Naomi kehilangan keseimbangan dan nyaris terjengkang. Namun, sebelum itu terjadi, seseorang datang dan dengan sigap menahan tubuhnya dari belakang. “Hei, hati-hatilah, Cantik.”Suara bariton di samping telinganya itu membuat Naomi terkesiap dan spontan kembali menegakkan tubuhnya. Ia berbalik dan mendapati seorang lelaki berdiri di belakangnya. Senyum ramah tersungging di bibir lelaki yang baru saja menolongnya itu. Naomi melangkah mundur, tetapi pinggangnya sudah menabrak meja pantry dan membuatnya tak bisa ke mana-mana. Ia berdeham pelan dengan senyum kaku. “Maaf.”Naomi tidak mengenal wajah asing yang kini menyunggingkan senyum ramah padanya. Ia merasa tak pernah bertemu di mana pun dengan lelaki ini. Akan tetapi, entah kenapa perawakan lelaki ini agak familiar. Atau mungkin hanya sekadar mirip seseorang saja. “Kenapa minta maaf? Kamu tidak salah. Hanya kurang berhati-hati. Lain kali, hati-hatilah. Apalagi kamu sedang hamil, bahaya kalau terjadi sesuatu,” jawab lelaki itu, lagi-
Naomi spontan membekap mulutnya yang nyaris memekik karena pandangan di depannya. Manik matanya membulat sempurna mendapati Amara dan Fabian yang tampak sangat mesra dengan posisi intim. Ia mengerjap beberapa kali, khawatir salah lihat. Namun, yang tersaji di depannya memang nyata. “Sayangku yang malang. Sudahlah, jangan terlalu memikirkannya. Aku tidak mau kesenangan kita terganggu.” “Tinggal menunggu sebentar lagi. Aku akan aman dan mendapatkan semuanya.” Naomi yang masih menguping mengerutkan kening. Tak mengerti dengan pembahasan kedua orang di dapur sana. Namun karena tak ingin ketahuan, ia pun memilih pergi. Melangkah mundur perlahan-lahan. Dahaganya pun mendadak lenyap. Naomi kembali ke kamar dan langsung mengunci pintu kamarnya. Meletakkan gelas kosongnya ke tempat semula dan duduk di pinggir ranjang. Wajahnya merah padam dan terasa memanas. Ia malu sendiri melihat adegan tak senonoh seperti itu tepat di depan matanya. Ia pikir Amara dan Fabian bersaudara karena beberapa
“Di mana suamimu? Apa dia ada di dalam?” Kelvin agak segan mendekati Naomi dan memilih berbicara dengan jarak yang cukup jauh. Biar bagaimanapun Naomi adalah istri bosnya. Sejak mengetahui jika Naomi telah menikah, mereka tidak pernah bertemu lagi. Tak disangka dirinya dan Naomi malah bertemu di sini. Tanpa sadar matanya menyorot ke bawah, ke arah perut Naomi yang sudah membuncit. Ternyata ia benar-benar terlambat. Naomi terkesiap melihat Kelvin. Kilasan pertemuan terakhirnya dengan Kelvin kembali terlintas. Jujur saja, ia sangat malu pada lelaki itu. Kelvin telah mengetahui jika dirinya menjadi istri kedua yang sama saja seperti orang ketiga dalam rumah tangga orang lain. Naomi yakin Kelvin pasti berpikir negatif tentang dirinya. Itu wajar dan ia tidak bisa menampik fakta jika dirinya hanyalah orang ketiga. Apalagi yang menikah dengannya adalah bos mereka di tempat kerja. Rasanya sangat tidak pantas. “Dia sedang berada di luar kita. Aku hanya mampir untuk mengunjungi adikku,” jaw
“Tuan marah?” Naomi bertanya dengan suara amar pelan. Nyaris mencicit karena ketakutan. Sejak menyeretnya pulang dari rumah makan kemarin, Alister tidak berbicara sepatah kata pun padanya. Di sepanjang perjalanan hingga kembali ke rumah, lelaki itu hanya bungkam. Namun, ekspresinya tampak sangat suram dan menakutkan. Naomi baru selesai membuat sarapan dan kini membawa dua porsi makanan buatannya ke kamar. Ia tidak berniat menyogok Alister agar tak marah lagi padanya. Kebetulan Naomi memang ingin membuat sarapan sendiri dan tak mungkin hanya membuat satu porsi saja. Kedatangan Alister ke rumah makan kemarin sangat mengejutkan Naomi. Lelaki itu seharusnya masih berada di luar kota. Namun, tiba-tiba sudah pulang dan mengetahui lokasi keberadaannya. Entah bagaimana caranya. Naomi tidak berani bertanya karena sedari kemarin lelaki itu selkay menunjukkan permusuhan. “Aku membuat sarapan untuk Tuan juga. Kalau Tuan tidak mau juga tidak apa-apa. Biar aku saja yang menghabiskannya,” uca
“Kamu yakin siap bertemu ayahmu?” tanya Alister memastikan. Tanpa ragu Naomi langsung mengangguk. “Aku hanya ingin menemui ayahku, tidak ada yang perlu dipersiapkan. Harusnya Tuan tidak perlu ikut. Aku bisa berangkat dengan supir. Kalau begini, aku malah menghambat pekerjaan Tuan.”Naomi pikir Alister tidak akan memberi izin untuk menemui ayahnya. Sebab, setelah ia mengatakannya kemarin lelaki itu memberi respon apa-apa. Namun, pagi ini Alister tiba-tiba memintanya bersiap-siap dan mengatakan akan mengantarnya ke penjara. Naomi yang sudah selesai bersiap membalikkan tubuhnya. Mendongak, menatap Alister yang berdiri di belakangnya. Lelaki itu juga sama-sama sudah siap. Alister merangsek maju dengan sebelah tangan memeluk pinggang Naomi, sedangkan satunya lagi menyentuh wajah wanita itu. “Tidak ada yang terhambat, kebetulan aku ada waktu. Aku juga ingin menemui ayah mertua.” Alister membungkuk dan mengangkat dagu Naomi. Mengelus bibir wanita itu sekilas sebelum memberi kecupan-kecupa
“Kalian sudah pulang?” sapa Amara yang dengan santainya menggandeng lengan Fabian. Naomi spontan melirik Alister yang berdiri di sampingnya, meneliti ekspresi lelaki itu. Namun, ia tak menemukan perubahan ekspresi dari sang suami yang masih memasang wajah datar. Akan tetapi, Alister memang selalu menyembunyikan emosi dengan baik. Amara dan Fabian pun tampak santai. Meskipun hanya bergandengan tangan, rasanya tak pantas. Alister selalu marah jika Naomi berdekatan—meski tanpa bersentuhan sama sekali dengan lelaki lain. Namun, anehnya lelaki itu santai saja melihat Amara bergandengan dengan Fabian.Naomi mengira Alister akan marah besar melihat Amara berdekatan dengan lelaki lain. Namun, lelaki itu masih bergeming. Tampak tak terpengaruh oleh keberadaan Fabian. Seolah-olah tak peduli. “Apa mungkin dia tidak tahu apa yang mereka lakukan di belakangnya?” gumam Naomi dalam hati. Sebenarnya Naomi tak ingin ikut campur dengan urusan Alister dan Amara. Akan tetapi, melihat sikap mereka sem
“Dia memang terlalu polos dan naif. Aku hanya sedikit memancingnya, tapi dia malah memilih bertindak terlalu jauh. Bahkan, sekarang dia sudah berada di penjara. Aku tidak menyangka ternyata dia sebodoh itu. Padahal bermain rapi lebih menyenangkan.”Deg!Naomi spontan menekan ikon merah pada layar ponselnya. Mengakhiri panggilannya dengan Alister. Wanita itu menyimpan ponselnya pada saku celana piyamanya. Kemudian, tanpa sadar mencengkram nampan berisi teh hangat untuk Amara. Pintu kamar Amara sedikit terbuka. Sosok wanita itu malah tidak terlihat dari tempat Naomi berada. Akan tetapi, suara Amara yang sebenarnya amat pelan masih menembus dari celah pintu tersebut hingga Naomi dapat mendengar percakapan wanita itu dengan jelas. Entah Amara sedang berbicara dengan siapa. Kemungkinan sedang bertelepon dengan seseorang. Namun, Naomi mengerti ke mana arah pembicaraan wanita itu. Ia mengurungkan niat untuk mengetuk pintu kamar Amara. Tetapi, sengaja mendekat dan menguping percakapan snag
Naomi spontan membuka selimut yang membalut tubuhnya, hendak melarikan diri. Namun, Fabian bergerak lebih cepat dan berhasil menangkapnya. Mengukungnya hingga terjatuh di atas ranjang. Tawa sinis lelaki itu menggema ke seluruh penjuru kamar. “Kamarmu? Sejak kapan kamar ini menjadi kamarmu?” bisik Fabian tepat di depan wajah Naomi. “Kamar ini harusnya menjadi kamar kekasihku, tapi kamu merebutnya!” Naomi meronta sekuat tenaga. Berusaha menendang dan melepas cengkeraman Fabian dari kedua tangannya. Namun, gerakannya terbatas. Selain karena perutnya yang sudah membesar. Ia juga takut menyakiti anaknya jika terlalu banyak bergerak. “Apa maksudmu?! Jangan menggangguku! Minggir!” Naomi meronta lebih kuat, namun Fabian tetap tak bergeser sedikit pun. Naomi yakin Fabian tidak mungkin salah masuk ke kamarnya. Beberapa hari lalu lelaki itu masih bersikap ramah padanya. Namun, sekarang tiba-tiba menyerangnya tanpa sebab. Jangan-jangan tadi Amara sudah curiga padanya dan mengutus Fabian untu
“Kakak yakin ingin pindah ke sini?” tanya Attar sembari menatap bangunan menjulang di hadapannya. “Iya. Kurasa sekarang sudah waktunya,” jawab Naomi yang spontan turut melirik rumah megah di depannya. Sejak terakhir kali menginjakkan kaki di sini, Naomi belum pernah datang lagi. Baru kali ini dirinya memberanikan diri untuk kembali datang. Setelah berbulan-bulan memilih mengasingkan diri dan berpikir tak akan pernah kembali sampai kapan pun. “Kuharap ini keputusan terbaik. Katakan kalau dia menyakitimu. Aku tidak akan segan-segan memukul wajahnya. Lagi. Atau Kakak bisa melakukan itu sendiri,” balas Attar sembari berkelakar. Naomi berdecak pelan. Niatnya datang kemari bukan untuk mencari masalah. Namun, untuk menyelesaikan salah satu masalah besar yang dihadapinya. Lebih tepatnya berdamai dengan hatinya setelah sekian lama dibuat bingung dengan keputusannya sendiri.Naomi ingat Attar bercerita kalau pemuda itu pernah memukul Alister. Itu terjadi setelah Alister menjelaskan kenapa d
“Ibu tirimu mengatakan ayahmu sakit sejak seminggu lalu. Dia berusaha menghubungimu dan adikmu, tapi tidak bisa,” ucap Alister yang sedang menyetir. Naomi spontan merogoh tasnya dan mengambil ponselnya. Ia mencari nomor telepon ibu tirinya yang sengaja dirinya blokir sejak lama. Ibu tirinya itu pernah menghubunginya di awal-awal ayahnya masuk penjara. Tentunya ingin meminta tolong agar Naomi membantu mengeluarkan sang ayah dari penjara. Oleh karena itu, Naomi memilih memblokir kontak ibu tirinya. Sebab, bagaimana pun caranya, Naomi tak mungkin membantu membebaskan ayahnya. Attar pun melakukan hal yang sama. Bukannya ingin memutuskan hubungan, mereka hanya muak dengan gangguan itu. Mendengar ayahnya sakit membuat kekhawatiran Naomi pada sang ayah mencuat tanpa bisa dicegah. Walaupun ia juga tidak tahu sakit apa yang ayahnya derita. Barusan, Naomi juga sudah menghubungi adiknya mengatakan tentang kondisi ayah mereka. “Kamu tenang dulu. Ayahmu pasti baik-baik saja,” tutur Alister sem
Naomi menyadari jika Alister berada di restoran yang dipenuhi hidangan mewah. Apa pun yang lelaki itu inginkan pasti ada di sana. Akan tetapi, tiba-tiba saja dirinya terdorong untuk membuat dan mengantarkan makanan pada lelaki itu. Sekarang Naomi sudah dalam perjalanan menuju ke salah satu restoran Alister, di mana lelaki itu berada. Ia pun datang tanpa mengatakan apa pun pada Alister. Mereka hanya sempat bertukar pesan sebelumnya hingga Naomi mengetahui di mana lelaki itu berada. Naomi pun tidak tahu suaminya itu sudah makan atau belum. Atau mungkin saja sudah berpindah ke restoran lain. Sebab, biasanya pun sering seperti itu. Ia melakukan ini sebagai bentuk terima kasihnya atas tutor bisnis dadakan yang lelaki itu lakukan belakangan ini. “Tuan Alister ada di ruangannya?” tanya Naomi pada salah seorang karyawan Alister yang sedang membuang sampah di luar restoran. “Eh, Nyonya? Tuan ada di ruangannya. Mau saya antar?” tawar sang pelayan dengan senyum ramah. Naomi langsung menggel
Naomi tahu Alister adalah perayu ulung. Lelaki itu berpengalaman melakukan negosiasi dengan puluhan, bahkan ratusan orang selama ini. Jelas saja, Alister memiliki banyak cara untuk membuat orang yang tadinya enggan menjadi setuju. Seperti itu juga yang dirasakan oleh Naomi. Tadinya, wanita itu bersikeras menolak keinginan Alister untuk mengelola restoran baru lelaki itu. Namun, dalam waktu singkat, Alister berhasil mengubah keputusannya. Naomi baru menyadari itu setelah dirinya memutuskan sesuatu yang berbanding terbalik dengan keinginan hatinya. Akhirnya, Naomi benar-benar mengelola restoran tersebut seperti yang lelaki itu inginkan. Setelah di pikir-pikir lagi, tawaran Alister tidak membuatnya rugi sama sekali. Malahan, dirinya bisa mendapat banyak ilmu dan pengalaman baru yang belum pernah ia dapatkan sebelumnya. “Bagian mana lagi yang belum kamu pahami?” tanya Alister membuyarkan lamunan Naomi. Naomi tersentak pelan dan langsung menunjuk satu bagian yang belum dirinya mengerti
“Kenapa Tuan mengajakku ke sini lagi?” tanya Naomi sembari menatap restoran mewah yang beberapa hari lalu ia kunjungi bersama Alister beberapa hari lalu. Bedanya, sekarang restoran tersebut telah beroperasi. Meskipun grand openingnya baru beberapa hari lalu, restoran ini sudah cukup ramai. Pengunjungnya pun terlihat berkelas dan bukan orang sembarangan. Naomi masih mengamati semuanya dari balik dinding kaca transparan yang mengelilingi restoran ini. Nama besar yang sudah Alister miliki membuat lelaki itu tak perlu terlalu mengeluarkan biaya untuk promosi. Bahkan, sepertinya tanpa promosi pun restoran ini tetap dapat beroperasi dengan baik. Bahkan, lelaki itu juga berhasil membuat restoran yang nyaris bangkrut kembali berjalan sebagaimana mestinya. Alkanna. Itulah nama restoran mewah ini. Alister mengatakan jika nama tersebut diambil dari gabungan namanya, nama putranya, dan Naomi. Alister, Ariana, dan Naomi. Entah itu benar atau tidak. Naomi pun tidak mempercayainya. Bahkan, masih
“Kamu pasti menerobos masuk tanpa izin!” tuduh Raga dengan sorot sinis. Dari semua sepupu Alister, hanya Raga yang berani menantang dan mengganggu Alister secara terang-terangan. Sedangkan sisanya tidak ada yang berani mendebat lelaki itu sama sekali. Bahkan, mereka cenderung menjauhi Alister jika tidak ada keperluan mendesak. Mereka akan berubah menjadi penjilat ulung jika membutuhkan bantuan Alister. Meskipun walau sudah berusaha keras, terkadang Alister mengabaikan permintaan mereka. Hanya Raga yang tak pernah melakukan itu karena merasa bisa mengatasi masalahnya sendiri. Sejak kecil mereka seolah bermusuhan dan bersaing untuk menjadi yang terbaik. Mungkin, lebih tepatnya hanya Raga yang melakukan itu. Sedangkan Alister tidak peduli dengan siapa pun, kecuali yang dianggapnya penting. Dan bersaing dengan Raga bukan salah satunya. “Jangan berisik! Istri dan anakku sedang tidur! Apa yang kamu inginkan? Pergi! Kami tidak menerima tamu!” Alister kembali melontarkan pengusiran pada R
Naomi mengenal sapu tangan itu. Sapu tangan itu memang miliknya. Lebih tepatnya peninggalan ibunya yang telah hilang beberapa tahun lalu. Ia sempat menangis saat mengetahui sapu tangan itu hilang. Sebab, baginya sapu tangan tersebut adalah benda keberuntungannya. Sapu tangan itu membuat Naomi merasa dekat dengan ibunya yang telah tiada. Ia selalu membawa sapu tangan iru ke mana pun dirinya pergi. Oleh karena itu, ketika sapu tangannya hilang entah ke mana, Naomi sangat merasa bersalah dan sedih. Naomi tidak pernah mengira jika sapu tangan itu berada di tangan Alister. Lebih tidak percaya lagi lelaki itu masih menyimpannya sampai sekarang. Padahal benda itu sudah terlihat lusuh. Orang sekelas Alister pasti menganggapnya seperti sampah. “Kamu tidak sengaja menumpahkan kopi di kemejaku dan kamu memberikan sapu tangan itu untuk membersihkannya. Kamu ingat? Kalau di pikir-pikir lagi, perbuatanmu waktu itu sangat tidak sopan,” ucap Alister sembari terkekeh. “Kamu ingin mengembalikannya
Hawa dingin yang menerpa punggungnya membuat Naomi menggeliat pelan dan akhirnya terbangun. Seketika saja ia mengingat apa yang terjadi beberapa jam lalu. Wajahnya langsung bersemu. Namun, ranjang di sampingnya malah kosong. “Tidurlah, sekarang masih malam,” ucap Alister yang berdiri di sudut ruangan. Naomi spontan mengalihkan pandangan. Wanita itu mengira dirinya ditinggalkan di sini. Dalam cahaya remang-remang, ia dapat melihat siluet Alister di sudut kamar yang sedang menggendong Arkana. Mereka masih berada di kamar hotel Alister tadi. Naomi tidak tahu sejak kapan Arkana berada di sini. Ia tidak enak pada Attar jika adiknya yang membawa Arkana kemari. Ia telah mengganggu waktu istirahat pemuda itu dengan meminta dia menemani Arkana. Apalagi dirinya berjanji hanya pergi sebentar. Naomi tidak menyesal telah memaksakan jauh-jauh datang. Meskipun awalnya dibuat salah paham, setidaknya sekarang dirinya sudah lebih lega. Jika tidak begini, ia tidak akan tahu apa-apa. Walaupun masih b
Seharusnya, Naomi merasa baik-baik saja. Namun, entah ke mana matanya tiba-tiba memburam dan memanas. Kedua tangan yang berada di samping tubuhnya pun gemetar. Ia tidak tahu apa yang terjadi, namun otaknya seolah ingin menyimpulkan sendiri. Amara menatap Naomi dengan senyum miring, kemudian berjalan melewati wanita itu. Dengan sengaja Amara menyenggol Naomi hingga wanita itu nyaris terhuyung. Senyum miring Amara kian mengembang setelah melewati Naomi. Cukup lama Naomi membeku di tempat. Alister pun tampak terkejut melihat kedatangannya. Setelah tersadar dari lamunannya, Naomi lantas berbalik bersiap melangkah pergi dari sana. Namun, Alister bergerak lebih cepat dan menahannya. “Kenapa kamu ada di sini?” tanya Alister pada Naomi. Naomi berdecih sinis. “Bukannya Tuan yang menyuruhku datang?” Bisa-bisanya Alister bertanya seperti itu seolah tidak tahu apa-apa. Padahal sudah jelas-jelas lelaki itu sendiri yang memintanya datang. Ternyata, ia diminta datang hanya untuk menyaksikan Ali