“Kalian sudah pulang?” sapa Amara yang dengan santainya menggandeng lengan Fabian. Naomi spontan melirik Alister yang berdiri di sampingnya, meneliti ekspresi lelaki itu. Namun, ia tak menemukan perubahan ekspresi dari sang suami yang masih memasang wajah datar. Akan tetapi, Alister memang selalu menyembunyikan emosi dengan baik. Amara dan Fabian pun tampak santai. Meskipun hanya bergandengan tangan, rasanya tak pantas. Alister selalu marah jika Naomi berdekatan—meski tanpa bersentuhan sama sekali dengan lelaki lain. Namun, anehnya lelaki itu santai saja melihat Amara bergandengan dengan Fabian.Naomi mengira Alister akan marah besar melihat Amara berdekatan dengan lelaki lain. Namun, lelaki itu masih bergeming. Tampak tak terpengaruh oleh keberadaan Fabian. Seolah-olah tak peduli. “Apa mungkin dia tidak tahu apa yang mereka lakukan di belakangnya?” gumam Naomi dalam hati. Sebenarnya Naomi tak ingin ikut campur dengan urusan Alister dan Amara. Akan tetapi, melihat sikap mereka sem
“Dia memang terlalu polos dan naif. Aku hanya sedikit memancingnya, tapi dia malah memilih bertindak terlalu jauh. Bahkan, sekarang dia sudah berada di penjara. Aku tidak menyangka ternyata dia sebodoh itu. Padahal bermain rapi lebih menyenangkan.”Deg!Naomi spontan menekan ikon merah pada layar ponselnya. Mengakhiri panggilannya dengan Alister. Wanita itu menyimpan ponselnya pada saku celana piyamanya. Kemudian, tanpa sadar mencengkram nampan berisi teh hangat untuk Amara. Pintu kamar Amara sedikit terbuka. Sosok wanita itu malah tidak terlihat dari tempat Naomi berada. Akan tetapi, suara Amara yang sebenarnya amat pelan masih menembus dari celah pintu tersebut hingga Naomi dapat mendengar percakapan wanita itu dengan jelas. Entah Amara sedang berbicara dengan siapa. Kemungkinan sedang bertelepon dengan seseorang. Namun, Naomi mengerti ke mana arah pembicaraan wanita itu. Ia mengurungkan niat untuk mengetuk pintu kamar Amara. Tetapi, sengaja mendekat dan menguping percakapan snag
Naomi spontan membuka selimut yang membalut tubuhnya, hendak melarikan diri. Namun, Fabian bergerak lebih cepat dan berhasil menangkapnya. Mengukungnya hingga terjatuh di atas ranjang. Tawa sinis lelaki itu menggema ke seluruh penjuru kamar. “Kamarmu? Sejak kapan kamar ini menjadi kamarmu?” bisik Fabian tepat di depan wajah Naomi. “Kamar ini harusnya menjadi kamar kekasihku, tapi kamu merebutnya!” Naomi meronta sekuat tenaga. Berusaha menendang dan melepas cengkeraman Fabian dari kedua tangannya. Namun, gerakannya terbatas. Selain karena perutnya yang sudah membesar. Ia juga takut menyakiti anaknya jika terlalu banyak bergerak. “Apa maksudmu?! Jangan menggangguku! Minggir!” Naomi meronta lebih kuat, namun Fabian tetap tak bergeser sedikit pun. Naomi yakin Fabian tidak mungkin salah masuk ke kamarnya. Beberapa hari lalu lelaki itu masih bersikap ramah padanya. Namun, sekarang tiba-tiba menyerangnya tanpa sebab. Jangan-jangan tadi Amara sudah curiga padanya dan mengutus Fabian untu
“Tidak! Pergi! Jangan menyentuhku!”Naomi terbangun dengan napas memburu dan badan penuh keringat. Helaan napas lega lolos dari mulutnya menyadari jika apa yang baru saja di alaminya hanyalah bagian dari mimpi belaka. Mimpi yang terasa begitu ngata hingga membuatnya sangat ketakutan. “Ada apa? Kamu mimpi buruk lagi?” Alister yang berada di toilet langsung keluar saat mendengar teriakan ketakutan Naomi. Kemudian, menghampiri dan menenangkan wanita itu. “Tenanglah, itu hanya mimpi. Tidak ada yang menyakitimu.”Dekapan hangat Alister mengalirkan ketenangan tersirat pada Naomi. Debar jantungnya yang menggila disertai deru napasnya yang memburu perlahan-lahan mulai membaik. Keringat dingin yang bercucuran di pelipisnya pun telah berhenti. Entah sudah berapa kali, Naomi selalu bermimpi buruk tentang kejadian malam itu. Bahkan, tak jarang mimpi itu datang ketika dirinya baru saja terlelap. Bukan hanya mengganggu waktu tidurnya, tetapi juga waktu istirahat Alister yang tidur bersamanya. Su
Hawa dingin yang cukup menusuk kulit membuat Naomi spontan bergeser mendekati tempat tidur Alister dengan mata terpejam. Keningnya mengerut saat tak mendapati keberadaan lelaki itu. Ia meraba-raba sisi ranjang di sampingnya yang ternyata kosong. Naomi pun membuka mata, ia pikir sudah pagi, makanya Alister telah beranjak dari ranjang. Namun, kamarnya masih temaram. Sayup-sayup cahaya mentari yang biasanya muncul dari celah gorden juga belum terlihat sama sekali. Dan jam yang menggantung di dinding membuktikan jika sekarang masih dini hari. “Baru jam tiga, ke mana dia? Apa Tuan Alister ada urusan di luar kota? Apa mungkin se pagi ini? Kenapa tidak mengatakan apa-apa padaku?” gumam Naomi bertanya-tanya. Pintu toilet juga terbuka, berarti Aliste tidak berada di sana. Naomi yang sebenarnya masih mengantuk memaksakan bangun. Ia ingin mencari keberadaan suaminya. Biasanya jika akan pergi ke luar kota, lelaki itu akan tetap berpamitan meski berangkat saat tengah malam. Naomi menyambar ika
Naomi gelagapan dan spontan menyingkirkan tangan Alister dari dagunya. “Apa iya? Aku memang tidak mimpi buruk bsemalam. Aku tidur nyenyak. Mungkin ini karena kemarin-kemarin tidurku kurang nyenyak,” alibinya spontan. Entah masuk akal atau tidak. Naomi tak ingin Alister mengetahui jika dirinya menguntit pertengkaran lelaki itu dengan Amara semalam. Alister pasti marah besar jika mengetahuinya. Lelaki itu sangat tak suka jika ada orang yang mengusik urusan pribadinya, apalagi sengaja mengintip. “Itu tidak mungkin. Kamu juga terlihat pucat. Kamu sakit?” Alister menyentuh kening Naomi menggunakan punggung tangannya. Mengecek apakah suhu tubuh wanita itu menunggu atau tidak. “Kamu tidak demam. Kamu pusing?”Naomi refleks menyentuh keningnya juga. Tentu saja tak panas, dirinya memang tidak sakit. “Emm ... aku memang sedikit pusing. Tapi, nanti pasti sembuh. Tidak apa-apa.”“Pusing? Sejak kapan? Apa itu yang membuatmu kesiangan? Kenapa tidak bilang? Kalau kamu pusing, lebih baik sarapan di
“Jangan bicara!” Naomi langsung menarik Attar pergi dari ruang tamu. Setelah itu ia malah bingung harus ke mana karena rumah ini tidak seperti tempat tinggalnya sebelumnya. Alhasil, ia mengajak sang adik ke kamarnya. “Kita mau ke mana, Kak? Jangan buru-buru. Bagaimana kalau Kakak jatuh? Suamimu itu pemarah. Aku tidak mau terkena amukannya?” ucap Attar yang agak terseok karena Naomi berjalan cepat dan terus menyeretnya. Seolah sedang dikejar sesuatu.Naomi tak menjawab dan langsung menutup pintu kamarnya setelah mereka masuk. Ia tak tahu di mana tempat yang lebih aman untuk berbicara penting di rumah ini selain kamarnya. Apalagi sang nyonya rumah lah yang akan menjadi topik pembicaraan mereka. Pasti banyak mata-mata yang mungkin mengadu. Naomi berkacak pinggang dan berjalan bolak-balik di kamarnya. Sedangkan Attar malah sudah duduk manis di ujung ranjang sang kakak. Berdecak kagum melihat kamar yang berkali-kali lipat lebih mewah dari kamarnya. Juga memiliki ranjang yang sangat empuk
[Bersiaplah, sebentar lagi kamu akan menemukan fakta mengejutkan.] Naomi kembali membaca pesan yang Amara kirim padanya satu bulan lalu. Setelah itu, nomor tersebut tak pernah aktif lagi hingga saat ini. Pesan balasan yang dikirimnya juga pasti belum dibaca oleh wabita wanita itu. Sepertinya Amara sengaja menonaktifkan nomor ini. Pesan itu seolah menyiratkan kalau Amara memang tak berada di rumah ini lagi. Jika Amara berada di sini, tidak mungkin wanita itu mengirim pesan seperti itu. Amara pasti akan langsung mengatakan peringatan tersebut secara langsung. Naomi tak mengerti mengapa Amara terus menerus membahas persoalan yang sama belakangan ini. Bahkan, sampai rela jauh-jauh menemui Attar hanya untuk mengatakan hal yang sama. Namun, Amara tidak memberi penjelasan sama sekali. Seakan sengaja ingin membuatnya penasaran. “Kenapa melamun? Apa yang mengganggu pikiranmu?” tanya Alister sebelum menngecup pipi Naomi dan duduk di samping wanita itu. Naomi tersentak pelan dan spontan
Hawa dingin yang menerpa punggungnya membuat Naomi menggeliat pelan dan akhirnya terbangun. Seketika saja ia mengingat apa yang terjadi beberapa jam lalu. Wajahnya langsung bersemu. Namun, ranjang di sampingnya malah kosong. “Tidurlah, sekarang masih malam,” ucap Alister yang berdiri di sudut ruangan. Naomi spontan mengalihkan pandangan. Wanita itu mengira dirinya ditinggalkan di sini. Dalam cahaya remang-remang, ia dapat melihat siluet Alister di sudut kamar yang sedang menggendong Arkana. Mereka masih berada di kamar hotel Alister tadi. Naomi tidak tahu sejak kapan Arkana berada di sini. Ia tidak enak pada Attar jika adiknya yang membawa Arkana kemari. Ia telah mengganggu waktu istirahat pemuda itu dengan meminta dia menemani Arkana. Apalagi dirinya berjanji hanya pergi sebentar. Naomi tidak menyesal telah memaksakan jauh-jauh datang. Meskipun awalnya dibuat salah paham, setidaknya sekarang dirinya sudah lebih lega. Jika tidak begini, ia tidak akan tahu apa-apa. Walaupun masih b
Seharusnya, Naomi merasa baik-baik saja. Namun, entah ke mana matanya tiba-tiba memburam dan memanas. Kedua tangan yang berada di samping tubuhnya pun gemetar. Ia tidak tahu apa yang terjadi, namun otaknya seolah ingin menyimpulkan sendiri. Amara menatap Naomi dengan senyum miring, kemudian berjalan melewati wanita itu. Dengan sengaja Amara menyenggol Naomi hingga wanita itu nyaris terhuyung. Senyum miring Amara kian mengembang setelah melewati Naomi. Cukup lama Naomi membeku di tempat. Alister pun tampak terkejut melihat kedatangannya. Setelah tersadar dari lamunannya, Naomi lantas berbalik bersiap melangkah pergi dari sana. Namun, Alister bergerak lebih cepat dan menahannya. “Kenapa kamu ada di sini?” tanya Alister pada Naomi. Naomi berdecih sinis. “Bukannya Tuan yang menyuruhku datang?” Bisa-bisanya Alister bertanya seperti itu seolah tidak tahu apa-apa. Padahal sudah jelas-jelas lelaki itu sendiri yang memintanya datang. Ternyata, ia diminta datang hanya untuk menyaksikan Ali
Alister menunjukkan bukti perceraiannya dengan Amara satu tahun lalu pada awak media. Seluruh wartawan langsung memotret bukti perceraian tersebut dari dekat hingga seluruh keterangan yang tertera di sana benar-benar terlihat. Dan tanggal perceraian itu tepat seminggu setelah Alister menikah dengan Naomi. Naomi terkejut bukan main. Yang ia tahu Alister dan Amara bercerai baru-baru ini. Bahkan, sebelumnya pun mereka masih tinggal bersama. Naomi tidak menyangka jika sejak lama Alister dan Amara telah berpisah. Bahkan, sebelum dirinya hamil. “Kami sudah lama berpisah dan perpisahan ini tidak ada kaitannya dengan Naomi. Istriku yang sekarang. Dia salah satu karyawanku dan kami menikah karena saling mencintai. Sedangkan hubunganku dan Amara sudah selesai,” papar Alister di depan seluruh awak media. “Kuharap di antara kalian tidak ada lagi yang berpikir kalau Naomi yang menghancurkan hubunganku dengan Amara. Dan satu lagi, istriku tidak suka terekspos. Jadi, tolong jangan terlalu mengg
“Aku akan menyelesaikannya,” tutur Alister yang kini sudah duduk di samping Naomi. Naomi berjingkat kaget dan spontan menoleh ke samping. Ia tak menyadari sejak kapan Alister terbangun. Apalagi sampai sudah mengintip ponselnya juga. Ia berdecak kesal seraya mematikan ponselnya dan meletakkan benda tersebut di atas meja kecil di dekat ranjangnya. Seperti biasa, Alister selalu menghadapi masalah dengan santai. Seakan-akan yang terjadi saat ini bukanlah masalah besar. Padahal permasalahan ini dapat sangat berpengaruh pada lelaki itu. Berbanding terbalik dengan Naomi yang sedari tadi sudah panik. “Tidak semudah itu, Tuan! Semuanya sudah menyebar. Orang-orang tidak akan mudah percaya,” jawab Naomi agak kesal. “Oh ya, sekalian aku juga ingin mengingatkan kalau aku adalah putri dari seseorang yang pernah menipu Tuan habis-habisan. Harusnya Tuan menjauhiku sebelum aku menguras harta Tuan juga. Aku bisa melakukannya kapan pun aku mau,” lanjut Naomi. Naomi tidak habis pikir kenapa Alister
Naomi tidak pernah merasa syok dan malu separah ini sebelumnya. Sampai-sampai ia tidak tahu harus melakukan apa dan hanya bisa duduk kaku di tempat duduknya. Sebab, untuk beranjak pergi pun tak mungkin meski dirinya benar-benar merasa tak nyaman. Naomi berusaha memaklumi Alister yang tiba-tiba membawanya ke tempat ini tanpa penjelasan di awal. Namun, seakan tak puas membuatnya syok, lelaki itu kembali berulah dan kali ini sangat fatal. Seakan sengaja ingin membuatnya menjadi bulan-bulanan semua orang. Wanita itu memberi isyarat pada suaminya akan berhenti atau meralat kalimat sebelumnya. Namun, lelaki itu bersikap masa bodoh dan terus melanjutkan pidato tanpa memedulikan dirinya. Padahal atmosfer yang melingkupi ruangan ini sudah tidak bersahabat. “Naomi bukan penyebab berakhirnya hubunganku dengan Amara. Sudah sejak lama aku dan Amara tidak cocok. Makanya, akhirnya kami memilih berpisah. Tapi, perpisahan kami baru terekspos akhir-akhir ini. Perpisahan itu tidak ada sangkut pautnya
“Kamu belum siap-siap?” tanya Alister ketika melihat Naomi malah sudah berbaring di ranjang dengan Arkana menggunakan baju tidur. Bahkan, sekarang sudah sedikit terlambat dari waktu janjian mereka karena Alister terjebak kemacetan di jalan. Namun, setelah sampai di sini, Naomi malah belum siap-siap. Lebih tepatnya memang tidak akan bersiap-siap karena wanita itu tidak mau pergi dengan Alister. Kemarin-kemarin Naomi sudah memberi kelonggaran pada Alister untuk berbuat seenaknya. Sekarang tidak lagi. Seharusnya sekarang proses perceraian mereka sudah berjalan. Dan pasangan yang akan berpisah tidak mungkin masih pergi ke mana-mana bersama. “Aku sudah makan. Tuan berangkat sendiri saja,” jawab Naomi seraya memejamkan mata. Padahal belum mengantuk sama sekali.Sekarang baru jam tujuh malam. Biasanya Naomi masih beraktivitas jam segini. Tentu saja ia belum mengantuk. Namun, ia sengaja menyelesaikan pekerjaan rumahnya lebih awal agar bisa bersiap tidur lebih awal juga. Supaya tidak perlu
“Jangan kerja dulu hari ini. Tuan harus istirahat supaya benar-benar pulih. Tapi, kalau Tuan mau pulang sekarang, silakan. Tuan bisa meminta supir menjemput,” tutur Naomi setelah mengecek suhu tubuh Alister menggunakan punggung tangannya. “Sekarang Tuan makan dulu.” Naomi membantu Alister mengubah posisi menjadi bersandar di tembok dengan bantal menjadi menopang. Naomi sudah membuatkan bubur untuk Alister. Tadinya ia ingin membeli saja agar lebih praktis. Namun, Naomi ingat jika Alister agak sensitif terhadap makanan saat sakit. Daripada lelaki itu tidak mau makan, lebih baik ia yang membuatkan bubur. Meski belum tentu juga rasanya enak. Naomi menyadari seharusnya dirinya tidak perlu repot-repot melakukan ini. Namun, ia tidak bisa berpura-pura tak peduli. Apalagi melihat kondisi lelaki itu yang terlihat sangat mengkhawatirkan. Naomi semakin tidak bisa menutup mata dan diam saja. Alister menerima suapan yang Naomi berikan tanpa membuka suara. Walaupun demam yang lelaki itu alami
Naomi berdeham pelan, lalu tersenyum kaku. Wanita itu berkedip pelan, benar-benar tak menyangka mertuanya sudi menginjakkan kaki di rumah sempitnya ini. Meskipun ia juga belum mengetahui apa tujuan kedatangan Miranda sebenarnya. “Maaf, Nyonya. Aku hanya terkejut. Silakan masuk.” Naomi membuka pintu lebih lebar, membiarkan Alister masuk dan mempersilakan Miranda untuk masuk juga. Naomi menatap Alister, bertanya lewat isyarat kenapa lelaki itu mengajak Miranda kemari. Bukannya Naomi antipati terhadap mertuanya sendiri. Tetapi, seharusnya sebelumnya Alister mengatakan jika akan mengajak Miranda juga agar Naomi bisa mempersiapkan sesuatu. Naomi tidak memiliki hidangan yang bisa disuguhkan. Ia hanya memasak sedikit untuk makan malamnya dengan Attar nanti. Seandainya Alister terus terang, dirinya pasti membeli sesuatu untuk disuguhkan. Dan yang sekarang bisa ia suguhkan hanya secangkir teh hangat dan kopi. Justru, malah Miranda dan Alister yang membawakan banyak makanan. Itu malah membu
“Kamu ingin mengundurkan diri? Kenapa? Apa gaji yang aku tawarkan kurang? Maksudku, kita bisa berdiskusi lagi. Bahkan, kamu belum mendapat gaji pertamamu,” tanya Raga spontan bahkan sebelum membaca surat pengunduran diri yang Naomi berikan. “Bukan. Bukan karena itu. Ini murni karena keputusan pribadiku,” jawab Naomi sembari menggeleng. Belum genap satu bulan bekerja, Naomi memilih mengundurkan diri. Tentu saja alasannya karena sekarang Naomi harus mengasuh Arkana. Jika dirinya masih bekerja, ia tidak mungkin memiliki waktu penuh untuk mengasuh putranya. Sebenarnya Naomi juga tidak mau melepas pekerjaan yang sudah membuatnya nyaman ini. Namun, dengan kondisinya saat ini tak memungkinkan untuk dipaksakan bekerja. Ia tahu penyerahan Arkana padanya juga salah satu cara Alister untuk membuatnya berhenti bekerja. “Sekarang aku harus mengasuh anakku juga. Aku tidak akan bisa membagi waktu untuk bekerja. Aku benar-benar minta maaf karena ini sangat mendadak. Terima kasih sudah memberiku k