Sepertinya Sharon mengerti apa yang dikatakan oleh Cecilia, tapi tampaknya masih ada beberapa pertanyaan yang membuatnya kebingungan.“Jadi aku harusnya ngapain?” tanya Sharon. Dia merasa kekuatannya mulai pulih kembali, seakan-akan ada sesuatu yang merasuk ke dalam raganya dan membuat dia tidak lagi limbung.“Sharon, kamu kan cantik dan glowing, harusnya kamu bisa bikin dia terpikat,” tutur Cecilia seraya mendekatkan wajahnya ke wajah Sharon, “Tapi ….”“Tapi apa?”“Tapi sekarang sudah terlambat! Dulu kamu terlalu ngerendahin diri sendiri, makanya Brandon nggak nganggap kamu lagi. Sekarang mau kayak gimanapun, kesan terhadap kamu sudah nggak bakal berubah. Belum lagi, kamu nggak tahu ada berapa saingan kamu. Waktu kamu terlalu mepet.”Cecilia pun duduk di depan meja rias dan mengoleskan krim di tangannya. Dari dulu Cecilia memang sangat telaten dalam merawat diri. Setiap bagian dia rawat dengan perlahan, oleh karena itu kulitnya sangat lembut. Paras Cecilia memang bukan yang paling can
Ketika melakukan apa pun, setiap orang pasti akan mempertimbangkan untung ruginya bagi mereka sendiri, tidak terkecuali Beny. Sebagai kepala keluarga Kusumo, dia juga harus mendengarkan apa pendapat anggota keluarga lainnya dan tidak bisa berbuat sesuka hatinya. Cecilia pikir semua keluarga konglomerat seperti itu, tapi ternyata masih ada yang berbeda sendiri.Dari perkataan Sharon itu Cecilia mengetahui sesuatu. Apa pun yang Brandon lakuan, tidak ada seorang pun yang berani menentangnya. Bukankah itu yang Cecilia sendiri inginkan selama ini? Apakah di dunia ni benar-benar ada orang seperti itu?“Cecil, Cecil ….”Kali ini gantian Sharon yang memanggil Cecilia dari lamunannya. Setelah Sharon menarik-narik tangannya, barulah Cecilia tersadar kembali.“Kamu lagi mikir apa?” tanya Sharon.“Oh, nggak apa-apa. Jadi maksud kamu, kalau kamu mau hidup bareng dia, harus dia sendiri yang mau, begitu?”“Iyalah! Kalau nggak, ngapain aku susah-susah begini!” ujar Sharon sambil sibuk memainkan jariny
“Aku benar-benar nggak ngerti lagi sama kamu,” kata Cecilia sambil melirik Sharon dengan tatapan kecewa, “Jadi selama ini usaha kamu nggak membuahkan hasil?”Cecilia benar-benar tidak habis pikir bagaimana caranya Sharon bisa bertahan selama ini digantung begitu saja oleh Brandon tanpa diberikan kepastian yang jelas.“Sudahlah, kita jangan ngomongin soal itu lagi. Jadi menurut kamu, aku masih punya harapan atau nggak?” tanya Sharon.“Hmmm, tergantung kamu maunya gimana. Kamu mau mendapatkan orangnya doang atau hatinya juga?” tanya Cecilia seraya medekatkan wajahnya ke Sharon.“Pertanyaan bodoh! Jelas aku mau semuanya, lah!”“Tapi masalahnya sekarang kamu nggak dapat dua-duanya, jadi kalau misalkan cuma bisa pilih satu, kamu mau yang mana? Jadi orang itu nggak boleh serakah. Kalau aku kasih kamu kesempatan buat milih satu, coba kamu pikir baik-baik. Kamu mending hidup bareng dia sampai tua, tapi dia nggak sayang sama kamu, atau dia terus mikirin kamu, tapi selamanya nggak bisa tinggal b
“Ini bukan cuma demi mereka berdua saja, tapi juga demi kita sendiri! Kamu pikirin lagi baik-baik!” seru Daniel dengan serius sambil kedua tangan berkacak pinggang.Sharon yang tak sengaja mendengar perdebatan mereka jadi merasa tidak enak hati. Rasanya agak kurang pantas jika dia turun ke bawah ketika kedua orang tua temannya sedang bertengkar, jadi dia pun kembali ke kamar.Ketika Sharon menoleh ke arah Cecilia, dia melihat temannya itu hanya diam saja tak bersuara. Raut wajahnya juga tidak memperlihatkan perasaan apa pun, hanya kedua tangannya saja yang menggenggam susur tangga dengan erat.Sharon ingin sekali menghibur Cecilia, tapi dia tidak tahu apa yang harus dia katakan di situasi seperti ini. Sementara itu, kedua orang tuanya yang masih ribut di bawah sepertinya tidak menyadari kalau di rumah mereka ada orang lain dan terus saja bertengkar.“Demi kita?! Hmph! Ngomongnya sih begitu, tapi sebenarnya cuma demi kamu sendiri sama orang itu! Daniel, memangnya keluarga mana yang ngas
“Lihat, tuh. Gara-gara kamu!” seru Tania sebelum dia menyusul ke atas.Sharon juga mengikuti Cecilia kembali ke kamar, dan di dalam dia melihat teman baiknya itu hanya diam saja. Sharon ingin berusaha menghibur perasaannya, tapi dia tidak tahu apa yang sebaiknya dia katakan. Yang bisa Sharon lakukan di saat itu hanyalah berdiri di belakangnya. Kehadiran Sharon di sana sudah cukup untuk membuat Cecilia merasa sedikit lebih baik. Setidaknya Cecilia sudah bisa menatap Sharon dan tersenyum.“Maaf, ya. Kamu jadi harus ngelihat masalah keluargaku,” kata Cecilia.“Jangan ngomong begitu!” sahut Sharon sembari merangkul bahu Cecilia. Tiba-tiba saja dia jadi merasa nasib temannya ini jauh lebih kasihan daripada diri sendiri.Masalah yang Sharon alami sekarang ini semata-mata hanyalah keinginan yang tidak terkabulkan, dan apa yang Cecilia lalui adalah masalah keluarga. Ayahnya memiliki kekasih gelap dan anak haram. Tidak hanya itu, bahkan dia juga lebih menyayangi anak laki-laki daripada anak pe
“Aku jalan dulu, ya. Bye, Papa!”Cecilia mencium pipi ayahnya dan langsung menarik Sharon pergi. Sharon yang melihat itu jadi merasa sepertinya ada yang aneh dengan otak Cecilia. Mengapa dia seperti itu? Mungkinkah apa yang Sharon lihat dan dengar tadi itu tidak benar? Apa mungkin yang tadi Sharon lihat itu hanyalah sandiwara, sehingga tidak ada orang yang peduli setelah mereka mengatakannya? Kalau bukan sandiwara, bagaimana bisa Cecilia bersikap biasa saja bahkan sampai bertingkah manja kepada ayahnya?Sharon menyalakan mobilnya dan membawa Cecilia pergi tanpa membahas soal itu sama sekali. Tidak! Ini sama sekali tidak masuk akal! Pasti ada sesuatu yang tidak Sharon ketahui terkait hubungan keluarga mereka!Cecilia membuka tasnya dan mengambil sekantong makanan ringan, lalu memberikan satu butir kacang almond ke mulut Sharon. Sharon menggelengkan kepalanya, dan Cecilia pun memasukkan kacang itu ke mulutnya sendiri.“Kamu pasti lagi mikir kenapa aku masih bisa dekat sama papaku sehabis
Perkataan Cecilia perlahan merasuk ke dalam jiwa Sharon. Semakin Sharon memikirkannya, semakin dia merasa bahwa apa yang Cecilia katakan itu sangat masuk akal.“Jadi kita sekarang ….”“Beli baju. Aku sudah bilang begitu sama papaku!” jawab Cecilia.“..., oke!” Sharon mengangguk dan langsung mengemudikan mobilnya menuju pusat pertokoan. ***Setelah beberapa hari dirundung oleh depresi, akhirnya Yuna bisa membebaskan dirinya dari spiral emosi negatif tersebut. Bagaimanapun juga, itu hanyalah mimpi buruk yang membuatnya teringat kembali dengan kekelaman di masa lalunya. Yuna tidak ingin hal itu membuatnya terjebak dalam perasaan negatif terus menerus. Lagi pula, dia juga harus menyelesaikan aromaterapi untuk kakeknya, serta proyek Savon de Marseille yang sudah mepet. Yuna sudah berkomitmen untuk menyelesaikan proyek itu, jadi dia harus fokus dengan tanggung jawabnya.Yang jadi masalah sekarang adalah Stella sedang cuti, jadinya Yuna kekurangan satu asisten kepercayaannya. Tentu di lab ma
“Minta tolong apa? Kamu mau aku datang buat nontonin kamu di atas panggung?”Yuna mengatakannya dengan maksud setengah bercanda, tapi dia benar-benar tidak tahu bantuan apa yang bisa dia berikan.“Kalau ada waktu, jelas aku berharap kamu bisa datang! Tapi bukan itu yang aku minta, ada hal lain.“Apa, tuh?”“Aku mau kamu bikinin parfum buat aku!”“.…” Yuna menatap Lisa dengan sorot mata yang seolah mengatakan ini pasti hanya lelucon. “Kamu bercanda, ya! Papa kamu kan lebih jago kalau soal beginian daripada aku, kenapa malah minta aku yang bikin?”“Haish, sudah aku duga kamu pasti bakal ngomong begini, tapi kenyataannya nggak yang kayak kamu bayangin. Papaku memang lebih jago, tapi dia nggak ngerti sama apa yang aku mau!” ujar Lisa dengan wajah yang terlihat begitu kesulitan.Tidak mengerti apa yang dia mau? Yuna hampir saja tertawa mendengarnya.“Aku lagi serius, kamu tadi sudah mau ketawa, ya?”Walau memiliki tubuh yang seksi, kepribadian Lisa sangat lugu dan menggemaskan, bahkan terka
“Apa lagi ini?”Dalam berkas yang berisikan surat wasiat tersebut tertulis jelas bahwa sang Ratu mengetahui kesehatannya yang makin menurun dan sudah dekat ajalnya, karena itu selagi masih sadar, sang Ratu dengan sukarela menyerahkan posisinya kepada keturunannya, dan Fred diberikan kepercayaan penuh untuk menjadi penasihat mereka.“Kamu masih berani mengaku nggak mau merebut posisiku?! cucuku usianya baru empat tahun, tahu apa merea? Lagi pula bukannya menurunkan ke anakku, tapi malah langsung ke cucuku. Orang waras pasti sudah tahu apa maksudnya ini.”“Nggak juga, cucu Yang Mulia sangat pintar dan punya bakat untuk jadi penguasa yang baik. Saya cuma bertugas memberi nasihat, tapi pada akhirnya kekuasaan tertinggi tetap jatuh kepada mereka. Terkait masalah pewaris, apa Yang Mulia masih nggak sadar juga seperti apa mereka? Mereka sama sekali nggak cocok untuk jadi penguasa!”“Fred, kenapa baru sekarang aku sadar kalau ternyata ambisimu setinggi itu, ya?”“Bukan, Yang Mulia. Yang Mulia
Ketik sang Ratu tersadar, dia sudah berada di atas kasur. Dia berbaring dengan sangat nyaman ditutupi oleh selimut yang rapi. Di sampingnya ada semacam alat medis yang mengeluarkan suara nyaring. Walau demikian, sang Ratu tidak merasa nyaman.“Fred! Fred!” sahutnya.Mengira tidak akan ada yang datang, tak disangka Fred sendiri yang muncul di hadapannya.“Ada yang bisa dibantu, Yang Mulia?”“Lepasin aku!”“Wah, sayang sekali Yang Mulia, tapi nggak bisa! Eksperimennya sudah mau kita jalankan dua hari lagi. Yang Mulia nggak boleh ke mana-mana sampai dua hari ke depan.”“Eksperimen apaan. Kamu cuma mau membunuhku dan mengambil alih jabatanku, bukan?”“Yang Mulia, saya mana berani melakukan itu. Kalau saya membunuh Yang Mulia, apa saya perlu menghabiskan banyak waktu dan tenaga untuk membangun lab dan semua eksperimen ini? Saya benar-benar berniat baik untuk Yang Mulia, tapi Yang Mulia malah terbuai sama omongan si cewek licik itu dan nggak percaya lagi sama saya. Sayang sekali!” kata Fre
“Aku?” kata Chermiko. “Nggak, aku cuma merasa itu terlalu aneh! Apa pun yang keluar dari mulut cewek gila itu, aku ….”Kata-kata yang hendak Chermiko katakan tersangkut di lehernya saat ditatap oleh Shane. Tadinya dia mau bilang tidak akan menganggap serius apa pun yang Rainie katakan, tetapi setelah dipikir-pikir, dia juga akan berpikir hal yang sama dengan Shane.“Oke, mau dia benar-benar bisa menghilang atau nggak, selama masih ada kemungkinan itu benar sekecil apa pun, kita harus cari tahu!” kata Brandon. Dia tidak menganggap ini sebagai sesuatu yang patut ditertawakan. Kalau sampai Rainie melarikan diri, maka bahaya terhadap masyarakat akan sangat besar.“Shane, jaga anak-anak!”Brandon pertama-tama langsung menghubungi Edgar agar dia bisa mengerahkan koneksinya untuk mencari Rainie di setiap sudut kota. ***Pintu kamar di mana Ratu sedang tidur siang diketuk sebanyak tiga kali, kemudian pintu itu dibuka begitu saja tanpa seizinnya. Sang Ratu membuka matanya sejenak dan langsung
“Seaneh apa pun ini pasti ada penjelasannya,” kata Brandon. Dia mengamati bantal di atas kasur itu dan menaruhnya kembali, lalu berkata, “Ayo kita keluar dulu sekarang!”Di kamar itu sudah tidak ada orang dan sudah tidak perlu dikunci lagi. Mereka berdua pun satu per satu keluar dan setela mereka kembali ke tempat Shane berada.“Rainie benar-benar menghilang?” tanya Shane.“Iya,” jawab Chermiko menganggu.“Kok bisa? Apa ada orang lain dari organisasi itu yang menolong dia?”“Aku nggak tahu.”Tidak ada satu orang pun di antara mereka yang tahu mengapa Rainie bisa menghilang. Mereka bertiga sama bingungnya karena tidak ada penjelasan yang masuk di akal. Brandon tak banyak bicara, dia mengerutkan keningnya membayangkan kembali ada apa saja yang dia lihat di kamar itu. Dia merasa ada sesuatu yang mengganjal pikirannya, tetapi dia tidak tahu apa itu.Shane, yang entah sedang memikirkan apa, juga tiba-tiba berkata, “Apa mungkin …? Nggak, itu mustahil ….”“Apaan? Apa yang nggak mungkin?” Cher
Chermiko sudah menahannya sebisa mungkin, tetapi suara gemetar bercampur dengan napas terengah-engah tetap saja menakutkan untuk didengar. Saat mendengar itu, Shane langsung terbelalak dan menyahut, “Apa?!”“Rainie … Rainie nggak ada di kamarnya!” kata Chermiko sembari menunjuk ke belakang.“Ngomong yang jelas, kenapa dia bisa nggak ada?” Ucapan ini datang dari belakang, membuat Chermiko kaget dan menoleh, dan menemukan ternyata Brandon sudah ada di belakangnya entah dari kapan.Brandon baru tidur sebentar dan belum lama terbangun. Semua masalah yang mereka alami membuat kualitas tidurnya terganggu. Anak dan istri tidak ada, dan sekarang ditambah lagi dengan sekian banyak masalah serius yang datang tak habis-habis. Bagaimana dia bisa tidur lelap? Apalagi sekarang ada dua bayi yang entah anaknya atau bukan datang membutuhkan penjagaan.Tidur singkat sudah cukup untuk memulihkan energinya, setelah itu Brandon mandi dan mengganti pakaian, lalu turun untuk melihat anak-anaknya, dan ternyat
Chermiko mulai menyadari Shane lagi-lagi terbawa oleh perasaan sedihnya. Dia pun segera melurusan, “Eh … maksudku. Aku cuma nggak menyangka ternyata kamu bisa ngurus anak juga. Kalau aku jadi kamu, aku pasti sudah panik. Tapi kalau dilihat-lihat lagi, dua anak ini mukanya lumayan mirip sama Brandon, ya. Menurut kamu gimana?”Mendengar itu, Shane melirik kedua bayi yang sedang tertidur pulas dan melihat, benar seperti yang tadi Chermiko bilang, bagian kening mereka sedikit mirip dengan Brandon, sedangkan mulut mereka mirip dengan Yuna.“Kelihatannya memang mirip, ya. Tapi kita jangan tertipu dulu. Aku merasa makin lama kita lihat jadi makin mirip. Kalau sekarang aku bilang mereka nggak mirip, apa kamu masih merasa mereka mirip?”Benar juga, andaikan mereka bukan anaknya Brandon, dengan sugesti seperti itu Chermiko percaya saja kalau mereka tidak mirip.“Waduh, aku rasanya kayak lagi berhalusinasi!” ucapnya.“Makanya sekarang kita jangan berpikir mirip atau nggak mirip dulu. Lebih baik k
“Itu normal. Dulu waktu Nathan masih kecil juga aku kayak begini,” kata Shane. “Hampir semalaman penuh kamu nggak mungkin bisa tidur. Begitu kamu taruh mereka, mereka pasti langsung nangis, jadi kamu harus gending mereka terus. Waktu itu tanganku juga sudah mau patah rasanya.”“Kamu gendong anak sendiri? Bukannya pakai pengasuh?!”“Waktu itu aku masih belum sekaya sekarang, istriku nggak mau pakai pengasuh, jadi aku yang gendong.” Shane tidak mau mengingat masa lalunya lagi karena itu hanya akan membuatnya sedih. Shane lalu menghampiri Brandon dan hendak mengambil anak itu dari tangannya. “Sudah pagi, biar aku yang jagain. Kamu istirahat dulu.”“Nggak usah!”“Jangan begini lah! Kalau kamu merasa berutang sama Yuna dan anak-anak kamu, masih ada waktu lain untuk menebus, tapi sekarang kamu harus istirahat! Kalau kamu sampai tumbang, siapa lagi yang bisa jagain mereka, dan siapa yang bisa nolongin Yuna!”Ketika mendengar itu, akhirnya Brandon mengalah dan memberikan kedua anaknya kepada S
Kemampuan medis Yuna tak diragukan membuat Fred kagum kepadanya, tetapi Yuna punya perang yang lebih penting dari itu. Lagi pula sifat Yuna yang sangat keras membuatnya tidak mungkin dijadikan kawan oleh Fred. Dibiarkan hidup juga tidak ada gunanya.“Bagus … bagus sekali!”Setelah memahami apa yang sesungguhnya terjadi, Fred menarik napas panjang dan mengatur kembali emosinya. Dia mengucapkan kata “bagus” berulang kali, dan ini merupakan pelajaran yang sangat berharga baginya. Selama ini selalu dia yang mengerjai orang lain. Tak pernah sekali pun Fred berpikir dirinya tertipu oleh sebuah trik murahan. Bukan berarti Fred bodoh karena tidak menyadari hal itu, hanya saja terlalu banyak hal yang harus dia kerjakan sehingga dia tidak bisa berpikir dengan jernih.“Yuna, kali ini kamu menang! Tapi sayang sekali kamu nggak akan bisa melihat akhir dari semua ini! Sebentar lagi kita sudah mau masuk ke tahap terakhir dari R10. kamu sudah siap?”Fred menyunggingkan seulas senyum yang aneh di waja
“Tadi kamu ada diare lagi?” Yuna bertanya.“Nggak ada,” jawab Fred menggeleng, tetapi dia marah menyadari dirinya malah dengan lugu menjawab pertanyaan yang tidak berkaitan. “Itu nggak ada urusannya! Sekarang juga aku mau obat itu!”“Sudah nggak sakit perut dan nggak diare, rasa mual juga sudah mendingan, ya? Paling cuma pusing sedikit dan kadang kaki terasa lemas. Iya, ‘kan?”Fred tertegun diberikan sederet pertanyaan oleh Yuna, dia pun mengingat lagi apa benar dia mengalami gejala yang sama seperti Yuna sebutkan.“Kayaknya … iya!”Meski sudah berkat kepada dirinya sendiri untuk tidak terbuai oleh omongannya, tetap saja tanpa sadar Fred menjawab dengan jujur. Setelah Fred menjawab, Yuna tidaklagi bertanya dan hanya tersenyum.“Kenapa kamu senyum-senyum?! Aku tanya mana obatnya, kamu malah ….”“Pencernaan kamu sehat-sehat saja, nggak kayak orang yang lagi keracunan!”“Kamu ….”Fred lantas meraba-raba perut dan memukul-mukul dadanya beberapa kali. Dia merasa memang benar sudah jauh lebi