“Na na na na na hm hmm.” Airin bersenandung pelan, melangkah keluar dari kamar mandi sembari mengusap rambut panjangnya yang basah.
Namun kemudian pintu kamarnya terbuka dengan keras, sampai-sampai membuat Airin hampir terlonjak kaget.
“Tuan!” serunya, menatap Sakha kesal.
Tatapan Sakha langsung berlabuh pada gadis itu dan melembut. “Maaf, apa aku mengejutkanmu?” tanyanya.
Airin mendelik. “Tuan hampir saja membuat saya jantungan,” sahutnya, kemudian pergi ke meja rias setelah
“Ini semua gara-gara kamu, Nia!” seru Ria dengan suara meninggi, setelah memastikan bahwa Sakha sudah benar-benar pergi dari sana.Nia berdiri, menatap Ria tidak terima. “Kenapa salahku?! Kak Ria yang dandanin Ririn begitu kok kenapa nyalahin aku?”Tia ikut berdiri, melerai dua wanita itu. “Sudah-sudah. Jangan diperpanjang! Nanti kalau Mas denger bisa makin parah urusannya.”Ria dan Nia pun duduk kembali dengan wajah cemberut.“Kalau begitu, ini salah Ririn,” kata Nia.
Hujan benar-benar turun dengan sangat deras, setiap tetesnya jatuh dengan kasar seperti jarum yang menusuk-nusuk kulit. Dalam sekejap, Airin sudah dibuat basah kuyup. Dia lupa jarak dari pintu utama ke paviliun di belakang cukup jauh. Airin lagi-lagi merutuki keputusannya.Tapi ini bukan salahku! pikirnya dengan keras kepala. Baginya, ini adalah salah Sakha.Selama hampir tiga hari ini Airin sudah berhasil tidak menghiraukan kehadiran suaminya dan menjalani hidupnya dengan damai. Tapi lagi-lagi pria itu mengganggunya seperti tadi."Airin!"
Airin bergegas masuk ke dalam paviliun dan mengunci pintunya. Dia berdiri di hadapan daun pintu itu untuk beberapa saat, lalu berbalik dan bersandar di sana. Matanya terpejam, air menetes-netes dari tubuh dan pakaiannya yang basah."Tenang... tenang... jangan dipikirkan!" gumam Airin pada dirinya sendiri.Saat dirasanya mantra itu tidak berhasil. Airin mulai gelisah, dia berjalan mondar-mandir sembari mengatakan pada dirinya sendiri untuk tenang. Sebelah tangannya menyentuh dada, seolah dengan itu dia bisa menenangkan degup jantungnya yang berdetak kencang.Tadi, sesaat setelah Sakha menangkat kepalanya dari bahu Airin d
Bibir Airin terkatup rapat. Rasa dingin menusuk sampai tulangnya, tapi keringat tidak juga berhenti bercucuran dari pori-pori di tubuhnya. Panas dingin, itu yang Airin rasakan. Belum lagi dengan dentuman halus di kepalanya yang memberi efek begitu dahsyat.Berlapis-lapis selimut sudah Airin kenakan. Karena tadi dia berpikir bahwa ini hanyalah dikarenakan suhu udara biasa, jadi Airin berbaring di tempat tidur tertelungkup selimut tebal, berniat untuk istirahat sejenak karena semenjak selesai mandi tadi, dia merasa pusing.Pasti akan sakit, batin Airin dengan yakin. Dan benar saja, itulah yang terjadi sekarang.Su
Sakha berdiri di dapur, dengan cekatan mengambil peralatan dan beberapa bahan makanan untuk dia masak. Saat melakukannya, Ria muncul di pintu dapur dengan pakaian tidur tipis."Mas?" panggilnya.Sakha menoleh. "Hm. Kamu bangun?""Iya. Mas ngapain?""Masak.""Selarut ini?" tanya Ria heran."Hm."
“Airin, apa kamu tahu apa alasanku memiliki banyak istri?” tanya Sakha tiba-tiba.Airin, yang baru saja hendak menyuap bubur masuk ke mulutnya langsung berhenti, dia menoleh pada Sakha dan tampak seperti tengah berpikir.“Karena Tuan ... mesum?” jawab Airin.Sakha memelototinya tajam. “K-kamu …!”Airin menyengir tipis. Lalu menunduk dan mengaduk-aduk bubur di mangkuk. “Atau ... karena anak?” katanya tanpa menoleh.
Benar seperti dugaan Yuniarti, suhu tubuh Airin meningkat saat malam datang.Dan kehadiran Mawar di sana benar-benar membantu, seperti ketika Airin haus, Mawar mengambilkannya minum dan juga sekalian makanan.Menu makanan Airin sama seperti malam sebelumnya; bubur.Dan kalau boleh jujur, rasanya sangat berbeda dari bubur yang Airin makan semalam. Tapi bukankah bahannya sama saja? Kenapa rasanya berbeda? Kenapa Airin merasa buatan Sakha lebih enak?Dari mana pria itu belajar memasak? Dan kapan?
Pertanyaan yang terlontar dari bibir kakaknya itu benar-benar tidak diduga Mawar. Kepalanya langsung berputar, pening sesaat, memikirkan jawaban apa yang harus dia beri.Tapi sepertinya, jeda cukup panjang yang diberikan Mawar cukup menjadi jawaban bagi Airin.Wanita yang tengah sakit itu pun menghela napas. "Kamu ... mau jadi istri Tuan Sakha?" ulangnya, dengan suara setenang air danau tak beriak, tatapan serta raut mukanya juga sama begitu."A-ku—" Mawar tidak mampu berkata-kata. Dia menyukai Sakha karena pria itu ternyata sangat tidak terduga dari bayangannya selama ini. Ada rasa menyesal dalam dirinya karena pe