“Bayaran apa, Tuan?” tanya Naomi gelagapan. Ia berdeham singkat untuk menetralkan kegugupannya, namun tak berhasil. Sebenarnya Naomi mengerti ke mana arah pembicaraan Alister. Namun, tentu saja ia tidak akan mengakuinya. Mereka baru sampai dua jam lalu di sini dan sekarang pun matahari masih bersinar terang. Rasanya tak pantas membahas hal-hal seperti itu. Alister terkekeh rendah sembari membuka kacamata dan melempar benda itu ke nakas. “Menurutmu bagaimana? Kemarilah! Apa kamu tidak pegal berdiri di sana terus?” Lelaki itu menepuk sisi ranjang yang kosong di sampingnya sembari menatap Naomi dengan sorot teduh yang membius. “Tuan, ini masih siang.” Naomi berkata dengan nada agak ketus dan kedua tangan terlipat di depan dada. Alister yang tadinya hanya terkekeh kini tergelak renyah. Tubuh lelaki itu sampai gemetar dengan mata menyipit. Membuat Naomi merona karena malu sendiri telah menyuarakan isi hatinya. Seharusnya, ia cukup diam saja dan berpura-pura tidak tahu. “Memangnya kena
“Jangan lama-lama, Tuan. Nanti makanannya keburu dingi—Nyonya Amara?”“Apa yang dia lakukan di sini?” Suara Naomi kontan mengecil. Tadinya Naomi hanya ingin menatap suaminya yang semakin menjauh. Namun, ia malah tak sengaja melihat seseorang yang mirip Amara. Ah, bukan. Dia memang Amara. Naomi yakin itu karena ia sudah hapal perawakan jiga cara berpakaian Amara. Dan lagi, Naomi mendapati wanita itu sedang bersama seorang pria. Sayang sekali posisi pria itu membelakanginya hingga dirinya tak dapat melihat rupa sang pria. Keduanya tampak berbincang akrab dengan kedua tangan yang saling menggenggam di atas meja. Sepertinya pria itu adalah pria yang bersama Amara di supermarket tempo hari. Atau mungkin berbeda, entahlah, Naomi tidak terlalu memperhatikan perawakan pria itu. Yang membuatnya salah fokus dan penasaran adalah mereka yang tampak sangat akrab dan mesra. “Sebenarnya siapa pria itu?” gumam Naomi penasaran. Ia sampai melupakan hidangan di depannya dan fokus memperhatikan gerak
Seharusnya Naomi tidak perlu terkejut mendengarnya. Namun, dengan hubungan tersembunyi mereka, terasa aneh jika Alister mengajaknya menghadiri suatu pesta. Karena pastinya di sana ada banyak orang yang mengenal lelaki itu dan bertanya-tanya siapakah dirinya. “Tidak, Tuan. Aku ingin di sini saja. Aku lelah dan ingin istirahat. Tuan pergi sendiri saja ya? Aku akan menunggu Tuan pulang,” tolak Naomi secara halus. Ia mencoba sadar posisi sebelum mempermalukan dirinya sendiri di depan umum. Mungkin, terbongkarnya hubungan mereka tak akan menjadi masalah besar untuk Alister. Lelaki itu cenderung cuek dalam banyak hal. Namun, tidak dengan Naomi yang akan mendapat cemooh dari semua orang. Sebab, dikira sebagai wanita perebut. Duri dalam rumah tangga orang yang terkenal sangat harmonis di depan kamera. Entah seberapa banyak ujaran kebencian yang akan tertuju padanya. Sudah banyak masalah yang menghampiri hidupnya. Masalahnya dengan Attar pun belum tuntas. Naomi rak ingin menambah masalah ba
Naomi meringis pelan karena orang asing yang tiba-tiba datang dan menarik rambutnya dari belakang. Ia lantas menoleh ke belakang dan mendapati seorang wanita muda dengan dandanan tebal sedang menatapnya dengan sorot menyelidik. “Tolong sopan sedikit. Aku tidak mengenalmu!” balas Naomi dengan tatapan agak menyipit karena kesal, namun ia tahan karena tak ingin mempermalukan dirinya sendiri. “Sombong sekali! Kamu pikir karena kamu bersama Tuan Alister, kamu akan terlindungi! Kamu tidak tahu dia sudah punya istri?!” Wanita itu melipat kedua tangan di depan dada dan menatap Naomi dengan sorot mencemooh. Nada bicaranya tajam nan menusuk. Naomi memperhatikan sekitarnya. Ia berharap seluruh tamu benar-benar sibuk dengan kegiatan masing-masing dan tak ada yang melihat ke arahnya. Kemudian, wanita itu kembali menatap wanita aneh di depannya. “Memangnya kenapa? Kamu iri?”Naomi tak ingin meladeni wanita ini. Akan tetapi, sepertinya wanita ini tidak akan membiarkannya pergi begitu saja. Ia kes
Manik mata Naomi membulat sempurna melihat siapa yang barusan tak sengaja menabraknya. Kelvin! Ia spontan hendak melepas tangannya dari genggaman Alister. Namun, lelaki itu seakan sengaja mengeratkan genggaman pada tangannya hingga membuat genggaman itu tak bisa terlepas. Kepanikan tampak sangat jelas dari wajah Naomi dan itu tertangkap oleh Alister yang memasang ekspresi datar. Bukan hanya Naomi yanh terkejut, tetapi juga Kelvin. Lelaki itu terbelalak dan seakan tak percaya dengan pertemuan mengejutkan ini. “Naomi ... Tuan Alister ... kalian—” Kelvin kehilangan suaranya, benar-benar terkejut melihat Naomi bersama Alister yanh notabenenya adalah bosnya. Apalagi melihat keduanya bergandengan tangan mesra. Menunjukkan jika ada sesuatu di antara keduanya. Kelvin tak terlalu bodoh untuk menafsirkan hal itu. “Dia istriku,” sahut Alister tegas. Sama seperti ketika membalas pertanyaan Alex semalam. Naomi memejamkan matanya sejenak. Seharusnya tidak seperti ini. Ia tidak menyangka akan d
Naomi menyipitkan mata, menatap sosok yang sedang duduk di tepi danau. Memastikan apakah lelaki yang duduk di tepi danau itu adalah suaminya atau bukan. Jarak mereka masih lumayan jauh, dirinya berada di dataran yang lebih tinggi. Sebenarnya Naomi tak berniat menghampiri Alister. Namun, karena obrolan singkatnya dengan Nancy tadi, ia jadi penasaran dan akhirnya tergerak mencari Alister. Wanita itu ingin memastikan apakah Alister ada di danau atau tidak. Dan ternyata suaminya benar-benar ada di sini. Naomi ingin menghampiri Alister, tetapi ia ragu. Alister pasti masih marah dan lelaki itu sangat menyeramkan ketika marah. Namun, di sisi lain Naomi juga merasa bersalah. Sepertinya kata-kata pada lelaki itu tadi pagi terlalu kasar dan tidak sopan. Pelan-pelan Naomi melangkah tanpa suara. Mendekati Alister yang duduk membelakanginya. Ia ingin meminta maaf atas perkataan kasarnya. Naomi menghentikan langkah tepat di belakang Alister. Meremas kedua tangannya gugup. Dan lelaki itu belum me
“Attar?”Manik mata Naomi membulat sempurna. Ia mengerjapkan matanya berulang kali. Khawatir ada yang salah dengan indra penglihatannya. Namun, keberadaan adiknya itu benar-benar nyata. Bukanlah sekadar ilusi yang muncul karena terlalu rindu. Attar benar-benar ada di sini. Menatapnya dengan sorot sendu dari kursi roda yang pemuda itu miliki. Naomi membeku di tempatnya berdiri. Lidahnya kelu untuk berucap. Ia terkejut bukan main melihat kedatangan adiknya yang sangat mendadak. Alister yang sudah menyimpan koper mereka di kamar berdecak melihat Naomi yang hanya berdiri kaku di depan Attar. Ia langsung menghampiri dan menarik wanita itu ke arah Attar. Namun, atensinya teralih karena mendengar ringisan Naomi. “Kamu kenapa?” tanya Alister dengan mata memicing. Naomi dan Alister sama-sama memperhatikan kaki Naomi yang terdapat beberapa luka lecet memerah. Alister baru melihatnya karena sedari kemarin lelaki itu tidak memperhatikan kaki istrinya. Dan luka-luka itu malah baru terasa perih
Beberapa bulan lalu, Naomi pasti senang bukan main jika Alister pergi dalam waktu yang lama. Bahkan, berharap lelaki itu tak perlu cepat-cepat menemuinya. Namun, sekarang rasanya berbeda. Bukannya senang karena bebas melakukan apa pun. Ia malah kesepian. Seminggu telah berlalu sejak Alister pergi waktu itu. Hingga saat ini, Alister belum memberi kabar sama sekali. Lelaki itu menghilang bak ditelan bumi. Sedangkan Naomi tidak berani mengirim pesan apalagi menghubungi suaminya lebih dulu. Ia takut menggangguSelama seminggu ini pula Naomi rutin mengunjungi Attar lagi. Meskipun hubungan mereka belum benar-benar membaik. Tetapi, Attar sudah tidak lagi menunjukkan aura permusuhan padanya. Sayangnya, kunjungan itu tetap tak bisa membunuh kebosanan yang Naomi rasakan. Drrtt ... drrtt ...“Siapa yang menelpon malam-malam begini?” Naomi sudah bersiap memejamkan mata dan tidur. Meskipun malas, Naomi tetap meraih ponselnya yang berada di atas nakas dengan mata setengah terpejam. Siapa tahu sa
Naomi mengenal sapu tangan itu. Sapu tangan itu memang miliknya. Lebih tepatnya peninggalan ibunya yang telah hilang beberapa tahun lalu. Ia sempat menangis saat mengetahui sapu tangan itu hilang. Sebab, baginya sapu tangan tersebut adalah benda keberuntungannya. Sapu tangan itu membuat Naomi merasa dekat dengan ibunya yang telah tiada. Ia selalu membawa sapu tangan iru ke mana pun dirinya pergi. Oleh karena itu, ketika sapu tangannya hilang entah ke mana, Naomi sangat merasa bersalah dan sedih. Naomi tidak pernah mengira jika sapu tangan itu berada di tangan Alister. Lebih tidak percaya lagi lelaki itu masih menyimpannya sampai sekarang. Padahal benda itu sudah terlihat lusuh. Orang sekelas Alister pasti menganggapnya seperti sampah. “Kamu tidak sengaja menumpahkan kopi di kemejaku dan kamu memberikan sapu tangan itu untuk membersihkannya. Kamu ingat? Kalau di pikir-pikir lagi, perbuatanmu waktu itu sangat tidak sopan,” ucap Alister sembari terkekeh. “Kamu ingin mengembalikannya
Hawa dingin yang menerpa punggungnya membuat Naomi menggeliat pelan dan akhirnya terbangun. Seketika saja ia mengingat apa yang terjadi beberapa jam lalu. Wajahnya langsung bersemu. Namun, ranjang di sampingnya malah kosong. “Tidurlah, sekarang masih malam,” ucap Alister yang berdiri di sudut ruangan. Naomi spontan mengalihkan pandangan. Wanita itu mengira dirinya ditinggalkan di sini. Dalam cahaya remang-remang, ia dapat melihat siluet Alister di sudut kamar yang sedang menggendong Arkana. Mereka masih berada di kamar hotel Alister tadi. Naomi tidak tahu sejak kapan Arkana berada di sini. Ia tidak enak pada Attar jika adiknya yang membawa Arkana kemari. Ia telah mengganggu waktu istirahat pemuda itu dengan meminta dia menemani Arkana. Apalagi dirinya berjanji hanya pergi sebentar. Naomi tidak menyesal telah memaksakan jauh-jauh datang. Meskipun awalnya dibuat salah paham, setidaknya sekarang dirinya sudah lebih lega. Jika tidak begini, ia tidak akan tahu apa-apa. Walaupun masih b
Seharusnya, Naomi merasa baik-baik saja. Namun, entah ke mana matanya tiba-tiba memburam dan memanas. Kedua tangan yang berada di samping tubuhnya pun gemetar. Ia tidak tahu apa yang terjadi, namun otaknya seolah ingin menyimpulkan sendiri. Amara menatap Naomi dengan senyum miring, kemudian berjalan melewati wanita itu. Dengan sengaja Amara menyenggol Naomi hingga wanita itu nyaris terhuyung. Senyum miring Amara kian mengembang setelah melewati Naomi. Cukup lama Naomi membeku di tempat. Alister pun tampak terkejut melihat kedatangannya. Setelah tersadar dari lamunannya, Naomi lantas berbalik bersiap melangkah pergi dari sana. Namun, Alister bergerak lebih cepat dan menahannya. “Kenapa kamu ada di sini?” tanya Alister pada Naomi. Naomi berdecih sinis. “Bukannya Tuan yang menyuruhku datang?” Bisa-bisanya Alister bertanya seperti itu seolah tidak tahu apa-apa. Padahal sudah jelas-jelas lelaki itu sendiri yang memintanya datang. Ternyata, ia diminta datang hanya untuk menyaksikan Ali
Alister menunjukkan bukti perceraiannya dengan Amara satu tahun lalu pada awak media. Seluruh wartawan langsung memotret bukti perceraian tersebut dari dekat hingga seluruh keterangan yang tertera di sana benar-benar terlihat. Dan tanggal perceraian itu tepat seminggu setelah Alister menikah dengan Naomi. Naomi terkejut bukan main. Yang ia tahu Alister dan Amara bercerai baru-baru ini. Bahkan, sebelumnya pun mereka masih tinggal bersama. Naomi tidak menyangka jika sejak lama Alister dan Amara telah berpisah. Bahkan, sebelum dirinya hamil. “Kami sudah lama berpisah dan perpisahan ini tidak ada kaitannya dengan Naomi. Istriku yang sekarang. Dia salah satu karyawanku dan kami menikah karena saling mencintai. Sedangkan hubunganku dan Amara sudah selesai,” papar Alister di depan seluruh awak media. “Kuharap di antara kalian tidak ada lagi yang berpikir kalau Naomi yang menghancurkan hubunganku dengan Amara. Dan satu lagi, istriku tidak suka terekspos. Jadi, tolong jangan terlalu mengg
“Aku akan menyelesaikannya,” tutur Alister yang kini sudah duduk di samping Naomi. Naomi berjingkat kaget dan spontan menoleh ke samping. Ia tak menyadari sejak kapan Alister terbangun. Apalagi sampai sudah mengintip ponselnya juga. Ia berdecak kesal seraya mematikan ponselnya dan meletakkan benda tersebut di atas meja kecil di dekat ranjangnya. Seperti biasa, Alister selalu menghadapi masalah dengan santai. Seakan-akan yang terjadi saat ini bukanlah masalah besar. Padahal permasalahan ini dapat sangat berpengaruh pada lelaki itu. Berbanding terbalik dengan Naomi yang sedari tadi sudah panik. “Tidak semudah itu, Tuan! Semuanya sudah menyebar. Orang-orang tidak akan mudah percaya,” jawab Naomi agak kesal. “Oh ya, sekalian aku juga ingin mengingatkan kalau aku adalah putri dari seseorang yang pernah menipu Tuan habis-habisan. Harusnya Tuan menjauhiku sebelum aku menguras harta Tuan juga. Aku bisa melakukannya kapan pun aku mau,” lanjut Naomi. Naomi tidak habis pikir kenapa Alister
Naomi tidak pernah merasa syok dan malu separah ini sebelumnya. Sampai-sampai ia tidak tahu harus melakukan apa dan hanya bisa duduk kaku di tempat duduknya. Sebab, untuk beranjak pergi pun tak mungkin meski dirinya benar-benar merasa tak nyaman. Naomi berusaha memaklumi Alister yang tiba-tiba membawanya ke tempat ini tanpa penjelasan di awal. Namun, seakan tak puas membuatnya syok, lelaki itu kembali berulah dan kali ini sangat fatal. Seakan sengaja ingin membuatnya menjadi bulan-bulanan semua orang. Wanita itu memberi isyarat pada suaminya akan berhenti atau meralat kalimat sebelumnya. Namun, lelaki itu bersikap masa bodoh dan terus melanjutkan pidato tanpa memedulikan dirinya. Padahal atmosfer yang melingkupi ruangan ini sudah tidak bersahabat. “Naomi bukan penyebab berakhirnya hubunganku dengan Amara. Sudah sejak lama aku dan Amara tidak cocok. Makanya, akhirnya kami memilih berpisah. Tapi, perpisahan kami baru terekspos akhir-akhir ini. Perpisahan itu tidak ada sangkut pautnya
“Kamu belum siap-siap?” tanya Alister ketika melihat Naomi malah sudah berbaring di ranjang dengan Arkana menggunakan baju tidur. Bahkan, sekarang sudah sedikit terlambat dari waktu janjian mereka karena Alister terjebak kemacetan di jalan. Namun, setelah sampai di sini, Naomi malah belum siap-siap. Lebih tepatnya memang tidak akan bersiap-siap karena wanita itu tidak mau pergi dengan Alister. Kemarin-kemarin Naomi sudah memberi kelonggaran pada Alister untuk berbuat seenaknya. Sekarang tidak lagi. Seharusnya sekarang proses perceraian mereka sudah berjalan. Dan pasangan yang akan berpisah tidak mungkin masih pergi ke mana-mana bersama. “Aku sudah makan. Tuan berangkat sendiri saja,” jawab Naomi seraya memejamkan mata. Padahal belum mengantuk sama sekali.Sekarang baru jam tujuh malam. Biasanya Naomi masih beraktivitas jam segini. Tentu saja ia belum mengantuk. Namun, ia sengaja menyelesaikan pekerjaan rumahnya lebih awal agar bisa bersiap tidur lebih awal juga. Supaya tidak perlu
“Jangan kerja dulu hari ini. Tuan harus istirahat supaya benar-benar pulih. Tapi, kalau Tuan mau pulang sekarang, silakan. Tuan bisa meminta supir menjemput,” tutur Naomi setelah mengecek suhu tubuh Alister menggunakan punggung tangannya. “Sekarang Tuan makan dulu.” Naomi membantu Alister mengubah posisi menjadi bersandar di tembok dengan bantal menjadi menopang. Naomi sudah membuatkan bubur untuk Alister. Tadinya ia ingin membeli saja agar lebih praktis. Namun, Naomi ingat jika Alister agak sensitif terhadap makanan saat sakit. Daripada lelaki itu tidak mau makan, lebih baik ia yang membuatkan bubur. Meski belum tentu juga rasanya enak. Naomi menyadari seharusnya dirinya tidak perlu repot-repot melakukan ini. Namun, ia tidak bisa berpura-pura tak peduli. Apalagi melihat kondisi lelaki itu yang terlihat sangat mengkhawatirkan. Naomi semakin tidak bisa menutup mata dan diam saja. Alister menerima suapan yang Naomi berikan tanpa membuka suara. Walaupun demam yang lelaki itu alami
Naomi berdeham pelan, lalu tersenyum kaku. Wanita itu berkedip pelan, benar-benar tak menyangka mertuanya sudi menginjakkan kaki di rumah sempitnya ini. Meskipun ia juga belum mengetahui apa tujuan kedatangan Miranda sebenarnya. “Maaf, Nyonya. Aku hanya terkejut. Silakan masuk.” Naomi membuka pintu lebih lebar, membiarkan Alister masuk dan mempersilakan Miranda untuk masuk juga. Naomi menatap Alister, bertanya lewat isyarat kenapa lelaki itu mengajak Miranda kemari. Bukannya Naomi antipati terhadap mertuanya sendiri. Tetapi, seharusnya sebelumnya Alister mengatakan jika akan mengajak Miranda juga agar Naomi bisa mempersiapkan sesuatu. Naomi tidak memiliki hidangan yang bisa disuguhkan. Ia hanya memasak sedikit untuk makan malamnya dengan Attar nanti. Seandainya Alister terus terang, dirinya pasti membeli sesuatu untuk disuguhkan. Dan yang sekarang bisa ia suguhkan hanya secangkir teh hangat dan kopi. Justru, malah Miranda dan Alister yang membawakan banyak makanan. Itu malah membu