“Mbak Zara, ada yang nyari.” Seorang pelayan pria memberitau.
“Siapa yang nyari?” Angga yang saat itu sedang mengecek persediaan bahan pun bertanya demikian.“I ... itu, Pak ... emm, Kakak iparnya Bu Arsha yang sering ke sini itu loh ... temennya Bapak juga.”“Arkana?” Angga balas bertanya dan sang pelayan pria muda itu mengangguk membenarkan.Mendengar nama Arkana membuat jantung Zara berdebar kencang.Untuk apa pria itu datang lagi menemuinya di tempat kerja yang susah payah ia dapatkan.Padahal Zara sedang dalam masa percobaan. Ia tidak ingin membuat Angga sang Manager kecewa.“Kamu kenal sama dia, Zara?” Sekarang Angga bertanya kepada Zara dengan tatapan skeptis.Pria itu sampai menyimpan tabnya di atas meja menunggu penjelasan Zara, sementara Zara pura-pura sibuk membersihkan dapur sambil menunggu pesanan selesai dibuat oleh koki.“Kak Arkana ... Kakak kelas waktu SMA, Pak.” Zara menjawab jujur, karena terakhir kali membohongi Angga mengenai pendidikan terakhirnya—pria itu langsung mengetahuinya dari Arsha.“Saya heran, kamu melamar kerja sebagai pegawai rendahan dengan ijazah SMA padahal kenalan kamu orang kaya semua ... Kamu temen kuliah Caca sedangkan Caca kuliah di Singapura di universitas bergengsi di sana dan kamu juga temen SMA Arkana ... Arkana itu bersekolah di SMA termahal di Negri ini ... kamu bukan mata-mata pesaing, kan?” desak Angga penuh rasa curiga.“Bu ... bukan Pak, sa ... saya hanya ... .” Ucapan Zara menggantung, ia bingung bagaimana menjelaskannya.“Kamu enggak saya ijinin ketemu Arkana sampai jam kerja selesai, ya ... biar saya yang nemuin Arkana,” putus Angga lalu pergi tanpa menunggu jawaban Zara.“Mbak ... mbak mantan orang kaya ya?” Pertanyaan dari pelayan pria yang baru saja lulus SMA itu lebih masuk akal dibanding dugaan Angga tadi.Tapi Zara enggan menjelaskan dirinya kepada siapapun jadi ia hanya menggelengkan kepala dengan senyum tipis sebagai jawaban.Dika tau jika Zara tidak nyaman dengan pertanyaannya, ia pun pergi meninggalkan Zara.“Ra! Untuk meja nomor tujuh belas,” ujar sang Koki sambil membunyikan bel.“Baik, Pak!” Zara langsung memburunya.“Semoga bukan meja Kak Ar ...,” batin Zara berdoa.Di luar sana, Arkana kecewa karena yang menghampirinya adalah Angga dan bukanlah Zara.Pasti pria itu tidak mengijinkan Zara bertemu dengannya.“Tumben sore gini udah ke sini ... biasanya malem.” Angga pura-pura tidak mengetahui maksud kedatangan Arkana.Pria itu duduk di kursi tepat di depan Arkana.“Gue mau jemput Zara ... kita mau ke rumah sakit nengokin Caca.”“Dia masih kerja, baru selesai kira-kira dua jam lagi.” Angga melirik arlojinya ketika berkata demikian.“Bukannya dia udah kerja dari pagi? jam kerja dia itu delapan jam dan seharusnya sekarang udah selesai ... jangan sampe gue laporin serikat pekerja,” ancam Arkana santai.“Dia lagi dalam masa percobaan ... jadi gue suruh gantiin temennya yang telat dateng karena ada urusan.”Arkana memindai sekitar, di sana tidak terlalu banyak pengunjung jadi sepertinya caffe akan baik-baik saja bila harus kekurangan satu pegawai.“Caffe juga enggak terlalu rame ... jadi enggak apa-apa kali kalau di pergi sama gue sekarang.”“Ck!” Angga berdecak lidah.“Enggak bisa, Kana ... kalau tiba-tiba rame gimana? Gue Managernya di sini ... gue yang bertanggung jawab atas keseluruhan caffe ... lo kalau mau nengok Caca, pergi aja duluan aja ... nanti Zara gue anter sekalian gue juga mau ke sana.”Arkana tertawa pelan sambil menyandarkan punggung pada sofa. “Gue tungguin aja di sini!” putus pria itu kemudian.Ia tidak akan pernah membiarkan Zara bersama pria manapun.“Ya udah, lo mau pesen apa sambil nunggu Zara?” Angga berbaik hati menawarkan minuman, ia masih menghargai Arkana yang merupakan Kakak ipar Arsha.“Buatin gue kopi yang kemaren donk! Tapi gue pengen racikan lo, terakhir gue minum kopi racikan baristanya enggak seenak buatan lo.” Arkana beralasan padahal ia ingin Angga pergi.“Oke, tunggu di sini ya! Gue temenin lo nungguin Zara.”Angga pergi untuk meracik kopi dan setelah kepergiannya, Arkana mulai sibuk menghubungi beberapa orang.Setengah jam berlalu, Zara beberapa kali melewati meja Arkana yang sesekali tersenyum kepadanya meski tidak sekalipun Zara mau membalas malah memberikan delikan kesal yang dianggap Arkana sebagai delikan manja.Zara menganggap bila Angga mampu menyelesaikan masalahnya sehingga ia bisa bekerja dengan tenang untuk menyelesaikan masa percobaan hari ini.Namun, semua pikiran Zara itu salah besar ketika seorang perempuan datang melewati pintu caffe dan menghampiri meja Arkana.Kening Zara berkerut melihat perempuan itu tampak patuh dan segan kepada Arkana yang seperti sedang memberi pengarahan.Sayangnya jarak mereka sedikit jauh sehingga Zara tidak dapat mendengar apa yang dikatakan Arkana kepada perempuan itu.Kenapa dirinya jadi ingin tau apa hubungan Arkana dengan sang perempuan?Zara mengetuk-ngetuk keningnya dengan buku jari.Kling.“Untuk meja nomor sepuluh, Ra!” seru koki dari area kompor sambil membunyikan bel.Zara bergegas mengantar pesanan, berbarengan dengan Angga yang baru saja selesai meracik kopi untuk Arkana.“Ini kopi, lo!” Angga menggeser satu cangkir kopi ke depan Arkana.“Thanks, Bro! Oh ya, ini Ratih ... dia pegawai senior di restoran gue dan gue perbantukan di sini untuk gantiin Zara ... jadi gue udah bisa bawa Zara, kan?”Angga tercenung sesaat menatap perempuan di samping Arkana yang tersenyum sambil menggangguk sopan kepadanya.“Tapi enggak bisa git—“ Ucapan Angga terjeda oleh telapak tangan Arkana yang terangkat.“Sebentar,” kata pria itu kemudian.“Hallo, Ca ... nih, ngomong sama Angga.” Arkana lantas memberikan ponselnya kepada Angga.“Iya, Ca?” Angga tampak malas berbicara dengan sang pemilik caffe yang merupakan adik dari sahabatnya itu karena ia sudah bisa menduga apa yang akan Arsha katakan.“Hai cantik, ayo kita pergi!” Arkana berseru demikian saat Zara melewati mejanya membuat gadis itu menghentikan langkah dan melongo bingung.“Zara, kamu boleh pergi sama Arkana ... tadi Caca minta kamu datang ke rumah sakit katanya ada Rachel di sana,” ujar Angga dengan nada sedikit kesal setelah memutus sambungan telepon dengan Arsha lalu mengembalikan ponsel kepada Arkana.“Sorry, Bro! Gue bukan enggak ngehargain lo tapi gue butuh cewek gue sekarang.” Arkana sudah berada di depan Zara ketika berkata demikian lalu melingkarkan kedua lengannya di pinggang Zara untuk membuka apron berwarna coklat yang merupakan seragam karyawan di caffe itu.Seperti terkena sihir, Zara tidak mampu melakukan apapun hanya bisa mengerjapkan matanya beberapa kali sampai tidak bisa membantah saat Arkana kembali mengakuinya sebagai kekasih pria itu.Arkana menyerahkan apron beserta nampan kepada Ratih yang langsung perempuan itu terima.“Gue duluan ya!” Arkana merangkul pundak Zara untuk pergi dari sana.Zara seperti gagu, raut wajah cantik itu sangat jelas menunjukan betapa tidak enak hati dirinya kepada Angga.Ia menoleh ke belakang dengan sering saat Arkana menyeretnya keluar dari caffe.Angga dapat menangkap apa yang sedang dirasakan Zara dari matanya, ia pun menganggukan kepala sebagai tanda bila telah benar-benar mengijinkan Zara pergi tanpa merusak penilaian kinerjanya.“Kak Ar, apa-apaan sih? Aku lagi kerja tau! Kalau Pak Angga mecat aku gimana? Kakak enggak denger permintaan aku kemarin? Aku harus pake bahasa apa sih biar Kak Ar ngerti?” Zara menghentakan kakinya beberapa kali di paving block pelataran parkir karena kesal dengan tindakan semena-semena Arkana.Zara sudah menduga jika Arkana menghubungi Arsha untuk membantu pria itu agar dapat membawanya pergi.“Jangan marah-marah donk sayang, gue lagi bahagia nih ... .” Jelas saja Arkana bahagia, ia baru saja bertemu kembali dengan Zara, gadis yang telah mengutuknya hingga ia seperti orang gila mencari Zara saat sang gadis menghilang.“Yuk kita pergi yuk, berantemnya di mobil aja ... syukur-syukur kalau lo mau berantemnya di atas ranjang kamar hotel,” sambung Arkana lantas tersenyum lebar setelah berkata nyeleneh.“Apa?” Nada suara Zara meninggi, bola di mata indah Zara juga nyaris keluar dari rongganya.“Enggaaaak ... becanda, eh ... beneran denk!” Arkana mendorong Zara agar masuk ke dalam mobil.“Ngomong apa sih ni cowok, nyebelin banget!” gumam Zara saat dirinya sudah duduk di kursi penumpang depan, memperhatikan Arkana melangkah cepat memutari setengah bagian mobil.Zara tidak bersuara sepanjang perjalanan yang telah di lewati, menatap ke depan dengan raut cemberut.“Kamu udah makan belum, sayang?” Pertanyaan dengan panggilan yang bagi Zara menjijikan itu terdengar lembut di telinganya.“Berhenti panggil aku sayang dan berhenti ngaku-ngaku jadi pacar aku ... aku bukan pacar Kakak, kapan juga kita jadian?”“Sekarang, mulai sekarang lo jadi pacar gue!”Zara mengembuskan napas kasar. “Cape ah ngomong sama Kak Ar ... kaya ngomong sama Alien, enggak pernah nyambung!”Zara melipat tangannya di depan dada membuat dua bagian yang paling menonjol di dadanya tampak nyata dan Arkana menelan saliva membayangkan salah satu bagian itu ada di mulutnya.“Ya udah, kalau cape lo diem aja ... biar gue yang gerak,” kata pria itu membuat Zara menoleh.“Apa sih? Ngomongnya dari tadi ngaco banget!”Semakin Zara marah semakin wajahnya memberengut dan semakin Arkana senang melihatnya.Selang berapa lama, tibalah mereka di salah satu pusat perbelanjaan termewah di Kota itu.Arkana menghentikan laju mobil sportnya tepat di depan loby lalu turun dan melempar kunci mobil kepada petugas valet.Di dalam mobil Zara baru tersadar bila tujuan mereka seharusnya rumah sakit dan bukan lah mall di mana dirinya berada saat ini.“Ayo, sayang ... kita udah sampe!” Arkana mengejutkan Zara yang sedang celingukan melihat ke arah luar jendela.“Ngapain ke sini?” Zara bertanya seraya turun dari mobil.“Bantuin gue pilihin hadiah buat si kembar.”Zara pun akhirnya mengikuti Arkana, ia mengerti kenapa pria itu membawanya ke sini karena sedang membutuhkan bantuannya.“Ish ... jangan peluk-peluk ah, kebiasaan deh!”Zara menepis tangan Arkana yang berada di pundaknya dan pria itu hanya tertawa menanggapi.“Pilihin yang bagus ya, gue enggak mau kalah sama sodara-sodara gue yang lain,” ujar Arkana yang wajahnya berada tepat di samping Zara.“Ih ... enggak usah deket-deket gitu, ngomong aja biasa ... aku belum tuli!” protes Zara sambil menyikut perut Arkana.Tanpa Zara duga, bukannya menjauh—Arkana malah mencuri kecup di pipinya.Cup.“Iiiiihhh ... enggak sopan!” Zara menggeram tertahan agar tidak menjadi pusat perhatian pelayan dan pengunjung di butik perlengkapan bayi tersebut.Meski begitu, karena terlanjur sudah berada di sana—Zara membantu memilihkan kado untuk si kembar keponakan Arkana yang baru saja lahir ke dunia.Tidak membutuhkan waktu lama karena Zara mendapatkan bantuan pelayan sementara Arkana berdiri di samping kasir tidak mengganggunya lagi.Pria itu kemudian membayar semua barang pilihan Zara yang dibawa pelayan butik.Lalu keluar sambil menenteng paperbag besar di tangannya dan menghampiri Zara yang menunggu di luar butik.“Yuk!” ajak pria itu ke arah yang menjauhi eskalator turun menuju pintu loby mall.“Lewat sini, Kak!” kata Zara memberitau.“Ra, bantuin gue donk!”“Bantuin apa lagi?”“Gue mau beliin cewek gue sesuatu ... lo bantu pilihan ya, soalnya gue enggak ngerti selera cewek.”Tatapan Arkana tampak memohon dengan suara lembut mendayu.“Trus kalau lo punya cewek, ngapain ngajakin gue jadian? Ngapain peduli sama gue? Ngapain ngerangkul-rangkul gue? Dasar kampret, curut, play boy cap soang ... nyebeliiiiinnn!!” jerit batin Zara.Tapi yang ia tampakan adalah senyum tipis sebagai jawaban “Ya” untuk menutupi perasaannya.Zara gengsi memperlihatkan kekesalannya yang bisa jadi dianggap Arkana sebagai bentuk kecemburan kepada pria itu.“Ya udah ayo cepetan, keburu malem ... .” Zara pura-pura semangat.“Mau beliin apa buat ceweknya, Kak Ar?” Zara bertanya agar ia tidak perlu berpikir harus membelikan apa untuk kekasih pria itu jadi tinggal ambil saja sesuai seleranya.“Karena dia lagi ngambek sama gue, gue mau beliin semuanya, Ra ... baju ... sepatu, sendal, tas ... trus bajunya juga yang banyak sama tasnya juga, Ra ... pokoknya gue pengen dia seneng dan enggak marah lagi sama gue.”“Emang ceweknya Kak Ar, orangnya kaya apa? Berapa nomor sepatunya trus badannya tinggi? Kurus? Atau Gemuk?” Zara bertanya lagi sambil memilih pakaian yang tergantung di salah satu area butik yang baru saja mereka masuki.“Jadi cewek gue ini orangnya mirip-mirip lo, ukuran sepatunya juga kayanya sama kaya lo ... makanya gue pepet lo terus dari kemarin karena lo tuh mirip cewek gue, tipe-tipe gue gitu.”Begitu santainya si pria menyebalkan itu berkata demikian.“Pantesan, ternyata dari kemaren gue jadi pelariannya doank,” gerutu Zara yang hanya bisa ia ungkapkan di dalam hati.Entah member apa yang dimiliki Arkana hingga pria itu mendapat fasilitas pengantaran barang belanjaan dari setiap butik yang mereka kunjungi jadi tidak perlu repot-repot menenteng semua barang-barang itu.Sengaja Zara memilih banyak barang-barang mahal bahkan sebagian adalah barang yang ia inginkan tapi Zara tau diri untuk bisa memiliki barang branded tersebut.Hasrat branded dan fashionablenya telah ia kubur dalam masa pelarian.Arkana tidak keberatan setiap kali Zara memilih banyak barang dengan harga mahal.Zara berpikir jika Arkana sangat mencintai kekasihnya, ia pun penasaran siapa gadis yang mampu bertahan dengan pria menyebalkan seperti Arkana.Ah, tapi mungkin Arkana tidak menyebalkan jika menghadapi kekasihnya.Pria itu pasti sangat lembut, menghargai dan pendengar setia sang kekasih sehingga siapapun perempuan itu mau menerima Arkana selain Arkana memang tampan dan kaya raya.“Kok ngelamun sih, sayang?” tegur Arkana saat mobilnya sudah melaju di jalanan Ibu Kota sedang berju
Zara melamun sepanjang perjalanan padahal saat bertemu dengan Rachel dan Arsha tadi, banyak yang mereka bicarakan.Ia baru mengetahui jika Rachel telah menikah dengan Kakak dari Arsha dan telah dikaruniai anak kembar.Gelak tawa juga tercetus berkali-kali hingga perut Zara terasa kram.Tapi di balik itu Zara insecure karena saat ini ia tidak sederajat lagi dengan Rachel dan Arsha, apalagi Rachel berkali-kali kedapatan melirik pakaian yang ia kenakan.Zara tau bila Rachel tidak bermaksud jahat, semua orang pasti heran dengan perubahan drastisnya.Tapi hal itu justru membuat Zara merasa jika ada jurang pemisah di antara mereka dan tidak seharusnya ia masih menjadi sahabat Arsha dan Rachel.Beruntung Arkana segera mengajaknya pulang dengan alasan hari sudah malam.“Ra,” panggil Arkana sambil menyentuh baru Zara dan sang gadis pun menoleh.“Makan dulu ya,” kata pria itu kemudian.“Pulang aja, Kak ... aku enggak laper.” “Enggak laper tapi lemes gitu ngomongnya ... biasanya lo tuh galak ta
Arkana tergelak karena Zara memutuskan sambungan telepon sepihak.Gadis itu pasti sedang galau sekarang, antara senang juga jual mahal.Tidak ada gadis yang tidak menyukai barang-barang mahal, bukan?Arkana melajukan kendaraannya dengan kecepatan tinggi membelah jalanan kota dan melambat ketika memasuki pelataran parkir sebuah gedung di mana Night Club bergengsi berada di dalamnya.Mobil sport itu terus melaju melewati banyak mobil mewah menuju basement dan berhenti di privat parking.Arkana menggunakan lift khusus untuk sampai ke bagian lain gedung tersebut.Dua pria bertubuh kekar memakai pakaian serba hitam menyambutnya penuh hormat, membukakan pintu untuk Arkana lalu menutupnya kembali dan berjaga di luar.Arkana duduk di kursi ke besarannya, di atas meja terdapat banyak layar yang tersambung dengan kamera CCTV.Pria itu menatap salah satu layarnya dengan seksama, layar tersebut menampilkan keadaan sebuah ruangan yang di dalamnya ada Darius beserta Rogger sang asisten juga seorang
“Gue enggak bisa mecat Zara gitu aja ... dia lagi butuh pekerjaan lagian gue enggak enak hati, dia temen gue masa iya gue enggak bantuin dia?” Dari ujung sambungan telepon, Arsha menolak mentah-mentah keinginan Arkana yang memintanya melarang Zara bekerja di cafe miliknya.“Tapi masa Zara kerja jadi pelayan?” Arkana tidak terima calon istrinya bekerja sebagai karyawan rendahan.“Itu maunya Zara, gue juga udah minta dia kerja di perusahaan Abang Kama tapi dianya enggak mau.” Arkana diam sejenak, hanya hembusan napas kasar yang terdengar oleh Arsha dari ujung sambungan telepon.Tampaknya Arkana begitu khawatir dengan keadaan Zara padahal dari yang Arsha dengar dari Angga—Zara bekerja dengan rajin dan semangat.“Lo suka sama dia ya?” Arsha menebak.“Bukan suka lagi, Ca ... gue cinta sama dia, gue mau jadiin dia istri gue!” “Susah Kana ... lo bakal susah dapetin dia, Zara pernah cerita kalau dia trauma gara-gara semasa SMA sering lo isengin.” Arsha tergelak setelah berkata demikian.“Ba
Hati Arkana membara setelah melihat gelagat Angga menyukai Zara.Lalu Zara yang pasrah saja ketika hendak diantar pulang oleh Angga membuat Arkana kecewa.Kenapa setiap kali ia yang mengajak Zara pulang selalu saja sang gadis menentang, apakah begitu dalam trauma Zara kepadanya?Belum lagi hasratnya yang sudah lama belum ia salurkan membuat emosi nyaris meledakan kepala Arkana.Arkana meninju kaca jendela mobilnya hingga retak dan buku jarinya terluka.Hanya satu tempat tujuan yang bisa menghilangkan segala gundah yaitu night club, maka ia menginjak pedal gas dalam di jalan tol dalam kota agar segera sampai ke tempat itu.Dan benar saja kedua sahabatnya telah berada di sana, Darius memang tidak pernah melewatkan satu malam pun tanpa mengunjungi night club karena tempat ini telah dipercayakan Arkana kepadanya.Sementara Raditya akan berkunjung sebentar untuk menenggak beberapa gelas minuman beralkohol agar ia bisa tidur nyenyak.Pria itu terkena insomnia, ia kesulitan tertidur diakibat
Arkana masuk ke dalam lift setelah pintu terbuka lalu menekan tombol yang akan membawanya ke basement.Tepat sebelum pintu tertutup, Bunga ikut masuk ke dalamnya.“Gue anter lo pulang, lo lagi mabuk.”Arkana tidak membantah, ia memang butuh driver saat ini meski jika bukan Bunga yang mengantarnya pun ia bisa meminta pegawainya untuk mengantar.“Ada luka enggak? Mau gue obatin dulu di apartemen gue?” tawar Bunga sambil mendekat.“Enggak ada,” balas Arkana sambil menggelengkan kepala.“Lo enggak kangen sama gue?” Bunga mulai menggoda Arkana tangannya mengusap dada Arkana dari dalam kemejanya melalui celah kancing yang terlepas. Namun, Arkana masih tetap bergeming.“Kita bisa ngelakuinnya di mobil atau di sini?” Bunga masih terus melancarkan serangan, tangannya kini berpindah ke bawah, meremas milik Arkana yang mengeras, ia pun tersenyum seduktif. “Lepas, Nga! Gue lagi enggak mau.” Arkana menepis tangan Bunga dari kejantanannya.“Kenapa? Karena cewek itu?” teriak Bunga geram di depan wa
“Hai cantik, butuh bantuan?” Zara menoleh saat mendengar suara Arkana dari ambang pintu.Menatap Arkana sesaat tepat di mata mencari sisa amarah yang mungkin saja tertinggal sisa tadi malam namun tidak Zara temukan.“Nih, dus-dus ini harus di bawa ke depan gang.” Arkana memberi kode dengan tangan kepada seseorang di belakang punggungnya.Ternyata tidak hanya satu orang, tapi ada beberapa orang pria masuk ke dalam kamar Zara yang sempit lalu mengangkat dus-dus yang siap diangkut.Zara melongo, apa pria itu bisa membaca pikirannya?Niat Zara yang ingin mengerjai Arkana gagal togal bila begini caranya.“Aku ‘kan minta tolong Kak Ar, kenapa Kak Ar bawa orang-orang untuk angkut barang?” Zara mengerucutkan bibirnya merasa kecewa tapi malah tampak menggemaskan di mata Arkana.“Biar cepet, jarak dari sini ke depan gang jauh ... kalau banyak orang yang bantuin ‘kan bisa sekali jalan.” Zara mendengkus kesal. “Sudah semua, Pak?” tanya orang suruhan Arkana.“Coba tanya Pak Willy dan Bu Maya,”
“Om ... Tante, ini makan siangnya.” Arkana menyimpan dua kotak nasi di atas meja makan.Willy dan Maya yang berada di halaman belakang sedang mengagumi rumah baru mereka jadi masuk ke dalam karena mendengar suara Arkana memanggil.“Ya ampun, Nak Arkana ... seharusnya Tante yang buatin makan siang kenapa Nak Arkana malah beliin.” Maya pun tidak enak hati dibuatnya.“Enggak apa-apa, Tante ... hari ini jangan masak dulu nanti capek, abis pindahan.” Maya dan Willy tergelak, sang calon menantu ternyata begitu perhatian.“Saya ke atas dulu ya, Om ... Tante ... anterin makan siang buat Zara sekalian bantuin beresin pakaian ke lemari,” pamit Arkana.“Iya, silahkan ... silahkan,” ujar Willy mempersilahkan.Maya menyikut lengan suaminya sambil mengedipkan mata dan senyum penuh makna.“Ayah percaya sama Nak Arkana, dia lahir dari keluarga baik-baik ... Ayah yakin Nak Arkana enggak akan macem-macem.” “Setuju!” Maya berseru sambil membuka kotak nasi bagiannya.“Makan yang banyak, Bun ... kalau
Mata Zara menatap tajam pada seorang wanita dengan rok span pendek dan jas dokter yang membalut tubuh bagian atasnya.Dalaman blouse dengan tali panjang di leher memberi aksen manis pada tampilannya.Wanita dengan rambut panjang yang tengah berjalan berlawanan arah dengan Zara itu tersenyum tipis sorot matanya terlihat melecehkan Zara dibalik kacamata berbingkai besar.Demi apapun Zara ingin merobek mulut bergincu merah yang sedang tersenyum itu.Wanita itu bernama Saskia, merupakan anak dari pabrik obat merk ternama yang menjadi dokter di rumah sakit milik Edward-sang kakek mertua.Mereka berpapasan di depan pintu darurat, dengan kecepatan tangan karena latihan beladiri yang tidak pernah Zara tinggalkan meski telah memiliki banyak anak—ia bisa menarik Saskia sambil membuka pintu darurat dalam satu kali gerakan.Zara mendorong Saskia ke tembok seraya menodongkan pistol yang ia sembunyikan di balik punggungnya.“A ... apa-apa ... an kamu, Zara?” Senyum sinis Saskia luntur berganti raut
“Mommyyy ... juuu ... juuu.” Reyzio mengerucutkan bibir ketika mengatakannya.Ghaza, Nawa dan Reyzio begitu antusias bermain salju meski harus memakai mantel berlapis tiga ditambah syal, hoodie dan penutup telinga tidak lupa celana berlapis-lapis, kaos kaki khusus musim dingin dan sepatu water proof beserta sarung tangan membuat mereka seperti pinguin ketika berjalan tapi tidak menghentikan ketiganya bergerak aktif.“Iya sayang, itu salju ... jangan dimakan ya,” kata Ayara memperingati.Namun, apa yang dilakukan Reyzio selanjutnya?Batita itu malah memasukan salju ke mulut lalu tersenyum menatap sang mama.“Zioooo!!!” jerit Zara, berhamburan memburu Reyzio disusul Arkana dan bocah kecil itu semakin banyak memakan salju.“Adik, No!” Ghaza berseru melarang Reyzio, tangannya menahan tangan Reyzio yang hendak memasukan salju ke mulut.Tapi Reyzio terlalu keras kepala untuk menurut.Arkana menggendong Reyzio lantas tergelak sambil membersihkan mulut bocah nakal itu.“Ay, ini mah kamu bange
Zara merasakan sesuatu merangkak naik dari perut ke kerongkongan, bergegas lari—pergi dari ruang makan sebelum seluruh keluarga besar Arkana menyadari apa yang tengah ia rasakan dan tidak bernapsu lagi untuk makan malam.Seluruh Gunadhya sedang berkumpul tanpa terkecuali di rumah Kallandra Arion Gunadhya sang kepala suku Gunadhya untuk merayakan hari ulang tahun Shareena Azmi Zaina-istrinya.“Zara kenapa Bang?” tanya Aura cemas.“Biasa, hamil lagi.” Arkana membalas santai.Mengulum senyum antara bahagia dan malu karena istrinya sudah berbadan dua lagi, menyalip sang Kakak Kalila yang baru memiliki tiga anak.“Seriusan?” Dan semua kompak bertanya demikian.Arkana mengangguk dengan senyum lebar. “Hebat gue ya, tokcer ...,” ujar pria itu pongah.Para adik dan kakak beserta iparnya segera merotasi mata malas.“Lo nyalip gue.” Mata Kalila memicing tidak suka.“Nanti kita buat, honey.” King, suami Kalila mengusap pundak istrinya sensual dengan sorot mata penuh napsu.“No! Bukan itu maksudku
“Kamu kangen anak-anak?” bisik Arkana di telinga istrinya.“Banget.” Zara tidak perlu berpikir untuk menjawabnya.“Kalau punya anak keempat gimana?” cetus Arkana bukan meminta pendapat tapi meminta persetujuan.“Siapa takut?” Zara menantang lalu membalikan badan duduk di atas pangkuan Arkana dengan posisi berhadapan.Zara menaikan bokongnya sedikit untuk memudahkan milik Arkana yang sedari tadi telah menegang itu masuk ke dalamnya.“Tunggu, Yang ... aku enggak mau di sini, biar kamu nyaman kita pindah ke ranjang.”Arkana mengangkat tubuhnya keluar dari jacuzy membawa Zara ikut serta.Mulai melangkah pelan masuk ke dalam kamar sambil memagut bibir ranum istrinya.Kedua tangan dan kaki Zara melingkar posesif di tubuh Arkana.Sangat perlahan—penuh kehati-hatian—tanpa mengurai pagutan—Arkana merebahkan Zara di atas ranjang.Menggulirkan kecupannya ke sepanjang rahang dan berakhir di leher.Kedua tangannya sibuk meremat dan memainkan puncak di dada Zara.Zara melenguh merasakan sentuhan ta
Malam harinya pihak resort menyediakan barbeque atas permintaan Darius.Di masa lalu, acara barbeque pasti akan dilakukan di rumah Angga dan Bunga di Bandung setiap sebulan sekali.Akan tetapi seiring berjalannya waktu dan bertambahnya kesibukan mereka dalam mengurus anak, kegiatan tersebut hanya bisa setahun sekali atau paling sering setahun dua kali mereka bisa berkumpul seperti ini.“Jadi, kapan nambah anak lagi? Biasanya lo setahun sekali produksi.” Raditya bertanya setengah menyindir.“Sorry ya ... produksi mah setiap hari.” Arkana menjawab pongah.Mereka melingkari sebuah api unggun di pinggir pantai sambil menunggu koki menyajikan barbeque.Setidaknya acara barbeque sekarang mengalami suatu peningkatan karena Darius, Arkana, Angga dan Raditya tidak perlu repot memanggang hingga membuat pakaian mereka bau asap.Malah ketiga pria yang telah beristri itu, kini bisa duduk santai sambil memeluk istri mereka di atas day bed.Malang bagi Darius yang akan menjadi Jones alias Jomblo Nge
“Demi apa gue kangen sama kalian, sumpah!!” seru Darius yang tampak bahagia karena akhirnya bisa berlibur bersama para sahabat.Tapi antusias pria itu tidak ditanggapin oleh satu pun sahabatnya.“Elo mah kaya yang enggak happy liburan sama gue.” Darius menendang kaki Arkana yang tampak malas-malasan melihatnya.“Elo yang bikin acara liburan ini tapi elo juga yang dateng telat, padahal gue udah bela-belain ninggalin tiga anak gue buat dateng ke sini.” Arkana bersungut-sungut.“Sekarang Arkana jadi family man, geli gue.” Bunga mencibir.Yang bersangkutan mengerutkan kening sambil menurunkan kaca mata hitamnya agar bisa memperlihatkan tatapan tajam kepada Bunga.“Pake lagi kacamata kamu Arkana, kamu dilarang memandang sembarangan istri saya.” Angga mengatakannya dengan nada dingin penuh ancaman sebagai bentuk keposesifan.Darius tergelak hingga pundaknya berguncang lalu duduk di daybed di samping Arkana.“Kalian enggak pernah berubah,” kata Darius geleng-geleng kepala.“Kalau ketemu kaya
“Mommy,” bisik Ghaza membuat Zara buru-buru menghapus air matanya.“Jangan menangis, Mommy ... maafkan Ghaza ya.” Ghaza menegakan tubuhnya lantas mengangkat tangan mengusap air mata di pipi Zara.Bayi tiga tahun yang sudah pandai bicara sejak usia dua tahun itu kemudian memberikan pelukan untuk sang Mommy.Matanya tampak sayu mengantuk tapi Ghaza masih memaksakan diri terjaga dari tidurnya hanya untuk meminta maaf kepada Zara.“Ghaza maafin Mommy juga, kan?” Zara bertanya dengan suara parau.“Tentu saja Mommy, Ghaza sayang Mommy.”“Mommy juga sayang Ghaza.” Zara memeluk erat si sulung, memberikan banyak kecupan di wajah mungil anak tampannya.“Ghaza tidur lagi ya, udah malem ... besok Mommy anter Ghaza ke sekolah dulu sebelum ke kampus.”Ghaza mengangguk, menarik pipi Zara untuk memberikan kecupan di sana.Zara balas dengan memberikan kecupan di kening Ghaza lalu menyelimuti hingga dada dan membenarkan selimut Nawa yang tidak terusik dari mimpinya.Zara menyalakan lampu tidur dan mema
“Kenapa anak-anak nangis?” Arkana bertanya kepada dua Nanny yang bertugas menjaga Ghaza dan Nawa.“Enggak tau, Pak ... enggak biasanya, mungkin lagi mau tumbuh gigi.” Nannynya Ghaza yang lebih senior memberi alasan tapi Arkana bisa melihat kilat kebohongan dari pendar matanya.Arkana lantas meraih Ghaza dan Nawa, menggendong keduanya sekaligus di kiri dan kanan.Ghaza yang berumur tiga tahun dan Nawa berumur dua tahun lantas melingkarkan kedua tangan dan kakinya di tubuh sang daddy.“Abang sama Mas kenapa nangis?” Akhirnya Arkana bertanya langsung kepada kedua anaknya sambil membawa mereka ke kamar Ghaza.“Mommy ... tadi marah trus teriak ... Abang takut, Dad.”Ghaza yang sudah pintar bicara di usianya yang baru menginjak tiga tahun mengadu kepada Arkana.“Mommy nanis ... Sayang Mommynya cama Daddy.” Disela tangisnya yang seperti sedang merasa bersalah, Nawa juga berusaha menjelaskan apa yang baru saja terjadi.Langkah Arkana berhenti di depan kamar Ghaza, ia memutar tubuh menghadap
“Aaay, Ghaza nangis.” Zara bergumam dengan mata terpejam erat masih sangat mengantuk karena baru saja beberapa menit lalu selesai menyusui si bungsu Arnawarma Byakta Gunadhya.“Heeem.” Arkana membalas dengan gumaman, ia juga baru saja terlelap beberapa jam lalu sepulang pulang lembur.“Aaaay, cepetan.” Zara menendang kaki suaminya pelan mendengar tangis Ghaza yang kian kencang.Ghaza yang baru berumur satu tahun lebih masih suka bangun malam, perutnya tidak pernah kenyang meski sebelum tidur menghabiskan satu botol besar susu formula.Arkana mengembuskan napas berat tapi tak urung menegakan tubuhnya lalu turun dari ranjang.Rasanya begadang ini tidak pernah selesai karena dari Ghaza terus bersambung pada Nawa.Hanya empat bulan kosongnya rahim Zara dan langsung hamil kembali anak kedua.Arkana keluar dari kamar menuju kamar Ghaza, tangis bayi gempal itu kian kencang mengetahui sosok sang Daddy muncul seakan sedang mengadu jika dirinya lapar.“Bentar sayang, Daddy buat susunya dulu.”S