Naomi spontan membuka selimut yang membalut tubuhnya, hendak melarikan diri. Namun, Fabian bergerak lebih cepat dan berhasil menangkapnya. Mengukungnya hingga terjatuh di atas ranjang. Tawa sinis lelaki itu menggema ke seluruh penjuru kamar. “Kamarmu? Sejak kapan kamar ini menjadi kamarmu?” bisik Fabian tepat di depan wajah Naomi. “Kamar ini harusnya menjadi kamar kekasihku, tapi kamu merebutnya!” Naomi meronta sekuat tenaga. Berusaha menendang dan melepas cengkeraman Fabian dari kedua tangannya. Namun, gerakannya terbatas. Selain karena perutnya yang sudah membesar. Ia juga takut menyakiti anaknya jika terlalu banyak bergerak. “Apa maksudmu?! Jangan menggangguku! Minggir!” Naomi meronta lebih kuat, namun Fabian tetap tak bergeser sedikit pun. Naomi yakin Fabian tidak mungkin salah masuk ke kamarnya. Beberapa hari lalu lelaki itu masih bersikap ramah padanya. Namun, sekarang tiba-tiba menyerangnya tanpa sebab. Jangan-jangan tadi Amara sudah curiga padanya dan mengutus Fabian untu
“Tidak! Pergi! Jangan menyentuhku!”Naomi terbangun dengan napas memburu dan badan penuh keringat. Helaan napas lega lolos dari mulutnya menyadari jika apa yang baru saja di alaminya hanyalah bagian dari mimpi belaka. Mimpi yang terasa begitu ngata hingga membuatnya sangat ketakutan. “Ada apa? Kamu mimpi buruk lagi?” Alister yang berada di toilet langsung keluar saat mendengar teriakan ketakutan Naomi. Kemudian, menghampiri dan menenangkan wanita itu. “Tenanglah, itu hanya mimpi. Tidak ada yang menyakitimu.”Dekapan hangat Alister mengalirkan ketenangan tersirat pada Naomi. Debar jantungnya yang menggila disertai deru napasnya yang memburu perlahan-lahan mulai membaik. Keringat dingin yang bercucuran di pelipisnya pun telah berhenti. Entah sudah berapa kali, Naomi selalu bermimpi buruk tentang kejadian malam itu. Bahkan, tak jarang mimpi itu datang ketika dirinya baru saja terlelap. Bukan hanya mengganggu waktu tidurnya, tetapi juga waktu istirahat Alister yang tidur bersamanya. Su
Hawa dingin yang cukup menusuk kulit membuat Naomi spontan bergeser mendekati tempat tidur Alister dengan mata terpejam. Keningnya mengerut saat tak mendapati keberadaan lelaki itu. Ia meraba-raba sisi ranjang di sampingnya yang ternyata kosong. Naomi pun membuka mata, ia pikir sudah pagi, makanya Alister telah beranjak dari ranjang. Namun, kamarnya masih temaram. Sayup-sayup cahaya mentari yang biasanya muncul dari celah gorden juga belum terlihat sama sekali. Dan jam yang menggantung di dinding membuktikan jika sekarang masih dini hari. “Baru jam tiga, ke mana dia? Apa Tuan Alister ada urusan di luar kota? Apa mungkin se pagi ini? Kenapa tidak mengatakan apa-apa padaku?” gumam Naomi bertanya-tanya. Pintu toilet juga terbuka, berarti Aliste tidak berada di sana. Naomi yang sebenarnya masih mengantuk memaksakan bangun. Ia ingin mencari keberadaan suaminya. Biasanya jika akan pergi ke luar kota, lelaki itu akan tetap berpamitan meski berangkat saat tengah malam. Naomi menyambar ika
Naomi gelagapan dan spontan menyingkirkan tangan Alister dari dagunya. “Apa iya? Aku memang tidak mimpi buruk bsemalam. Aku tidur nyenyak. Mungkin ini karena kemarin-kemarin tidurku kurang nyenyak,” alibinya spontan. Entah masuk akal atau tidak. Naomi tak ingin Alister mengetahui jika dirinya menguntit pertengkaran lelaki itu dengan Amara semalam. Alister pasti marah besar jika mengetahuinya. Lelaki itu sangat tak suka jika ada orang yang mengusik urusan pribadinya, apalagi sengaja mengintip. “Itu tidak mungkin. Kamu juga terlihat pucat. Kamu sakit?” Alister menyentuh kening Naomi menggunakan punggung tangannya. Mengecek apakah suhu tubuh wanita itu menunggu atau tidak. “Kamu tidak demam. Kamu pusing?”Naomi refleks menyentuh keningnya juga. Tentu saja tak panas, dirinya memang tidak sakit. “Emm ... aku memang sedikit pusing. Tapi, nanti pasti sembuh. Tidak apa-apa.”“Pusing? Sejak kapan? Apa itu yang membuatmu kesiangan? Kenapa tidak bilang? Kalau kamu pusing, lebih baik sarapan di
“Jangan bicara!” Naomi langsung menarik Attar pergi dari ruang tamu. Setelah itu ia malah bingung harus ke mana karena rumah ini tidak seperti tempat tinggalnya sebelumnya. Alhasil, ia mengajak sang adik ke kamarnya. “Kita mau ke mana, Kak? Jangan buru-buru. Bagaimana kalau Kakak jatuh? Suamimu itu pemarah. Aku tidak mau terkena amukannya?” ucap Attar yang agak terseok karena Naomi berjalan cepat dan terus menyeretnya. Seolah sedang dikejar sesuatu.Naomi tak menjawab dan langsung menutup pintu kamarnya setelah mereka masuk. Ia tak tahu di mana tempat yang lebih aman untuk berbicara penting di rumah ini selain kamarnya. Apalagi sang nyonya rumah lah yang akan menjadi topik pembicaraan mereka. Pasti banyak mata-mata yang mungkin mengadu. Naomi berkacak pinggang dan berjalan bolak-balik di kamarnya. Sedangkan Attar malah sudah duduk manis di ujung ranjang sang kakak. Berdecak kagum melihat kamar yang berkali-kali lipat lebih mewah dari kamarnya. Juga memiliki ranjang yang sangat empuk
[Bersiaplah, sebentar lagi kamu akan menemukan fakta mengejutkan.] Naomi kembali membaca pesan yang Amara kirim padanya satu bulan lalu. Setelah itu, nomor tersebut tak pernah aktif lagi hingga saat ini. Pesan balasan yang dikirimnya juga pasti belum dibaca oleh wabita wanita itu. Sepertinya Amara sengaja menonaktifkan nomor ini. Pesan itu seolah menyiratkan kalau Amara memang tak berada di rumah ini lagi. Jika Amara berada di sini, tidak mungkin wanita itu mengirim pesan seperti itu. Amara pasti akan langsung mengatakan peringatan tersebut secara langsung. Naomi tak mengerti mengapa Amara terus menerus membahas persoalan yang sama belakangan ini. Bahkan, sampai rela jauh-jauh menemui Attar hanya untuk mengatakan hal yang sama. Namun, Amara tidak memberi penjelasan sama sekali. Seakan sengaja ingin membuatnya penasaran. “Kenapa melamun? Apa yang mengganggu pikiranmu?” tanya Alister sebelum menngecup pipi Naomi dan duduk di samping wanita itu. Naomi tersentak pelan dan spontan
“Sepertinya aku akan melahirkan.”“Apa?!” Alister langsung menggendong Naomi dengan ekspresi panik yang sangat ketara. Tak ingin untuk membawa apa pun dan bergegas melangkah ke luar. Kebetulan mobil yang tadi digunakannya baru saja akan dimasukkan ke garasi oleh supir. “Antar kami ke rumah sekarang!” titah Alister seraya membuka pintu mobil bagian belakang dan merebahkan Naomi perlahan-lahan. Kemudian, menempatkan kepala wanita itu di pangkuannya. “Jangan takut. Aku akan menemanimu,” bisik Alister sembari menggenggam dan mengecup tangan Naomi. Seolah sedang menyalurkan kekuatan. Naomi hanya tersenyum lemah dan membalas genggaman tangan Alister tak kalah erat. Semakin lama, kontraksi tersebut kian menguat dan sering datang. Apalagi ketika kontraksinya kembali terasa. Setetes cairan bening meluncur dari manik matanya. “Nak, apa kamu ingin kita berpisah lebih cepat?”Naomi tidak tahu apakah dirinya harus sedih atau bersuka cita. Sebab, semakin cepat anaknya lahir, maka semakin cepat
“Sebegitu kuat keinginanmu untuk pergi?” tanya Alister sinis. “Entah keinginanku atau bukan. Aku memang harus pergi, ‘kan?” jawab Naomi dengan senyum pedih. Tadinya, Naomi tak ingin menyinggung persoalan ini karena takut Alister akan langsung mengusirnya. Namun, kata-kata itu terlanjur meluncur dari mulutnya. Lagipula, tugasnya memang telah usai dan dirinya harus segera pergi dari kehidupan Alister dan putranya. Tangis sang putra yang berada di gendongan Alister mengalihkan atensi keduanya. Alister membawa anaknya dari ruangan bayi dalam keadaan tertidur, bayi tampan itu terbangun karena perdebatan orang tuanya. Seakan ikut merasakan kesedihan yang sangat terasa di sana. Naomi mengangkat kedua tangannya. “Biarkan aku menggendongnya, dia haus.”Tanpa mengatakan apa pun, Alister langsung menyerahkan putranya yang belum diberi nama itu pada Naomi. Begitu bersentuhan dengan sang ibu, bayi tampan itu langsung tenang, tak lagi meraung seperti sebelumnya. Sontak saja itu membuat Naomi te
“Kakak yakin ingin pindah ke sini?” tanya Attar sembari menatap bangunan menjulang di hadapannya. “Iya. Kurasa sekarang sudah waktunya,” jawab Naomi yang spontan turut melirik rumah megah di depannya. Sejak terakhir kali menginjakkan kaki di sini, Naomi belum pernah datang lagi. Baru kali ini dirinya memberanikan diri untuk kembali datang. Setelah berbulan-bulan memilih mengasingkan diri dan berpikir tak akan pernah kembali sampai kapan pun. “Kuharap ini keputusan terbaik. Katakan kalau dia menyakitimu. Aku tidak akan segan-segan memukul wajahnya. Lagi. Atau Kakak bisa melakukan itu sendiri,” balas Attar sembari berkelakar. Naomi berdecak pelan. Niatnya datang kemari bukan untuk mencari masalah. Namun, untuk menyelesaikan salah satu masalah besar yang dihadapinya. Lebih tepatnya berdamai dengan hatinya setelah sekian lama dibuat bingung dengan keputusannya sendiri.Naomi ingat Attar bercerita kalau pemuda itu pernah memukul Alister. Itu terjadi setelah Alister menjelaskan kenapa d
“Ibu tirimu mengatakan ayahmu sakit sejak seminggu lalu. Dia berusaha menghubungimu dan adikmu, tapi tidak bisa,” ucap Alister yang sedang menyetir. Naomi spontan merogoh tasnya dan mengambil ponselnya. Ia mencari nomor telepon ibu tirinya yang sengaja dirinya blokir sejak lama. Ibu tirinya itu pernah menghubunginya di awal-awal ayahnya masuk penjara. Tentunya ingin meminta tolong agar Naomi membantu mengeluarkan sang ayah dari penjara. Oleh karena itu, Naomi memilih memblokir kontak ibu tirinya. Sebab, bagaimana pun caranya, Naomi tak mungkin membantu membebaskan ayahnya. Attar pun melakukan hal yang sama. Bukannya ingin memutuskan hubungan, mereka hanya muak dengan gangguan itu. Mendengar ayahnya sakit membuat kekhawatiran Naomi pada sang ayah mencuat tanpa bisa dicegah. Walaupun ia juga tidak tahu sakit apa yang ayahnya derita. Barusan, Naomi juga sudah menghubungi adiknya mengatakan tentang kondisi ayah mereka. “Kamu tenang dulu. Ayahmu pasti baik-baik saja,” tutur Alister sem
Naomi menyadari jika Alister berada di restoran yang dipenuhi hidangan mewah. Apa pun yang lelaki itu inginkan pasti ada di sana. Akan tetapi, tiba-tiba saja dirinya terdorong untuk membuat dan mengantarkan makanan pada lelaki itu. Sekarang Naomi sudah dalam perjalanan menuju ke salah satu restoran Alister, di mana lelaki itu berada. Ia pun datang tanpa mengatakan apa pun pada Alister. Mereka hanya sempat bertukar pesan sebelumnya hingga Naomi mengetahui di mana lelaki itu berada. Naomi pun tidak tahu suaminya itu sudah makan atau belum. Atau mungkin saja sudah berpindah ke restoran lain. Sebab, biasanya pun sering seperti itu. Ia melakukan ini sebagai bentuk terima kasihnya atas tutor bisnis dadakan yang lelaki itu lakukan belakangan ini. “Tuan Alister ada di ruangannya?” tanya Naomi pada salah seorang karyawan Alister yang sedang membuang sampah di luar restoran. “Eh, Nyonya? Tuan ada di ruangannya. Mau saya antar?” tawar sang pelayan dengan senyum ramah. Naomi langsung menggel
Naomi tahu Alister adalah perayu ulung. Lelaki itu berpengalaman melakukan negosiasi dengan puluhan, bahkan ratusan orang selama ini. Jelas saja, Alister memiliki banyak cara untuk membuat orang yang tadinya enggan menjadi setuju. Seperti itu juga yang dirasakan oleh Naomi. Tadinya, wanita itu bersikeras menolak keinginan Alister untuk mengelola restoran baru lelaki itu. Namun, dalam waktu singkat, Alister berhasil mengubah keputusannya. Naomi baru menyadari itu setelah dirinya memutuskan sesuatu yang berbanding terbalik dengan keinginan hatinya. Akhirnya, Naomi benar-benar mengelola restoran tersebut seperti yang lelaki itu inginkan. Setelah di pikir-pikir lagi, tawaran Alister tidak membuatnya rugi sama sekali. Malahan, dirinya bisa mendapat banyak ilmu dan pengalaman baru yang belum pernah ia dapatkan sebelumnya. “Bagian mana lagi yang belum kamu pahami?” tanya Alister membuyarkan lamunan Naomi. Naomi tersentak pelan dan langsung menunjuk satu bagian yang belum dirinya mengerti
“Kenapa Tuan mengajakku ke sini lagi?” tanya Naomi sembari menatap restoran mewah yang beberapa hari lalu ia kunjungi bersama Alister beberapa hari lalu. Bedanya, sekarang restoran tersebut telah beroperasi. Meskipun grand openingnya baru beberapa hari lalu, restoran ini sudah cukup ramai. Pengunjungnya pun terlihat berkelas dan bukan orang sembarangan. Naomi masih mengamati semuanya dari balik dinding kaca transparan yang mengelilingi restoran ini. Nama besar yang sudah Alister miliki membuat lelaki itu tak perlu terlalu mengeluarkan biaya untuk promosi. Bahkan, sepertinya tanpa promosi pun restoran ini tetap dapat beroperasi dengan baik. Bahkan, lelaki itu juga berhasil membuat restoran yang nyaris bangkrut kembali berjalan sebagaimana mestinya. Alkanna. Itulah nama restoran mewah ini. Alister mengatakan jika nama tersebut diambil dari gabungan namanya, nama putranya, dan Naomi. Alister, Ariana, dan Naomi. Entah itu benar atau tidak. Naomi pun tidak mempercayainya. Bahkan, masih
“Kamu pasti menerobos masuk tanpa izin!” tuduh Raga dengan sorot sinis. Dari semua sepupu Alister, hanya Raga yang berani menantang dan mengganggu Alister secara terang-terangan. Sedangkan sisanya tidak ada yang berani mendebat lelaki itu sama sekali. Bahkan, mereka cenderung menjauhi Alister jika tidak ada keperluan mendesak. Mereka akan berubah menjadi penjilat ulung jika membutuhkan bantuan Alister. Meskipun walau sudah berusaha keras, terkadang Alister mengabaikan permintaan mereka. Hanya Raga yang tak pernah melakukan itu karena merasa bisa mengatasi masalahnya sendiri. Sejak kecil mereka seolah bermusuhan dan bersaing untuk menjadi yang terbaik. Mungkin, lebih tepatnya hanya Raga yang melakukan itu. Sedangkan Alister tidak peduli dengan siapa pun, kecuali yang dianggapnya penting. Dan bersaing dengan Raga bukan salah satunya. “Jangan berisik! Istri dan anakku sedang tidur! Apa yang kamu inginkan? Pergi! Kami tidak menerima tamu!” Alister kembali melontarkan pengusiran pada R
Naomi mengenal sapu tangan itu. Sapu tangan itu memang miliknya. Lebih tepatnya peninggalan ibunya yang telah hilang beberapa tahun lalu. Ia sempat menangis saat mengetahui sapu tangan itu hilang. Sebab, baginya sapu tangan tersebut adalah benda keberuntungannya. Sapu tangan itu membuat Naomi merasa dekat dengan ibunya yang telah tiada. Ia selalu membawa sapu tangan iru ke mana pun dirinya pergi. Oleh karena itu, ketika sapu tangannya hilang entah ke mana, Naomi sangat merasa bersalah dan sedih. Naomi tidak pernah mengira jika sapu tangan itu berada di tangan Alister. Lebih tidak percaya lagi lelaki itu masih menyimpannya sampai sekarang. Padahal benda itu sudah terlihat lusuh. Orang sekelas Alister pasti menganggapnya seperti sampah. “Kamu tidak sengaja menumpahkan kopi di kemejaku dan kamu memberikan sapu tangan itu untuk membersihkannya. Kamu ingat? Kalau di pikir-pikir lagi, perbuatanmu waktu itu sangat tidak sopan,” ucap Alister sembari terkekeh. “Kamu ingin mengembalikannya
Hawa dingin yang menerpa punggungnya membuat Naomi menggeliat pelan dan akhirnya terbangun. Seketika saja ia mengingat apa yang terjadi beberapa jam lalu. Wajahnya langsung bersemu. Namun, ranjang di sampingnya malah kosong. “Tidurlah, sekarang masih malam,” ucap Alister yang berdiri di sudut ruangan. Naomi spontan mengalihkan pandangan. Wanita itu mengira dirinya ditinggalkan di sini. Dalam cahaya remang-remang, ia dapat melihat siluet Alister di sudut kamar yang sedang menggendong Arkana. Mereka masih berada di kamar hotel Alister tadi. Naomi tidak tahu sejak kapan Arkana berada di sini. Ia tidak enak pada Attar jika adiknya yang membawa Arkana kemari. Ia telah mengganggu waktu istirahat pemuda itu dengan meminta dia menemani Arkana. Apalagi dirinya berjanji hanya pergi sebentar. Naomi tidak menyesal telah memaksakan jauh-jauh datang. Meskipun awalnya dibuat salah paham, setidaknya sekarang dirinya sudah lebih lega. Jika tidak begini, ia tidak akan tahu apa-apa. Walaupun masih b
Seharusnya, Naomi merasa baik-baik saja. Namun, entah ke mana matanya tiba-tiba memburam dan memanas. Kedua tangan yang berada di samping tubuhnya pun gemetar. Ia tidak tahu apa yang terjadi, namun otaknya seolah ingin menyimpulkan sendiri. Amara menatap Naomi dengan senyum miring, kemudian berjalan melewati wanita itu. Dengan sengaja Amara menyenggol Naomi hingga wanita itu nyaris terhuyung. Senyum miring Amara kian mengembang setelah melewati Naomi. Cukup lama Naomi membeku di tempat. Alister pun tampak terkejut melihat kedatangannya. Setelah tersadar dari lamunannya, Naomi lantas berbalik bersiap melangkah pergi dari sana. Namun, Alister bergerak lebih cepat dan menahannya. “Kenapa kamu ada di sini?” tanya Alister pada Naomi. Naomi berdecih sinis. “Bukannya Tuan yang menyuruhku datang?” Bisa-bisanya Alister bertanya seperti itu seolah tidak tahu apa-apa. Padahal sudah jelas-jelas lelaki itu sendiri yang memintanya datang. Ternyata, ia diminta datang hanya untuk menyaksikan Ali