Sakha bilang bahwa malam ini merupakan malam terakhir mereka. Airin sama sekali tidak menyadari itu dan berpikir bahwa Sakha akan bersamanya dalam waktu yang cukup lama. Itulah kenapa, untuk sesaat dia ingin kabur ke rumah orang tuanya untuk menjernihkan pikiran. Tapi kalau tahu begini …
Airin tidak perlu lagi bersusah hati.
Dia senang.
Sementara kedua sudut bibir Airin melengkung ke atas, Sakha justru sebaliknya. Pria itu tidak mengatakan apapun semenjak mereka berdua meninggalkan rumah orang tua Airin.
Pagi datang bersamaan dengan suara kicau burung fajar yang saling bersahutan di pohon, juga ayam berkokok yang terdengar di kejauhan, suara serangga di semak belukar luar mulai memelan. Tapi bukan itu yang membangunkan Airin dari tidurnya—yang dia tahu baru dia dapatkan hanya sebentar, melainkan Sakha, yang terus-terusan mengusap punggung Airin tanpa henti sedari tadi. Mungkin bagi lelaki itu apa yang dia lalukan adalah gestur menenangkan supaya Airin semakin terbuai dalam tidurnya, tapi yang Airin rasakan justru sebaliknya dan Sakha tidak menyadari itu. Airin membuka mata, langsung disuguhkan oleh pemandangan dada bidang sang suami. Apa Sakha tertidur? pikir Airin. Dia pu
Seperti yang Ria janjikan tadi, bahwa dia akan mengajari Airin merias wajah.Di ruang keluarga yang luas, dilatari oleh suara televisi yang menyala, keempat istri Sakha duduk di sofa dan tengah sibuk dengan urusan masing-masing.Nia sedang asik bertelepon dengan temannya di kota. Tia sedang fokus ke layar hapenya membuka sosial media. Sementara Ria merias wajah Airin sembari sesekali menjelaskan. Dan Airin sama sekali tidak fokus pikirannya dengan apapun.Suara petir yang menggelegar di iklan sebuah merk detergen di tv mengagetkan Airin dan menyadarkannya dari lamunan. Dia membuka mata setelah sebelumnya Ria suruh tutup
Sepasang mata gelap yang tengah balik menatap Airin tajam di cermin itu tampak jengkel.“Apa-apaan ini?!” ucapnya. Tidak peduli seberapa sering dia menoleh ke kanan kiri untuk melihat posisi yang bagus pada wajahnya, dia tidak berhasil menemukannya. Eye shadow di matanya terlalu gelap mencolok. Eyeliner-nya juga tebal dan runcing. Contour di pipi dan hidungnya terlalu tajam. Rona merah di pipinya sedikit lebih kemerahan dari yang seharusnya. Kedua alisnya yang tipis disulap menjadi alis tebal berwarna hitam kecoklatan. Lipstik merah di bibirnya yang penuh tampak sangat menor. Belum lagi bulu mata palsu dua lapis yang membuat matanya begitu berat dan mengantuk.Airin langsung tertawa keras
Langkah Sakha tergesa-gesa menuju ruang tamu di mana ketiga istrinya tengah berada. Televisi masih menyala, tapi mereka sibuk dengan ponsel masing-masing.Menyadari kehadiran Sakha, Tia yang kebetulan duduk menghadap samping ke arah pintu masuk langsung menoleh.“Lho, Mas? Sudah pulang?” kata Tia.Mendengar sang suami disebut, Ria dan Nia pun ikut menoleh.Saat sampai di ruang keluarga Sakha melangkah melewati mereka untuk mengambil remote tv dan menekan tombol off, bersamaan dengan itu Ria membuka suara.“Tumben sudah pulang, Mas. Bukannya Mas pergi ke—“Ucapan Ria itu terpotong ketika Sakha membanting remote tv-nya dengan kasar ke meja.“Kalian harus lebih berhemat lagi,” ucapnya dengan suara dingin.“Mas! Mas! Aku punya sesuatu untuk Mas lihat. Sini deh!” ceplos Nia, sama sekali tidak menyadari adanya aura tidak mengenakkan yang menguar di sekitar sang suami.
“Na na na na na hm hmm.” Airin bersenandung pelan, melangkah keluar dari kamar mandi sembari mengusap rambut panjangnya yang basah.Namun kemudian pintu kamarnya terbuka dengan keras, sampai-sampai membuat Airin hampir terlonjak kaget.“Tuan!” serunya, menatap Sakha kesal.Tatapan Sakha langsung berlabuh pada gadis itu dan melembut. “Maaf, apa aku mengejutkanmu?” tanyanya.Airin mendelik. “Tuan hampir saja membuat saya jantungan,” sahutnya, kemudian pergi ke meja rias setelah
“Ini semua gara-gara kamu, Nia!” seru Ria dengan suara meninggi, setelah memastikan bahwa Sakha sudah benar-benar pergi dari sana.Nia berdiri, menatap Ria tidak terima. “Kenapa salahku?! Kak Ria yang dandanin Ririn begitu kok kenapa nyalahin aku?”Tia ikut berdiri, melerai dua wanita itu. “Sudah-sudah. Jangan diperpanjang! Nanti kalau Mas denger bisa makin parah urusannya.”Ria dan Nia pun duduk kembali dengan wajah cemberut.“Kalau begitu, ini salah Ririn,” kata Nia.
Hujan benar-benar turun dengan sangat deras, setiap tetesnya jatuh dengan kasar seperti jarum yang menusuk-nusuk kulit. Dalam sekejap, Airin sudah dibuat basah kuyup. Dia lupa jarak dari pintu utama ke paviliun di belakang cukup jauh. Airin lagi-lagi merutuki keputusannya.Tapi ini bukan salahku! pikirnya dengan keras kepala. Baginya, ini adalah salah Sakha.Selama hampir tiga hari ini Airin sudah berhasil tidak menghiraukan kehadiran suaminya dan menjalani hidupnya dengan damai. Tapi lagi-lagi pria itu mengganggunya seperti tadi."Airin!"
Airin bergegas masuk ke dalam paviliun dan mengunci pintunya. Dia berdiri di hadapan daun pintu itu untuk beberapa saat, lalu berbalik dan bersandar di sana. Matanya terpejam, air menetes-netes dari tubuh dan pakaiannya yang basah."Tenang... tenang... jangan dipikirkan!" gumam Airin pada dirinya sendiri.Saat dirasanya mantra itu tidak berhasil. Airin mulai gelisah, dia berjalan mondar-mandir sembari mengatakan pada dirinya sendiri untuk tenang. Sebelah tangannya menyentuh dada, seolah dengan itu dia bisa menenangkan degup jantungnya yang berdetak kencang.Tadi, sesaat setelah Sakha menangkat kepalanya dari bahu Airin d