Aruna terbangun dari tidur dengan kondisi mata mengantuk. Karena, Erland tetap menganggu ketika Aruna ingin tidur. Aruna sampai memukul dan memohon, barulah dirinya bisa tidur."Istriku sudah bangun?"Kepala Aruna menoleh dan mendapati Erland memasuki kamar dengan membawakan sarapan. Aruna membenarkan bajunya, kemudian kakinya turun dari ranjang."Kenapa sarapannya dibawa ke kamar?""Aku takut kamu tidak sanggup jalan," sahut Erland.Aruna menghela napas. "Makanya kalau minta jangan sekaligus, aku juga tidak pernah menolak melayani kan."Erland mendudukkan diri di sisinya, dengan sarapan diletakkan di pangkuan. Mata Erland memandang Aruna dengan lekat, sang istri yang kelihatan lelah. Jemari Erland mengusap kepala Aruna dengan lembut."Hari ini izin saja, tidak perlu masuk kerja," usul Erland.Aruna yang memang membutuhkan istirahat, langsung mengangguk. Kemudian menyenderkan kepalanya pada pundak Erland."Meski mengantuk, sarapan dulu. Supaya perut tidak sakit.""Tunggu sebentar lagi
Sepulang kerja suaminya. Aruna langsung mendekat, selain membantu melepas dasi. Aruna juga memberikan minuman untuk suaminya yang terlihat lelah."Gunanya punya sekretaris itu ya bisa mengatur dan membantu kerjaan, kamu malah menyuruh aku tidak masuk," keluhnya.Erland mengerutkan dahi, kemudian meraih pinggang Aruna. "Sayang. Apa kamu baru saja mengeluhkan perhatian yang aku tunjukkan padamu?"Mendengarnya Aruna langsung tersenyum. "Ya tidak juga sih. Tapi, lain kali jangan suruh aku tidak masuk kerja. Kamu kan kerja dua kali."Erland menuntunnya untuk duduk di sofa, kemudian tubuhnya berada di atas pangkuan suaminya. Erland memeluk Aruna dengan erat."Aku ingin memelukmu dan tertidur," ujar Erland dengan mata terpejam.Aruna terburu menoleh dan menepuk lengan suaminya. "Jangan tidur dulu.""Hm, kenapa memangnya?""Fira mengadu padaku, dia dihindari teman-temannya."Mata Erland pun langsung terbuka dan wajah terlihat tidak suka. "Siapa yang beran
Pagi harinya. Aruna yang masih dibiarkan tidak masuk kerja, sedang menyiram tanaman di taman. Mitha yang berkunjung semenjak tadi, duduk mengawasi Aruna di kursi kayu."Bukannya sekarang musim hujan, tidak perlu disiram," singgung Mitha.Aruna menoleh. "Hujannya kan bukan pagi, sementara tanaman wajib disiram saat pagi."Mitha menghela napas, melihat Aruna yang benar-benar suka dengan tanaman. Bahkan sewaktu di luar negeri dulu, rumah hampir dipenuhi bunga."Pesan yang kamu kirim semalam, aku sudah baca tapi tidak aku beri tahukan pada Erland," ujarnya.Mitha mengirim pesan kalau ibu tiri Erland mengajak bertemu, kemudian meminta wanita itu untuk menyakiti Aruna kembali. "Kenapa tidak kamu beri tahu? Erland kan suami kamu, dia wajib tahu."Aruna menoleh. "Ya, bagaimana ya. Aku bukannya orang baik, memang berharap wanita itu kena karma.""Tapi, kamu tahu sendiri seperti apa Erland. Dia sangat kejam pada siapa pun."Mendengar hal itu, Mitha langsung mengangguk. Namun, mata memandang Ar
Aruna tersenyum dengan senang. Kemudian merebahkan kepala pada pundak suaminya. Erland sendiri mengusap rambutnya dengan lembut."Mitha mengajak jalan bersama saat hari minggu, kamu juga libur kan nanti," ujarnya memberi tahu.Dahi Erland mengerut, karena tidak segera mendapat jawaban. Aruna pun menjauhkan diri hanya untuk menatap ekspresi suaminya yang nampak tak setuju."Sayang, kamu begitu dekat dengan Mitha?"Kepalanya mengangguk. "Iya, memangnya kenapa?"Erland berdehem. "Sonya bicara padaku, katanya tidak suka dengan Mitha karena dulu sangat jahat padamu. Bukankah lebih baik sedikit jauh darinya?"Melihat kecemasan di wajah suaminya, Aruna langsung meraih tangan Erland dan menggenggam erat. Mata suaminya memandang lekat jemarinya yang sedang mengusap."Jangan khawatir, suamiku. Mitha sudah tidak seperti dulu lagi.""Sayang, sifat manusia itu sulit diubah," komen Erland.Ya, meski memang benar sih. Karena Erland saja tidak berubah sekali pun sudah lupa ingatan. Namun, Aruna yakin
Mendengar nama yang disebut oleh suaminya. Aruna tak segera menjalankan mobil. Jantungnya berdetak dengan kencang, bagaimana bisa yang suaminya ingat justru sosok bernama Irene. "Aruna?"Kepalanya menoleh. "Nanti saja bicaranya, kalau di kantor."Aruna sedikit kecewa dengan Irene yang diingat oleh suaminya. Meski ia tahu, kalau Erland tidak akan menghilangkan sosok Irene dalam ingatan. Tapi, tetap saja rasanya menyakitkan.Erland sendiri memilih diam dengan pandangan terarah pada Aruna. Dia merasa tidak enak karena membahas wanita lain di hadapan sang istri. Namun, Erland sungguh penasaran.Begitu tiba di perusahaan. Erland terus saja mengikuti langkah Aruna berjalan. Semua karyawan yang melihat merasa kalau Erland begitu mencintai istri, sampai pandangan pun tertuju serius pada Aruna."Jadi, bisa cerita sekarang kan?" tanya Erland begitu Aruna memasuki ruang kerjanya.Pandangan Aruna begitu serius pada suaminya. "Sepertinya kamu sangat ingin tahu ya?"
Aruna duduk dengan mata yang mengantuk. Namun, saat orang tua murid memutar musik dan bernyanyi. Aruna jadi membuka matanya lebar, kemudian memandang sekitar.Aruna menemukan suaminya sedang memandang ke arahnya. "Nah kan, kalau naik mobil pribadi, kamu bisa tidur.""Bicara apa sih? Lebih enak juga satu bus, bisa nyanyi bareng."Erland menghela napas, kemudian memilih diam dan memperhatikan Fira yang bermain ponsel. "Nanti kita juga piknik sendiri ya, supaya lebih santai," ujar Erland.Fira mengangkat kepala dan mengangguk. "Boleh, kalau Papa tidak kerja."Erland tersenyum dan mengusap kepala sang putri. "Hari kerja pun, papa akan mengajak Fira piknik."Aruna menoleh. "Jangan aneh-aneh, sekali pun kamu atasan, tetap saja tidak boleh bolos kerja.""Kamu mengajari Fira yang tidak benar tahu tidak," Aruna terus mengomel.Erland dan Fira memandang ke arah Aruna, kemudian tersenyum. Sudah biasa dengan ocehan dari Aruna yang banyak. "Apa sih? Kenapa kalian kompak sekali," ocehnya kemudian
Setelah mendapatkan obat yang diresepkan. Aruna dan Erland berjalan beriringan melewati lorong rumah sakit dengan bergandengan tangan. Kemudian menuruni tangga di pelataran gedung dan menghampiri mobil yang parkir."Erland," sebut Aruna membuat suaminya yang sedang membuka pintu untuknya langsung menoleh."Ada apa Sayang?""Kamu ingin mengunjungi pemakaman Irene tidak?"Tangan Erland seketika terhenti dan perlahan menjauh dari gagang pintu. Dia memandang Aruna dengan lekat. Kenapa sang istri tiba-tiba malah membahas Irene sekaligus pemakamannya."Sayang."Aruna langsung tersenyum. "Tidak apa, aku juga kebetulan ingin mengunjungi Irene.""Kamu mau ikut?"Erland diam sejenak, nampak memikirkan ajakan dari sang istri. Karena sejujurnya Erland takut ada pertengkaran dengan Aruna."Baiklah, Sayang. Aku hanya mengikuti kamu ya, bukan aku yang mau."Aruna tersenyum dan mengangguk mendengar ucapan suaminya. Erland sepenuhnya membuka pintu mobil untuknya. Kemudian berjalan memutar dan masuk ju
"Kamu sanggup melahirkan berapa anak, Aruna?" Erland bertanya dengan tangan menutup pintu kamar putrinya sangat pelan. Aruna nampak berpikir, padahal hamil saja belum sudah ditanya berapa anak. Aruna tertegun saat Erland melintas ada Sonya yang berdiri diam dengan kepala menunduk hormat. Begitu Sonya mengangkat pandangan dan bertemu dengannya, Aruna langsung memukuli suaminya."Kenapa kamu tidak bilang ada Ibu Sonya? Aku kan jadi malu," keluhnya membuat wanita itu tersenyum.Apalagi ketika Aruna menyembunyikan wajah pada pundak suaminya. Sonya semakin tersenyum lebar, senang dengan hubungan manjikan yang membaik.Erland memasuki kamar dengan raut wajah ceria, tak lupa mengunci pintu. Mencegah Fira datang secara tiba-tiba dan memergoki orang tua sedang bikin anak."Aku malu tahu," keluhnya saat tubuh didudukan oleh Erland di atas ranjang."Kenapa? Sonya juga tidak akan mengolok kamu kok.""Ya biar begitu, tetap saja malu."Erland mencium bibir Aruna, hingga percakapan di antara merek