Hujan benar-benar turun dengan sangat deras, setiap tetesnya jatuh dengan kasar seperti jarum yang menusuk-nusuk kulit. Dalam sekejap, Airin sudah dibuat basah kuyup. Dia lupa jarak dari pintu utama ke paviliun di belakang cukup jauh. Airin lagi-lagi merutuki keputusannya.
Tapi ini bukan salahku! pikirnya dengan keras kepala. Baginya, ini adalah salah Sakha.
Selama hampir tiga hari ini Airin sudah berhasil tidak menghiraukan kehadiran suaminya dan menjalani hidupnya dengan damai. Tapi lagi-lagi pria itu mengganggunya seperti tadi.
"Airin!"
Airin bergegas masuk ke dalam paviliun dan mengunci pintunya. Dia berdiri di hadapan daun pintu itu untuk beberapa saat, lalu berbalik dan bersandar di sana. Matanya terpejam, air menetes-netes dari tubuh dan pakaiannya yang basah."Tenang... tenang... jangan dipikirkan!" gumam Airin pada dirinya sendiri.Saat dirasanya mantra itu tidak berhasil. Airin mulai gelisah, dia berjalan mondar-mandir sembari mengatakan pada dirinya sendiri untuk tenang. Sebelah tangannya menyentuh dada, seolah dengan itu dia bisa menenangkan degup jantungnya yang berdetak kencang.Tadi, sesaat setelah Sakha menangkat kepalanya dari bahu Airin d
Bibir Airin terkatup rapat. Rasa dingin menusuk sampai tulangnya, tapi keringat tidak juga berhenti bercucuran dari pori-pori di tubuhnya. Panas dingin, itu yang Airin rasakan. Belum lagi dengan dentuman halus di kepalanya yang memberi efek begitu dahsyat.Berlapis-lapis selimut sudah Airin kenakan. Karena tadi dia berpikir bahwa ini hanyalah dikarenakan suhu udara biasa, jadi Airin berbaring di tempat tidur tertelungkup selimut tebal, berniat untuk istirahat sejenak karena semenjak selesai mandi tadi, dia merasa pusing.Pasti akan sakit, batin Airin dengan yakin. Dan benar saja, itulah yang terjadi sekarang.Su
Sakha berdiri di dapur, dengan cekatan mengambil peralatan dan beberapa bahan makanan untuk dia masak. Saat melakukannya, Ria muncul di pintu dapur dengan pakaian tidur tipis."Mas?" panggilnya.Sakha menoleh. "Hm. Kamu bangun?""Iya. Mas ngapain?""Masak.""Selarut ini?" tanya Ria heran."Hm."
“Airin, apa kamu tahu apa alasanku memiliki banyak istri?” tanya Sakha tiba-tiba.Airin, yang baru saja hendak menyuap bubur masuk ke mulutnya langsung berhenti, dia menoleh pada Sakha dan tampak seperti tengah berpikir.“Karena Tuan ... mesum?” jawab Airin.Sakha memelototinya tajam. “K-kamu …!”Airin menyengir tipis. Lalu menunduk dan mengaduk-aduk bubur di mangkuk. “Atau ... karena anak?” katanya tanpa menoleh.
Benar seperti dugaan Yuniarti, suhu tubuh Airin meningkat saat malam datang.Dan kehadiran Mawar di sana benar-benar membantu, seperti ketika Airin haus, Mawar mengambilkannya minum dan juga sekalian makanan.Menu makanan Airin sama seperti malam sebelumnya; bubur.Dan kalau boleh jujur, rasanya sangat berbeda dari bubur yang Airin makan semalam. Tapi bukankah bahannya sama saja? Kenapa rasanya berbeda? Kenapa Airin merasa buatan Sakha lebih enak?Dari mana pria itu belajar memasak? Dan kapan?
Pertanyaan yang terlontar dari bibir kakaknya itu benar-benar tidak diduga Mawar. Kepalanya langsung berputar, pening sesaat, memikirkan jawaban apa yang harus dia beri.Tapi sepertinya, jeda cukup panjang yang diberikan Mawar cukup menjadi jawaban bagi Airin.Wanita yang tengah sakit itu pun menghela napas. "Kamu ... mau jadi istri Tuan Sakha?" ulangnya, dengan suara setenang air danau tak beriak, tatapan serta raut mukanya juga sama begitu."A-ku—" Mawar tidak mampu berkata-kata. Dia menyukai Sakha karena pria itu ternyata sangat tidak terduga dari bayangannya selama ini. Ada rasa menyesal dalam dirinya karena pe
Keesokan harinya, demam Airin sudah turun. Pagi-pagi sekali dia bangun dan langsung mandi untuk membersihkan tubuhnya yang terasa lengket. Setelah selesai, dia membangunkan Mawar yang tertidur di ranjang bersamanya. Sejenak Airin khawatir adiknya itu akan benar-benar tertular, sehingga dia bertanya saat melihat Mawar terbangun."Kamu baik-baik saja?"Mawar mengangguk lemah karena kantuk yang masih menggantung di bawah pelupuk matanya.Airin menghela napas lega karena melihat Mawar tampak baik-baik saja. Lalu selagi Mawar di kamar mandi, Airin pergi ke jendela dan membukanya lebar. Dia berdiri di sana untuk beberapa saat,
"Tuan! Tuan!"Perhatian Sakha yang semula tengah tertuju pada layar laptopnya teralihkan. Dia melihat seorang pria setengah baya yang merupakan pekerjanya di kebun datang menghampiri.Sakha berdiri dari kursi lalu menuruni tangga teras rumah peristirahatan. "Ya, Pak? Ada apa?" tanya Sakha.Pria setengah baya itu menarik napas dalam-dalam sebelum berkata, "Itu, Tuan, saya mau minta izin untuk metik mangga di kebun.""Mangga? Memang sudah berbuah?"