“Lihat, tuh. Gara-gara kamu!” seru Tania sebelum dia menyusul ke atas.Sharon juga mengikuti Cecilia kembali ke kamar, dan di dalam dia melihat teman baiknya itu hanya diam saja. Sharon ingin berusaha menghibur perasaannya, tapi dia tidak tahu apa yang sebaiknya dia katakan. Yang bisa Sharon lakukan di saat itu hanyalah berdiri di belakangnya. Kehadiran Sharon di sana sudah cukup untuk membuat Cecilia merasa sedikit lebih baik. Setidaknya Cecilia sudah bisa menatap Sharon dan tersenyum.“Maaf, ya. Kamu jadi harus ngelihat masalah keluargaku,” kata Cecilia.“Jangan ngomong begitu!” sahut Sharon sembari merangkul bahu Cecilia. Tiba-tiba saja dia jadi merasa nasib temannya ini jauh lebih kasihan daripada diri sendiri.Masalah yang Sharon alami sekarang ini semata-mata hanyalah keinginan yang tidak terkabulkan, dan apa yang Cecilia lalui adalah masalah keluarga. Ayahnya memiliki kekasih gelap dan anak haram. Tidak hanya itu, bahkan dia juga lebih menyayangi anak laki-laki daripada anak pe
“Aku jalan dulu, ya. Bye, Papa!”Cecilia mencium pipi ayahnya dan langsung menarik Sharon pergi. Sharon yang melihat itu jadi merasa sepertinya ada yang aneh dengan otak Cecilia. Mengapa dia seperti itu? Mungkinkah apa yang Sharon lihat dan dengar tadi itu tidak benar? Apa mungkin yang tadi Sharon lihat itu hanyalah sandiwara, sehingga tidak ada orang yang peduli setelah mereka mengatakannya? Kalau bukan sandiwara, bagaimana bisa Cecilia bersikap biasa saja bahkan sampai bertingkah manja kepada ayahnya?Sharon menyalakan mobilnya dan membawa Cecilia pergi tanpa membahas soal itu sama sekali. Tidak! Ini sama sekali tidak masuk akal! Pasti ada sesuatu yang tidak Sharon ketahui terkait hubungan keluarga mereka!Cecilia membuka tasnya dan mengambil sekantong makanan ringan, lalu memberikan satu butir kacang almond ke mulut Sharon. Sharon menggelengkan kepalanya, dan Cecilia pun memasukkan kacang itu ke mulutnya sendiri.“Kamu pasti lagi mikir kenapa aku masih bisa dekat sama papaku sehabis
Perkataan Cecilia perlahan merasuk ke dalam jiwa Sharon. Semakin Sharon memikirkannya, semakin dia merasa bahwa apa yang Cecilia katakan itu sangat masuk akal.“Jadi kita sekarang ….”“Beli baju. Aku sudah bilang begitu sama papaku!” jawab Cecilia.“..., oke!” Sharon mengangguk dan langsung mengemudikan mobilnya menuju pusat pertokoan. ***Setelah beberapa hari dirundung oleh depresi, akhirnya Yuna bisa membebaskan dirinya dari spiral emosi negatif tersebut. Bagaimanapun juga, itu hanyalah mimpi buruk yang membuatnya teringat kembali dengan kekelaman di masa lalunya. Yuna tidak ingin hal itu membuatnya terjebak dalam perasaan negatif terus menerus. Lagi pula, dia juga harus menyelesaikan aromaterapi untuk kakeknya, serta proyek Savon de Marseille yang sudah mepet. Yuna sudah berkomitmen untuk menyelesaikan proyek itu, jadi dia harus fokus dengan tanggung jawabnya.Yang jadi masalah sekarang adalah Stella sedang cuti, jadinya Yuna kekurangan satu asisten kepercayaannya. Tentu di lab ma
“Minta tolong apa? Kamu mau aku datang buat nontonin kamu di atas panggung?”Yuna mengatakannya dengan maksud setengah bercanda, tapi dia benar-benar tidak tahu bantuan apa yang bisa dia berikan.“Kalau ada waktu, jelas aku berharap kamu bisa datang! Tapi bukan itu yang aku minta, ada hal lain.“Apa, tuh?”“Aku mau kamu bikinin parfum buat aku!”“.…” Yuna menatap Lisa dengan sorot mata yang seolah mengatakan ini pasti hanya lelucon. “Kamu bercanda, ya! Papa kamu kan lebih jago kalau soal beginian daripada aku, kenapa malah minta aku yang bikin?”“Haish, sudah aku duga kamu pasti bakal ngomong begini, tapi kenyataannya nggak yang kayak kamu bayangin. Papaku memang lebih jago, tapi dia nggak ngerti sama apa yang aku mau!” ujar Lisa dengan wajah yang terlihat begitu kesulitan.Tidak mengerti apa yang dia mau? Yuna hampir saja tertawa mendengarnya.“Aku lagi serius, kamu tadi sudah mau ketawa, ya?”Walau memiliki tubuh yang seksi, kepribadian Lisa sangat lugu dan menggemaskan, bahkan terka
Permintaan Lisa membuat Yuna tersenyum hangat. Sebenarnya dia sendiri bisa paham apa yang Lisa rasakan. Tidak peduli sedewasa apa anak perempuan, di mata ayahnya mereka selamanya akan menjadi anak kecil. Maka dari itu Will tidak akan membuatkan parfum yang aromanya memberikan kesan dewasa kepada anak perempuannya sendiri.Akan tetapi, Lisa yang merasa dirinya sudah cukup dewasa tentu saja memberontak dan mati-matian membuktikan bahwa dirinya memang sudah besar dan tidak ingin lagi menggunakan parfum untuk anak kecil. Alhasil terjadilah cekcok antara mereka berdua.“Aku ngerti. Sebenarnya aku nggak masalah bikinin parfum buat kamu, tapi … kalau untuk beberapa hari ke depan ini, aku nggak bisa.”“Eh?! Nggak bisa, ya?” ujar Lisa kecewa, “Padahal aku mau pakai pas lagi tampil nanti!”“Beberapa hari ke depan aku bakal sibuk banget, aku beneran ngga ada waktu lagi buat bikinin kamu parfum baru. Sekarang aku lagi handle dua proyek yang sama-sama urgent. Kalau kamu nggak keberatan nunggu, nan
“Shane kasih dia duit, berapa persisnya aku juga kurang tahu. Kayaknya dia juga ada ngomong sesuatu ke Helen, tapi aku juga nggak tahu apa yang mereka omongin. Pokoknya habis itu, Helen menyerah, deh. Tapi habis itu Helen ada ngomong sesuatu ke aku, cuma aku nggak ngerti apa maksudnya.”“Dia ngomong apa ke kamu?”“Dia bilang, kamu harus pikir baik-baik. Jadi ibu tiri orang lain itu nggak gampang. Jangan pikir Shane itu orang yang baik. Kira-kira itu yang dia omongin!”“Kamu … harus mikir baik-baik?”“Bukan aku, tapi kamu!”“Aku?!”“Iya, yang dia maksud itu kamu. Makanya aku juga ngerasa aneh. Kamu juga pernah ketemu sama dia sekali saja, tapi kenapa dia malah ngincar kamu. Dan dari kata-katanya itu, dia pikir kamu ibu tirinya Nathan. Masa dia kira kamu istrinya Nathan?”“..., aku mana tahu!”Kalau bukan karena Lisa yang mengungkit kembali soal Helen, Yuna sudah tidak ingat lagi siapa dia. Lagi pula, hanya Lisa dan Will saja yang masih berhubungan erat dengan Yuna setelah Yuna meninggal
Setelah berpamitan dengan Lisa, Yuna pergi ke toko kue yang paling ternama di kota untuk membeli sekotak kue kering dan dua gelas kopi hangat. Dia menaruhnya di thermal bag agar masih hangat ketika sampai di rumah.Brandon sedang sibuk dengan pekerjaannya di ruang tamu. Kedua kakinya yang panjang bersila, satu tangan sibuk membalik halaman dan satu tangannya lagi sibuk memegang gelas yang sudah kosong. Poni rambutnya terurai ke bawah dan mendarat tepat di bingkai kacamatanya ketika dia menundukkan kepala, yang membuatnya jadi terlihat lebih berkelas. Sebenarnya Brandon tidak menderita rabun jauh, tapi dia memakai kacamata silinder. Biasanya dia tidak merasa terganggu dengan kondisi matanya, dia hanya akan memakai kacamatanya ketika harus membaca dokumen pekerjaan yang menuntut ketelitian.“Eh, sudah pulang?” kata Brandon seraya melepas kacamatanya ketika mendengar suara Yuna datang.Tanpa adanya kaca yang membatasi, matanya kini terlihat jadi lebih tajam dan memberikan kesan yang berbe
“Hari ini kamu perhatian banget. Mau minta sesuatu, ya?” tanya Brandon.“Nggak! Aku sadar beberapa hari terakhir aku lagi down banget, dan kamu sampai harus repot-repot bawa kerjaan kamu begitu banyak ke rumah. Aku beliin ini buat kamu sebagai bentuk terima kasih saja!”“Oh, begitu?” sahut Brandon.Tatapan mata Brandon yang semula bertengger di wajah Yuna perlahan menurun ke bawah sampai ke lehernya, lalu ke lengannya, dan kemudian ke pergelangan tangannya yang menggantung secara alami di kedua sisi. Brandon mengulurkan jarinya perlahan menggaruk telapak tangan Yuna.“Kamu ngapain, sih?!” seru Yuna merasa geli.“Sebenarnya …. kalau kamu mau berterima kasih sama aku, kamu nggak perlu beliin makanan segala. Masih banyak cara lain.”Yuna, “….”Yuna menelan ludahnya sambil menatap wajah Brandon. Brandon memasukkan jarinya ke sela-sela telapak tangan Yuna dan menggenggamnya erat, lalu menciumnya. Meski Yuna dibuat tak bisa bergerak oleh Brandon, entah mengapa hatinya terasa begitu tenang d