Arkana bertanya langsung kepada kedua anaknya sambil membawa mereka ke kamar Ghaza.“Mommy ... tadi marah trus teriak ... Abang takut, Dad.”Ghaza yang sudah pintar bicara di usianya yang baru menginjak tiga tahun mengadu kepada Arkana.“Mommy nanis ... Sayang Mommynya cama Daddy.” Disela tangisnya yang seperti sedang merasa bersalah, Nawa juga berusaha menjelaskan apa yang baru saja terjadi.Langkah Arkana berhenti di depan kamar Ghaza, ia memutar tubuh menghadap
“Aaay, Ghaza nangis.” Zara bergumam dengan mata terpejam erat masih sangat mengantuk karena baru saja beberapa menit lalu selesai menyusui si bungsu Arnawarma Byakta Gunadhya.“Heeem.” Arkana membalas dengan gumaman, ia juga baru saja terlelap beberapa jam lalu sepulang pulang lembur.“Aaaay, cepetan.” Zara menendang kaki suaminya pelan mendengar tangis Ghaza yang kian kencang.Ghaza yang baru berumur satu tahun lebih masih suka bangun malam, perutnya tidak pernah kenyang meski sebelum tidur menghabiskan satu botol besar susu formula.Arkana mengembuskan napas berat tapi tak urung menegakan tubuhnya lalu turun dari ranjang.Rasanya begadang ini tidak pernah selesai karena dari Ghaza terus bersambung pada Nawa.Hanya empat bulan kosongnya rahim Zara dan langsung hamil kembali anak kedua.Arkana keluar dari kamar menuju kamar Ghaza, tangis bayi gempal itu kian kencang mengetahui sosok sang Daddy muncul seakan sedang mengadu jika dirinya lapar.“Bentar sayang, Daddy buat susunya dulu.”S